BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) adalah salah satu klasifikasi

BAB I PENDAHULUAN. nefrotik yang tidak mencapai remisi atau perbaikan pada pengobatan prednison

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/ m 2 / hari pada

Pengaruh Lama Pengobatan Awal Sindrom Nefrotik terhadap Terjadinya Kekambuhan

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kunci dari kehidupan, kesehatan adalah milik

BAB I PENDAHULUAN. dari 14 tahun. Kasus SN lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. hiperkolesterolemia >200 mg/dl, dan lipiduria 1. Lesi glomerulus primer

2. Primer/idiopatik: SN yang berhubungan dengan penyakit glomerular, tidak diketahui sebabnya, tidak menyertai penyakit sistemik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara lain 1 :

Yayan Akhyar Israr, S. Ked

KADAR KOLESTEROL DARAH ANAK PENDERITA SINDROM NEFROTIK SENSITIF STEROID SEBELUM DAN SESUDAH TERAPI PREDNISON DOSIS PENUH ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

Hubungan aspek klinis dan laboratorik dengan tipe sindrom nefrotik pada anak

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN BERAT BADAN PADA ANAK DENGAN SINDROM NEFROTIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah

Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinis. Menurunkan Kejadian Relaps

Sindrom nefrotik adalah suatu konstelasi temuan klinis, sbg hasil dari keluarnya protein melalui ginjal secara masif.

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA Fakultas Kedokteran UGM 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang paling sering dijumpai

PROFIL SINDROM NEFROTIK DI POLIKLINIK ANAK RSUP FATMAWATI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada usia dewasa. Insidens SN pada salah satu jurnal yang dilakukan

17/02/2016. Rabu, 17 Februari

KARAKTERISTIK KEJADIAN PENYAKIT GINJAL KRONIK PADA SINDROM NEFROTIK ANAK LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

BAB 3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan metode sekat lintang yang menilai hubungan ABI

DISTRIBUSI GEJALA KLINIK PENDERITA SINDROM NEFROTIK BERDASARKAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI DI RSUP DR.KARIADI TAHUN

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP LAJU FILTRASI GLOMERULUS PADA SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID ANAK

BAB I PENDAHULUAN. tulang ditentukan oleh tingkat kepadatannya. Penurunan massa tulang akan terus

HUBUNGAN ANTARA TERAPI KORTIKOSTEROID DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA ANAK DENGAN SINDROM NEFROTIK ABSTRAK

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi cross sectional untuk menilai perubahan kadar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2006).Insidensi LLA di Indonesia 2,5-4 kasus baru per anak sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah kronik (Asdi, 2000).

OSTEOPOROSIS DEFINISI

Korelasi Kadar Albumin Serum dengan Persentase Edema pada Anak Penderita Sindrom Nefrotik dalam Serangan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kelenjar tiroid berasal dari jaringan mesodermal pada masa embrio yang

Sindrom Nefrotik Kasus Baru Pada Anak Usia 2 Tahun. Nephrotic Syndrome: New Case on 2 Years Old Child

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3%

HUBUNGAN ANTARA TERAPI KORTIKOSTEROID DENGA KEJADIAN GLAUKOMA PADA ANAK DENGAN SINDROMA NEFROTIK JURNAL ILMIAH KTI

Perbedaan dan Korelasi Kadar Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin Urin pada Berbagai Derajat Kambuh Pasien Sindrom Nefrotik

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

Manifestasi Klinik Peny.Ginjal

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR NATRIUM DAN KALSIUM SERUM PADA SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID ANAK

PEMERIKSAAN URIN DENGAN METODE ESBACH. III. PRINSIP Asam pikrat dapat mengendapkan protein. Endapan ini dapat diukur secara kuantitatif

HUBUNGAN ANTARA TERAPI KORTIKOSTEROID DENGAN KEJADIAN KATARAK PADA ANAK DENGAN SINDROM NEFROTIK LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Penelitian. Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang memiliki

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah, lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stroke menurut World Health Organization (WHO) (1988) seperti yang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai dengan sindrom klinik / kumpulan gejala : urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstick 2+)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan pemeriksaan kadar Cystatin C pada penderita Diabetes

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. glomerular. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom klinis yang terdiri dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

Hasil. Kesimpulan. Kata kunci : Obat-obatan kausatif, kortikosteroid, India, SCORTEN Skor, Stevens - Johnson sindrom, Nekrolisis epidermal

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik idiopatik (SNI) adalah suatu

KARAKTERISTIK KEJADIAN PENYAKIT GINJAL KRONIK PADA SINDROM NEFROTIK ANAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick 2+), hipoalbuminemia 2,5 g/dl,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Insiden sindrom nefrotik pada masa kanak-kanak dilaporkan dua

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR NATRIUM DAN KALSIUM SERUM PADA SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID ANAK

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

BAB I PENDAHULUAN. Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang pada tahap awal belum

BAB.I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang memiliki

Vitamin D and diabetes

BAB I PENDAHULUAN. dalam pencegahannya. Osteoporosis merupakan salah satu penyakit

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Penyakit Dalam.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. 27,6% meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum. baru (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB 1 PENDAHULUAN. dari masa remaja memberikan dampak pada masalah kesehatan. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. sentral, dislipidemia, dan hipertensi (Alberti et al., 2006; Kassi et al., 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan

Korelasi Antara Hipoalbunemia Dan Peningkatan Kadar Lipoprotein(A) Pada Anak Yang Menderita Sindrom Nefrotik Kambuh

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara

Nefritis tubulointerstisialis (NTI) adalah

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom nefrotik (SN, Nephrotic Syndrome) merupakan salah satu penyakit ginjal terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom klinik dengan gejala proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 atau dipstik > 2+) yang menyebabkan terjadinya hipoproteinemia (terutama hipoalbuminemia, dengan kadar < 2,5 g/dl) dan karenanya, mengakibatkan terjadinya udem. Sindrom nefrotik dapat disertai dengan terjadinya hiperkolesterolemia (kolesterol >200 mg/dl), hiperlipidemia, dan hiperlipiduria (Alatas dkk., 2005; Rudolph dkk., 2006). Penyakit ini ditemukan 90% pada anak-anak dibandingkan dewasa. Angka kejadian penyakit SN adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak yang berumur kurang dari 15 tahun. Puncak onset terjadi pada usia 2-3 tahun. Diperkirakan 50% terjadi pada usia 1-4 tahun, 75% kurang dari 10 tahun (Wirya, 2002). Sindrom nefrotik dapat terjadi pada semua anak dari golongan ras mana pun, walaupun realita yang terjadi adalah ras kulit hitam lebih jarang terkena sindrom nefrotik bila dibandingkan dengan ras kulit putih, dan anak laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan anak perempuan (rasio 2:1). Kedua faktor risiko di atas masih belum diketahui dan ditemukan hubungannya sebagai penyebab sindrom nefrotik secara langsung (McBryde dkk., 2001).

2 Sindrom nefrotik biasanya terjadi karena kelainan glomerular dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu sindrom nefrotik primer / idiopatik dan sindrom nefrotik sekunder. Penyebab primer umumnya idiopatik atau belum diketahui dengan pasti dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik sedangkan penyebab sekunder berasal dari luar ginjal dan biasanya berhubungan dengan penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik, henoch schonlein purpura, diabetes melitus, post infeksi virus hepatitis B, efek obat anti-inflamasi non-steroid, keganasan dan lain-lain (McBryde dkk., 2001; Rudolph dkk., 2006; Gardillo, 2009). Patofisiologi dari SN belum diketahui secara pasti. SN diduga berhubungan dengan kelainan imunologik yang mengakibatkan permeabilitas glomerulus meningkat terhadap protein sehingga terjadi proteinuria (Wirya, 2002). Pasien SN primer secara klinis dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu (a) Kongenital, (b) Sensitif Steroid, dan (c) Resisten Steroid (Wirya, 2002). Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal, nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif (Gunawan, 2006). Ada juga yang membagi menjadi 3 kelompok, yaitu SN kelainan minimal (SNKM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), dan nefropati membranosa (NM). SNKM merupakan kelainan yang terbanyak ditemukan pada anakanak, yaitu kurang lebih 85% kasus, sedangkan GSFS berkisar sekitar 10%-15% dari seluruh kasus SN, sedangkan NM yang ditandai dengan penipisan dinding kapiler glomerulus berkisar sekitar 4% kasus (Gardillo, 2009). Namun penelitian yang

3 dilakukan di Jakarta, pada 364 pasien sindrom nefrotik yang dibiopsi didapatkan 44,2% menunjukkan kelainan minimal. (Wirya, 1992) Pilihan utama dalam pengobatan sindrom nefrotik hingga saat ini adalah prednison. International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m 2 /hari atau 2 mg/kgbb/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, diberikan dalam dosis terbagi dua atau tiga kali sehari, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m 2 /hari atau 1,5 mg/kgbb/hr dengan dosis tunggal pagi hari secara selang sehari selama 4 minggu. Dengan pengobatan inisial standar ini, dalam 2 minggu pertama telah terjadi remisi pada 80% kasus, sedangkan setelah pengobatan prednison 4 minggu pertama remisi ditemukan pada 95% kasus. Bila setelah 4 minggu pemberian prednison dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka pasien tersebut dilabel sebagai SNRS (Sindrom nefrotik resisten steroid) (Haycock, 2003; Wirya, 2002). Namun, dengan pengobatan standar ini juga, banyak pasien kambuh setelah remisi, sehingga membutuhkan terapi steroid lebih lanjut sesuai dengan status penyakitnya. Sekitar 80% anak kambuh dalam satu tahun pertama apabila prednison diberikan dalam 4 minggu, 60% kambuh sesudah pengobatan 8 minggu, dan 30% kambuh apabila prednison diberikan selama 12 minggu (Wirya, 2002). Sebagian besar anak dengan SN memberikan respon terhadap kortikosteroid. Walaupun dilaporkan bahwa pilihan utama pengobatan SN adalah prednison, namun demikian dikatakan juga penggunaan kortikosteroid memiliki efek samping seperti

4 osteoporosis, obesitas, gangguan pertumbuhan, hipertensi, dan diabetes melitus (ISKDC, 1981). Penderita SN berisiko mengalami perubahan nilai pada faktor-faktor pembentuk tulang antara lain kalsium dan vitamin D yang disebabkan oleh perubahan biokimia yang disebabkan oleh penyakit ginjal itu sendiri dan terapi steroid. Penelitian yang dilakukan oleh Basiratnia pada tahun 2006 menunjukkan bahwa BMD (Bone Mineral Density) pada pasien SN secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan anak normal dan penurunan itu berhubungan dengan dosis steroid kumulatif yang lebih tinggi. Dilaporkan pula bahwa insiden osteoporosis yang diinduksi oleh steroid terjadi pada 30-50% pada pasien dengan terapi steroid jangka lama. Penelitian yang dilakukan oleh O Brien dkk., pada tahun 2004 menunjukkan bahwa terapi glukokortikoid meningkatkan jumlah osteoklas setelah 7-10 minggu sejak dimulainya terapi steroid, dimana osteoklastogenesis meningkat yang diakibatkan oleh efek antiapoptik dari osteoklas matur, dan peningkatan ini berhubungan dengan berkurangnya kepadatan tulang. B. Rumusan Masalah Perumusan masalah yang akan dipecahkan pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah hubungan dosis kumulatif steroid terhadap densitas tulang pada pasien sindrom nefrotik?

5 C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengaruh dosis kumulatif steroid untuk penderita sindrom nefrotik pernah dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia. Pada tahun 2006, Basiratnia dkk., melakukan studi kohort konsekutif. Dilakukan pada 37 penderita dari usia 4 sampai dengan 21 tahun dan 37 individu sehat dimana usia dan jenis kelamin disesuaikan, sebagai kelompok kontrol. Pada awal penelitian semua penderita memiliki densitas tulang dan memiliki GFR (Glomerular filtration rate) yang normal. Semua penderita mendapat terapi prednison (60mg/m 2 /hari selama empat minggu diikuti dengan dosis tunggal 40mg/m 2 /48 jam selama 6 minggu. Penderita yang mengalami kambuh diobati dengan prednison (60mg/m 2 /hr) sampai urin bebas protein selama tiga hari berturut-turut, kemudian dilanjutkan dengan 40mg/m 2 setiap hari selama 6-8 minggu. Obat lain seperti levamisol digunakan oleh 18 pasien, siklofosfamid pada 8 pasien dan siklosforin digunakan oleh 7 pasien. Tidak ada satupun pasien yang mendapat kalsium atau vitamin D. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa persentasi densitas mineral tulang dan konten mineral tulang lebih rendah secara signifikan dibandingkan pada kelompok kontrol. Gulati dkk., pada tahun 2005 pernah melakukan suatu studi retrospektif follow up longintudinal pada 88 penderita sindrom nefrotik idiopatik untuk mengevaluasi penurunan densitas tulang dan peranan pemberian suplemen kalsium dan vitamin D pada peningkatan densitas tulang. Subyek dibagi atas dua kelompok, yakni kelompok pertama mendapat suplementasi kalsium dan vitamin D dan kelompok kedua mendapatkan plasebo. Pada penelitian ini tidak disebutkan cara randomisasi, serta cara

6 perhitungan sampel. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa penurunan kepadatan tulang berkorelasi dengan total dosis steroid dan terdapat peningkatan densitas tulang secara bermakna (0,607±0,013g/cm 2 ) pada penderita yang diberi suplementasi kalsium dan vitamin D dibandingkan dengan densitas tulang pada awal penelitian (0,561±0,010g/cm 2 ) dimana p<0,0001. Kesimpulan penelitian ini adalah anak-anak yang menggunakan dosis steroid yang lebih besar memiliki kecenderungan untuk mengalami penurunan densitas tulang. Suplemen kalsium dan vitamin D secara signifikan meningkatkan densitas mineral tulang pada penderita sindrom nefrotik idiopatik. Tabel 1. Keaslian Penelitian No Peneliti Tahun Pasien Metode Hasil 2 Basiratnia 2006 Pasien anak dengan Kontrol BMD penderita dkk. sindrom nefrotik, kasus sindrom nefrotik n1=n2=37 secara signifikan lebih rendah daripada kelompok kontrol 3 Gulati 2005 Pasien anak dengan RCT Terdapat peningkatan dkk. sindrom nefrotik rata-rata BMD pada idiopatik pasien SN yang mendapat kalsium 4 Lettgen 1994 Pasien anak dengan Potong Terdapat hubungan dkk. sindrom nefrotik lintang korelasi negatif, r=0,5

7 D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan dosis kumulatif steroid terhadap densitas mineral tulang. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui gambaran densitas mineral tulang pada penderita sindrom nefrotik. b. Untuk mengetahui korelasi dosis kumulatif steroid terhadap densitas mineral tulang pada penderita sindrom nefrotik c. Mengetahui hubungan densitas mineral tulang pada penderita sindrom nefrotik remisi dan sindrom nefrotik kambuh. d. Mengetahui titik potong densitas mineral tulang dan dosis kumulatif steroid untuk memprediksi kejadian osteopenia dan osteoporosis. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat untuk penderita Bila diketahui gambaran kejadian penurunan densitas mineral tulang pada penderita sindrom nefrotik dan hubungan dosis kumulatif steroid terhadap densitas mineral tulang pada pasien sindrom nefrotik maka risiko kejadian osteoporosis pada penderita SN dapat diprediksi lebih dini. 2. Manfaat untuk pengabdian masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam menetapkan standar pelayanan medis mengenai penanganan pada penderita sindrom

8 nefrotik dalam upaya mendeteksi secara dini kejadian osteoporosis yang diinduksi oleh steroid. 3. Manfaat untuk keilmuwan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi ilmiah dalam bidang nefrologi pada umumnya dan dalam hal ini mendeteksi secara dini risiko kejadian osteoporosis yang diinduksi steroid pada anak dengan SN.