BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, pembentukan dan implementasi kebijakan luar negeri. Diplomasi adalah instrumen negara melalui perwakilan formal maupun tidak formal, serta aktoraktor lain yang mengartikulasikan, mengkoordinasikan dan mewujudkan kepentingan yang lebih luas menggunakan korespondensi, pembicaraan rahasia, pertukaran pandangan, lobi-lobi, kunjungan-kunjungan dan aktivitas lainnya. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh Sumaryo Suryokusumo dalam bukunya Praktik Diplomasi dimana diplomasi dipahami sebagai bagian yang vital dalam kehidupan negara dan menjadi sarana utama dalam menangani masalah internasional demi terwujudnya idealisme perdamaian dunia. Pemerintah melaksanakan diplomasi dengan tujuan mendapatkan dukungan bagi terlaksananya kepentingan-kepentingan nasional. Diplomasi
adalah sebuah proses politik untuk memelihara kebijakan luar negeri suatu negara dalam mempengaruhi sikap dan kebijakan negara lainnya. 1 G. R. Berridge dalam bukunya Diplomacy: Theory and Practice menjelaskan bahwa kegiatan diplomasi dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Bilateral diplomasi berbasis state-to-state di mana masing-masing negara menekankan pada efektifitas komunikasi diplomatik melalui perwakilan formal kedua pihak. Multilateral diplomasi lebih melibatkan banyak pihak, termasuk beberapa negara dan organisasi internasional. Pemerintah melaksanakan diplomasi multilateral di mana kesepakatan internasional dibutuhkan dalam isu-isu tertentu. Konsep ini mengandung pemahaman liberal yang menekankan pada pentingnya perhatian khalayak akan keberlangsungan kekuasaan pemerintah. 2 Asumsinya jika pemerintah bertanggung jawab secara demokratis di dalam negeri, secara tidak langsung akan berimplikasi pada tanggungjawabnya pada dunia internasional. Otoritas sebuah negara akan lebih efektif jika dapat membawa perhatian pemerintahan internasional. Alat utama dalam melaksanakan pekerjaan diplomasi adalah perundingan-perundingan dan permusyawaratan-permusyawaratan. 1 Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi, (Cetakan I, Jakarta: BP Iblam, 2004), hlm. 1. 2 G. R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice, 2nd Edition, (Basingstoke: Palgrave MacMillan, 2002), hlm. 146-151.
Perundingan-perundingan ini ada yang dilahirkan atau dilaksanakan dengan mengadakan pertemuan-pertemuan dan konferensi-konferensi dan ada pula yang dilakukan dengan perantaraan surat atau pertukaran nota serta yang lainnya. Menurut hukum internasional dan yang biasa diakui secara umum bahwa hak untuk membuka hubungan diplomatik itu berasal dari pengakuan sebagai suatu negara yang berdaulat. Dalam prakteknya, suatu negara memberikan pengakuan terlebih dahulu dan kemudian membuka hubungan diplomatik. Suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara yang lain atas dasar persamaan hak dan kedaulatan. Para pihak saling mengirim wakilnya ke wilayah negara yang lain. Selain mengirim wakilnya, juga dirundingkan hal-hal yang merupakan kepentingan bersama untuk meningkatkan hubungan antar kedua pihak, mencegah kesalahpahaman ataupun menghindari terjadinya sengketa. Pada tahun 1974 terdapat suatu perkembangan baru dalam hukum internasional, yaitu mengenai pengakuan terbatas kepada gerakan-gerakan pembebasan nasional yang dimungkinkan untuk ikut dalam United Nations (PBB) atau organisasi-organisasi internasional lainnya. Akan tetapi pengakuan terbatas mengenai gerakan-gerakan pembebasan tersebut masih bersifat universal dan masih mendapat penolakan khususnya dari negaranegara barat, dikarenakan dalam UN Charter (Piagam PBB) tidak ada isi
ketentuan mengenai peninjauan dan gerakan-gerakan pembebasan yang bukan bagian dari subjek hukum internasional. 3 Banyaknya negara-negara dan berbagai macam organisasi internasional yang mendukung kemerdekaan Palestina tetapi sampai hari ini sama sekali belum merubah wajah Palestina. Berbicara mengenai negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, maka yang harus diketahui adalah syarat tentang pembentukan negara itu sendiri. Selanjutnya untuk dikatakan sebagai negara haruslah memenuhi unsur-unsur tertentu. Palestina merupakan kasus yang sangat kontroversial di dalam hukum internasional. Beberapa alasannya adalah: 1. Palestina mengklaim dirinya sebagai negara merdeka namun pada kenyataannya tidak mampu mengontrol wilayah yang diklaimnya. 2. Palestina mampu mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain, yakni diakui oleh semua negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). 3. Palestina belum menjadi negara anggota PBB, hanya sebatas sebagai negara observer. 4. Palestina mempunyai penduduk yang tetap, pemerintahan yang berdaulat tetapi ada dualisme kepemimpinan, yakni Harakah Muqawammah Al-Islamiyyah (HAMAS) dan Fatah. 3 Andrian Kamil, Status Kedudukan Negara Palestina Di Dunia Internasional Berdasarkan Hukum Internasional, http://andriankamil4u.blogspot.com/2010/06/status-kedudukan-negarapalestina-di.html, tanggal 9 Desember 2011.
5. Israel ketika mendeklarasi diri sebagai negara yang merdeka justru diakui oleh mayoritas negara-negara termasuk PBB walaupun batas wilayahnya masih bermasalah dengan negara-negara tetangganya. 4 Isu pengajuan keanggotaan Palestina sebagai anggota penuh PBB dipandang sebagai sebuah proses diplomasi meskipun pada tanggal 11 November Sidang Umum Majelis PBB tidak dapat menerima Palestina sebagai anggota penuh PBB. Dengan mengamati perkembangan isu pengajuan keanggotaan Palestina dalam PBB, banyak yang berargumen bahwa Palestina akan menggunakan dua jalur diplomasi baik secara bilateral maupun multilateral. Hal tersebut dipilih untuk mencapai tujuan utama diakuinya Palestina sebagai entitas negara berdaulat. Adapun Palestina dipercaya mampu mempengaruhi pemikiran para kepala negara yang bukan merupakan sekutu atau aliansi dari negara-negara besar dengan pendekatan persuasif atas nama keadilan dan perdamaian internasional. Palestina adalah sebuah negara yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Dalam tujuannya itu terbentuklah Gerakan Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization/PLO) yang merupakan wakil 4 Hanief, Subjek Hukum Internasional, http://mas-hanief.blogspot.com/2011/11/subjekhukum-internasional.html, tanggal 9 Desember 2011.
resmi Palestina di dunia internasional. Setelah menjadi observer tetap di PBB, banyak negara memberikan pengakuan kepada PLO dan membuka hubungan diplomatikya. Walaupun umumnya hubungan diplomatik dilakukan oleh negara-negara yang merdeka dan berdaulat, namun hal ini tidak menghalangi negara-negara yang mengakui PLO untuk membuka hubungan diplomatik dengan Palestina. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis sangat tertarik untuk memilih judul HUBUNGAN DIPLOMATIK PALESTINA DENGAN NEGARA LAIN DALAM STATUSNYA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL. B. Perumusan Masalah Dari fakta-fakta tersebut maka dalam skripsi ini akan dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana sebenarnya status Palestina sebagai suatu subjek hukum internasional dalam perspektif hukum internasional? 2. Bagaimana hubungan diplomatik yang dilakukan oleh Palestina dengan Indonesia? C. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui status Palestina sebagai subjek hukum internasional dalam perspektif hukum internasional. 2. Untuk mengetahui hubungan diplomatik yang dilakukan Palestina dengan Indonesia. D. Keaslian Penulisan Judul skripsi ini adalah HUBUNGAN DIPLOMATIK PALESTINA DENGAN NEGARA LAIN DALAM STATUSNYA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL, yang diajukan dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Judul skripsi ini sudah ada sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, namun skripsi ini memuat materi yang berbeda dan membahas lebih jauh mengenai status Palestina di mata internasional dan hubungan diplomatik yang dilakukan oleh Palestina. Penulisan skripsi ini berdasarkan referensi buku-buku, media cetak, dan elektronik. Oleh karena itu, penulisan ini merupakan sebuah karya asli sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan. E. Tinjauan Kepustakaan Diplomasi adalah instrumen negara melalui perwakilan formal maupun tidak formal, serta aktor-aktor lain yang mengartikulasikan,
mengkoordinasikan dan mewujudkan kepentingan yang lebih luas menggunakan korespondensi, pembicaraan rahasia, pertukaran pandangan, lobi-lobi, kunjungan-kunjungan dan aktivitas lainnya. Secara umum, subjek hukum diartikan sebagai setiap pemegang, pemilik, atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan atau menurut hukum.dengan kemampuan sebagai pemilik, pemegang, ataupun pendukung hak dan pemikul kewajiban, secara tersimpul juga adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan-hubungan hukum antara sesamanya. Hubungan-hubungan hukum itulah yang selanjutnya melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Pada awal mula dari kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Hal ini bisa dimengerti, sebab pada masa awal tersebut tidak ada atau jarang sekali ada pribadi-pribadi hukum internasional yang lain selain daripada negara yang melakukan hubungan-hubungan internasional. Menurut teori ini seperti yang dikemukakan Hans Kelsen dalam bukunya Principles of International Law dengan logika dan analisis yang sukar dibantah, apa yang dinamakan hak dan kewajiban negara sebenarnya adalah hak dan kewajiban semua manusia yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya dalam negara itu. Dalam pandangan
teori Kelsen ini, negara tidak lain dari suatu konstruksi yuridis yang tidak akan mungkin ada tanpa manusia-manusia sebagai anggota masyarakat negara itu. Dewasa ini, yang diakui sebagai subjek hukum internasional adalah: 1. Negara Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling tua usianya karena negaralah yang pertama-tama muncul sebagai subjek hukum internasional dan belakangan baru diikuti oleh kemunculan subjek-subjek hukum internasional lainnya. Demikian pula negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama, sebab negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat internasional, baik dengan sesama negara maupun dengan subjeksubjek hukum internasional lainnya. 2. Organisasi Internasional Berdirinya organisasi internasional pada hakekatnya didorong oleh keinginan untuk meningkatkan dan melembagakan kerjasama internasional secara permanen dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pelembagaan kerjasama internasional dengan cara mendirikan organisasi internasional dalam beberapa hal memang
lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan kerjasama internasional secara multilateral maupun bilateral saja. 3. Palang Merah Internasional (International Committee for the Red Cross ICRC). Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa, Swiss mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Boleh dikatakan bahwa organisasi ini sebagai subjek hukum yang lahir karena sejarah. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional yang bertujuan memberikan bantuan dan pertolongan yang berlandaskan dan berjiwakan kemanusiaan universal kepada setiap orang anggota pasukan yang menjadi korban dalam pertempuran yang sedang berlangsung tanpa memandang kawan maupun lawan, kebangsaan, etnis, agama, dan lain-lain. 4. Takhta Suci (Vatikan) Takhta Suci (Vatikan) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang telah ada sejak dahulu di samping negara. Hal ini merupakan peninggalan sejarah sejak zaman dahulu ketika Paus bukan hanya merupakan kepala gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang Takhta Suci (Vatikan) mempunyai perwakilan diplomatik di banyak ibukota
terpenting di dunia yang sejajar kedudukannya dengan wakil diplomatik negara-negara lain. 5. Organisasi Pembebasan atau Bangsa yang Memperjuangkan Hak- Haknya. Organisasi pembebasan atau bangsa yang sedang berjuang ini dapat diakui sebagai subjek atau pribadi hukum internasional, sifatnya hanyalah sementara waktu saja, yakni selama dia berjuang untuk mewujudkan cita-cita dan tujuannya. 6. Kaum Pemberontak (Belligerent). Berbeda dengan organisasi pembebasan yang munculnya karena rakyat wilayah jajahan menghadapi penjajahnya atau bergolak menghadapi bangsa lain yang menindasnya, kaum pemberontak ini pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. 7. Orang Perorangan (Individu) Kedudukan individu sebagai subjek hukum internasional sudah tidak perlu diragukan lagi. Dalam perjanjian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Prancis, dengan masing-masing sekutunya, sudah terdapat pasalpasal yang memungkinkan orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional, sehingga dengan
demikian sudah ditinggalkan dalil lama bahwa negara yang bisa menjadi pihak di hadapan suatu peradilan internasional. Meningkatnya kerja sama antarnegara dalam menggalang perdamaian dunia demi kesejahteraan manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan social maka tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula. Pengaturan diplomatik khususnya perkembangan kodifikasi hukum diplomatik memang tidak begitu pesat sebelum didirikannya Badan Perwakilan Bangsa-Bangsa. Dewasa ini, sebagai landasan yuridis untuk membuka hubungan diplomatik antarnegara, dapat kita pergunakan ketentuan Pasal 2 Konvensi Wina 1961 yang menggariskan: the establishment of diplomatic relations between states, and of permanent diplomatic missions, take place by mutual consent. yang artinya, pembentukan hubungan diplomatik antara negara-negara, dan misi diplomatik tetap, berlangsung dengan kesepakatan bersama. Pada umumnya fungsi seorang agen diplomatik akan berakhir jika sudah habis masa jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk menjalankan misi diplomatik di negara penerima. Tugas itu dapat pula berakhir jika ia ditarik kembali (recall) oleh pemerintahnya karena tidak disukai lagi persona non-grata yang tentu saja mengakibatkan diplomat yang bersangkutan
diakhiri tugasnya. Jika antara negara pengirim dan negara penerima terlibat dalam suatu konflik bersenjata atau perang, tugas seorang diplomat juga dapat terganggu (terhenti), dan lazimnya ia dipanggil pulang. Apabila kepala negaranya dan kepala negara penerima adalah Raja/Ratu wafat atau turun takhta karena bukan kematian biasa tetapi dikudeta, dapat mengakibatkan seorang agen diplomatik diganti oleh yang baru bila agen diplomatik yang bersangkutan sudah jelas terbukti terlibat dalam kasus terbunuhnya sang Raja/Ratu yang bersangkutan. Berdasarkan perkembangan sejarah, Palestina masih berjuang untuk mendapat pengakuan sebagai negara merdeka melalui jalan kekerasan (perjuangan militan) maupun diplomasi (perundingan). Adapun upaya Palestina menjadi anggota penuh PBB adalah sebuah proposal diplomatik bagi terwujudnya terhadap Palestina merdeka. Dalam hukum internasional, rujukan bagi sebuah bangsa untuk menjadi sebuah negara merdeka adalah Konvensi Montevideo 1933. Berdasarkan Pasal 1 disebutkan bahwa negara harus memenuhi empat syarat. Keempat syarat tersebut adalah ada penduduk, wilayah, pemerintahan, dan kemampuan untuk berhubungan dengan negara lain. Syarat terakhir ini membutuhkan pengakuan dari negara lain. Palestina sebenarnya telah memenuhi keempat persyaratan tersebut. Hanya saja terkait dengan pengakuan, meski banyak negara telah mengakui adanya negara
Palestina, termasuk Indonesia, Israel dan negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) belum memberi pengakuan. Pada tanggal 16 Nopember 1988, Indonesia secara resmi menyambut baik dan mendukung keputusan Palestine National Council (PNC) yang telah memproklamirkan pembentukan Negara Palestina merdeka pada tanggal 15 Nopember 1988 di Alger, Aljazair. Keputusan Pemerintah RI untuk mengakui negara Palestina merdeka sejalan dengan dukungan Indonesia yang konsisten selama ini kepada perjuangan rakyat Palestina untuk memperoleh keadilan dalam memulihkan hak-haknya yang sah maupun dalam menentukan nasib sendiri termasuk mendirikan negara merdeka di tanah Palestina. Sebagai tindak lanjut pengakuan Indonesia terhadap proklamasi kemerdekaan negara Palestina dan dukungan Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina, maka pada tanggal 19 Oktober 1989 di Jakarta telah ditandatangani Komunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik RI- Palestina Tingkat Duta Besar antara Menteri Luar Negeri RI, Ali Alatas dan Menteri Luar Negeri Palestina, Farouq Kaddoumi. Pada hari itu juga, Menteri Luar Negeri Palestina membuka Kedutaan Besar Palestina di Jakarta. F. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, karena dalam penelitian yang dilakukan penulis untuk skripsi ini berdasarkan pada data sekunder yang berasal dari data kepustakaan. G. Sistematika Penulisan Di dalam menguraikan pembahasan skripsi ini, penulis telah berusaha untuk menjabarkan dalam bab per bab. Kelima bab tersebut masing- masing terurai pula dalam sub-sub bab yang penulis sesuaikan pembagiannya dengan maksud dan isi yang diuraikan sebagai berikut: 1. BAB I: PENDAHULUAN Adalah merupakan pendahuluan yang memberikan gambaran umum yang menguraikan mengenai Latar Belakang, Rumusan Permasalahan, Tujuan Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan 2. BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL Adalah bab yang membahas mengenai definisi subjek hukum internasional, perkembangan subjek hukum internasional, dan macam-macam subjek hukum internasional. 3. BAB III: HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTAR NEGARA
Adalah bab yang membahas mengenai sejarah perkembangan hubungan diplomatik, pembukaan dan berakhirnya misi diplomatik, kekebalan dan keistimewaan diplomatik. 4. BAB IV: HUBUNGAN DIPLOMATIK PALESTINA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL Adalah bab yang membahas mengenai perjuangan Palestina menjadi negara merdeka, status Palestina dalam perspektif hukum internasional, dan hubungan diplomatik antara Palestina dan Indonesia. 5. BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN Adalah merupakan bagian penutup yang memuat kesimpulan dan saran.