BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

Bab I Pendahuluan. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. atau kesulitan lainnya dan sampai kepada kematian tahun). Data ini menyatakan bahwa penduduk dunia menggunakan

I. PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (narkotika,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Dalam bab ini diuraikan Simpulan dan Saran dari Hasil Temuan dan Analisa Data.

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

PROGRAM HARM REDUCTION DI INDONESIA "DARI PERUBAHAN PERILAKU KE PERUBAHAN SOSIAL"

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. generasi baik secara kualitas maupun kuantitas. sesuatu yang mengarah pada aktivitas positif dalam pencapaian suatu prestasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 : PENDAHULUAN. United Nation, New York, telah menerbitkan World Drugs Report 2015 yang

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

Napza Suntik, HIV, & Harm Reduction

BAB I PENDAHULUAN. (NAPZA) atau yang lebih sering dikenal masyarakat dengan NARKOBA

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

Lampiran 1. : Nanager Program. Lattar belakang LSM, program beserta kegiatannya

BAB I PENDAHULUAN. Aqciured Immunodeficiency Symndrome (AIDS). HIV positif adalah orang yang telah

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat

BAB 1 PENDAHULUAN. hancurnya kehidupan rumah tangga serta penderitaan dan kesengsaraan yang

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalangunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

Implementasi Kebijakan dan Program AIDS pada Kelompok Pengguna Napza

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 80 an telah menjadi jalan bagi Harm Reduction untuk diadopsi oleh

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS (KPA) DENGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN)

STRATEGI PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAM DAN RUMAH TAHANAN NEGARA DI INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. pasar narkoba terbesar di level Asean. Menurut United Nation Office on Drugs and

BAB I PENDAHULUAN. saat ini terlihat betapa rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Kondisi ini

PETUNJUK PELAKSANAAN

BAB I PENDAHULUAN. (Afrika Selatan), D joma (Afrika Tengah), Kif (Aljazair), Liamba (Brazil) dan Napza

A. PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT RI SELAKU KETUA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL NOMOR: 02 /PER/MENKO/KESRA/I/2007

BAB I PENDAHULUAN. Narkotika Nasional, Jakarta, 2003, h Metode Therapeutic Community Dalam Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Narkoba, Badan

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Implementasi..., Agustinus Widdy H, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA BEKASI

BAB 1 PENDAHULUAN. konsekuen dan konsisten. Menurut NIDA (National Institute on Drug Abuse), badan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI LAMPUNG TENGAH PROVINSI LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja. Perubahan yang dialami remaja terkait pertumbuhan dan perkembangannya harus

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS- ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. meninggal akibat HIV/AIDS, selain itu lebih dari 6000 pemuda umur tahun

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keterbatasan pengetahuan tentang narkoba masih sangat

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Oktober 2015; disetujui: 15 Oktober 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat dunia khususnya bangsa Indonesia, saat ini sedang dihadapkan

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

BAB I PENDAHULUAN. pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di

HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya (Waluyo, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) termasuk salah satu

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

BAB 1 PENDAHULUAN. Seperti yang kita ketahui bahwa pada era globalisasi ini, kebutuhan akan penyebaran

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

KEBIJAKAN NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN NARKOTIKA. Adhi Prasetya Handono, Sularto*), Purwoto ABSTRAK

Transkripsi:

13 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika Penulisan. 1.1. Latar Belakang Masalah Permasalahan Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba (Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif Lainnya) di Indonesia sejak lama telah menjadi hambatan dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia, khususnya generasi muda bangsa. Hal ini telah mengundang perhatian Pemerintah RI dengan melakukan revisi Undang-undang dan restrukturisasi kelembagaan di bidang Ketersediaan dan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (Narkotika, Psikotropika, Bahan Adiktif Lainnya) atau disingkat P4GN sejak tahun 1971 hingga sekarang. Secara historis, Indonesia sejak lama dikenal sebagai negara penghasil Ganja (Cannabis), transito dan pasar Narkoba. Ladang-ladang liar Ganja di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah sejak tanam ditanam masyarakat secara luas di lereng-lereng gunung secara turun temurun. Namun sejak tahun 1998, Indonesia tidak hanya menjadi transito dan pasar gelap Narkoba, tetapi menjadi negara produsen Narkoba khususnya jenis Amphetamine Types Stimulant (seperti Shabu dan ekstasi), baik berskala pabrikan maupun rumahan, dengan ditemukannya banyak pabrik gelap Psikotropika. Fakta ini mengindikasikan bahwa permintaan Narkoba di Indonesia cukup besar. Dari hasil Survey Pusat Penelitian Kesehatan, (Puslitkes-UI) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) (2008), diketahui angka estimasi penyalahguna di Indonesia sebesar 1,6% atau 3,3 juta dari populasi, dimana berdasarkan jenis kelamin, 88% adalah pria dan 12% wanita; berdasarkan jenis penyalahgunaan : 26% coba pakai, 27% teratur pakai dan 47% pecandu. Dari kelompok pecandu, 85% non suntik dan 15% suntik. Angka kematian pecandu setahun diperkirakan 14.894 orang. Dari sisi biaya sosial ekonomi yang 1

14 ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba tahun 2008 sebesar Rp 39,5 Triliun, yang terdiri dari : Rp 4,6 triliun dihitung sebagai biaya pribadi dan Rp 34,8 Triliun dihitung sebagai biaya sosial. Fenomena lain yang memprihatinkan bahwa saat ini, sejak diketahuinya pengidap Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) pertama di Indonesia tahun 1987, akibat dari pengguna Narkoba suntik tidak steril telah terinfeksi sebanyak 18.963 yang terdiri dari 6.277 orang HIV dan 12.686 orang AIDS dimana diantara pengidap AIDS tersebut 49,2% atau 6.242 orang ditularkan oleh faktor penggunaan Narkoba suntik tidak steril dan bergantian. Dengan angka kematian sebesar 2.479 orang. Faktor penting dari meningkatnya penggunaan Narkoba suntik adalah maraknya peredaran gelap Heroin di Indonesia. Menurut data Survey BNN dan Puslitkes UI (2004), diperkirakan prevalensi pengguna Narkoba suntik di Indonesia sebesar 572.000 orang, dimana jumlah heroin/putaw yang dipakai oleh seorang Pemakai Narkoba Suntik (Penasun) atau Injecting Drug User (IDU) adalah 0,06 0,16 gram/hari. Hasil tersebut dihitung berdasarkan pengakuan responden terkait dengan besarnya uang yang mereka keluarkan untuk membeli Narkoba dalam setahun terakhir, dengan membaginya ke dalam 3 periode waktu (Kurun waktu: 1 bln terakhir, >1-3bln terakhir, >3-12bln terakhir). Dengan demikian, perhitungan besarnya jumlah peredaran heroin/putaw di Indonesia tahun 2004, dengan cara = prevalensi IDU (572.000 orang) x jumlah pemakaian heroin per IDU/hari Dari model perhitungan tersebut diperoleh gambaran besarnya jumlah peredaran heroin/putaw di Indonesia sebanyak 37-92 kg/hari. Fakta lain tentang maraknya penggunaan heroin dapat dilihat pada data pasien Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO : 2004) di Jakarta mulai periode tahun 1997-Maret 2006. Dari 53.002 pasien rawat inap dan rawat jalan yang ada di RSKO; 92,5% (49.041) orang diantaranya menggunakan Heroin. Sedang data dari Puskesmas Kampung Bali (2003), dari 127 remaja yang mengikuti Voluntary Conseling and Testing (VCT) atau testing dan konseling sukarela, 94% menggunakan putaw dan 85% dari yang menggunakan putaw itu dengan cara menyuntik.

15 Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia saat ini sudah mencapai tingkat epidemik yang lebih berat dan cenderung meningkat dengan peningkatan penularan HIV/AIDS pada kelompok pengguna Narkoba dengan jarum suntik Dalam menghadapi ancaman ganda tersebut, kita dihadapkan pada 2 (dua) aspek permasalahan yaitu hukum dan kesehatan. Dari perspektif hukum, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22, tahun 1997, tentang Narkotika, Pasal 85, ayat (1), (2) dan (3), dan Undang-Undang Nomor 5, tahun 1997, tentang Psikotropika, Pasal 59, ayat (1) dan (2), perbuatan menyalahgunakan Narkoba tergolong perbuatan melanggar hukum. Sementara dari perspektif kesehatan, kita tidak bisa menutup rata terhadap kenyataan tingginya angka penularan HIV/AIDS di kalangan penyalahguna Narkoba dengan jarum suntik, yang menimbulkan ancaman penularan kepada orang-orang bukan penyalahguna Narkoba. Untuk penanggulangan HIV/AIDS, Pemerintah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1994 dan direvisi menjadi Perpres Nomor 83 thaun 2007 yang mempunyai tugas melaksanakan koordinasi upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dengan lintas sektoral secara nasional bersama dengan BNN yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 17 Tahun 2002 mempunyai tugas melaksanakan koordinasi dan operasional dalam P4GN secara bersama-sama telah menetapkan kesepakatan bersama tentang upaya terpadu pencegahan penularan. HIV/AIDS dan P4GN dengan cara suntik Nomor 21/KEP/MENKO/KESRA/XIII/2003 dan Nomor B/04/XII/2003/BNN tanggal 8 Desember 2003. Dalam kaitan ini, nota kesepahaman untuk kesepakatan kerjasama menanggulangi penularan HIV/AIDS di kalangan penyalahguna Narkoba bermakna bahwa dalam menangani kedua epidemi tersebut secara bersamaan yaitu terhadap penyebaran HIV/AIDS dan penyalahgunaan Narkoba. Selanjutnya dibentuk Tim Nasional, yang bertugas merumuskan kebijakan dan strategi pelaksanaan di lapangan. Langkah ini telah sesuai dengan Guiding Principles pada Deklarasi Warsawa tentang Kerangka Kerja Penanggulangan Efektif HIV /AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba dengan Cara Suntik (14 November 2003).

16 Dalam upaya penanggulangan agar kedua epidemi tersebut tidak menjadi lebih luas serta menyebar dan menjadi ancaman yang lebih serius, maka pada tanggal 19 Januari 2004, di Sentani Papua, KPA dan Pimpinan Pemerintah Daerah 6 propinsi (yaitu Jakarta, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Papua), yang sangat cepat menjadi epidemi, mengeluarkan dan menyatakan kesepakatan bersama melalui Gerakan Nasional untuk memerangi HIV/AIDS melalui 7 (tujuh) butir upaya penanggulangan HIV/AIDS, sebagai berikut : 1. Mempromosikan penggunaan kondom pada setiap aktivitas seksual berisiko dengan target pencapaian 50% pada tahun 2005. 2. Menerapkan pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik. 3. Mengupayakan pengobatan HIV/AIDS termasuk penggunaan ARV (Anti Retro Virus) kepada minimum 5000 ODHA pada tahun 2004. 4. Mengupayakan pengurangan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. 5 Membentuk dan memfungsikan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) propinsi/kabupaten/ kota. 6. Mengupayakan dukungan peraturan perundang-undangan dan penganggaran untuk pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS tersebut. 7. Mempercepat upaya nyata dalam penanggulangan HIV/AIDS dengan memperhatikan semua aspek (seperti pendidikan, pencegahan, KIE, pendidikan agama dan dakwah) yang nyata yang diketahui berpengaruh dalam keberhasilan upaya tersebut. Beberapa tahun terakhir telah berkembang konsep harm reduction yang terakhir ini juga dikenal dengan nama risk reduction dengan 12 program yaitu : 1. Penjangkauan dan Pendampingan 2. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) 3. Penilaian Pengurangan Risiko 4. Konseling dan Testing HIV Sukarela (Voluntary Counseling and Testing / VCT) 5. Program Penyucihamaan 6. Program Jarum Suntik Steril (PJSS) 7. Pemusnahan Peralatan Suntik Bekas 8. Layanan Terapi Ketergantungan Narkoba

17 9. Pusat Layanan Subtitusi Oral (Metadon) 10. Layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (Care, Support, Treatment/CST) 11. Perawatan Pengobatan Dasar 12. Pendidikan Sebaya Dari keduabelas program tersebut, salah satu diantaranya merupakan program yang masih menjadi perdebatan karena dianggap kontroversi khususnya oleh aparat penegak hukum, yaitu Program Pertukaran Jarum Suntik Steril (PJSS) bagi Pengguna Narkoba Suntik (Penasun). Konsep ini telah diterapkan di beberapa negara, sungguhpun tidak selalu menjadi kebijakan nasionalnya, namun hanya di wilayah tertentu/terbatas. Hal tersebut masih sering dipertanyakan karena adanya kontroversi berkaitan dengan ketentuan hukum yang berlaku di mana penyalahguna Narkoba adalah perbuatan melanggar hukum, seperti juga halnya yang terjadi di Indonesia. BNN dalam upaya P4GN memiliki strategi Supply Control dan Demand Reduction. Harm Reduction sendiri di Indonesia bukan merupakan kebijakan nasional. Penanggulangan penyalahgunaan Narkoba bagi yang sudah dalam taraf kecanduan dengan komplikasinya (misal HIV/AIDS dan Hepatitis) termasuk ke dalam program terapi dan rehabilitasi yang merupakan bagian dari demand reduction. Khusus untuk Penasun, BNN tidak ingin membiarkan permasalahan ini tidak tertangani, sehingga dalam menanggulangi masalah percepatan peningkatan penularan HIV/AIDS perlu tindakan yang terpadu dan menyeluruh, meliputi : 1. Mencegah penyalahguna baru 2. Mencegah penyalahguna Narkoba agar tidak menjadi ketergantungan/ kecanduan. 3. Mencegah penyalahgunaan Narkoba dengan cara suntik 4. Mencegah penyebaran komplikasi (Hepatitis dan HIV/AIDS) di kalangan penyalahguna Narkoba cara suntik. 5. Mencegah penularan HIV/AIDS oleh penyalahguna Narkoba kepada populasi umum.

18 Penyalahgunaan Narkoba sebagai tindakan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun. 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika khususnya terkait dengan program yang masih dilematis yaitu PJSS. Menghadapi hal tersebut BNN menyatakan tidak ingin membiarkan permasalahan ini tidak tertangani dan dengan mempertimbangkan kepentingan bangsa yang jauh lebih besar yaitu menyelamatkan bangsa dari epidemi HIV/AIDS, maka sebagai pelaksanaan upaya butir nomor 6 dari Komitmen Sentani, berdasarkan konsultasi Kalakhar BNN dengan Ketua Mahkamah Agung, program PJSS dapat dilaksanakan secara terbatas dan sangat hati-hati dengan pengawasan yang sangat ketat. PJSS sebagai pendekatan aktif di lapangan, berlaku secara individual berdasarkan waktu tertentu dan dilanjutkan dengan terapi dan rehabilitasi, dilaksanakan berdasar Petunjuk Pelaksanaan yang jelas sehingga dapat membedakan pengedar dengan penyalahguna sebagai korban. Prinsip implementasi program terpadu penanggulangan Narkoba dan HIV/AIDS adalah memulai dengan pilot project di lokasi terpilih di bawah kendali dan pengawasan institusi Pemerintah. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Kemasyarakatan dapat berkontribusi berdasarkan kemampuannya terutama untuk kegiatan penjangkauan di lapangan (outreach). Monitoring dan evaluasi dilakukan secara ilmiah melalui riset untuk membuktikan efektivitas program. Sebagai perwujudan penegakan hukum, secara terus menerus dilakukan oleh BNN melakukan operasi-operasi melalui Satgas-satgas BNN, hal ini sesuai dengan melakukan amanah UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Pada beberapa pasal yang berkaitan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba, pada kedua UU itu, semua pelaku dianggap melanggar hukum, tidak pandang bulu berapa gram, linting, liter yang disalahgunakan. Fenomena itu terus berlanjut, seolah-olah apa yang dilakukan oleh BNN itu adalah upaya represif yang berupa penangkapan, penuntutan dan berakhir di Lembaga Pemasyarakatan. Dalam setahun terakhir (2006-2007) menurut data BNN (2007), pengungkapan kasus tindak Pidana Narkoba naik 30%, penangkapan tersangka

19 naik 14%, penyitaan barang bukti Ganja naik 166,6%, Heroin 23% dan ekstasi 156%. Akibat semakin banyaknya tersangka kasus kejahatan Narkoba, Rutan dan Lapas semakin sesak oleh Tahanan dan Napi dengan kenaikan 0,7%. Kenaikan tersebut terjadi karena upaya Pemerintah (melalui Badan Narkotika Nasional) Gencar melakukan upaya penegakan hukum berupa penggelaran operasi-operasi oleh Satgas BNN bekerja sama dengan aparat hukum dan masyarakat. Pada perkembangannya, tren penyalahgunaan dan peredaran Narkoba terus bergerak naik, hingga upaya melakukan terapi dan rehabilitasi, semua pemakai yang dianggap pelanggar hukum itu terabaikan. Terbukti dengan tingginya angka kematian Tahanan dan Napi di Lembaga Pemasyarakatan akibat komplikasi penyakit akibat menggunakan Narkoba khususnya Penasun. Menurut data Direktorat Pembinaan Khusus Narkotika (Dirbinsustik) Direktorat Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM (Juni 2007), kematian Tahanan dan Napi akibat menurun daya tahan tubuh akibat HIV/AIDS di Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia sebesar 85-90%. Sementara itu, di awal-awal tahun 2000-an upaya lembaga donor dunia di bidang penanggulangan Narkoba dan HIV/AIDS, seperti Global Fund, Family Health International (FHI), United Nations AIDS (UNAIDS), United State AIDS (USAIDS), Australia AIDS (AusAIDS), dll; telah gencar melakukan promosi dan kegiatan-kegiatan di bidang Harm Reduction terutama memfokuskan pada Penasun melalui salah satu program Harm Reduction yaitu PJSS. Prinsip dari PJSS ini, setiap pecandu khususnya Penasun diharapkan memakai jarum untuk dirinya sendiri dan bukan untuk ditularkan atau dipakai bersama. Dengan jarum steril tersebut, Penasun mencari putaw sendiri. Upaya promosi program Harm Reduction (HR) dari berbagai lembaga donor tersebut mendapat sambutan baik dari Pemerintah (melalui KPA, BNN, Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial) maupun dari Organisasi Non Pemerintah (Non Government Organizations/NGO) yang bergerak di bidang Penanggulangan Narkoba dan HIV/AIDS. Promosi program HR dari BNN dilakukan melalui Program Pencegahan dan Terapi dan Rehabilitasi, baik pada 28 anggota BNN, 31 Badan Narkotika Propinsi (BNP), 256 Badan Narkotika

20 Kabupaten (BNKab) dan 56 Badan Narkotika Kota (BNKota) yang membantu tugas BNN mengimplementasikan Strategi Nasional P4GN di seluruh Indonesia Sedang menurut data pada website KPA (2009) 1, sejak dibentuk tahun 1994, KPA telah memiliki 33 KPA tingkat Propinsi, 349 KPA tingkat Kabupaten dan 91 Kota yang membantu tugas KPA Nasional dalam mengimplementasikan Strategi Nasional Penanggulangan Masalah HIV/AIDS. Sedangkan jumlah LSM yang menekuni Penanggulangan Narkoba dan HIV/AIDS di Indonesia hingga tahun 2009, ada 1.128 LSM, dimana 82 LSM diantaranya mempunyai target group Pengguna Narkoba Suntik (Penasun). Termasuk salah satunya Yayasan Pelita Ilmu Kampung Bali (YPI Kambal). YPI Kambal, sebagai bagian dari YPI yang berpusat di Tebet 2, sejak tahun 1999 setelah mendapatkan ijin dari Kepala Puskesmas Kampung Bali, melakukan pendampingan program Harm Reduction di Puskesmas dengan melakukan bantuan layanan kesehatan, PJSS 3 dan VCT yang berbasiskan masyarakat. Pendekatan berbasis masyarakat ini diadaptasi dari penanggulangan Narkoba dan HIV/AIDS di India ini, mendapat tanggapan positif dari para pecandu dan masyarakat, karena layanan ini diberikan secara cuma-cuma. Namun seiring dengan berjalannya waktu, program PJSS yang dilaksanakan YPI tersebut juga mendapat tanggapan yang berbeda dari LSM yang bergerak dalam upaya penanggulangan bahaya Narkoba di Jakarta, yaitu didemo dan dilakukan penggeledahan. (Kompas, 12 Juni 2003) Pasca kejadian tersebut munculah berbagai polemik di media cetak dan elektronik tentang program PJSS, sebagai sebuah pendekatan dilematis baik yang dilakukan oleh Pemerintah (dalam hal ini KPA dan BNN) melalui pendekatan hukum positif dan kesehatan; dan apa yang dilakukan oleh NGO seperti yang dilakukan oleh YPI Kampung Bali dengan pendekatan penanggulangan Narkoba dan HIV/AIDS yang berbasis masyarakat. Baik Pemerintah maupun YPI Kambal keduanya memiliki tujuan yang sama tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Menurut hemat Peneliti, permasalahan tersebut cukup menarik untuk dikaji dalam 1 Lihat di www.aidsindonesia.or.id didownload, tanggal 2 Januari 2009, pukul 10.00 WIB 2 Didirikan dengan Akte Notaris J.L. Woworuntu No. 467 tanggal 28 Juli 1990 3 Dilaksanakan sejak November 2002 (Majalah Tempo, 24 Juni 2004)

21 sebuah penelitian. Oleh karena itu penelitian ini mengangkat tema tentang analisis tentang perbedaan paradigma dalam implementasi pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS antara Pemerintah dan YPI Kambal. 1.2. Perumusan Masalah Hingga saat ini upaya yang dilakukan dalam penanggulangan masalah Narkoba dan HIV/AIDS baik oleh Pemerintah maupun NGO (dalam hal ini YPI Kambal) terus berjalan dengan menggunakan paradigma dalam implementasi program pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS yang berbeda-beda. Tentu saja, perbedaan paradigma ini akan memberikan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat. Di satu sisi tujuan dari program pengurangan dampak buruk tersebut dapat mengurangi jumlah Penasun dan ODHA namun di sisi yang lain PJSS memicu terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika secara signifikan. Bertitik tolak dari masalah tersebut, pertanyaan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : (1) Apa perbedaan paradigma implementasi pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS yang dilakukan Pemerintah dan YPI Kambal? (2) Mengapa YPI Kambal tetap dapat eksis walaupun berbeda paradigma implementasi pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS dengan kebijakan Pemerintah? (3) Apa langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah dalam mengkoordinasikan implementasi kebijakan pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS dengan YPI kambal? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk; (1) mengidentifikasi perbedaan-perbedaan paradigma implementasi pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS yang dilakukan Pemerintah dan YPI Kambal; (2) Menganalisis alasan YPI Kambal tetap dapat eksis walaupun berbeda paradigma implementasi pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS dengan kebijakan Pemerintah; dan (3) Menganalisis langkah-langkah

22 yang dilakukan Pemerintah dalam mengkoordinasikan implementasi kebijakan pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS dengan YPI kambal. 1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan pada permasalahan dan pertanyaan di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah kontribusi yang konstruktif, diantaranya adalah: 1) secara akademis, penelitian ini memberikan kontribusi yang sangat penting bagi dunia akademis karena sejauh ini kajian yang secara khusus meneliti perbedaan paradigma implementasi pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS antara Pemerintah dan NGO 2) secara teoritis, penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi peningkatan intelektualitas dan pengembangan teori-teori yang berkaitan dengan implementasi kebijakan bidang pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS, yang dapat merapatkan jurang antara des sein dan das sollen antara teori dan dunia empiris; 3) secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada Pemerintah (BNN dan KPA) dan NGO (YPI Kambal) dalam upaya mereka meningkatkan koordinasi dalam implementasi pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS. 1.5. Tata Urut Penulisan Penulisan tesis ini disusun berdasarkan Sistematika Penulisan sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, pada bab ini menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Tata Urut Penulisan; Bab II Tinjauan Pustaka, pada bab ini akan dibahas mengenai mengenai pengertian tentang konsep-konsep tentang Paradigma, Implementasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pencegahan Narkoba dan HIV/AIDS, Narkoba; HIV/AIDS; Kajian Pustaka dan Paradigma Penelitian;

23 Bab III Metode Penelitian, pada bab ini dijelaskan dijelaskan tentang Pendekatan Penelitian, Karakteristik Penelitian, Operasionalisasi Konsep, Teknik Pengumpulan Data dan Informan dan Teknik Analisis Data; Bab IV Hasil Temuan dan Analisis Data, dalam bab ini dijelaskan tentang hasil temuan dan analisis data. Bab V Simpulan dan Saran, pada akhir penulisan dirumuskan simpulan berdasarkan hasil analisis dan disajikan beberapa saran.