Tanya Jawab Edisi 3: Warisan Anak Perempuan: Syari'at "Satu Banding Satu"?

Transkripsi

1 Pertanyaan: Saya, Raditya (36 tahun), ingin menanyakan tentang sebuah masalah cukup pelik dalam keluarga kami. Ayah saya sakit-sakitan dan berniat membuat surat waris bagi anak-anaknya. Kami bersaudara 3 orang, 2 laki-laki satu perempuan. Semuanya sudah menikah. Setahu saya, dalam hukum Islam, bagian anak perempuan setengah dari bagian laki-laki. Tapi ayah sepertinya ingin melebihkan kakak perempuan saya meski kondisi ekonomi keluarganya tak jauh berbeda dengan kami. Suami kakak saya terkenal pelit dan sangat membatasi pemberian pada istrinya yang hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Kakak saya juga tertekan dengan sikap suaminya yang kasar padanya. Saya tak keberatan dengan alasan ayah, tapi tak begitu halnya dengan kakak laki-laki saya. Menurutnya, bagian laki-laki tetap harus lebih besar dari perempuan karena perempuan di nafkahi oleh suaminya. Ia juga tak percaya kalau kakak saya akan lebih mandiri kalau punya harta sendiri. Kalau pun ia mendapat bagian besar dari warisan bapak, harta itu akan menjadi harta bersama mereka. Dan karena suaminya adalah kepala keluarga, harta itu toh akan dikendalikan juga oleh suaminya. Pertanyaan saya ; 1. Bagaimana caranya ayah saya bisa memberikan bagian lebih bagi kakak perempuan saya tanpa menyalahi hukum Islam? 2. Apakah harta perempuan harus dilebur dengan harta suaminya menjadi harta bersama? Tidak bisakan perempuan yang sudah menikah punya harta sendiri untuk berjaga-jaga bila ada hal yang tak diinginkan di masa yang akan datang? Raditya, Pondok Gede. Jawaban: Tujuan utama perkawinan dalam Islam adalah membentuk keluarga yang penuh dengan kasih (mawaddah) dan sayang (rahmat) (QS, 30:21), sehingga setiap pasangan (suami dan isteri) memiliki kewajiban (sekaligus hak) yang sama untuk mewujudkan kasih sayang dalam kehidupan rumah 1 / 5

2 tangga masing-masing. Sementara prinsip relasi kehidupan pasangan suami isteri adalah mu'asyarah bi al-ma'ruf (pergaulan yang baik untuk kepentingan mereka berdua, QS, 5:19), yang dalam tingkat impelementatif harus dibicarakan bersama secara demokratis (QS, 3: 159 dan 42:38), sehingga tidak terjadi yang satu menindas yang lain, atau yang satu menzhalimi yang lain. Tetapi kondisi perempuan (sebagai isteri) dalam realitas sosial masyarakat kita, seperti yang dialami oleh kakak perempuan saudara, A, yang masih rentan terhadap berbagai tindak kekerasan. Perempuan (sebagai isteri dan ibu anak-anak) masih sering dijadikan perahan, dengan beban kerja rumah tangga yang berlebihan tanpa perhatian terhadap hak-haknya. Ketika ada salah satu anggota keluarga yang ikut prihatin dan ingin membela, biasanya akan dihadapkan dengan ajaran-ajaran, dogma-dogma, adat istiadat serta pandangan masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas nomor dua. sapi ada A adalah orang yang tertindas, karena harus menerima beban pekerjaan yang cukup berat tanpa memperoleh hak-haknya yang semestinya. Dalam Islam, pekerjaan rumah tangga itu bukan kewajiban isteri, tetapi kewajiban suami yang termasuk dalam nafkah. Jika perempuan bersedia melakukan pekerjaan-pekerjaan itu, semuanya semata wujud kasih sayang terhadap suami yang semestinya dibalas oleh suami dengan perwujudan kasih sayang yang setimpal. Kembali pada pertanyaan saudara tentang bagian waris anak perempuan dalam hukum Islam memang separoh banding satu bagian waris anak laki-laki (QS, 4:11). Hal itu juga termaktub dalam dalam Kompilasi Hukum Islam, Buku II, Bab III, pasal 176. Sebagian orang menganggap hal ini sebagai suatu yang final dan tidak bisa berubah. Tapi beberapa ulama kontemporer mencoba melakukan penafsiran ulang terhadap ketentuan hukum ini dengan berbagai pendekatan. Semua itu bermula dari pertanyaan kritis tentang realitas kehidupan perempuan, dimana banyak anak perempuan yang tidak memperoleh kesempatan belajar seperti anak laki-laki. Sehingga mereka tidak memiliki kesiapan dan kemandirian yang cukup untuk mengarungi kehidupan di 2 / 5

3 masa depan. Padahal juga sering terpaksa bekerja laki-laki. Artinya, kalau diperoleh laki-laki, maka ia demikian ini dirasakan saudara. Sehingga tidak ketika meninggalkan anak waris 'satu banding dua'. hukum yang lebih adil dan aturan syariat. dalam kehidupan rumah tangganya, perempuan menanggung beban keluarga seperti halnya perempuan memperoleh separoh dari yang adalah kezaliman di atas kezaliman. Kondisi oleh banyak orang tua, termasuk orang tua sedikit para orang tua yang merasa khawatir perempuan dengan formula pembagian harta Karenanya, mereka berusaha mencari formula tidak diskriminatif, tetapi juga tidak melanggar Biasanya para ulama fiqh tidak mau berhadapan dengan ketentuan hukum 'satu banding dua'. Karena itu, kita juga tidak akan menyentuh ketentuan ini. Ada alternatif lain yang ditawarkan oleh para ulama dan bisa diterima sesuai dengan aturan syariat. Pertama, dengan wasiat, artinya orang tua bisa mewasiatkan sebagian hartanya untuk kepentingan anak perempuan, agar ia mendapat bagian yang sama (atau lebih) dari bagian anak laki-laki. Wasiat kepada pewaris (orang tua kepada anak perempuan misalnya) seperti ini, dibolehkan oleh mayoritas ulama fiqh ketika para pewaris lain memberikan restu. Ketika tidak ada restu dari mereka, maka wasiat menjadi batal. Dasarnya, hadis sahih Bukhari (Wasiat tidak boleh diberikan kepada pewaris, kecuali atas restu para pewaris lain). Tetapi mazhab Syi'ah, baik Imamiyyah, Zaidiyyah maupun Ismai'iliyyah tetap mensahkan wasiat kepada pewaris, sekalipun pewaris lain tidak merestui, sesuai dengan ayat Qur'an surat al-baqarah, QS 2: 180 (lihat al-zuhaili; al-fiqh al-islami wa adillatuhu, juz viii, halaman 41-44). Kedua, dengan pendekatan hibah, yaitu pemberian yang dilakukan semasa orang tua (sebagai pemberi) masih hidup. Hal ini sering dilakukan oleh para orang tua di Indonesia, dengan melakukan pembagian harta secara sama rata terhadap anak perempuan dan laki-laki. Hibah ini dibolehkan, bahkan dianjurkan. Pandangan Abu Yusuf, Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi'i menganjurkan (sunnah) hibah secara sama rata antara anak laki-laki dan perempuan, tidak 'dua banding satu' seperti waris. Bahkan dalam pandangan Imam Tsawri dan Thawus 3 / 5

4 penyama rataan ini hukumnya wajib. Tidak seperti Mazhab Hanbali yang mengharuskan hibah seperti waris, artinya tetap 'satu bagian' untuk anak perempuan berbanding 'dua bagian' untuk anak laki-laki. (Lihat al-fiqh al-islami wa adillatuhu, juz v, halaman 34-36). Dengan demikian, upaya untuk menyamakan bagian (waris) anak perempuan dengan anak laki-laki dibenarkan dan sah menurut syariat. Sehingga formula 'satu banding dua' bukanlah satu-satunya pilihan hukum, ada formula 'satu banding satu' yang juga memiliki validasi yang sama. Artinya, ada jalan yang dibenarkan oleh aturan Islam bagi kakak perempuan saudara untuk mendapatkan bagian harta yang sama (bahkan lebih) dengan bagian saudara laki-lakinya. Pertama, melalui formula wasiat dengan restu saudara tersebut (pandangan mayoritas ulama), atau tanpa restunya (pandangan fiqh syi'ah). Kedua, dengan pemerataan bagian yang dilakukan semasa orang tua masa hidup, yaitu yang dikenal dengan istilih hibah. Adapun mengenai peleburan harta isteri ke dalam harta suami, sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam, kecuali atas inisiatif, kemauan dan kerelaan dari pihak isteri sendiri. Tidak satupun pandangan ulama fiqh yang mengatakan demikian. Bahkan dalam surat al-nisa, 4:21 dan 22, Allah mencap perilaku suami yang mengambil sebagian harta yang telah ia berikan kepada dan menjadi hak isteri sebagai kecurangan dan dosa yang nyata (buhtanan wa itsman adziman). Apalagi harta itu adalah hak milik pribadi isteri dan bukan dari pemberian suami. Dalam Komplisi Hukum Islam, Buku I, Bab XIII, pasal 86, ayat 1 dan 2, dinyatakan "Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan", "Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya". Dalam pasal 87, ayat 2: "Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh atau yang lainnya". Sedangkan apa yang dikenal dengan istilah 'harta bersama' adalah harta yang dihasilkan secara bersama antara suami dan isteri dalam menjalani kebersamaan perkawinan, yang diatur sesuai dengan kesepakatan dan kerelaan bersama. Bukan peleburan secara sepihak, dari pihak suami 4 / 5

5 atau isteri. Karena dalam Islam, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai hak penuh untuk memiliki harta dan melakukan perbuatan hukum atasnya, tanpa ada keharusan untuk tunduk kepada intervensi siapapun Kecuali tentunya tunduk pada aturan syariat. Wallahu a'lam.?? 5 / 5