BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB I PENDAHULUAN. Paramita, 1992), h ), h. 2011

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB III KHUNTSA MUSYKIL MENURUT IMAM SYAFI I

BAB V PENUTUP. 1. Penetapan hak waris anak dalam kandungan menurut mazhab Syafi i adalah. diperkirakan satu saja, lebih dari itu adalah langka.

BAB I PENDAHULUAN. Mawaris secara etimologi adalah bentuk jama dari kata miras artinya

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Islam merupakan agama samawi yang diturunkan oleh Allah SWT yang

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB II HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM DAN PERMASALAHAN KHUNTSA MUSYKIL

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. Islam ini mendapat perhatian besar karena pembagian warisan sering

BAB I PENDAHULUAN. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan,

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria atau seorang wanita, rakyat kecil atau pejabat tinggi, bahkan penguasa suatu

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB II KERJASAMA USAHA MENURUT PRESPEKTIF FIQH MUAMALAH. Secara bahasa al-syirkah berarti al-ikhtilath (bercampur), yakni

BAB I PENDAHULUAN. waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni: 3

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

KEDUDUKAN ORANG YANG MEMPUNYAI KELAMIN (KHUNSA) DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SELURUH HARTA KEPADA ANAK ANGKAT DI DESA JOGOLOYO KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

BAB IV ANALISIS DATA

BAB I PENDAHULUAN. harta yang banyak dan sebagian lagi ada yang sebaliknya. Setelah tiba. peristiwa hukum yang lazim disebut dengan kematian.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

B A B I P E N D A H U L U A N. Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA. wawancara kepada para responden dan informan, maka diperoleh 4 (empat) kasus

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu-Ilmu Syari ah

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG DALAM BENTUK UANG DAN PUPUK DI DESA BRUMBUN KECAMATAN WUNGU KABUPATEN MADIUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALIH FUNGSI WAKAF PRODUKTIF KEBUN APEL DI DESA ANDONOSARI KECAMATAN TUTUR KABUPATEN PASURUAN

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

KAIDAH FIQHIYAH. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan

BAB IV HAK WARIS ANAK DALAM KANDUNGAN PANDANGAN MAZHAB SYAFI I DAN HANAFI. perempuan membawa beban di punggung atau di atas kepalanya, perempuan itu

BAB I PENDAHULUAN. orang lain. Dan dengan meninggalnya seseorang tersebut, maka terjadi proses

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Ada laki-laki, ada pula

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI NASABAH TENTANG APLIKASI MURA<BAH}AH DI BMS FAKULTAS SYARIAH

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PEMBIAYAAN MURA<BAH{AH DI BMT MADANI TAMAN SEPANJANG SIDOARJO

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Pendapat Imam Al-Sarkhasi (mazhab Hanafiyyah) tentang Istibdal harta

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

KELOMPOK 1 : AHMAD AHMAD FUAD HASAN DEDDY SHOLIHIN

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS JUAL BELI MESIN RUSAK DENGAN SISTEM BORONGAN DI PASAR LOAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik yang berhubungan dengan Allah, maupun yang berhubungan

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

MAD{IAH ISTRI AKIBAT PERCERAIAN DI KELURAHAN SEMOLOWARU

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KENAIKAN DENGAN SISTEM BON DI WARKOP CAHYO JAGIR SURABAYA

WARIS ISLAM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB IV YANG BERHUTANG. dibedakan berdasarkan waktu dan tempat. Fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

HAK WARIS DZAWIL ARHAM

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-saran

BAB II PEMBAHASAN TENTANG MASLAHAH

secara tunai (murabahah naqdan), melainkan jenis yang

ORANG HILANG (MAFQUD) (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/2014/PA.Btl)

BAB IV ANALISIS TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI HASIL BUMI DENGAN SISTEM PANJAR DI DESA JENARSARI GEMUH KENDAL

Tanya Jawab Edisi 3: Warisan Anak Perempuan: Syari'at "Satu Banding Satu"?

BAB I PENDAHULUAN. tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang ditentukan 1. Ramadhan yang disebut juga dengan istilah zakat fitrah 2.

DAFTAR PUSTAKA. Al Indunisi, Ahmad Nahrawi Abdussalam, 2008, Ensiklopedi Imam Syafi i, PT.Mizan Publika, Jakarta Selatan.

BAB IV PEMERATAAN HARTA WARISAN DI DESA BALONGWONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

dengan amanat pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan tersebut menyatakan bahwa

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Segala puji bagi Allah Swt. yang mengatur dan memelihara segala sesuatu yang

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan ini disebut sebagai muamalah. Muamalah ialah hubungan antar

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG IMPLIKASI TEKNOLOGI USG TERHADAP IDDAH

BAB IV ANALISIS TERHADAP HUKUM JUAL BELI CABE TANPA KESEPAKATAN HARGA

BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya. diliputi rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga.

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL Penulis telah memaparkan pada bab sebelumnya tentang pusaka (waris), baik mengenai rukun, syarat, penghalang dalam kewarisan dan aspek-aspek yang ada kaitannya dengan kewarisan serta pendapat para ulama mengenai waris khuntsa musykil, khususnya mengenai bagaimana pendapat imam Syafi i mengenai status waris khuntsa musykil, selanjutnya pada bab ini penulis akan memaparkan analisis terhadap pendapat imam Syafi i mengenai status waris khuntsa musykil. Pada bab sebelumnya yaitu pada bab III penulis telah menjelaskan bagaimana pendapat imam Syafi i mengenai status waris khuntsa musykil. para ulama telah sepakat bahwa dalam menentukan status waris khuntsa musykil jika dimungkinkan yaitu dengan cara mencari kejelasan tentang status jenis kelaminnya. Meskipun khuntsa memiliki dua alat kelamin namun hukum yang diberlakukan padanya hanya satu yaitu laki-laki atau perempuan. Kepastian tersebut dapat diketahui dengan memperhatikan beberapa ciri-ciri. yakni dengan melihat keluarnya air seni pada waktu kecil dan melihat kepada ciriciri dewasa yaitu kemana khuntsa ini condong. 1 Pada saat khuntsa dapat diketahui status hukumnya apakah ia berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, maka pada saat itu juga berlaku baginya hukum laki-laki atau perempuan dalam segala hal, termasuk mengenai bagaimana status kewarisannya. khuntsa dalam keadaan seperti ini disebut dengan khuntsa ghairu musykil (khuntsa yang dapat diketahui kejelasan status jenis kelaminnya), tetapi jika setelah diteliti ciri-ciri tersebut masih meragukan maka khuntsa dalam keadaan ini disebut dengan khuntsa musykil 1 Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi, AL- Ahwi Al-kabir, juz VIII (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994), h. 168

2 (khuntsa yang diragukan apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan). Dalam menentukan bagian warisan khuntsa musykil, para ulama sepakat bahwa memperkirakan khuntsa musykil sebagai laki-laki dan perempuan, tetapi dalam menentukan berapa bagian yang harus diterima oleh khuntsa musykil para ulama berselisih dalam berpendapat. Dalam beberapa pendapat fuqoha, imam mazhab lainnya menyebutkan beberapa pendapat yang berbeda dengan pendapat imam Syafi i. Pertama, Mazhab Ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa khuntsa musykil mendapat bagian yang paling sedikit dari dua kemungkinan bagiannya, yaitu dari haknya sebagai laki-laki kalau ia dipandang sebagai laki-laki, atau dari haknya sebagai perempuan apabila ia dipandang sebagai perempuan. Dimana ada bagian yang lebih sedikit (dari dua kemungkinan sebagai laki-laki dan sebagai perempuan), itulah yang diberikan kepadanya. 2 Maksud dari pendapat ini adalah setelah khuntsa diperkirakan sebagai laki-laki dan diperkirakan sebagai perempuan lalu khuntsa diberikan bagian terkecil dari dua kemungkinan itu, pendapat ini sama dengan pendapat imam Syafi i. Berikut contoh penyelesaian pembagian waris menurut pendapat imam Hanafi ini: Apabila seorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari, bapak, anak perempuan, anak khuntsa musykil dan ibu. Harta warisannya sejumlah,- bagian masing-masing adalah: Tabel 6 Ahli waris Bagian Perkiraan khuntsa laki-laki Asal Harta masalah 6 warisan,- Bapak 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x Bagian masingmasing 6.000.000 2 Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, Alih Bahasa M. Samhuji Yahya (Bandung: CV Diponegoro, 1995), h. 221

3 Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x Anak Ashabah 4 4/6 x pr bil ghairi Anak lk2 6.000.000 24.000.000 Jumlah Khuntsa musykil yang di perkirakan laki-laki menerima bagian dua kali bagian perempuan, atau 2/3 x 24.000.000,-= 16.000.000,- Dan anak perempuan menerima bagian 1/3 x 24.000.000,- = 8.000.000,- Tabel 7 Perkiraan khuntsa perempuan Ahli waris Bagian Bapak 1/6 + Ashabah bin nafsi Asal masalah 6 Harta warisan,- 1/6 x 6 = 1 1/6 x Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x 2 Anak 2/3 2/3 x 6 = 4 4/6 x pr Bagian masingmasing 6.000.000 6.000.000 24.000.000 Jumlah Khuntsa dalam perkiraan perempuan menerima bagian separoh atau ½ x 24.000.000,- = 12.000.000,- Jadi bagian terkecil dari dua perkiraan diatas adalah bagian perempuan 12.000.000,-. Masing-masing harta yang diperoleh oleh ahli waris adalah: Bapak memperoleh 6.000.000,- Ibu memperoleh 6.000.000,- Anak pr memperoleh 12.000.000,- Anak khuntsa memperoleh 12.000.000,- +,-

4 Jika dilihat penyelesaian kasus pembagian waris khuntsa musykil menurut pendapat imam Hanafi ini tidak menjadi persoalan jika memang ketika khuntsa jelas mengenai status jenis kelaminnya adalah seorang anak perempuan karena bagian anak khuntsa dan perempuan samasama memperoleh 12,000.000,- dari harta keseluruhan. Timbul pertanyaan bagaimana jika kejelasan status jenis kelamin khuntsa adalah seorang laki-laki, karena jika khuntsa berjenis kelamin laki-laki semestinya ia memperoleh 16.000.000,- tentu dalam hal ini khuntsa akan dirugikan karena tidak ada sisa harta yang ditangguhkan (disimpan), harta yang semestinya ditangguhkan diberikan kepada ahli waris anak perempuan yang semestinya anak perempuan tersebut hanya memperoleh 8.000.000,- jika khuntsa adalah seorang laki-laki. Kedua, Mazhab Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khuntsa diberi bagian sebesar pertengahan antara bagian lakilaki dan bagian perempuan. Ini berarti bahwa bagian laki-laki dijumlahkan dengan bagian perempuan, lalu dibagi dua, hasilnya merupakan bagian khuntsa. Dan dalam pendapat ini tidak ada sisa harta yang ditangguhkan (disimpan). 3 Dengan demikian apabila pendapat kedua ini diselesaikan menurut contoh kasus pada pendapat pertama penyelesaiannya adalah sebagai berikut: Tabel 8 Penyelesaian kewarisan khuntsa musykil menurut pendapat imam Maliki Ahli waris Pembagian Bagian masingmasing bapak 6.000.000 + 6.000.000 6.000.000 2 Ibu 6.000.000 + 6.000.000 2 6.000.000 3 Ibid

5 Anak pr 8.000.000 + 12.000.000 2 Anak khuntsa 16.000.000 + 12.000.000 2 10.000.000 14.000.000 Jumlah Jadi separoh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan kepada khuntsa musykil dan ahli waris lain. Masing-masing ahli waris memperoleh: Bapak memperoleh 6.000.000,- Ibu memperoleh 6.000.000,- Anak pr memperoleh 10.000.000,- Anak khuntsa 14.000.000,- +,- Dalam penyelesaian kasus pembagian waris menurut pendapat imam Maliki ini, jika dilihat dari perolehan masingmasing ahli waris, terlihat bahwa anak perempuan dan anak khuntsa sangat dimungkinkan untuk mengalami kerugian satu sama lain. Mengapa demikian karena jika kejelesan jenis kelamin khuntsa adalah seorang laki-laki, sudah pasti ia akan dirugikan karena jika khuntsa berjenis kelamin laki-laki semestinya anak khuntsa memperoleh 16.000.000,- dari harta warisan, dan anak perempuan hanya memperoleh 8.000.000,- bukan memperoleh 10.000.000,- karena 2.000.000,- dari harta bagian anak perempuan tersebut semestinya menjadi milik dari anak khuntsa, jika kejelasan status jenis kelamin khuntsa tersebut adalah laki-laki. Begitu juga sebaliknya jika kejelasan jenis kelamin khuntsa adalah seorang perempuan, dalam hal ini anak perempuanlah yang akan dirugikan, karena jika anak khuntsa berjenis kelamin kelamin perempuan, anak perempuan tersebut seharusnya mendapat bagian 12.000.000,- bukan 10.000.000,- dan anak khuntsa tidak memperoleh 14.000.000, melainkan hanya memperoleh 12.000.000,-.

6 Menurut hemat penulis penyelesaian kewarisan anak khuntsa musykil menurut pendapat imam Maliki ini belumlah tuntas, karena jika dilihat contoh penyelesaian kasus diatas sangat dimungkinkan ahli waris dan anak khuntsa yang masih diragukan jenis kelaminnya dirugikan dalam peraktek pembagian warisnya.. Ketiga, Imam Syafi i berpendapat, bahwa masingmasing ahli waris dan khuntsa diberi bagian yang minimal sesuai dengan status mereka yang lebih diyakini. Apabila statusnya sudah jelas (khuntsa), maka sisanya diserahkan pula. Pendapat inilah yang mu tamad (berdasar) menurut ulama Syafi iyah. 4 Adapun alasan imam Syafi i memberikan bagian terkecil kepada khuntsa musykil dan ahli waris lainnya ada dua sebab yaitu sebagai berikut: 1. Seseorang yang mewarisi tidak akan mendapatkan haknya kecuali dengan ketentuan sesungguhnya, tidak dengan keragu-raguan. 2. Pada dasarnya semua hukum khuntsa musykil tidak dapat dijalankan kecuali dengan yakin, begitu pula mengenai hukum waris haruslah dengan yakin. Lebih jelasnya pendapat imam Syafi i mengenai kewarisan khuntsa musykil adalah memperkirakan khuntsa musykil tersebut dengan berbagai kemungkinan yaitu jika khuntsa tersebut diperlakukan sebagai perempuan akan mendapat bagian terkecil, maka diperlakukan ia sebagai perempuan. Dan jika khuntsa tersebut diperlakukan sebagai laki-laki akan mendapat bagian terkecil, maka diperlakukan ia sebagai laki-laki. Berikut ini penyelesaian pendapat ketiga jika diselesaikan menurut contoh kasus pada pendapat pertama: perolehan masing-masing ahli waris menurut pendapat imam Syafi i: Bapak menerima 6.000.000,- Ibu menerima 6.000.000,- Anak pr menerima 8.000.000,- 4 ibid

7 Anak khuntsa menerima 12.000.000,- + 32.000.000,- Sisa harta sebesar (,- + 32.000.000,-) = 4.000.000,-. Maka dalam kasus diatas, sisa harta yang berjumlah 4.000.000,- tersebut ditangguhkan (disimpan) sampai khuntsa itu jelas status jenis kelaminnya. Jika mengedepankan keadilan bagi seluruh ahli waris termasuk anak khuntsa musykil. pendapat imam Syafi i inilah yang lebih sesuai dalam pembagian waris anak khuntsa musykil. Mengapa demikian, karena jika sewaktu-waktu kejelasan jenis kelamin anak khuntsa adalah seorang laki-laki maka sisa harta yang ditangguhkan (disimpan) menjadi hak bagiannya (khuntsa yang telah dapat di hukumi sebagai lakilaki) karena jika anak khuntsa menjadi laki-laki maka ia berhak memperoleh bagian 16.000.000,-. Begitu juga sebaliknya jika sewaktu-waktu kejelasan jenis kelamin anak khuntsa adalah seorang perempuan maka sisa harta yang ditangguhkan (disimpan) menjadi hak bagi ahli waris anak perempuan karena jika anak khuntsa menjadi perempuan maka anak perempuan berhak memperoleh bagian 12.000.000,-, Keempat, Mazhab Hambali mempunyai dua pendapat mengenai kondisi al-khuntsa. Pertama, kondisi di mana kejelasan status al-khuntsa masih bisa diharapkan kondisi ini terjadi ketika al-khuntsa masih kecil. Oleh karena itu, dia dan ahli waris lainnya diberikan bagian yang paling kecil, dan sisa harta waris ditangguhkan pembagiannya sampai status al-khuntsa jelas. Jika statusnya sudah jelas dan ia berhak mendapatkan sisa, maka sisa itu diberikan kepadanya. Namun jika tidak, harta yang ditangguhkan itu diberikan kepada ahli waris yang lainnya. 5 Pendapat pertama ini mengikuti pendapat dari imam Syafi i. Kedua, kondisi di mana kejelasan status al-khuntsa tidak bisa diharapkan lagi, 5 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Al-Dizar dan Fathur rahman, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004, h.395

8 misalnya karena ia meninggal sewaktu kecil atau sudah baligh, namun tidak terlihat ciri-ciri seorang laki-laki atau perempuan. Dalam keadaan ini, dia diberi setengah dari bagiannya, jika dia dianggap laki-laki atau perempuan. 6 Pendapat kedua ini mengikuti pendapat dari imam Maliki. Melihat pemaparan diatas penulis menganggap bahwa pendapat imam Syafi i ini lebih relevan untuk menjadi rujukan dimasa sekarang, memberikan bagian terkecil kepada khuntsa musykil sesuai dengan kaidah ushul fiqh menetapkan suatu hukum haruslah dengan keyakinan tanpa keraguraguan, karena pada dasarnya kehati-hatian itu lebih meyakinkan demi kemaslahatan. Dan dengan adanya sisa harta yang ditangguhkan (disimpan) hal ini dapat menghindari kerugian dari pihak si khuntsa musykil jika sewaktu-waktu suatu saat ternyata khuntsa musykil berstatus tidak sama dengan perumpaman (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) seperti pada saat pembagian waris terjadi. Mengingat bahwa agama Islam menjunjung tinggi nilai keadilan bagi setiap umatnya, hal ini lebih mencerminkan rasa keadilan tanpa saling merugikan pihak ahli waris manapun. Merujuk kependapat imam fiqh lainnya penulis kurang sependapat karena imam fiqh lainnya berpendapat untuk membagi-bagikan harta kepada seluruh ahli waris tanpa adanya sisa harta yang ditangguhkan (disimpan), bagaimana jika suatu saat ternyata khuntsa musykil berstatus tidak sama dengan perumpaman (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) seperti pada saat pembagian waris terjadi, karena pada dasarnya khuntsa musykil adalah seseorang yang masih diragukan jenis kelaminnya apakah sebagai laki-laki atau perempuan. Maka bagaimana imam fiqh lainnya mengatur pembagian warisannya?, sedangkan harta warisan sudah dibagikan kepada seluruh ahli waris secara keseluruhan. Dalam hal ini ahli waris khuntsa musykil yang kemungkinan akan mengalami kerugian. 6 Ibid

9 Selebihnya daripada itu. Sehubungan dengan kemajuan teknologi kedokteran sekarang ini, masalah khuntsa mendapat tantangan baru. Beberapa kasus telah muncul ke permukaan. Seorang banci yang secara fisik laki-laki dapat menjalani operasi ganti kelamin perempuan, dan mendapat legalisasi dari pengadilan negeri. Persoalannya adalah, apakah dengan keputusan deklaratoir dari pengadilan negeri tersebut, identik dengan legalisasi agama. Sementara secara sosiologis, masyarakat mentolerir adanya perubahan tersebut. Mencari keabsahan dalam masalah ini tampaknya tidak mudah, terlebih lagi menyangkut usaha-usaha mengubah ciptaan Allah Swt. Kecendrungan yang ada selama ini menunjukkan bahwa usaha tersebut tidak diperkenankan. Apabila kita konsisten kepada hadist Nabi Saw. Seperti apa yang telah dipaparkan diatas, berarti bukan hasil operasi yang dipedomani dalam memberikan bagian waris khuntsa, akan tetapi kelamin pertama yang dilalui buang air kecil, yang dipertimbangkan sebagai dasar hukum dalam menentukan status hukumnya, apakah sebagai ahli waris atau sebagai muwarist. 7 1993), h. 176 7 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

10