RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 2/PUU-XV/2017 Syarat Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela Bagi Calon Kepala Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 140/PUU-XIII/2015 Hak Konstitusional Untuk Dipilih Dalam Hal Pasangan Calon Berhalangan Tetap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 55/PUU-XV/2017

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 79/PUU-XIII/2015 Ketentuan Tidak Memiliki Konflik Kepentingan Dengan Petahana

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 37/PUU-XIV/2016 Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 128/PUU-XIII/2015 Syarat Calon Kepala Desa dan Perangkat Desa

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 49/PUU-X/2012 Tentang Persetujuan Majelis Pengawas Daerah Terkait Proses Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XIV/2016 Pembatasan Masa Jabatan dan Periodesasi Hakim Pengadilan Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XVI/2018 Kewajiban Pencatatan PKWT ke Intansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 27/PUU-XV/2017 Kewenangan Menteri Keuangan Dalam Menentukan Persyaratan Sebagai Kuasa Wajib Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XVI/2018 Eksistensi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi di Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 73/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 136/PUU-XIII/2015 Pembagian Hak dan Kewenangan Pemerintah Kabupaten Dengan Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

I. PEMOHON Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur yang dalam hal ini di wakili oleh Mahendra Budianta selaku Ketua dan Arifin selaku Sekretaris

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XIII/2015 Surat Ijo Tidak Menjadi Dasar Hak Pemilikan Atas Tanah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 87/PUU-XIV/2016 Pengalihan Pengawasan Ketenagakerjaan dari Pemerintah Kabupaten/ Kota ke Pemerintah Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 385 dan Pasal 423 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XIII/2015 Surat Ijo Tidak Menjadi Dasar Hak Pemilikan Atas Tanah

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 87/PUU-XIII/2015 Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam Bidang Ketenagalistrikan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XIV/2016 Dualisme Penentuan Unsur Pimpinan DPR Provinsi Papua dan Papua Barat

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 20/PUU-XVI/2018 Parliamentary Threshold

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 87/PUU-XIII/2015 Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam Bidang Ketenagalistrikan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

Transkripsi:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan di Sidang I. PEMOHON Ir. Emir Moeis, MSc. Kuasa Hukum: Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Gugum Ridho Putra, SH, MH, Muhammad Dzul Ikram, SH, Advokat pada IHZA & IHZA Law Firm, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 03 Mei 2017. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut UU 8/1981). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945; 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 1

3. Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berbunyi: Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. 5. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut UU 8/1981), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga Negara. ; 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji. 2

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena berlakunya Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana UU 8/1981 yang mana ketentuan tersebut merugikan hak Pemohon untuk dijamin keadilan dan kepastian hukumnya dalam due process of law yakni proses penegakan hukum yang benar dan adil. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU 8/1981 yaitu: 1. Pasal 162 ayat (1): Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan; 2. Pasal 162 ayat (2): Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang; B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum. 2. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa menurut Pemohon, pemberlakuan norma Pasal 162 ayat (1) dan (2) dihubungkan dengan norma Pasal 184 ayat (1) dan norma Pasal 185 ayat (3) adalah rumusan norma yang mengandung ketidakpastian hukum dan keadilan 3

sehingga bertentangan dengan asas due process of law sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Keberadaan norma Pasal 162 ayat (1) dan (2) itu dengan mudah dapat direkayasa oleh penyidik dan penuntut umum, sehingga membuat terdakwa tidak berdaya dalam menghadapi sidang pengadilan yang jauh dari semangat keadilan. Adalah tidak adil jika dalam suatu perkara, semua saksi memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan saksi sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 162 ayat (1) dan (2), namun keterangan itu ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain, telah cukup alasan untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Bahkan sekiranya dilakukan proses pemeriksaan cepat, keterangan seorang saksi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 162 ayat (1) dan (2) itu sudah dapat dijadikan sebagai landasan bagi hakim dalam menjatuhkan vonis bersalah kepada terdakwa; 2. Bahwa norma Pasal 162 ayat (1) dan (2) KUHAP memberikan kesempatan yang sama kepada Jaksa Penuntut Umum dan kepada Terdakwa atau Penasehat Hukumnya dalam melakukan penuntutan dan pembelaan. Terhadap keterangan seorang saksi, keterangan itu haruslah ditanyakan bagaimana pendapat terdakwa atas keterangan itu. Hal ini bisa saja dilakukan, dalam konteks saksi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 162 ayat (1) dan (2) usai JPU membacakan keterangan saksi tersebut. Namun, karena saksi itu tidak hadir, maka tidak ada kesempatan untuk mengkonfrontir keterangan saksi itu dengan saksi yang lain. Padahal langkah untuk mengkonfrontir tersebut sangat penting untuk mengungkapkan kebenaran materiil dalam persidangan. Demikian pula hak JPU, hakim dan Terdakwa atau Kuasa Hukumnya untuk bertanya kepada saksi menjadi hilang karena saksi tidak hadir di persidangan. Padahal hak untuk mengkonfrontir dan hak untuk bertanya kepada saksi telah diatur dalam Pasal 165. Dengan demikian, jelaslah bahwa norma Pasal 162 ayat (1) dan (2) bukan saja bertentangan dengan asas due process of law sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga bertentangan dengan semangat 4

keadilan dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 3. Bahwa dalam hal seorang saksi hidup, ketika diperiksa sebagai saksi dan dituangkan ke dalam BAP dan diambil sumpahnya, kemudian meninggal dunia ketika sidang berlangsung, maka menurut norma Pasal 162 ayat (1) dan (2) KUHAP kesaksian itu sama nilainya dengan kesaksian yang diucapkan di hadapan sidang. Jika keterangan saksi di bawah sumpah saksi yang sudah meninggal itu dibacakan oleh JPU. Sementara Pasal 77 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri telah menegaskan bahwa meninggaldunianya seorang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, menyebabkan gugurnya penuntutan terhadap orang itu. Dengan demikian, tidaklah logis keterangan seseorang yang sudah meninggal dunia dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam membuktikan dakwaan terhadap orang lain telah melakukan tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 162 ayat (2) KUHAP. Andaikata keterangan saksi yang meninggal itu ternyata berisi keterangan palsu, maka terhadap saksi tersebut juga tidak dapat dilakukan penuntutan pidana. Karena itu, tidaklah logis mempertahankan keberadaan Pasal 162 ayat (1) dan (2) ini di dalam KUHAP karena bertentangan dengan due process of law sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan bertentangan dengan asas keadilan dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 4. Selanjutnya, frasa saksi tidak dipanggil karena tempat tinggalnya jauh sebagaimana dirumuskan dalam norma Pasal 162 ayat (1) adalah rumusan yang tidak mengandung kepastian hukum. Jauh-dekatnya jarak adalah sesuatu yang relatif jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi transportasi dewasa ini. Alasan jauhnya tempat tinggal sehingga seorang saksi tidak dipanggil ke persidangan, dan BAP-nya yang dilakukan di bawah sumpah mempunyai nilai yang sama dengan keterangan saksi di bawah sumpah di persidangan, membuka peluang Jaksa Penuntut Umum untuk 5

dengan sengaja menyembunyikan saksi tersebut, sehingga keterangannya tidak dapat dipertanyakan dan dikonfrontir di muka persidangan; 5. Bahwa frasa atau sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara menyebabkan seorang saksi tidak perlu hadir di persidangan adalah suatu hal yang sudah tidak dapat diterapkan lagi jika dihubungkan dengan kemajuan transportasi dan teknologi komunikasi sekarang ini. Seseorang yang menjalankan tugas Negara ke luar negeri misalnya, tetap dapat dihubungi untuk didengar keterangannya melalui teleconference, sehingga keterangan saksi itu benar-benar dapat digali dalam persidangan untuk mengungkapkan kebenaran materil yang sangat penting dalam penegakan hukum pidana. VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 162 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LN Tahun 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 162 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LN Tahun 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat; 4. Menyatakan memerintahkan Pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). 6