TILL DEATH DO US PART Adit. Bening Anggadita. Nama yang aneh kan? ga usah permasalahkan nama, besok juga kalau mau ganti bisa kok. Ada yang menarik dari dirinya. Wajah dan postur tubuhnya biasa-biasa saja. Jika dibandingkan dengan Ihsan, lebih cool Ihsan. Tapi dia itu misterius. Cowok itu memiliki kelebihan di kemisteriusannya. Dan dia memiliki kemisteriusan yang berbeda. Kemisteriusan yang jenius. Hedeh. Ngomong apa coba. Di kamar, Sabrina dan Ihsan sudah memasang wajah siap mewawancarai. Harus jawab apa? Jawab jika aku tidak kenal, pasti tidak percaya. Jawab gebetan? Pasti semakin menjadi dan siap mendengar cie-cie yang direkam ulang.
Namanya siapa? tanya Sabrina. Anak mana? disusul Ihsan. Lumayan juga kok. Kenapa ga cerita sih, Ma? Kan aku bisa catat di bukuku jika Ikma yang cool sudah punya cowok pada hari eh hari apa jadiannya? Belum sempat kujawab Sabrina sudah menyusul dengan pertanyaan. Terserah deh. Aku menjawab singkat lalu merebahkan tubuhku ke kasur dan menutup telingaku dengan bantal. Malam ini di jadwal tertulis sesi latihan persiapan LCC. Terbayang jika nanti ketemu sama cowok kepo, aku pasti kehilangan konsentrasiku. Terus harus bagaimana? Padahal yang paling optimis untuk menang di antara kami adalah aku. Aduh. Sekarang aku harus bisa mengalahkan diriku sendiri sebelum mengalahkan lawanku.
Sabrina berbisik pelan saat tiba-tiba aku berpapasan dengannya tepat di depan pintu kamar kami, cie cie jodoh. Apaan sih? kok aku jadi kikuk gini ya. Mana Sabrina jalannya cepet banget seperti sengaja ninggalin aku lagi. Aduh jika gini terus, bagaimana bisa menang coba. Berjalan dengan cowok kepo saling diam. Jiah. Aku malu banget. Tanpa sengaja aku menginjak tali sepatuku dan mau jatuh. Adit buru-buru menarik tanganku dan sialnya Ihsan yang nyusul dari belakang malah batuk-batuk gaje bukannya membantu. Thx, kataku dengan jantung berdesir tidak menentu saat tangannya meraih tanganku. It s Ok. Adit tersenyum begitu mempesona. Tidak. Aku tidak mau cinlok dengan cowok kepo gaje. Cakep sih cakep, tapi aku ke sini untuk
lomba bukan untuk mencari pacar. Dalam perjalanan berdua saling diam, terasa aneh. Wajahnya tenang banget, kebalikan dengan diriku. Untuk melangkahkan kaki kanan dan tangan kiri malah membuatku bingung menentukan mana kanan dan mana kiri. Belum pernah aku salting seperti ini. Sekali lagi dia tersenyum membuatku harus mengikat tanganku agar tidak salah melangkah dan terlihat lucu. Ok, aku duluan ya, kata Adit seolah tahu dan tidak ingin membuatku lebih salting lagi. Ya. Hanya itu yang keluar dari mulutku. Sesampai di sana, suasana sudah sangat ramai. Ramai yang tidak normal menurutku. Semua orang terlihat panic dan tidak seperti sedang mempersiapkan acara sesi latihan persiapan lomba. Ada apa sih? tanyaku pada Sabrina.
Ada yang terkena serangan jantung, jawab Sabrina membuatku kaget. Innalillahi. Siapa? Katanya sih panitia. Tadi sudah hubungi rumah sakit. Semoga saja tidak terjadi apa-apa ya? Mana Ihsan? Biasa. Tuh langsung mendekat cari info. Eh, cowokmu mana? Adit. Inget ya. Dia bukan cowokku. Namanya Cie biasa aja kali sebut namanya. Ini juga sudah biasa. Kamu saja yang nanggapinya lebay. Hahhaa. Biasa aja kali ga usah pakai bleyer. Sabrina kok jadi nyebelin gini ya.
Aku masih belum melihat Adit. Terlalu banyak orang di ruangan ini. beberapa saat kemudian kulihat Adit keluar dari kerumunan dan menghampiriku. Tentu saja Sabrina langsung pamitan. Jika seperti ini terus, bisa-bisa akan terjadi cinlok deh. Hapus, Ikma. Hapus. Fokus saja pada lomba. Untunglah sesi latihan dibatalkan karena panitia yang tadi terkena serangan jantung meninggal dunia. pembicaraan. Kamu darimana? tanyaku bingung memulai Melaksanakan tugasku. Adit menjawab aneh. Melaksanakan tugas gimana? Ya melaksanakan tugasku. Kamu pernah nanya kan, aku mewakili siapa. Mewakili perintah Tuhan. Bingung.
Sini kubisikin. Ngambil nyawa seseorang, kata Adit membuatku sedikit kurang percaya. Ehem.. ehem Ihsan batuk-batuk kecil dari belakang, memberi tanda untuk mengatakan sesuatu saat Adit berbisik padaku. Dipanggil Pak Solikhin, kata Ihsan membuatku tidak bisa mencari tahu lebih detail statement Adit yang tidak masuk akal tadi. Pertama kali bertemu dengan Adit di rumah duka saat takziah ke rumah pacarnya Bu Sinta. Saat itu dia juga bilang sedang melaksanakan tugasnya. Masa iya dia Malaikat Maut? Eh, kenapa lagi, Lu? Mikirin cowokmu itu? tanya Ihsan melihatku melamun. Engga, jawabku singkat. Lu sakit ya? Keringetan gitu, sekali lagi Ihsan menunjuk beberapa keringat dingin yang terlihat jelas di wajahku.
Tolong bilangin Pak Solikhin aku ga enak badan. Mau ke kamar dulu. Buru-buru aku meninggalkan Ihsan dan langsung berjalan menuju kamar. Adit sudah berdiri di depan kamarnya yang kebetulan tepat di depan kamarku. Sepertinya dia sengaja sedang menungguku. Di sampingnya ada rekannya yang melihatku kurang senang, lalu masuk kamarnya. Kakiku mendadak takut untuk mendekat padanya. Dia yang mendekat padaku dan mengajakku duduk di ujung loby. Jantungku berdetak keras antara takut dan tidak menentu. Jika benar dia Malaikat Maut, kok bisa Ihsan dan Sabrina melihatnya. Kontrol jantungmu, Ikma. Waktumu masih lama, kata Adit sukses mendengar detakan jantungku. Kamu siapa? Jangan takut. Aneh saja rasanya melihatmu. Maaf, sebenarnya aku tidak boleh mengatakan ini
padamu. Aku tidak tahu mengapa, irama jantungmu itu indah sekali. Yang terindah dari semua irama jantung yang pernah kudengar. Ingin rasanya selalu mendengarnya tapi aku takut melupakan Tuhanku. Maaf, aku salah merangkai kata ya? Ini bukan salah merangkai katanya, tapi apa mungkin aku yang salah mendengarnya. Untuk ukuran Sang Maut, menurutku terlalu manis. Jika kamu Maut, bagaimana bisa temantemanku bisa melihatmu? Duduklah dulu dan santaikan dirimu. Adit terlihat sangat tenang dan tatapannya langsung menghujam jantungku. Tubuh ini kupinjam saat LCC tahap pertama. Tubuh yang seharusnya sekarang sudah terkubur menjadi tanah. Semacam bertamasya. Harusnya irama itu kuabaikan saja. Tapi siapa yang bisa mengabaikan irama jantung yang selalu bertasbih seperti irama jantungmu, Ikma. Sejak aku meminjam tubuh ini, aku berusaha menemukanmu. Awalnya aku
sempat berpikir jika Tuhan sengaja menghukumku karena bermain-main dengan wewenangku. Senang sekali rasanya saat mendengar irama itu di rumah Novi. Seperti perasaan haus yang begitu kuat dan akhirnya aku bisa meneguk setetes air, dan itu cukup. Aneh ya. Bagi kaum kami, mendengar tasbih seseorang seperti mendapat siraman air. Setiap hari kami bergulat jeritan dan rintihan. Bisakah kamu jelaskan lebih sederhana? Jika boleh aku meminta, aku ingin selalu bersamamu hingga perintah-nya memintaku atasmu, Ikma.