BAB 3 METODE PENELITIAN. ikhtisar, menata, membuat grafik) dilakukan dengan metode peramalan kuantitatif.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 LANDASAN TEORI

Bab IV. Pembahasan dan Hasil Penelitian

BAB 2 LANDASAN TEORI

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun akademik 2014/2015

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS RUNTUN WAKTU. Laporan VI ARIMA Analisis Runtun Waktu Model Box Jenkins

MODEL AUTOREGRESSIVE (AR) ATAU MODEL UNIVARIATE

BAB III METODE PENELITIAN

TIME SERIES DENGAN K-STAT &EVIEWS

III. METODE PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pola sejumlah data, kemudian menyajikan informasi tersebut dalam bentuk yang

FORECASTING INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG) DENGAN MENGGUNAKAN METODE ARIMA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Adapun langkah-langkah pada analisis runtun waktu dengan model ARIMA

Seasonal ARIMA adalah model ARIMA yang mengandung faktor musiman.

PENDUGAAN DATA RUNTUT WAKTU MENGGUNAKAN METODE ARIMA

PEMODELAN DATA TIME SERIES DENGAN METODE BOX-JENKINS

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Unit Analisis dan Ruang Lingkup Penelitian. yang berupa data deret waktu harga saham, yaitu data harian harga saham

II. TINJAUAN PUSTAKA. Analisis ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) umumnya

PERAMALAN JUMLAH PENUMPANG BANDARA I GUSTI NGURAH RAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE AUTOREGRESSIVE INTEGRATED MOVING AVERAGE (ARIMA)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Pendahuluan. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

PROSIDING SEMINAR NASIONAL STATISTIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013 ISBN:

PENGGUNAAN MODEL GENERALIZED AUTOREGRESSIVE CONDITIONAL HETEROSCEDASTICITY (P,Q) UNTUK PERAMALAN HARGA DAGING AYAM BROILER DI PROVINSI JAWA TIMUR

BAB III METODE PENELITIAN

PERAMALAN PENJUALAN PRODUKSI TEH BOTOL SOSRO PADA PT. SINAR SOSRO SUMATERA BAGIAN UTARA TAHUN 2014 DENGAN METODE ARIMA BOX-JENKINS

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PREDIKSI HARGA SAHAM PT. BRI, Tbk. MENGGUNAKAN METODE ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian ini, yaitu ln return, volatilitas, data runtun waktu, kestasioneran, uji

Analisis Peramalan Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sebagai Tolak Ukur Kinerja Perekonomian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

ANALISA BOX JENKINS PADA PEMBENTUKAN MODEL PRODUKSI PREMI ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT

Pemodelan ARIMA Non- Musim Musi am

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. autokovarians (ACVF) dan fungsi autokorelasi (ACF), fungsi autokorelasi parsial

Metode Deret Berkala Box Jenkins

TINJAUAN PUSTAKA. perubahan harga yang dibayar konsumen atau masyarakat dari gaji atau upah yang

4 BAB IV HASIL PEMBAHASAN DAN EVALUASI. lebih dikenal dengan metode Box-Jenkins adalah sebagai berikut :

PEMODELAN TIME SERIES DENGAN PROSES ARIMA UNTUK PREDIKSI INDEKS HARGA KONSUMEN (IHK) DI PALU SULAWESI TENGAH

ANALISIS PERILAKU KURS RUPIAH TERHADAP DOLAR AS SELAMA EMPAT PERIODE PEMERINTAHAN DI INDONESIA METODE BOX-JENKINS (ARIMA) Oleh: Agus Arifin 1)

Prediksi Harga Saham dengan ARIMA

IV. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Indonesia dan variabel independen, yaitu defisit transaksi berjalan dan inflasi.

SBAB III MODEL VARMAX. Pengamatan time series membentuk suatu deret data pada saat t 1, t 2,..., t n

PERAMALAN SAHAM JAKARTA ISLAMIC INDEX MENGGUNAKAN METODE ARIMA BULAN MEI-JULI 2010

III METODE PENELITIAN

Analisys Time Series Terhadap Penjualan Ban Luar Sepeda Motor di Toko Putra Jaya Motor Bangkalan

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

III. METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERAMALAN KUNJUNGAN WISATA DENGAN PENDEKATAN MODEL SARIMA (STUDI KASUS : KUSUMA AGROWISATA)

PERAMALAN BANYAKNYA OBAT PARASETAMOL DAN AMOKSILIN DOSIS 500 MG YANG DIDISTRIBUSIKAN OLEH DINKES SURABAYA

III. METODE PENELITIAN

Perbandingan Metode Fuzzy Time Series Cheng dan Metode Box-Jenkins untuk Memprediksi IHSG

BAB III PEMBAHASAN. Pada bab ini, dibahas mengenai model Vector Error Correction (VEC),

BAB III METODE PENELITIN. yaitu ilmu yang valid, ilmu yang dibangun dari empiris, teramati terukur,

III.METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, karena penelitian ini

EFEKTIVITAS METODE BOX-JENKINS DAN EXPONENTIAL SMOOTHING UNTUK MERAMALKAN RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DISHUB KLATEN

PERBANDINGAN MODEL ARIMA DAN MODEL REGRESI DENGAN RESIDUAL ARIMA DALAM MENERANGKAN PERILAKU PELANGGAN LISTRIK DI KOTA PALOPO

Pemodelan Autoregressive (AR) pada Data Hilang dan Aplikasinya pada Data Kurs Mata Uang Rupiah

BAB 2 LANDASAN TEORI

PERAMALAN PEMAKAIAN ENERGI LISTRIK DI MEDAN DENGAN METODE ARIMA

PEMODELAN ARIMA DALAM PERAMALAN PENUMPANG KERETA API PADA DAERAH OPERASI (DAOP) IX JEMBER

Lampiran 1. Jumlah Deposito, Suku Bunga Deposito, dan Inflasi di Indonesia Tahun

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4.1 nilai tukar kurs euro terhadap rupiah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Metode Box - Jenkins (ARIMA)

III. METODOLOGI PENELITIAN

PERAMALAN LAJU INFLASI, SUKU BUNGA INDONESIA DAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN MENGGUNAKAN METODE VECTOR AUTOREGRESSIVE (VAR)

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian 4.2. Data dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data

BAB 2 LANDASAN TEORI. datang. Kegunaan dari peramalan terlihat pada saat pengambilan keputusan.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV (Human Imunodeficiency Virus) merupakan penyebab penyakit yang di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERAMALAN PENYEBARAN JUMLAH KASUS VIRUS EBOLA DI GUINEA DENGAN METODE ARIMA

ANALISIS POLA HUBUNGAN PEMODELAN ARIMA CURAH HUJAN DENGAN CURAH HUJAN MAKSIMUM, LAMA WAKTU HUJAN, DAN CURAH HUJAN RATA-RATA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Peramalan Aset dengan Memperhatikan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia dengan Metode Fungsi Transfer

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Analisis Time Series Pada Penjualan Shampoo Zwitsal daerah Jakarta dan Jawa Barat di PT. Sara Lee Indonesia. Oleh : Pomi Kartin Yunus

LULIK PRESDITA W APLIKASI MODEL ARCH- GARCH DALAM PERAMALAN TINGKAT INFLASI

MODEL ARMA (AUTOREGRESSIVE MOVING AVERAGE) UNTUK PREDIKSI CURAH HUJAN DI KABUPATEN SEMARANG JAWA TENGAH - INDONESIA. Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia

III. METODE PENELITIAN. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari 2000

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III PEMBAHARUAN PERAMALAN. Pada bab ini akan dibahas tentang proses pembaharuan peramalan.

BAB II LANDASAN TEORI

Penerimaan Pajak dan Pengeluaran Pemerintah kota Tebing Tinggi Tahun (juta rupiah)

PERAMALAN INDEKS HARGA KONSUMEN MENGGUNAKAN MODEL INTERVENSI FUNGSI STEP

Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) adl teknik untuk mencari pola yg paling cocok dari sekelompok data Model ARIMA dapat digunakan

BAB III METODE PENELITIAN

PENERAPAN MODEL ARFIMA (AUTOREGRESSIVE FRACTIONALLY INTEGRATED MOVING AVERAGE) DALAM PERAMALAN SUKU BUNGA SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

IV. METODE PENELITIAN

PERAMALAN PENJUALAN TEH HIJAU DENGAN METODE ARIMA (STUDI KASUS PADA PT. MK)

EKONOMETRI TIME SERIES SANJOYO

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Pencarian data dilakukan melalui riset perpustakaan (library research)

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Skripsi ini meneliti mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

METODE KUANTITATIF, MENGGUNAKAN BERBAGAI MODEL MATEMATIS YANG MENGGUNAKAN DATA HISTORIES DAN ATAU VARIABLE-VARIABEL KAUSAL UNTUK MERAMALKAN

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penulisan proposal ini adalah data sekunder yang

Transkripsi:

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif (merupakan prosedur untuk membuat ikhtisar, menata, membuat grafik) dilakukan dengan metode peramalan kuantitatif. Peramalan kuantitatif adalah metode peramalan yang melibatkan analisis statistik terhadap data-data masa lalu (Firdaus, 2006). 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. 3.2.2 Waktu Penelitian Penelitian ini dimulai dengan melakukan survei awal sampai selesai, yaitu bulan September sampai dengan Nopember tahun 2012. 3.3 Populasi dan Sampel Populasi adalah data semua penderita HIV yang resmi tercatat pada Dinas Kesehatan Kota Medan sejak dipublikasikan pertama kali tahun 1992 hingga saat ini. Sedangkan sebagai sampel dalam penelitian ini menggunakan data penderita HIV dari tahun 2007-2011. Pemilihan sampel pada periode ini berdasarkan data yang dilaporkan terakhir dari Dinas Kesehatan Kota Medan pada saat dilakukan penelitian.

3.4 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data sekunder, yaitu jumlah penderita HIV di Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2007 sampai dengan 2011. Data diperoleh dengan menggunakan metode dokumentasi. Pengumpulan data dimulai dengan tahap penelitian pendahuluan yaitu melakukan studi kepustakaan dengan mempelajari buku-buku dan bacaan-bacaan lain yang berhubungan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini. Pada tahap ini juga dilakukan pengkajian data yang dibutuhkan, yaitu mengenai jenis data yang dibutuhkan, ketersediaan data, dan gambaran cara pengolahan data. Tahapan selanjutnya adalah penelitian pokok yang digunakan untuk mengumpulkan keseluruhan data yang dibutuhkan guna menjawab persoalan penelitian dan memperkaya literatur untuk menunjang data kuantitatif yang diperoleh. 3.5 Variabel dan Definisi Operasional Penggunaan data bulanan pada penelitian ini dengan alasan data jumlah penderita HIV di Kota Medan diperoleh dalam bentuk laporan bulanan. 1. Laporan bulanan Dinas Kesehatan Kota Medan adalah data penderita HIV yang tercatat pada laporan penderita HIV pada tahun 2007 sampai dengan 2011. 2. Data keseluruhan penderita HIV adalah data penderita HIV yang tercatat pada laporan penderita HIV pada tahun 2007 sampai dengan 2011. 3. Data penderita HIV menurut jenis kelamin adalah jumlah penderita HIV berdasarkan jenis kelamian laki-laki dan perempuan yang tercatat pada laporan penderita HIV pada tahun 2007 sampai dengan 2011.

4. Data penderita HIV menurut faktor risiko adalah jumlah penderita HIV berdasarkan faktor risiko ; (a) heteroseksual, (b) homoseksual, (c) IDUs, (d) perinatal, (e) tranfusi darah, dan (f) tidak diketahui yang tercatat pada laporan penderita HIV pada tahun 2007 sampai dengan 2011. 5. Data penderita HIV menurut usia adalah jumlah penderita HIV berdasarkan kelompok usia ; (a) 15 tahun, (b) 16-24 tahun, (c) 25-34 tahun, (d) 35-44 tahun, dan (e) 45 tahun yang tercatat pada laporan penderita HIV pada tahun 2007 sampai dengan 2011 6. Data penderita HIV menurut pekerjaan adalah jumlah penderita HIV berdasarkan jenis pekerjaan; (a) PNS/TNI/POLRI, (b) karyawan, (c) wiraswasta, (d) ibu rumah tangga, (e) mahasiswa/siswa, (f) PSK, dan (g) Napi yang tercatat pada laporan penderita HIV pada tahun 2007 sampai dengan 2011. 7. Ramalan jumlah penderita HIV secara keseluruhan adalah perkiraan jumlah penderita HIV di Kota Medan pada tahun 2012-2016, menggunakan metode ARIMA. 3.6 Metode Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode ARIMA. Sebelum dilakukan perhitungan dengan menggunakan metode ARIMA, terlebih dahulu dilakukan serangkaian uji-uji seperti; kestasioneran data, proses pembedaan dan pengujian correlogram untuk menentukan koefisien autoregresi. Untuk menjawab

permasalahan yang ada dan menguji hipotesis digunakan teknik analisis dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Langkah Pertama: Pemeriksaaan Kestasioneran Data Sebagaimana telah dikemukakan bahwa data yang dianalisis dalam ARIMA adalah data yang bersifat stasioner. Hal ini dapat dilihat dari grafik data jika data tersebut stasioner nilai rata-rata dan variansinya relatif konstan dari periode ke periode (Aritonang, 2002). Pengujian kestasioneran dapat dilakukan dengan membuat correlogram fungsi autokorelasi (analisis autokorelasi dan autokorelasi parsial) dan uji akar-akar unit (Dickey-Fuller) dengan bantuan program komputer Eviews. Apabila koefisien autokorelasinya berbeda secara signifikan dari nol dan mengecil secara perlahan membentuk garis lurus dan semua koefisien autokorelasi parsial mendekati nol setelah lag pertama, kedua hal tersebut menunjukkan bahwa data bersifat tidak stasioner. Secara matematis rumus koefisien autokorelasi adalah (Arsyad, 1995) : Suatu series dikatakan stasioner jika koefisien autokorelasi untuk semua lag secara statistik tidak berbeda signifikan dari nol atau berbeda dari nol untuk beberapa lag yang di depan.

46 Menurut Quenouille (1949) dalam Aritonang (2002) suatu koefisien autokorelasi yang dikatakan tidak signifikan atau tidak berbeda dari nol jika ia berada dalam interval confidence limit 0 ± Z / n. Dengan menggunakan α (taraf signifikansi) = 5% dan jumlah data pengamatan setelah differencing (n = 238) maka batas intervalnya adalah 0 ± 1,96 ( 238) atau 0 ± 0,127. Stasioneritas dapat di periksa dengan menemukan apakah data time series mengandung akar unit. Untuk keperluan ini dapat digunakan uji Augmented Dickey- Fuller (ADF) dengan bantuan program komputer Eviews. Series yang di amati stasioner jika memiliki nilai ADF lebih besar daripada nilai kritis. b.langkah Kedua: Proses Differencing (Pembedaan) Suatu data yang tidak stasioner pada tingkat level maka data tersebut kemungkinan stasioner pada first difference atau I(1), jika data tidak stasioner pada first difference maka kemungkinan data tersebut stasioner pada second difference atau I(2), dan seterusnya. Kesimpulannya ialah harus melakukan proses differencing sebanyak d kali untuk membuat data tersebut stasioner dan mengaplikasikan model ARMA(p,q) untuk data tersebut. Model ARMA(p,q) yang diaplikasikan pada data yang telah melalui proses differencing tersebut dinamakan model ARIMA(p,d,q), yaitu model Autoregressive Integrated Moving Average, di mana p ialah jumlah variabel autoregressive, d ialah proses differencing sehingga data menjadi stasioner, dan q ialah jumlah variabel moving average. Proses ini dilakukan apabila data tidak stasioner, yaitu dengan data asli (Y t ) di ganti dengan perbedaan pertama data asli tersebut atau dirumuskan sebagai

47 berikut: d(1) = Y t Y t-1 (Aritonang, 2002). Data dari proses pembedaan digunakan kembali untuk membuat fungsi autokorelasi (correlogram) dan uji akar-akar unit (Dickey-Fuller) dengan bantuan program komputer. c. Langkah Ketiga: Penentuan Nilai p, d, dan q dalam ARIMA Proses Autoreggressive Integrated Moving Average yang dilambangkan dengan ARIMA (p,d,q) Di mana : p menunjukkan ordo/ derajat autoregressive (AR) d adalah tingkat proses differencing q menunjukkan ordo/derajat moving average (MA) Adalah mungkin suatu series nonstasioner homogen tidak tersusun atas kedua proses itu, yaitu proses autoregressive maupun moving average. Jika hanya mengandung proses autoregressive, maka series itu dikatakan mengikuti proses Integrated autoregressive dan dilambangkan ARIMA (p,d,0). Sementara yang hanya mengandung proses moving average, seriesnya dikatakan mengikuti proses Integrated moving average dan dituliskan ARIMA (0,d,q). Setelah data runtut waktu telah stasioner, langkah berikutnya adalah menetapkan model ARIMA (p,d,q) yang sekiranya cocok (tentatif), maksudnya menetapkan berapa p, d, dan q. jika tanpa proses differencing d di beri nilai 0, jika menjadi stasioner setelah first order differencing d bernilai 1 dan seterusnya. Dalam memilih berapa p dan q dapat di bantu dengan mengamati pola fungsi autocorrelation dan partial autocorrelation (correlogram) dari data time series.

Dalam praktik pola autocorrelation dan partial autocorrelation seringkali tidak menyerupai salah satu dari pola yang ada pada tabel itu karena adanya variasi sampling. Kesalahan memilih p dan q bukan merupakan masalah, dan akan diketahui setelah tahap diagnostic checking. d.langkah Keempat: Estimasi Parameter Model ARIMA Misalkan bentuk model tentatif telah ditetapkan, langkah berikutnya adalah menduga parameternya sebagai berikut: 1. Apabila model tentatifnya AR (autoregressive murni), maka parameternya di estimasi dengan analisis regresi dengan pendekatan kuadrat terkecil linear. 2. Apabila modelnya mencakup MA walaupun modelnya di tulis dalam bentuk linear, tetapi cara menghitungnya menggunakan model non linear. Biasanya dilakukan melalui 2 tahap, yaitu tahap estimasi awal dan estimasi lanjutan, hingga dihasilkan estimasi akhir atas parameter. e.langkah Kelima: Peramalan Langkah terakhir adalah menggunakan model yang terbaik untuk peramalan. Jika model terbaik telah ditetapkan, model itu siap digunakan untuk peramalan. Perhatikan untuk series homogen non stasioner, karena yang diperlukan adalah ramalan series asli, maka bentuk selisih harus dikembalikan pada bentuk variabel asli, yaitu dengan melakukan proses integral. Teknik peramalan ini juga dapat memberikan interval keyakinan. Jika makin jauh ke depan, interval keyakinan umumnya makin lebar, namun tidak demikian untuk interval keyakinan moving average model murni.

Setelah ditetapkan orde AR dan MA yang mungkin cocok untuk memperoleh model peramalan, selanjutnya adalah menentukan estimasi nilai parameter dalam model ARMA. Pemilihan model yang cocok untuk meramal didasarkan pada hasil uji t, R 2, uji F, AIC (Akaike Information Criteria), SIC (Schwarz Information Criteria). Model ramalan yang baik berdasarkan uji t adalah jika parameter estimasi signifikan, nilai R 2 yang tinggi, uji F signifikan, serta AIC dan SIC yang rendah. f. Langkah Keenam: Pengukuran Kesalahan Peramalan Ada beberapa metode yang digunakan untuk menunjukkan kesalahan yang disebabkan oleh suatu teknik peramalan tertentu. Hampir semua ukuran tersebut menggunakan beberapa fungsi dari perbedaan antara nilai sebenarnya dengan nilai peramalannya. Perbedaan nilai sebenarnya dengan nilai peramalan ini biasanya di sebut sebagai residual. Menurut Arsyad (1995) ada beberapa teknik untuk mengevaluasi hasil peramalan, diantaranya : (a). MAD (Mean Absolute Deviation) atau simpangan absolut rata-rata MAD ini sangat berguna jika seorang analis ingin mengukur kesalahan peramalan dalam unit ukuran yang sama seperti data aslinya.

(b). MSE (Mean Squared Error) atau kesalahan rata-rata kuadrat Pendekatan ini menghukum suatu kesalahan yang besar karena dikuadratkan. Pendekatan ini penting karena satu teknik yang menghasilkan kesalahan yang moderat yang lebih disukai oleh suatu peramalan yang biasanya menghasilkan kesalahan yang lebih kecil tetapi kadang-kadang menghasilkan kesalahan yang sangat besar. (c). MAPE (Mean Absolute Percentage Error) atau persentase kesalahan absolut ratarata Kadang kala lebih bermanfaat jika kita menghitung kesalahan peramalan dengan menggunakan persentase ketimbang nilai absolutnya. Pendekatan ini sangat berguna jika ukuran variabel peramalan merupakan faktor penting dalam mengevaluasi akurasi peramalan tersebut. MAPE memberikan petunjuk seberapa besar kesalahan peramalan dibandingkan dengan nilai sebenarnya dari series tersebut.

(d). MPE (Mean Percentage Error) atau persentase kesalahan rata-rata MPE diperlukan untuk menentukan apakah suatu metode peramalan bisa atau tidak. Jika pendekatan peramalan tersebut tidak bias, maka hasil perhitungan MPE akan menghasilkan persentase mendekati nol. g.uji Hipotesis Pendekatan autokorelasi merupakan pengukuran data dalam suatu periode waktu tertentu yang berurutan, seringkali terjadi korelasi antara nilai data pada suatu waktu tertentu dengan nilai data tersebut pada satu periode waktu sebelumnya (lag) atau lebih Korelasi ini dapat di hitung dengan menggunakan koefisien autokorelasi. Secara matematis rumus koefisien autokorelasi adalah (Arsyad, 1995): di mana : r k Y Y t Ŷ n t-k = nilai koefisien autokorelasi tingkat ke-k = nilai observasi pada waktu t = nilai observasi pada k periode sebelum t (t-k) = nilai rata-rata serial data = banyaknya observasi series stasioner

Nilai koefisien autokorelasi yang berbeda dengan nol atau di luar confidence limit dapat digunakan untuk menentukan model ARIMA untuk meramal. Apabila nilai autokorelasi tidak dalam interval confidence limit berarti koefisien autokorelasi signifikan berbeda dari nol, sehingga nilai autokorelasi tersebut berpengaruh dalam menentukan koefisien model ARIMA. Hal ini membuktikan bahwa ada pengaruh antara data tertentu sebelumnya dengan data sekarang dan ini dapat diketahui melalui nilai Q-sataistik pada E-Views. Hipotesis yang menduga bahwa ada lag (jumlah penderita HIV terdahulu) tertentu yaitu Y t-1, Y t-2,, Yt-n berpengaruh signifikan positif dalam meramal Y t (jumlah penderita HIV pada waktu t) menggunakan metode ARIMA akan dapat di terima apabila ada nilai koefisien autokorelasi di luar interval confidence limit. Dan sebaliknya hipotesis akan ditolak jika nilai koefisien berada dalam interval confidence limit.

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak Geografis Kota Medan sebagai ibu kota provinsi Sumatera Utara merupakan pusat pemerintahan, pendidikan, kebudayaan dan perdagangan. Terletak di Pantai Timur Sumatera dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara : Selat Malaka Sebalah Selatan : Kabupaten Deli Serdang Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang Sebelah Barat : Kabupaten Deli Serdang Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km 2 terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan. 4.1.2 Kependudukan Jumlah penduduk Kota Medan tahun 2011 berdasarkan data dari Kantor Statistik kota Medan adalah 2.121.053 jiwa dengan jumlah rumah tangga (KK) sebanyak 477.322 KK dan kepadatan penduduk rata-rata 8.001 jiwa/km 2. Daerah terpadat penduduknya adalah Kecamatan Perjuangan, yaitu 25.844 jiwa/km 2 (luas wilayah 40,9 km 2 ). Sedangkan Kecamatan Labuhan merupakan daerah yang jarang penduduknya, yaitu 2.916 jiwa/km 2 (luas wilayah: 36,67 km 2 ).

54 Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa penduduk terbanyak pada kelompok umur 15-44 tahun terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 574.892 orang (54,5%) dan perempuan sebanyak 603.479 orang (56,5%). Sedangkan jumlah bayi (< 1 tahun), laki-laki sebanyak 19.117 orang (1,8 %) dan perempuan sebanyak 18.137 orang (1,7 %). Anak balita 1-4 tahun, laki-laki berjumlah 86.912 orang (8,3 %) dan perempuan sebanyak 81.614 orang (7,7 %). Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kelompok Umur Laki-laki % Perempuan % <1 tahun 19.117 1,8 18.137 1,7 1-4 tahun 86.912 8,3 81.614 7,7 5-14 tahun 213.486 20,2 201.919 18,9 15-44 tahun 574.892 54,5 603.479 56,5 45-64 tahun 131.729 12,5 127.716 12,0 65 tahun 28.207 2,7 33.846 3,2 Jumlah 1.054.343 100,0 1.066.710 100,0 Sumber: Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2012 4.1.3. Kegiatan Penanggulangan HIV Sosialisasi Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang penanggulangan HIV/AIDS merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan, dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang HIV/AIDS secara berkelanjutan termasuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA), serta untuk pencegahan penyebaran HIV/AIDS lebih komprehensif, memberdayakan masyarakat secara langsung, sehingga pencegahan penyebarannya

lebih cepat, untuk itulah diperlukan kerja sama yang lebih erat semua elemen, pemerintah, pengurus KPA dan peran media massa. Perda Nomor 1 tahun 2012 tentang penanggulangan HIV/AIDS yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Medan bila disimak pasal demi pasal belum terlihat langkah yang konkret atau masih bersifat normatif dalam rangka menanggulangi penyebaran HIV. Belum ada satu pasal yang menegaskan untuk mengerem perilaku berisiko misalnya seperti: Setiap orang diwajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, di wilayah Kota Medan atau di luar wilayah Kota Medan serta di luar negeri. Salah satu negara yang sudah menerapkan langkah atau cara yang konkret memakai kondom jika melakukan hubungan seksual adalah Negara Thailand. Negara Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Tidak ada negara yang melegalkan pelacuran. Yang ada adalah membuat regulasi berupa melokalisir pelacuran agar bisa ditangani untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit, seperti HIV, dari laki-laki hidung belang ke PSK dan sebaliknya. Yang menjadi persoalan besar justru orang-orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi, mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Berdasarkan data, dari 10 Provinsi di Pulau Sumatera tentang anggaran penanggulangan HIV/AIDS, Provinsi Sumatera Utara termasuk salah satu provinsi yang paling rendah anggarannya. Sebagai perbandingan, Provinsi Aceh mengalokasikan anggaran Rp.500 juta pada tahun 2010, 2011, dan 2012. Sedangkan Provinsi Sumatera Barat, meskipun hanya mengalokasikan Rp100 juta pada 2010 dan 2011, anggaran untuk tahun 2012, naik empat kali lipat, menjadi Rp.400 juta. Program penanggulangan HIV/AIDS di Sumatera Utara belum maksimal, sehingga dikhawatirkan upaya untuk mewujudkan Millenium Development Goal s (MDGs) pada tahun 2015 menjadi terhambat. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya koordinasi yang baik antara lintas sektor dan pihak-pihak terkait dalam penanggulangan bahaya HIV/AIDS. Peran dan tanggung jawab Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Sumatera Utara juga sangat dibutuhkan untuk mengkomunikasikan hal tersebut kepada jajarannya. 4.2 Karakteristik Penderita HIV Karakteristik penderita HIV berdasarkan catatan bulanan Dinas Kesehatan Kota Medan terdiri dari: usia, jenis kelamin, pekerjaan, faktor risiko, dan laporan meninggal. Hasil penelitian menunjukkan penderita HIV tahun 2007-2011 berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki, yaitu sebanyak 1.448 orang (70,7%). Berdasarkan faktor risiko yang terbanyak adalah heteroseksual, yaitu

sebanyak 1.331 orang (65,0%). Berdasarkan usia yang terbanyak pada kelompok usia 25-34 tahun, yaitu sebanyak 1.157 orang (56,5%). Berdasarkan jenis pekerjaan yang terbanyak adalah wiraswata, yaitu sebanyak 796 orang (38,8%) dan berdasarkan status penderita HIV yang dilaporkan meninggal yang terbanyak adalah laki-laki, yaitu sebanyak 385 orang (68,7%). Distribusi karakteristik penderita HIV Tahun 2007-2011, disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Penderita HIV Tahun 2007-2011 di Kota Medan Tahun Karakteristik 2007 2008 2009 2010 2011 Total n % n % n % n % n % n % Jenis Kelamin Laki - Laki 191 61,4 232 66,9 277 76,1 342 75,7 406 70,6 1448 70,7 Perempuan 120 38,6 115 33,1 87 23,9 110 24,3 169 29,4 601 29,3 Total 311 100,0 347 100,0 364 100,0 452 100,0 575 100,0 2049 100,0 Faktor Risiko Heteroseksual 206 66,2 232 66,9 241 66,2 281 62,2 371 64,5 1331 65,0 Homoseksual 9 2,9 8 2,2 10 2,7 39 8,6 44 7,7 110 5,3 IDUs 78 25,1 93 26,8 99 27,2 112 24,8 131 22,8 513 25,0 Perintal 3 1,0 4 1,2 7 1,9 10 2,2 12 2,1 36 1,8 Tranfusi Darah 5 1,6 6 1,7 1 0,4 4 0,9 9 1,6 25 1,2 Tidak Diketahui 10 3,2 4 1,2 6 1,6 6 1,3 8 1,3 34 1,7 Total 311 100,0 347 100,0 364 100,0 452 100,0 575 100,0 2049 100,0 Usia 15 Tahun 2 0,7 4 1,2 10 2,7 11 2,4 13 2,3 40 2,0 16-24 Tahun 79 25,4 70 20,2 52 14,3 72 15,9 62 10,8 335 16,3 25-34 Tahun 192 61,7 177 51,0 209 57,4 256 56,6 323 56,2 1157 56,5 35-44 Tahun 32 10,3 77 22,2 67 18,4 76 16,8 129 22,4 381 18,6 45 Tahun 6 1,9 19 5,4 26 7,2 37 8,3 48 8,3 136 6,6 Total 311 100,0 347 100,0 364 100,0 452 100,0 575 100,0 2049 100,0

Tabel 4.2 Lanjutan Tahun Karakteristik 2007 2008 2009 2010 2011 Total n % n % n % n % n % n % Jenis Pekerjaan PNS/POLRI 13 4,2 13 3,8 15 4,1 20 4,4 30 5,2 91 4,4 Karyawan 19 6,1 23 6,6 23 6,3 28 6,2 34 5,9 127 6,2 Wiraswasta 130 41,8 142 40,9 145 39,8 157 34,7 222 38,6 796 38,8 Ibu RT 23 7,4 26 7,5 28 7,7 57 12,6 92 16,0 226 11,0 Mahasiswa/siswa 19 6,1 22 6,3 24 6,6 29 6,4 9 1,6 103 5,0 PSK 17 5,5 19 5,5 22 6,0 26 5,8 28 4,9 112 5,5 Napi 30 9,6 33 9,5 33 9,2 35 7,8 35 6,1 166 8,2 Tidak Diketahui 60 19,3 69 19,9 74 20,3 100 22,1 125 21,7 428 20,9 Total 311 100,0 347 100,0 364 100,0 452 100,0 575 100,0 2049 100,0 Dilaporkan meninggal Laki - Laki 0 0,0 32 78,0 39 72,2 44 64,7 55 56,7 385 68,7 Perempuan 0 0,0 9 22,0 15 27,8 24 35,3 42 43,3 175 31,3 Total 0 0,0 41 100,0 54 100,0 68 100,0 97 100,0 560 100,0 Secara deskriptif mean jumlah penderita HIVyang tercatat di Kota Medan dari tahun 2007 sampai tahun 2011, yaitu sebanyak 34,2 kasus setiap bulannya, jumlah penderita terbanyak yang tercatat adalah sebanyak 60 kasus dan jumlah penderita paling sedikit tercatat sebanyak 19 kasus. Nilai standar deviasi sebesar 10,5, hal ini menunjukkan jumlah penderita HIV tiap bulannya mempunyai variasi yang cukup tinggi. Secara deskriptif jumlah penderita HIV di Kota Medan disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Jumlah Penderita HIV di Kota Medan Tahun 2007-2011 Variabel Mean St.Dev Minimum Maksimum HIV 34,2 10,5 19,0 60 4.3 Peramalan Jumlah Penderita HIV dengan Pemodelan ARIMA Bagian ini menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan peramalan jumlah penderita HIV dimulai dari bulan ke-1 tahun 2007 sampai bulan ke 60 di tahun 2011. Sumber data yang digunakan adalah data jumlah penderita HIV bulanan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011, sehingga keseluruhannya berjumlah 60 data. Sebelum dilakukan pembentukan model dilakukan uji stasioneritas. Model yang digunakan adalah teknik Box-Jenkin. Aplikasi teknik Box- Jenkin merupakan salah satu teknik peramalan model time series yang berdasarkan perilaku data di masa lalu. Analisis ini berbeda dengan model struktural baik model kausal maupun simultan di mana persamaan model tersebut menunjukkan hubungan antara variabelvariabel dalam suatu penelitian. Alasan utama penggunaan teknik Box-Jenkin sebagai teknik peramalan berbeda dengan kebanyakan model peramalan yang ada. Di dalam model ini tidak ada asumsi khusus tentang data historis dari runtut waktu, tetapi menggunakan model iteratif untuk menentukan model yang terbaik.

60 4.3.1 Stasioner Data a. Uji Stasioner Data Data penderita HIV tahunan (2007 2011) dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa tingkat penderita HIV di Kota Medan berfluktuasi mengalami peningkatan secara berkelanjutan pada setiap selang waktu. Tren jumlah penderita HIV disajikan pada Gambar 4.1 70 60 50 Penderita 40 30 20 10 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Gambar 4.1 Pergerakan Jumlah Penderita HIV Tahun 2007-2011 Secara sederhana pada Gambar 4.1 jumlah penderita HIV cenderung menaik pada data yang mengandung implikasi bahwa data bersifat non-stasioner. Pola trend yang hampir mendatar dan variasi data terletak pada sebuah pita yang meliput tidak seimbang trend data, hal ini mengindikasikan bahwa data stasioner lemah dalam rata-rata hitung, tapi tidak stasioner dalam varians. Berdasarkan Gambar 4.1 akan

61 dilakukan uji stasioneritas menggunakan aplikasi E-Views 6.0 menghasilkan correlogram dengan lags sebanyak 60 bulan (Lampiran 2). Pembentukan correlogram dimulai pada level (data asli) dan berlanjut ke data hasil pembedaan (differencing). Data pembentukan correlogram disajikan pada Gambar 4.2 dan 4.4. Gambar 4.2 Correlogram pada Level (Deret Asli Data HIV)

Gambar 4.2 di atas menunjukkan dua fakta, yaitu pertama nilai ACF (Autocorrelation Function) menurun dan mengecil secara perlahan membentuk garis lurus. Bahkan jika pembentukan correlogram dilanjutkan hingga lags ke 60 nilai ACF signifikan secara statistik masih berbeda dari nol. Nilai ACF berada di luar tingkat kepercayaan 95 % (batas tingkat kepercayaan diwakili garis di sisi kanan dan kiri sumbu). Kedua, setelah lag pertama, nilai PACF (Partial Autocorrelation Function) menurun secara drastis dan seluruh PACF setelah lag 1 tidak signifikan ditunjukkan koefisien autokorelasi parsial mendekati nol setelah lag pertama. Dua fakta di atas menunjukkan bahwa data bersifat non-stasioner. Uji stasioneritas selanjutnya dilakukan dengan uji akar unit, karena secara visual saja uji kestasioneran data kurang relevan. Metode yang digunakan adalah ADF (Augmented Dickey Fuller). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan Software E-Views 6.0. Tabel 4.4 Uji Akar Unit Level (Data Runtun Waktu Asli) Null Hypothesis: HIV has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1,920727 0,3208 Test critical values: 1% level -3,546099 5% level -2,911730 10% level -2,593551 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

63 Berdasarkan Tabel 4.4 di atas nilai t-statistic 1,920727< 1%, 5% dan 10% (critical value) dengan taraf signifikansi p=0,3208>p=0,05, sehingga tidak dapat menolak hipotesis null, yaitu data memiliki unit root atau bersifat non stasioner. Berdasarkan hasil correlogram dan uji akar unit maka dapat disimpulkan data pada level (data runtun waktu asli) bersifat non-stasioner. Untuk itu perlu dilakukan pembedaan (differencing) pada data HIV. Selanjutnya pergerakan data HIV setelah pembedaan pertama (d=1) disajikan pada Gambar 4.3. 30 20 10 Penderita 0-10 -20-30 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Gambar 4.3 Pergerakan Jumlah Penderita HIV Setelah Pembedaan Pertama Berdasarkan Gambar 4.4 di atas dapat dilihat bahwa data penderita HIV berada di sekitar nilai tengahnya, artinya nilai tengah dan varian tetap tidak

64 tergantung pada perubahan waktu. Hal ini dibuktikan dengan correlogram (Gambar 4.3) dan hasil uji akar unit dengan ADF (Tabel 4.5) pada pembedaan pertama. Tabel 4.5 Uji Akar Unit Pembedaan Pertama Null Hypothesis: D(HIV) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10,06675 0,0000 Test critical values: 1% level -4,124265 5% level -3,489228 10% level -3,173114 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Berdasarkan Tabel 4.5 di atas diperoleh nilai t-statistic ADF 10,06675 > dari nilai kritis Mackinnon pada level 1%, 5% dan 10% dengan taraf signifikansi p=0,0000<0,05, hal ini berarti H 0 di tolak oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa data bersifat stasioner pada pembedaan pertama. Dengan demikian, orde d pada ARIMA bernilai 1. Berikutnya adalah penentuan ordo suku AR dan MA.

b. Penentuan Ordo AR MA Gambar 4.4 Correlogram pada Pembedaan Pertama Correlogram pada Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa PACF signifikan pada lag 1, dan 9 sedangkan ACF signifikan pada lag 1 dan 10 (Lampiran-4). Untuk memperkuat uji stasioneritas dengan correlogram dilakukan uji akar unit terhadap

data pada pembedaan pertama. Hasil uji akar unit dengan menggunakan metode ADF disajikan pada Tabel 4.5 di atas. 4.3.2 Identifikasi Model Proses selanjutnya dari model Box-Jenkins adalah melakukan identifikasi untuk menentukan model ARIMA yang mungkin cocok (paling baik untuk meramal). Berdasarkan hasil uji stasioner data penderita HIV melalui uji ADF (Tabel 4.5) dan correlogram (Gambar 4.4) dketahui bahwa nilai PACF signifikan pada lag 1 dan 9, AR (2) dan ACF signifikan pada lag 1 dan 10, MA (2), karena spike =2. Data time series yang dianalisis dalam penelitian ini tidak stasioner dalam level namun data tersebut menjadi stasioner melalui proses diferensasi. Model dengan data yang stasioner melalui proses differencing ini di sebut model ARIMA. Dengan demikian, jika data stasioner pada proses differencing d kali dan mengaplikasikan ARMA (p,q), maka modelnya ARIMA (p,d,q) di mana p adalah tingkat AR, d tingkat proses membuat data menjadi stasioner dan q merupakan tingkat MA. Model ARIMA yang relevan untuk di estimasi, yaitu model ARIMA (1.1.1), (2.1.1), (1.1.2), (2.1.2). Selanjutnya akan dilakukan estimasi untuk mendapatkan model terbaik. 4.3.3 Estimasi Estimasi dapat dilakukan dengan OLS (Ordinary Least Square), tetapi mengingat adanya unsur AR (autoregressive) MA (moving average), yang menyebabkan ketidaklinearan parameter. Berdasarkan tahapan analisis model Box- Jenkins (ARIMA) untuk data penderita HIV di Kota Medan diperoleh hasil estimasi model model ARIMA terbaik. Konsep pembentukan model ARIMA dapat juga

dilakukan dengan cara trial end error untuk memperoleh parameter hingga proses iterasi akan mempercepat konfergensi. Hasil estimasi disajikan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Estimasi Model Model ARIMA Variabel Koefisien Probabilitas AIC SIC Adjusted 2 R (2.1.1) C 0,516612 0,0006 6,41774 AR (1) 0,479244 0,0016 6 AR (2) 0,060815 0,6731 MA (1) -0,961101 0,0000 (1.1.2) C AR (1) MA (1) MA (2) (2.1.2) C AR(1) AR(2) MA(1) MA(2) (1.1.1) C AR(1) MA(1) 0,521814 0,592176-1,073412 0,110682 0,708005-0,397783 0,575945 0,032398-1,463061 0,514991 0,502622-0,957487 0,0014 0,0200 0,0005 0,6811 0,0043 0,0039 0,0001 0,8470 0,0000 0,0012 0,0005 0,0000 6,40137 0 5,78579 3 6,37020 9 SEE 6,561118 0,162005 5,79003 8 6,543470 0,162602 5,74603 8 5,965008 0,561649 4,18766 1 6,476784 0,175091 5,70302 6 Tabel 4.6 di atas menunjukkan hasil estimasi secara ringkas dari beberapa alternatif model ARIMA, yaitu ARIMA: (2.1.1), (1.1.2), (2.1.2) dan (1.1.1). Pemilihan model yang cocok untuk meramal didasarkan pada hasil uji t, R 2, AIC (Akaike Information Criteria), SIC (Schwarz Information Criteria). Model ramalan yang baik adalah berdasarkan uji t dengan parameter estimasi yang signifikan, nilai adjusted R 2 yang tinggi, AIC dan SIC yang rendah serta nilai q-statistik pada setiap lag tidak signifikan (Gujarati, 2003; Pindyck and Rubinfeld, 1998; Hill, Griffiths and Judge, 1998).

Berdasarkan kombinasi pengujian maka dapat di analisa sebagai berikut: a. Model ARIMA (2.1.1), dari hasil uji-t koefisien dari model yang signifikan adalah konstanta, variabel AR(1) dan MA (1) sedangkan variabel AR(2) tidak signifikan dengan nilai adjusted R 2 =0,162005 (Lampiran 7a), sehingga disimpulkan model ini dinyatakan gugur untuk dilanjutkan sebagai peramalan. b. Model ARIMA (1.1.2), dari hasil uji-t koefisien dari model yang signifikan adalah konstanta, variabel AR(1) dan MA (1) sedangkan variabel MA(2) tidak 2 signifikan dengan nilai adjusted R =0,162602 (Lampiran 7c), sehingga disimpulkan model ini juga dinyatakan gugur untuk dilanjutkan sebagai peramalan. c. Model ARIMA (2.1.2), dari hasil uji-t koefisien dari model yang signifikan adalah konstanta, variabel AR(1), AR(2) dan MA (2) sedangkan variabel MA(1) tidak signifikan dengan nilai adjusted R =0,561649 (Lampiran 7e), sehingga disimpulkan model ini juga dinyatakan gugur untuk dilanjutkan sebagai peramalan. d. Model ARIMA (1.1.1), dari hasil uji-t koefisien dari model yang signifikan adalah konstanta p=0,0012<p=0,05, variabel AR(1) p=0,0005<p=0,05, variabel MA(1) p=0,0000<p=0,05 dan nilai adjusted R 2 =0,175091, serta nilai AIC=6,370209, SIC=6,476784, sehingga disimpulkan model ini lebih layak dipertimbangkan untuk peramalan (Lampiran 7g). 2

4.3.4 Diagnostic Checking Tahap ini digunakan untuk mendeteksi apakah secara keseluruhan data estimasi yang diperoleh layak digunakan dalam peramalan. Sebagai indikator diagnostic checking dilihat dari nilai Q-statistic. Kemudian estimator model ARIMA (1.1.1) harus dilihat residualnya berdasarkan nilai Q-statistic, untuk memastikan bahwa model tersebut mampu menjelaskan data dengan baik. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa data model ARIMA (1.1.1) memiliki nilai probabilitas pada Q-statistik tidak signifikan, artinya tidak terdapat nilai residual untuk setiap lag (Lampiran 7h). Jika pada lag tertentu ada yang signifikan maka model mengandung white noise (atau model masih terdapat nilai residual) (Gujarati, 2003). Kesimpulan dari analisis correlogram baik ACF dan PACF menunjukkan bahwa residual yang di estimasi dari persamaan model ARIMA (1.1.1) merupakan model yang tidak mengandung white noise. Setelah mendapatkan model estimasi yang tepat, kemudian dilakukan analisis peramalan. 4.3.5 Peramalan Model ARIMA (1.1.1), yaitu X t = u + Φ 1X t-1 θ 1 e t - 1 + e t. Persamaan yang terbentuk dari data yang telah mengalami proses pembedaan, dalam melakukan peramalan harus dilakukan proses kebalikannya, yaitu proses integral yang dapat dituliskan sebagai berikut : Yt = u + Φ 1 Y t-1 θ 1 e t-1 + et Yt = 0,514991 + 0,502622 Y t-1 - (-0,957487) e t - 1 - e Yt = (1-0,502622) 0.514991 + (1+ 0,502622) Y t-1-0.502622 Y t-2-0.957487 e t - 1 - e t t

70 Y t Y t = 24,76401119-1,873799 = 22,9 Melakukan peramalan jumlah penderita HIV berdasarkan persamaan di atas akan dikembalikan ke nilai penderita HIV asli dan bukan nilai pada pembedaan pertamanya. Hasil peramalan berdasarkan estimasi model ARIMA (1.1.1) disajikan pada Gambar 4.5. 70 60 50 40 30 20 10 Forecast: HIVF Actual: HIV Forecast sample: 2007M01 2011M12 Adjusted sample: 2007M03 2011M12 Included observations: 58 Root Mean Squared Error 6.753831 Mean Absolute Error 4.906300 Mean Abs. Percent Error 17.25950 Theil Inequality Coefficient 0.091284 Bias Proportion 0.119973 Variance Proportion 0.061675 Covariance Proportion 0.818352 0 2007 2008 2009 2010 2011 HIVF ± 2 S.E. Gambar 4.5 Hasil Peramalan Model ARIMA (1.1.1) Berdasarkan Gambar 4.5. menunjukkan nilai bias proportion sebesar 0,119973 (di bawah 0,2), sementara covariance proportion 0,818352 (hampir mendekati 1), maka model ini dapat meramal jumlah penderita HIV kedepan. Bila mengasumsi model sudah benar, maka langkah selanjutnya adalah memperpanjang range data untuk peramalan 5 (lima) tahun ke depan sampai tahun 2016.

4.3.6 Peramalan Jumlah Penderita HIV Tahun 2007-2011 di Kota Medan Hasil peramalan jumlah penderita HIV di Kota Medan dengan model ARIMA (1.1.1) selama tahun 2007-2011, disajikan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Hasil Peramalan Jumlah Penderita HIV Tahun 2007-2011 di Kota Medan Periode Aktual Forecast Residual % 2007M01 20 NA - - 2007M02 23 NA - - 2007M03 21 22,9-1,9-8,9 2007M04 22 23,1-1,1-4,8 2007M05 25 23,4 1,6 6,3 2007M06 30 23,9 6,1 20,5 2007M07 25 24,3 0,7 2,7 2007M08 30 24,8 5,2 17,3 2007M09 29 25,3 3,7 12,7 2007M10 33 25,8 7,2 21,7 2007M11 26 26,3-0,3-1,3 2007M12 27 26,9 0,1 0,5 2008M01 19 27,4-8,4-44,1 2008M02 22 27,9-5,9-26,8 2008M03 24 28,4-4,4-18,4 2008M04 26 28,9-2,9-11,2 2008M05 22 29,4-7,4-33,8 2008M06 29 30,0-1,0-3,3 2008M07 26 30,5-4,5-17,2 2008M08 31 31,0 0,0 0,1 2008M09 39 31,5 7,5 19,2 2008M10 40 32,0 8,0 20,0 2008M11 34 32,5 1,5 4,3 2008M12 35 33,0 2,0 5,6 2009M01 24 33,6-9,6-39,8 2009M02 27 34,1-7,1-26,2 2009M03 37 34,6 2,4 6,5

Tabel 4.7 Lanjutan Periode Aktual Forecast Residual % 2009M04 28 35,1-7,1-25,4 2009M05 20 35,6-15,6-78,1 2009M06 30 36,1-6,1-20,4 2009M07 31 36,6-5,6-18,2 2009M08 34 37,2-3,2-9,3 2009M09 36 37,7-1,7-4,7 2009M10 30 38,2-8,2-27,3 2009M11 32 38,7-6,7-21,0 2009M12 35 39,2-4,2-12,1 2010M01 28 39,7-11,7-41,9 2010M02 35 40,3-5,3-15,0 2010M03 19 40,8-21,8-114,6 2010M04 35 41,3-6,3-17,9 2010M05 40 41,8-1,8-4,5 2010M06 40 42,3-2,3-5,8 2010M07 44 42,8 1,2 2,7 2010M08 42 43,3-1,3-3,2 2010M09 43 43,9-0,9-2,0 2010M10 42 44,4-2,4-5,6 2010M11 41 44,9-3,9-9,5 2010M12 43 45,4-2,4-5,6 2011M01 26 45,9-19,9-76,6 2011M02 30 46,4-16,4-54,8 2011M03 46 46,9-0,9-2,1 2011M04 48 47,5 0,5 1,1 2011M05 49 48,0 1,0 2,1 2011M06 51 48,5 2,5 4,9 2011M07 52 49,0 3,0 5,8 2011M08 54 49,5 4,5 8,3 2011M09 50 50,0 0,0-0,1 2011M10 54 50,6 3,4 6,4 2011M11 55 51,1 3,9 7,2 2011M12 60 51,6 8,4 14,0 Jumlah 2.049 2.141,7-92,7-4,5

Tabel 4.7 menunjukkan data penderita HIV terus bertambah setiap tahunnya. Hasil peramalan data penderita HIV di Kota Medan selama tahun 2007-2011 yang diramalkan saat ini per bulannya dengan model ARIMA (1.1.1) berbeda dengan data aktual. Data aktual sebanyak 2.049 kasus sedangkan hasil peramalan sebanyak 2.142 kasus. Model ARIMA (1.1.1) layak digunakan untuk menjelaskan keterkaitan jumlah penderita saat ini dengan jumlah penderita sebelumnya karena nilai aktual masih berada pada selang kepercayaan 95% dari nilai forecasting. Secara total memiliki selisih negatif sebesar 4,5% (di bawah 5%), sehingga model ARIMA (1.1.1) relevan digunakan untuk proyeksi penderita HIV ke depan. Berdasarkan grafik juga dapat dilihat bahwa hasil peramalan jumlah penderita HIV (fitted berdekatan dengan actual) relatif tidak berbeda dengan jumlah penderita aktual. Hasil peramalan jumlah penderita HIV 2007-2011 disajikan pada Gambar 4.6. 20 10 0 10 5 0-5 -10-15 -20 2007 2008 2009 2010 2011-10 -20 Residual Actual Fitted Gambar 4.6 Grafik Model ARIMA (1.1.1) Hasil Peramalan Jumlah Penderita HIV 2007-2011

74 4.3.7 Peramalan Jumlah Penderita HIV Tahun 2012-2016 di Kota Medan Peramalan jumlah penderita HIV tahun 2012-2016 di Kota Medan dengan model ARIMA (1.1.1) disajikan pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Hasil Peramalan Jumlah Penderita HIV Tahun 2012-2016 di Kota Medan Periode Proyeksi 2012M01 52,1 2012M02 52,6 2012M03 53,1 2012M04 53,6 2012M05 54,2 2012M06 54,7 2012M07 55,2 2012M08 55,7 2012M09 56,2 2012M10 56,7 2012M11 57,2 2012M12 57,8 2013M01 58,3 2013M02 58,8 2013M03 59,3 2013M04 59,8 2013M05 60,3 2013M06 60,9 2013M07 61,4 2013M08 61,9 2013M09 62,4 2013M10 62,9 2013M11 63,4 2013M12 63,9 2014M01 64,5 2014M02 65,0 2014M03 65,5 2014M04 66,0 2014M05 66,5 2014M06 67,0 2014M07 67,5

75 Tabel 4.8 Lanjutan Periode Proyeksi 2014M08 68,1 2014M09 68,6 2014M10 69,1 2014M11 69,6 2014M12 70,1 2015M01 70,6 2015M02 71,1 2015M03 71,7 2015M04 72,2 2015M05 72,7 2015M06 73,2 2015M07 73,7 2015M08 74,2 2015M09 74,8 2015M10 75,3 2015M11 75,8 2015M12 76,3 2016M01 76,8 2016M02 77,3 2016M03 77,8 2016M04 78,4 2016M05 78,9 2016M06 79,4 2016M07 79,9 2016M08 80,4 2016M09 80,9 2016M10 81,4 2016M11 82,0 2016M12 82,5 Jumlah 4.037,3 Berdasarkan Tabel 4.8 di atas hasil peramalan jumlah penderita HIV di Kota Medan dengan model ARIMA (1.1.1) meningkat per bulan untuk setiap tahunnya dari tahun 2012-2016, dengan jumlah total proyeksi sebanyak 4.037,3 penderita.

4.3.8 Uji Ketepatan Peramalan Metode peramalan tidak ada yang sempurna di setiap kondisi. Bahkan ketika manajemen menemukan pendekatan yang memuaskan, permalan tersebut masih tetap harus terus dimonitor dan dikendalikan untuk memastikan kesalahan peramalan tidak terlalu tinggi (Heizer dan Render, 2006). Keakuratan peramalan selain berdasarkan pola data dapat juga didasarkan pada ukuran lainnya, yaitu error (E atau e) yang diperoleh dari selisih nilai dari data aktual dengan nilai ramalan untuk tiap periode Beberapa teknik mengukur kesalahan peramalan dapat dilihat hasil berdasarkan nilai RMSE, MAE dan MAPE. Berdasarkan Gambar 4.5 di atas diperoleh nilai RMSE=6,753831,MAE=4,906300, dan MAPE=17,25950. MAPE merupakan ukuran ketepatan relatif yang digunakan untuk mengetahui persentase penyimpangan hasil peramalan. MAPE ini yang akan menentukan apakah metode peramalan yang di pilih ini sudah tepat atau belum. Semakin kecil nilai MAPE, maka peramalan tersebut semakin akurat.

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Analisis Data Bagian ini akan diulas mengenai statistika deskriptif dari variabel yang digunakan, yaitu data jumlah penderita HIV selama periode 2007-2011 di Kota Medan. Hasil statistika deskriptif jumlah penderita HIV selama periode pengamatan sebanyak 34,2 kasus per bulannya, jumlah penderita terbanyak yang tercatat adalah sebanyak 60 kasus dan jumlah penderita paling sedikit tercatat sebanyak 19 kasus. Nilai standar deviasi sebesar 10,5 (Lampiran 1), hal ini menunjukkan data jumlah penderita HIV memiliki variasi dari nilai rata-ratanya yang cukup tinggi. Pola data tersebut menunjukkan gejala data yang tidak stasioner karena nilai rata-rata dan variannya cenderung berubah-ubah. Mengubah data time series non-stasioner menjadi stasioner dapat dilakukan dengan cara melakukan differencing. Data asli (Y t ) diganti dengan perbedaan pertama data asli tersebut atau dirumuskan dengan d (1) = Y t Y t-1 (Aritonang, 2002). Setelah data di difference satu kali standar deviasinya menjadi 6,2 dengan ratarata (mean) sebesar 0,7 (Lampiran 5), sehingga pola data HIV memiliki variasi dari nilai rata-ratanya mendekati nol. Hal ini menunjukkan data tersebut sudah stasioner. Apabila data time series stasioner maka dapat dibuat beberapa model peramalan, seperti autoreggressive (AR), moving average (MA) dan autoreggressive integrated moving average (ARIMA). Untuk mengetahui apakah data time series ini

mengikuti proses AR (jika ya, berapa nilai p) atau mengikuti proses MA (jika ya, berapa nilai q) atau mengikuti proses ARIMA. Jika mengikuti proses ARIMA maka harus diketahui nilai p,d, dan q, dengan cara melakukan serangkaian uji-uji seperti uji kestasioneran data, proses pembedaan, dan pengujian correlogram untuk menentukan koefisien autoregresi. Berdasarkan gambar correlogram autokorelasi (ACF) dan autokorelasi parsial (PACF) dapat ditentukan bentuk model peramalannya. Jika hasil correlogram ACF signifikan pada lag 1 dan PACF mengalami penurunan secara eksponensial (bergelombang) setelah lag 1 maka yang terjadi adalah proses AR(1) atau ARIMA(1.1.0), dan jika hasil correlogram PACF signifikan pada lag 1 dan ACF mengalami penurunan secara eksponensial (bergelombang) setelah lag 1 maka yang terjadi adalah proses MA(1) atau ARIMA (0.1.1). Namun jika hasil correlogram ACF dan PACF sama-sama bergelombang maka yang terjadi adalah proses ARIMA (1,1,1), hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang ditunjukkan oleh hasil correlogram ACF dan PACF data penderita HIV (Lampiran 4). Namun mungkin jika suatu saat ditemukan data time series yang bisa di proses dengan sama baiknya pada semua model yang disebutkan di atas (AR, MA dan ARIMA). Jika hal tersebut terjadi maka pemilihan model terbaik adalah mengacu pada model yang memberikan nilai minimum AIC dan dan SIC yang rendah serta nilai q-statistik pada setiap lag tidak signifikan (Gujarati, 2003) yang dapat dilihat pada hasil output residual diagnostics dengan bantuan program komputer E-Views. Setelah ditemukan model terbaik kemudian diestimasi dengan analisis regresi linear

untuk mencari konstanta dan koefisien regresinya (Aritonang, 2002). Dari hasil regresi linear diperoleh nilai konstantanya sebesar 0,514991 dan koefisien regresinya untuk AR(1) sebesar 0,502622 dan MA(1) sebesar -0,957487 dengan signifikansi yang mendekati nol (Lampiran 7g). Selanjutnya karena model tentatif sudah diketahui maka model tersebut dapat digunakan sebagai peramalan. Penting diketahui untuk series homogen non stasioner, karena yang diperlukan adalah data ramalan series asli, maka bentuk selisih harus dikembalikan pada bentuk variabel asli, yaitu dengan melakukan proses integral. Berdasarkan cirinya, model time series seperti ini lebih cocok untuk peramalan jangka pendek. Akhirnya perlu diingat bahwa peramalan merupakan never ending proses, maksudnya jika data terbaru muncul, model perlu di duga dan di periksa kembali (Mulyono, 2000). 5.2 Peramalan Jumlah Penderita HIV 5.2.1 Peramalan Jumlah Penderita HIV Terdahulu (2007-2011) Hasil penelitian menunjukkan bahwa data penderita HIV terus bertambah setiap tahunnya. Hasil peramalan penderita HIV selama tahun 2007-2011 di Kota Medan yang diramalkan saat ini per bulannya dengan model ARIMA (1.1.1) berbeda dengan data aktual. Hasil peramalan menunjukkan jumlah penderita HIV sebanyak 2.141,7 orang dibulatkan menjadi 2.142 orang, sedangkan data aktual menunjukkan 2.049 orang. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan data hasil peramalan dengan data aktual, namun model masih layak digunakan untuk menjelaskan keterkaitan

jumlah penderita saat ini dengan jumlah penderita sebelumnya karena nilai aktual masih berada pada selang kepercayaan 95% dari nilai forecasting. Secara total hasil peramalan memiliki selisih negatif sebesar 4,5% (dibawah 5%), sehingga model ARIMA (1.1.1) relevan digunakan untuk proyeksi penderita HIV ke depan. Fenomena HIV memiliki dependensi waktu bagi seseorang yang mengidap penyakit HIV. Salah satu dependensi waktu yang dimaksud adalah berkaitan dengan lamanya usia hidup seorang penderita HIV yang berpotensi menyebarkan virus HIV kepada orang lain dalam periode waktu tertentu, sehingga fenomena HIV dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis time series seperti model ARIMA. Sesuai dengan prinsip dasar metode ARIMA yang sering disebut metode runtun waktu Box-Jenkins ketepatan peramalannya sangat baik untuk peramalan jangka pendek, sedangkan untuk peramalan jangka panjang ketepatan peramalannya kurang baik. Biasanya akan cenderung flat (mendatar/konstan) untuk periode yang cukup panjang. Salah satu kelebihan model ARIMA adalah model yang secara penuh mengabaikan independen variabel dalam membuat peramalan. ARIMA menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat dan metode ARIMA cocok jika observasi dari deret waktu (time series) secara statistik berhubungan satu sama lain (dependent) (Hanke and Reitsch, 1999). Mengacu kepada hasil penelitian dan terkait dengan prinsip metode ARIMA, yaitu identifikasi model ARIMA melalui correlogram (Gambar 4.3) dketahui bahwa nilai PACF, sebagai indikator variabel AR signifikan pada kelambananan (dies down)

pada lag 1 dan 9, sehingga AR (2) dan ACF sebagai indikator variabel MA signifikan pada lag 1 dan 10, sehingga MA (2), karena spike =2. Hal ini mengindikasikan bahwa model ARIMA (1.1.1) yang diprediksi menunjukkan adanya dependensi antara jumlah penderita pada bulan ini dengan jumlah penderita HIV pada bulan sebelumnya HIV di Kota Medan. Hal ini didukung dengan hasil estimasi model ARIMA (1.1.1) memiliki nilai yang signifikan, yaitu pada konstanta p=0,0012<p=0,05, variabel AR(1) p=0,0005<p=0,05, variabel MA(1) p=0,0000<p=0,05 dan nilai adjusted R 2 =0.175091, serta nilai AIC=6.370209, SIC=6.476784 Menurut Hanke dan Reitsch (1999), teknik Box-Jenkins sebagai teknik peramalan berbeda dengan kebanyakan model peramalan yang ada. Di dalam model ini tidak ada asumsi khusus tentang data historis dari runtut waktu, tetapi menggunakan metode iteratif untuk menentukan model yang terbaik. Model yang terpilih kemudian akan dicek ulang dengan data historis apakah telah menggambarkan data dengan tepat. Model terbaik akan diperoleh jika residual antara model peramalan dan data historis kecil, didistribusikan secara random dan independen. Model ARIMA yang menunjukkan indikator variabel AR signifikan pada kelambananan (lag) 1 dan 9, dan indikator variabel MA signifikan pada lag 1 dan 10, dapat diperoleh informasi bahwa jumlah penderita HIV di Kota Medan pada suatu waktu tertentu memiliki kaitan dengan jumlah penderita HIV di wilayah tersebut pada 1, 9, dan 10 bulan sebelumnya. Interpretasi fenomena HIV mengalami suatu proses inkubasi dari saat tertular hingga mampu teridentifikasi secara medis, yaitu berkisar

3-6 bulan, jika mengacu kepada lag 1,9 dan 10 yang signifikan, maka dapat dijelaskan bahwa data jumlah penderita HIV pada bulan ini memiliki keterkaitan secara linear dengan data jumlah penderita HIV pada 9 atau 10 bulan sebelumnya. Hal ini didukung oleh prinsip ARIMA (AR) menunjukkan bahwa nilai prediksi variabel dependen Y-t dan merupakan fungsi linier dari sejumlah Y-t aktual sebelumnya dan MA merupakan nilai prediksi variabel dependen Y-t dipengaruhi oleh nilai residual periode sebelumnya. Hal ini dapat diinterprestasikan bahwa jumlah penderita HIV pada bulan sebelumnya dalam satu tahun memiliki kaitan yang sangat erat dengan jumlah penderita HIV pada bulan ini. Hal ini terkait dengan nilai estimasi parameter ARIMA (1.1.1) memenuhi kriteria dibandingkan dengan model ARIMA lainnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Wiradarma (2012) di Kabupaten Badung dan Kota Madya Denpasar menggunakan model transfer function mengungkapkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS memiliki dependensi dengan jumlah penderita HIV/ AIDS pada masa sebelumnya, selain itu memiliki keterkaitan atau suatu hubungan secara korelasi linear dengan jumlah kunjungan wisatawan di daerah tersebut. 5.2.2 Peramalan Jumlah Penderita HIV (2012-2016) di Kota Medan Berdasarkan hasil penelitian peramalan jumlah penderita HIV di Kota Medan dengan model ARIMA (1.1.1) tahun 2012-2016 meningkat per bulan untuk setiap tahunnya dengan jumlah total proyeksi sebanyak 4.037,3 penderita. Rata rata jumlah

penderita per bulan setiap tahun sebanyak 67 orang, minimum sebanyak 52 orang dan maksimum sebanyak 82 orang. Tingkat angka kesakitan dan kematian diakibatkan oleh infeksi HIV masih cukup tinggi, serta laju transmisi yang terus meningkat, diperlukan langkah langkahlangkah strategis penanggulangan infeksi HIV termasuk dengan melibatkan Puskesmas sebagai sarana layanan kesehatan primer untuk penyakit HIV, Puskesmas adalah lini terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat dan berperan penting dalam menanggulangi penyebaran HIV. Sesuai dengan data yang dimiliki Sahiva USU tahun 2006-2011, Kota Medan menduduki peringkat ke 10 paling berbahaya untuk penderita HIV di Indonesia. Peringkat ini tidak mungkin turun mengingat jumlah penduduk Medan termasuk besar. Diprediksi dalam kurun waktu 2 sampai 3 tahun peringkat tersebut semakin meningkat karena jumlah penduduk yang semakin meningkat dan faktor risiko penyebab HIV juga semakin beragam. Hubungan seks dan pengguna narkoba suntik merupakan risiko yang paling banyak menularkan HIV (KPA Medan, 2011) Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Medan kurun waktu Januari sampai Agustus 2012 jumlah penderita HIV dan AIDS di Kota Medan sebanyak 373 orang terdiri dari penderita HIV sebanyak 258 orang dan penderita AIDS sebanyak 115 orang, dari jumlah data penderita HIV/AIDS berdasarkan jenis kelamin adalah 361 orang laki-laki dan 112 orang perempuan, berdasarkan umur penderita HIV/AIDS terbanyak usia 25-34 tahun sebanyak 202 orang. (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2012)

Salah satu upaya untuk mengatasi penyebaran HIV yang sudah sampai tahap membahayakan diperlukan sosialisasi yang efektif seperti melalui media langsung, pelatihan, seminar dan media tidak langsung seperti melalui brosur, surat kabar atau metode-metode baru yang tepat sasaran yang langsung berhadapan dengan penderita HIV. Rencana Strategis Penanggulangan HIV/AIDS Kota Medan tahun 2011-2014 merupakan acuan bagi semua pihak, baik instansi pemerintah, swasta, LSM dan seluruh stakeholder dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS secara terpadu. Pemerintah Kota Medan telah memiliki peraturan daerah (Perda) nomor 1 Tahun 2012 tentang HIV/AIDS di dalam pasal 8 dan 9 dijelaskan bahwa promosi kesehatan menjadi bahagian penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, termasuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dan untuk pencegahan penyebaran HIV/AIDS lebih komprehensif, perlu memberdayakan masyarakat secara langsung, sehingga pencegahan penyebarannya lebih cepat, untuk itulah diperlukan kerja sama yang lebih erat semua elemen, pemerintah, pengurus KPA dan peran media massa. Secara nasional berdasarkan data Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, hingga akhir tahun 2012, penderita HIV/AIDS berdasarkan peringkat, pertama adalah Papua mencapai 7.527 orang, dan kedua disusul DKI Jakarta mencapai 6.299 orang, sedangkan provinsi ketiga adalah Jawa Timur dengan jumlah 5.257 orang. Ibarat fenomena gunung es kasus HIV/AIDS puncaknya saja yang terlihat, padahal yang tidak terlihat lebih banyak lagi karena temuan kasus yang