VII. PROSPEK PERANAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

I. PENDAHULUAN. untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan suatu bangsa. Dalam upaya

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses

PENDAHULUAN. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. atau regional khususnya di bidang ekonomi. Angka-angka pendapatan regional dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

permintaan antara di Kota Bogor pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 4.49 triliun.

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

I. PENDAHULUAN. berkaitan dengan sektor-sektor lain karena sektor pertanian merupakan sektor

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di Indonesia memiliki tujuan untuk mensejahterakan

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel IO akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: mencakup struktur output dan nilai tambah masingmasing

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI UTARA TRIWULAN I/2014

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris di mana pembangunan di bidang pertanian

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO TAHUN ,71 PERSEN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

Transkripsi:

VII. PROSPEK PERANAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL Sektor ekonomi kakao yang sebenarnya merupakan bagian dari sub sektor perkebunan dan bagian dari sektor pertanian dalam arti luas mempunyai pangsa PDRB lebih dari 5% dan melebihi pangsa beberapa sektor ekonomi dalam struktur perekonomian regional 9 sektor yang mengacu pada Sistem National Accounts 1968 (SNA68). Kondisi ini menggambarkan bahwa kakao sebagai sub dari sub sektor perkebunan mempunyai peran yang lebih besar dalam menghasilkan PDRB dari pada suatu sektor ekonomi seperti sektor Bank dan Lembaga Keuangan, sektor Bangunan dan sektor Listrik, gas dan air. Demikian pula halnya dalam menghasilkan devisa dan penyerapan tenaga kerja (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 2004a). Namun peran tersebut masih belum menggambarkan kondisi yang sesungguhnya karena biaya dan manfaat eksternalitas berbagai sektor ekonomi belum diperhitungkan. Biaya dan manfaat eksternalitas berbagai sektor ekonomi yang berhasil diidentifikasi sebagai biaya eksternalitas adalah sebesar Rp 1,764 triliun. Nilai biaya eksternalitas tersebut secara regional relatif kecil karena hanya sebesar 2,53% dari total output perekonomian regional Sulawesi Selatan. Namun jika diperhatikan pada setiap sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas maka akan tampak bahwa biaya eksternalitas yang dihasilkan oleh masing-masing sektor relatif besar yaitu lebih dari 5% nilai outputnya. Sektor ekonomi kakao dalam proses produksinya menghasilkan biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas sebesar 10,95%. Jika biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao tersebut diperhitungkan dan digunakan untuk mengkoreksi nilai outputnya maka akan berpengaruh cukup nyata terhadap pangsa PDRB kakao dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan. Di samping itu, karena sebagian besar biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao tersebut adalah kehilangan unsur hara akibat erosi, maka dalam jangka panjang akan berpengaruh negatif terhadap produktivitas perkebunan kakao jika petani tidak memberikan masukan input pupuk yang memadai sebagai pengganti unsur hara yang hilang.

145 Pada saat penelitian ini dilakukan, produktivitas perkebunan kakao rakyat di Sulawesi Selatan hanya sekitar 40-50% dari produktivitas potensialnya. Hal ini terjadi karena pengelolaan perkebunan kakao yang dilakukan oleh petani belum sesuai dengan standar teknis budidaya yang dianjurkan, terutama dalam hal pemupukan dan pemeliharaan kebun. Perkebunankan kakao rakyat umumnya tidak dipupuk dan tidak dipelihara dengan baik, sehingga sebagian besar perkebunan kakao di Sulawesi Selatan tidak ubahnya seperti hutan kakao. Dengan kondisi perkebunan kakao yang demikian menyebabkan berbagai gangguan hama penyakit tanaman kakao sulit dikendalikan. Permasalahan hama penyakit tanaman kakao yang paling berat dihadapi petani adalah serangan hama PBK. Pada saat ini hampir seluruh perkebunan kakao di Sulawesi Selatan terserang hama PBK dan telah menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi petani. Kerugian yang terus menerus akibat serangan hama PBK tersebut menyebabkan perkebunan kakao petani makin tidak terpelihara dan menjadi rusak. Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut dampak internalisasi biaya ekstrnalitas dan dampak serangan hama PBK terhadap perekonomian regional Sulawesi Selatan. 7.1. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas 7.1.1. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap Output Internalisasi biaya eksternalitas dari berbagai sektor ekonomi menimbulkan perubahan terhadap nilai output dan PDRB serta nilai pengganda output, pengganda pendapatan, dan pengganda tenaga kerja serta nilai indeks keterkaitan antar sektor perekonomian regional Sulawesi Selatan. Arah perubahannya sangat tergantung pada besarnya beban biaya eksternalitas dan lemah-kuatnya keterkaitan antar sektor ekonomi dengan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas. Internalisasi biaya Eksternalitas menyebabkan penurunan nilai output dari beberapa sektor ekonomi yang menanggung beban biaya eksternalitas lingkungan. Total biaya eksternalitas yang teridentifikasi mencapai Rp 1,76 triliun atau 2,53% dari total output perekonomian regional Sulawesi Selatan. Biaya eksternalitas tertinggi dihasilkan sektor ekonomi perkebunan selain kopi dan kakao, tetapi karena

146 perbedaan nilai outputnya dengan output sektor ekonomi yang berada di bawahnya cukup besar, maka penurunan nilai output perkebunan selain kopi dan kakao tersebut tidak menyebabkan terjadinya pergeseran posisi dalam memberikan sumbangan output bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Demikian juga sektor-sektor lain seperti sektor ekonomi kakao, peternakan, tanaman bahan makanan lainnya dan sektor industri semen tidak mengalami perubahan posisi dalam memberikan sumbangan output bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Penggeseran posisi/peringkat dalam menghasilkan output terjadi pada sektor padi dan kopi. Sektor padi yang mempunyai biaya eksternalitas relatif besar tergeser dari posisi ke-4 ke posisi ke-6 dan sektor kopi tergeser dari posisi 23 ke posisi 24 (Tabel 24). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi yang mempunyai beban biaya eksternalitas mengalami peningkatan nilai pengganda output, kecuali sektor tanaman bahan makanan lainnya yang beban biaya eksternalitasnya relatif kecil. Sebaliknya sektor-sektor ekonomi yang tidak memiliki beban biaya eksternalitas mengalami penurunan nilai pengganda output dan penurunan pengganda output yang cukup besar dialami sektor-sektor ekonomi pengguna output sektor penghasil eksternalitas sebagai input produksinya. Penurunan nilai pengganda output yang cukup besar dialami oleh sektor industri kopi giling dan kupasan diikuti sektor industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula, sektor industri makanan dan minuman serta sektor bangunan (Lampiran 7). Hal ini memberikan indikasi bahwa analisis input-output konvensional menghasilkan nilai pengganda output yang lebih besar dari yang seharusnya untuk sektor ekonomi yang menggunakan output sektor penghasil eksternalitas sebagai bahan bakunya dan sebaliknya nilai pengganda output yang lebih kecil dari yang seharusnya bagi sektor sektor ekonomi yang menghasilkan biaya eksternalitas. Apabila indikator pengganda output yang dijadikan penentu kebijakan dan sektor ekonomi pengguna output dari sektor penghasil eksternalitas yang menjadi sektor unggulan, maka upaya memacu pertumbuhan sektor unggulan dapat menarik

147 pertumbuhan sektor penghasil eksternalitas, sehingga biaya eksternalitas perekonomian regional makin besar. Tabel 24. Posisi nilai output berbagai sektor ekonomi pada tabel IO konvensional dan tabel IO dikoreksi biaya eksternalitas Sulawesi Selatan, tahun 2003 Peringkat Nama Sektor Ekonomi Output IO-K (Rp juta) (%) Nama Sektor Ekonomi Output IO-E (Rp juta) (%) 1 Ind. Makanan & minuman 11.294.326 16,16 Ind Makanan & minuman 11.294.326 16,58 2 Perdag-Hotel-Rst 9.100.364 13,02 Perdag-Hotel-Rst 9.100.364 13,36 3 Jasa Pemerintahn 6.628.179 9,49 Jasa Pemerintahn 6.628.179 9,73 4 Padi 4.875.512 6,98 Bangunan 4.768.562 7,00 5 Bangunan 4.768.562 6,82 Angkutan-Kmnks 4.652.510 6,83 6 Angkutan-Kmnks 4.652.510 6,66 Padi 4.560.282 6,70 7 Industri lainnya 3.566.140 5,10 Industri lainnya 3.566.140 5,24 8 Tabama lainnya 3.147.259 4,50 Tabama lainnya 3.124.289 4,59 9 Tambang nekel 3.075.889 4,40 Tambang nekel 3.075.889 4,52 10 Bank-Lkeuangan 2.986.037 4,27 Bank-Lkeuangan 2.986.037 4,38 11 Industri semen 2.634.467 3,77 Industri semen 2.476.397 3,64 12 Kakao 2.585.784 3,70 Kakao 2.302.614 3,38 13 Perkeb. Lainnya 2.385.799 3,41 Perkeb. Lainnya 1.631.519 2,40 14 Budidaya udang 1.560.485 2,23 Budidaya udang 1.560.485 2,29 15 Perikan laut 1.450.536 2,08 Perikan laut 1.450.536 2,13 16 Listrik, Gas, Air 935.053 1,34 Listrik, Gas, Air 935.053 1,37 17 Ind kopi giling dan kupasan 811.002 1,16 Ind kopi giling & kupasan 811.002 1,19 18 Budidaya bandeng & ikan 734.337 1,05 Budidaya bandeng & ikan 734.337 1,08 19 Peternakan 704.187 1,01 Peternakan 653.427 0,96 20 Ind biji-an, cokelat&k gula 581.711 0,83 Ind biji-an, cokelat&k gula 581.711 0,85 21 Jasa Lainnya 507.158 0,73 Jasa Lainnya 507.158 0,74 22 Tambang & Gln lainnya 440.360 0,63 Tambang & Gln lainnya 440.360 0,65 23 Kopi 287.532 0,41 Kehutanan 115.358 0,17 24 Kehutanan 115.358 0,17 Kopi 107.582 0,16 25 Industri pupuk pestisida 50.265 0,07 Industri pupuk pestisida 50.265 0,07 Jumlah 69.878.813 100,00 Jumlah 68.114.383 100,00 Keterangan: IO-K = IO konvensional; IO-E= IO dikoreksi biaya eksternalitas. 7.1.2. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap PDRB Internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan penurunan nilai PDRB Sulawesi Selatan tahun 2003 dari Rp 42,868 triliun menjadi Rp 41,997 triliun atau turun sebesar Rp 871 milyar (2,03%). Penurunan nilai PDRB tersebut merupakan akumulasi dari penurunan dan peningkatan nilai PDRB berbagai sektor ekonomi. Suatu sektor ekonomi mengalami penurunan nilai PDRB akibat pembebanan biaya

148 eksternalitas dari sektor yang bersangkutan. Namun pembebanan eksternalitas pada sektor tersebut akan meningkatkan nilai PDRB sektor lainnya yang menggunakan output sektor yang menghasilkan biaya eksternalitas tersebut sebagai input produksinya. Hal ini terjadi karena sebelum ada koreksi biaya eksternalitas, sektor pengguna output dari sektor yang menghasilkan biaya eksternalitas telah membayar harga input yang lebih tinggi dibandingkan dengan setelah adanya koreksi biaya eksternalitas (Tabel 25). Tabel 25. Posisi PDRB berbagai sektor ekonomi pada tabel IO konvensional dan tabel IO dikoreksi biaya eksternalitas Sulawesi Selatan, tahun 2003 Pering kat Nama Sektor Ekonomi PDRB-K (Rp juta) (%) Nama Sektor Ekonomi PDRB-E (Rp juta) (%) 1 Perdag-Hotel-Rst 6.353.926 14,82 Perdag-Hotel-Rst 6,359,631 15.14 2 Jasa Pemerintahn 4.599.964 10,73 Jasa Pemerintahn 4,600,754 10.95 3 Padi 4.256.270 9,93 Padi 3,949,595 9.40 4 Angkutan-Kmnks 2.855.224 6,66 Angkutan-Kmnks 2,855,283 6.80 5 Tabama lainnya 2.855.086 6,66 Tabama lainnya 2,833,889 6.75 6 Tambang nekel 2.759.380 6,44 Tambang nekel 2,759,380 6.57 7 Kakao 2.233.829 5,21 Indust Makanan & minuman 2,122,358 5.05 8 Bank-Lkeuangan 2.109.337 4,92 Bank-Lkeuangan 2,109,337 5.02 9 Perkeb. Lainnya 2.020.151 4,71 Bangunan 1,959,237 4.67 10 Bangunan 1.870.277 4,36 Kakao 1,952,128 4.65 11 Industri semen 1.765.854 4,12 Industri lainnya 1,654,321 3.94 12 Industri lainnya 1.631.152 3,81 Industri semen 1,609,231 3.83 13 Indust Makanan & minuman 1.615.354 3,77 Perkeb. Lainnya 1,282,426 3.05 14 Budidaya udang 1.270.541 2,96 Budidaya udang 1,270,579 3.03 15 Perikan laut 1.243.689 2,90 Perikan laut 1,243,691 2.96 16 Peternakan 603.770 1,41 Budidaya bandeng, & ikan 602,517 1.43 17 Budidaya bandeng, & ikan 602.511 1,41 Indkopi giling & kupasan 573,872 1.37 18 Listrik, Gas, Air 474.726 1,11 Peternakan 556,584 1.33 19 Ind kopi giling dan kupasan 417.871 0,97 Listrik, Gas, Air 474,726 1.13 20 Tambang & Gln lainnya 373.161 0,87 Tambang & Gln lainnya 373,161 0.89 21 Jasa Lainnya 333.609 0,78 Ind. biji-an, cokelat & k.gula 343,339 0.82 22 Ind. biji-an, cokelat&k gula 270.628 0,63 Jasa Lainnya 333,889 0.80 23 Kopi 232.240 0,54 Kehutanan 102,599 0.24 24 Kehutanan 102.599 0,24 Kopi 57,770 0.14 25 Industri pupuk pestisida 16.975 0,04 Industri pupuk pestisida 16,985 0.04 Jumlah 42.868.122 100,00 Jumlah 41,997,281 100.0 Keterangan: PDRB-K = Produk Domestik Regional Bruto IO-konvensional; PDRB-E= Produk Domestik Regional Bruto IO- dikoreksi biaya eksternalitas.

149 Pada Tabel 25 tersebut tampak bahwa internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan struktur perekonomian Sulawesi Selatan mengalami sedikit perubahan. Sektor ekonomi kakao mengalami penurunan kontribusi sebesar Rp 281,70 milyar atau 12,61%, sehingga peringkatnya dalam menghasilkan nilai PDRB tergeser dari posisi 7 ke posisi 10. Namun pergeseran posisi sektor ekonomi kakao tersebut tidak setajam penurunan sektor ekonomi perkebunan lainnya yang merosot dari posisi 9 ke posisi 13. Tajamnya penurunan posisi sektor ekonomi perkebunan lainnya tersebut terutama disebabkan oleh besarnya biaya eksternalitas sektor yang bersangkutan dan relatif kecilnya selisih nilai PDRBnya dengan sektor ekonomi peringkat dibawahnya. Sektor ekonomi perkebunan lainnya menimbulkan biaya eksternalitas terbesar diantara berbagai sektor ekonomi regional Sulawesi Selatan. Sementara itu, sektor-sektor yang mengalami peningkatan PDRB antara lain sektor industri makanan dan minuman, sektor industri kopi giling dan kupasan, sektor bangunan, dan sektor industri biji-bijian, cokelat & kembang gula. Sektor ekonomi yang mengalami peningkatan nilai PDRB yang paling besar adalah sektor industri makanan dan minuman yaitu sebesar Rp 507,01 milyar. Sektor berikutnya yang memperoleh kenaikan nilai PDRB yang cukup besar adalah sektor industri kopi giling dan kupasan, sektor bangunan, dan sektor industri biji-bijian, cokelat & kembang gula dengan peningkatan nilai PDRB masing-masing sebesar Rp 156,00 milyar, Rp 88,96 milyar dan Rp 72,71 milyar. Namun dilihat dari nisbah peningkatannya, maka sektor yang paling tinggi peningkatannya adalah sektor industri kopi giling dan kupasan yang meningkat 37,33%, disusul industri makanan dan minuman yang meningkat 31,39%, sektor sektor industri biji-bijan, cokelat & kembang gula 26,87% dan sektor bangunan 4,76%. Lebih lanjut, internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi yang mempunyai beban biaya eksternalitas mengalami penurunan, kecuali sektor tanaman bahan makanan lainnya yang beban biaya eksternalitasnya relatif kecil. Sebaliknya sektor-sektor ekonomi yang tidak memiliki beban biaya eksternalitas mengalami peningkatan nilai pengganda pendapatan. Hal ini memberikan indikasi bahwa analisis input-output konvensional menghasilkan

150 nilai pengganda pendapatan yang lebih besar dari yang seharusnya untuk sektor ekonomi yang memiliki beban biaya eksternalitas dan sebaliknya nilai pengganda pendapatan yang lebih kecil dari seharusnya bagi sektor sektor ekonomi yang tidak menghasilkan biaya eksternalitas (Lampiran 8). Data IO Sulawesi Selatan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata antara IO konvensional dengan IO yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas karena nilai pengganda pendapatan sektorsektor ekonomi yang mempunyai beban eksternalitas berada pada posisi pertengahan dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis, sehingga koreksi biaya eksternalitas tidak menimbulkan perubahan yang nyata. Meskipun demikian adanya perbedaan hasil analisis yang mengindikasikan bahwa nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi penghasil eksternalitas yang lebih tinggi (over estimate) pada IO konvensiaonal dibanding IO dikoreksi biaya eksternalitas. 7.1.3. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap Tenaga Kerja Dan Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi Internalisasi biaya eksternalitas tidak mempengaruhi penyerapan tenaga kerja, tetapi berpengaruh pada nilai pengganda tenaga kerja. Internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan nilai pengganda tenaga kerja semua sektor ekonomi mengalami peningkatan kecuali sektor kehutanan dan sektor industri pupuk dan pestisida yang nilai pengganda tenaga kerjanya tetap. Jika diperhatikan lebih lanjut tampak bahwa besarnya peningkatan nilai pengganda tenaga kerja akibat internalisasi biaya eksternalitas sangat erat kaitannya dengan besarnya beban biaya eksternalitas sektor yang bersangkutan dan keterkaitan suatu sektor ekonomi dengan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas. Sektor kopi, perkebunan lainnya, kakao, padi dan sekto peternakan merupakan sektor-sektor ekonomi yang mengalami peningkatan nilai pengganda tenaga kerja yang cukup besar karena memiliki biaya eksternalitas, sementara sektor industri kopi giling dan kupasan, industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula dan sektor industri makanan minuman mengalami peningkatan nilai pengganda tenaga kerja yang relatif besar

151 karena mempunyai keterkaitan yang kuat dengan sektor penghasil biaya eksternalitas (Lampiran 9). Selanjutnya jika diperhatikan nilai indeks keterkaitan antar sektor yang dinormalisasi (koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran), maka akan tampak bahwa sektor-sektor yang mempunyai beban biaya eksternalitas akan mengalami peningkatan nilai koefisien penyebaran (indeks keterkaitan ke belakang), kecuali sektor tabama lainnya. Sebaliknya sektor-sektor yang tidak mempunyai beban eksternalitas mengalami penurunan nilai koefisien penyebarannya. Sementara itu, nilai kepekaan penyebaran (indeks keterkaitan ke depan) sektor-sektor yang mempunyai eksternalitas cenderung mengalami penurunan kecuali sektor tabama lainnya yang mengalami peningkatan. Sektor ekonomi lainnya, kecuali perikanan laut, budidaya udang, budidaya bandeng dan ikan lainnya, tambang nikel, industri biji-bijian dan cokelat serta jasa pemerintahan cenderung mengalami peningkatan nilai kepekaan penyebarannya (Lampiran 10 dan 11). Sektor ekonomi yang nilai kepekaan penyebarannya meningkat cukup besar terjadi pada sektor industri pupuk dan pestisida diikuti oleh sektor industri lainnya. Sedangkan sektor ekonomi yang nilai kepekaan penyebarannya menurun cukup besar adalah sektor ekonomi kopi dan perkebunan lainnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan secara ringkas bahwa internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan terjadinya berbagai perubahan pada besaran output, PDRB dan nilai pengganda output, pendapatan, dan tenaga kerja, serta nilai koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran. Perubahan-perubahan tersebut meliputi: Penurunan output dan PDRB sektor yang menghasilkan biaya ekternalitas serta peningkatan PDRB sektor pengguna output sektor penghasil eksternalitas; Peningkatan nilai pengganda output sektor yang menghasilkan biaya ekternalitas dan penurunan nilai pengganda output sektor lainnya terutama sektor pengguna output sektor penghasil eksternalitas; Penurunan nilai pengganda pendapatan sektor yang menghasilkan biaya ekternalitas dan peningkatan nilai pengganda pendapatan sektor lainnya khususnya sektor pengguna output sektor penghasil eksternalitas; Peningkatan nilai pengganda seluruh sektor ekonomi

152 terutama sektor penghasil eksternalitas; Dan peningkatan nilai koefisien penyebaran sektor penghasil eksternalitas dan penurunan nilai koefisien penyebaran sektor ekonomi lainnya. Dengan memperhatikan berbagai perubahan tersebut maka perlu berhati-hati dalam menggunakan hasil analisis IO konvensional karena hasilnya dapat menyesatkan. Analisis IO-konvensional akan menghasilkan nilai pengganda output sektor ekonomi pengguna output sektor ekonomi yang menghasilkan biaya eksternalitas dan pengganda pendapatan sektor ekonomi yang menghasilkan biaya eksternalitas, lebih besar dari hasil analisis IO yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas. Dengan kata lain analisis IO konvensional menghasilkan nilai pengganda output sektor ekonomi pengguna output sektor penghasil biaya eksternalitas dan nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas yang terlalu tinggi (over estimate) dari yang seharusnya. Akibatnya jika nilai pengganda output dijadikan sebagai indikator dan sektor ekonomi pengguna output sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas yang menjadi pilihan, maka memacu pertumbuhan sektor ekonomi tersebut akan mempercepat pertumbuhan sektor penghasil biaya eksternalitas yang pada gilirannya akan memperbesar biaya eksternalitas perekonomian regional. Demikian pula halnya jika nilai pengganda pendapatan yang dijadikan sebagai acuan dan sektor penghasil biaya eksternalitas yang menjadi pilihan, maka memacu pertumbuhan sektor ekonomi tersebut secara langsung akan memperbesar biaya eksternalitas perekonomian regional. Oleh karena itu perlu berhati-hati dalam menggunaka nilai pengganda output sektor ekonomi pengguna output sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas dan nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas.

153 7.2. Dampak Serangan Hama PBK Pada saat penelitian ini dilakukan, hama PBK sudah menyerang hampir seluruh perkebunan kakao di Sulawesi Selatan dan sudah sangat merugikan petani kakao serta perekonomian Regional Sulawesi Selatan. Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan (dalam Mustafa 2005), serangan hama PBK telah menimbulkan kerugian yang sangat besar dan diperkirakan mencapai Rp 810 milyar per tahun. Nilai kerugian tersebut lebih dari 36,3% nilai PDRB kakao Sulawesi Selatan tahun 2003. Apabila serangan hama PBK tidak bisa dikendalikan maka produksi perkebunan kakao petani akan terus menurun dan perkebunan kakao akan ditelantarkan oleh petani yang pada gilirannya berbagai hama penyakit tanaman kakao lainnya akan menyerang dan mempercepat kerusakan perkebunan kakao petani. 7.2.1. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Pendapatan Petani Hasil survei menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan kakao petani di Kabupaten Mamuju dan Polman sebelum terserang hama PBK rata-rata 1.269 kg/ha/tahun dengan kisaran antara 500 sampai 2.500 kg/ha/tahun. Setelah terserang hama PBK, produktivitas perkebunan kakao petani mengalami penurunan rata-rata 50,11% dengan kisaran antara 10% sampai 90% dari produktivitas kebun sebelum terserang hama PBK. Penurunan produktivitas perkebunan kakao petani tersebut berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani karena perkebunan kakao merupakan sumber utama pendapatan petani. Pada tahun 2005, tingkat pendapatan petani kakao rata-rata Rp 8,27 juta/kk/tahun, dimana 70,35% bersumber dari kebun kakao dan selebihnya bersumber dari luar usahatani sebesar 14,43%, usahatani padi sebesar 6,67%, ternak sebesar 4,38% dan usaha perkebunan lainnya sebesar 4,17%. Tingkat pendapatan petani tersebut relatif rendah karena sekitar 50% produksi kakao hilang akibat serangan hama PBK. Serangan hama PBK menyebabkan produksi kebun kakao petani hilang rata-rata sebesar 613,26 kg atau senilai Rp 7,51 juta/kk/tahun. Seandainya kehilangan produksi tersebut dapat

154 diselamatkan dan pendapatan dari sumber pendapatan lainnya tetap, maka pendapatan petani rata-rata mencapai Rp 15,78 juta/kk/tahun. 7.2.2. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Perekonomian Regional Serangan hama PBK teridentifikasi mulai menyerang perkebunan kakao Sulawesi Selatan pada tahun 1995. Serangan hama PBK tersebut menyebar dengan cepat, sehingga dalam waktu singkat hampir seluruh perkebunan kakao Sulawesi Selatan terserang hama PBK dan produktivitas perkebunan kakao petani terus menurun. Penurunan produktivitas perkebunan kakao akibat serangan hama PBK akhir-akhir ini semakin tajam. Pada periode 2003-2005 produktivitas rata-rata perkebunan kakao Sulawesi Selatan mengalami penurunan sebesar 29,61% (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004a dan 2006). Berdasarkan hasil wawancara dengan petani kakao dan data statistik dari Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan dapat disusun suatu skenario dampak serangan hama PBK terhadap pangsa kakao dalam menghasilkan output maupun PDRB. Pada kondisi serangan hama PBK kurang terkendali, produksi kakao Sulawesi Selatan diskenariokan turun 25%, sedangkan untuk serangan hama PBK tidak terkendali diskenariokan produksi kakao turun 50% dan 75%. Berdasarkan skenario tersebut dengan menggunakan Tabel Input Output yang telah dikoreksi dengan biaya eksternalitas diperoleh hasil simulasi sebagai berikut. 1. Pada kondisi serangan hama PBK yang kurang terkendali akan terjadi penurunan produksi dan nilai output kakao sebesar 25% dari Rp 2,303 triliun menjadi Rp 1,727 triliun. Penurunan output tersebut berdampak langsung pada penurunan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor ekonomi kakao dari Rp 1,952 triliun menjadi Rp 1,377 triliun atau turun 29,44%. Penurunan output dan PDRB sektor ekonomi kakao tersebut menyebabkan terjadinya penurunan output total perekonomian regional Sulawesi Selatan sebesar 0,85% dan PDRB turun sebesar 1,37%. Peringkat kakao dalam menghasilkan output tidak mengalami perubahan pada posisi 12, sedangkan peringkat kakao dalam menghasilkan PDRB turun dari posisi 10 ke posisi 12.

155 2. Apabila serangan hama PBK lebih ganas lagi dan tidak bisa dikendalikan, maka penurunan produksi kakao akan lebih tajam lagi yaitu antara 50% sampai dengan 75%. Pada kondisi penurunan produksi 50%, menyebabkan nilai ouput kakao turun dari Rp 2,303 triliun menjadi Rp 1,1515 triliun dan PDRB kakao turun dari Rp 1,952 triliun menjadi Rp 802,79 milyar atau turun 58,88%. Penurunan produksi perkebunan kakao sebesar 50% tersebut menyebabkan nilai output perekonomian regional Sulawesi Selatan turun sebesar 1,69% dan PDRB turun sebesar 2,74%. Peringkat kakao dalam menghasilkan output turun dari posisi 12 ke posisi 15 dan peringkat kakao dalam menghasilkan PDRB turun dari posisi 10 ke posisi 15. 3. Lebih lanjut jika serangan hama PBK berdampak pada penurunan produksi hingga 75%, maka nilai ouput kakao turun dari Rp 2,303 triliun menjadi Rp 575,65 milyar. Penurunan nilai output tersebut akan berdampak langsung pada penurunan PDRB dari Rp 1,952 triliun menjadi Rp 228,1 milyar atau turun 88,31%. Penurunan produksi perkebunan kakao sebesar 75% tersebut menyebabkan nilai output perekonomian regional Sulawesi Selatan turun sebesar 2,54% dan PDRB turun sebesar 4,11%. Peran kakao dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan akan merosot tajam dari peringkat 12 penghasil output menjadi peringkat 20 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis. Demikian juga perannya dalam menghasilkan PDRB, peringkat sektor ekonomi kakao turun dari posisi 10 ke posisi 22 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis dan peran kakao terhadap PDRB Sulawesi Selatan tinggal hanya sebesar 0,54%. Hasil simulasi tersebut di atas menunjukkan bahwa serangan hama PBK yang sangat berat dan menimbulkan penurunan produksi kakao hingga 75% akan menyebabkan sektor ekonomi kakao kehilangan perannya dalam menghasilkan PDRB Sulawesi Selatan. Sektor ekonomi kakao hanya memberikan sumbangan sebesar 0,54% PDRB dan berada pada posisi 22 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis.

156 7.2.3. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Biaya Eksternalitas Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hama PBK telah menimbulkan kerugian bagi petani dan kerugian yang terus menerus menyebabkan kemampuan petani untuk memelihara kebun kakaonya menurun. Akibatnya perkebunan kakao petani menjadi terlantar dan rusak. Kerusakan perkebunan kakao petani tersebut dapat menyebabkan peningkatan erosi lahan, sehingga menimbulkan peningkatan biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao. Peningkatan biaya eksternalitas akibat peningkatan erosi lahan bisa mencapai Rp 699.138/ha/tahun. Nilai peningkatan biaya eksternalitas tersebut relatif kecil dibandingkan dengan nilai kerugian akibat langsung dari serangan hama PBK yang besarnya rata-rata mencapai Rp 5,3 juta/ha/tahun. Namun peningkatan biaya eksternalitas tersebut perlu diwaspadai karena biaya eksternalitas akibat erosi lahan bersifat akumulatif dengan berbagai dampak turunannya seperti makin meluasnya lahan kritis dan meningkatnya bahaya banjir. Permasalahan lain yang terkait dengan serangan hama PBK adalah adanya upaya petani untuk memenuhi permintaan kakao dunia yang terus meningkat dengan mengembangkan perkebunan kakao ke daerah yang terpencil atau kawasan hutan guna menghindari serangan hama PBK. Upaya petani tersebut mempercepat alih fungsi lahan hutan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Sementara itu, hasilnya hanya dapat dinikmati oleh petani dalam beberapa musim panen, kemudian hama PBK juga menyerang perkebunan kakao tersebut dan menimbulkan kerugian sama seperti perkebunan kakao lainnya. Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa serangan hama PBK tidak hanya menimbulan kerugian ekonomi bagi petani maupun perekonomian regional, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga memperbesar biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao. Kerusakan lingkungan yang terjadi tidak terbatas hanya pada kerusakan kebun yang telah ada, tetapi juga menimbulkan kerusakan pada kawasan hutan akibat adanya alih fungsi lahan hutan ke perkebunan kakao.

157 Mengingat biaya investasi yang telah ditanamkan oleh petani untuk membangun perkebunan kakao cukup besar dan kakao merupakan sumber utama pendapatan petani, maka upaya pengendalian serangan hama PBK merupakan langkah yang sangat strategis. Pengendalian hama PBK akan menyelamatkan perkebunan kakao dari kehancuran yang berarti akan menyelamatkan investasi yang sudah ditanamkan oleh petani sekaligus meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan menjaga kelestarian sumberdaya alam khususnya kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan. Oleh karena itu berbagai keterbatasan dan kendala yang dihadapi oleh petani perlu segera diatasi dan uluran tangan pemerintah daerah sangat dibutuhkan oleh petani, terutama membantu petani dalam pengendalian hama PBK dan pendanaan untuk merehabilitasi perkebunan kakao petani yang rusak. Sehubungan dengan itu, pemerintah daerah diharapkan dapat menggerakkan program pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh serta memfasilitasi agar program revitalisasi perkebunan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dapat terlaksana di daerah ini. Sebagai bahan masukan, berikut ini akan disajikan hasil kajian untuk mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan analisis prospektif untuk memberikan arahan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan.