BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi,

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella typhi, suatu bakteri gram-negative. Demam tifoid (typhoid fever atau

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi

DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KABUPATEN CILACAP TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. termasuk Indonesia. Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK. sakit umum terbesar di daerah Pekanbaru, Riau. Rumah Sakit ini berada di Jalan

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Infeksi merupakan masalah terbanyak yang dihinggapi oleh negara yang

SKRIPSI MARHAMAH K Oleh :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau. Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang

ANALISIS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA TAHUN 2009 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I. PENDAHULUAN. lainnya termasuk di Indonesia (Gasem et al., 2002; Vollaard et al., 2005; Prajapati

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu

ASKEP THYPOID A. KONSEP DASAR

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP PENDERITA DEMAM TIFOID DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE 2008 SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan oleh kuman Salmonella

METODE PENELITIAN. Penelitian ini berupa deskriptif pemeriksaan laboratoris. Penelitian dilakukan di

GAMBARAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT R.A KARTINI JEPARA TAHUN 2009 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jumlah banyak. Penularannya dapat melalui kontak antar manusia atau melalui

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Typhoid fever (Demam tifoid) disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi), bersifat akut dan umumnya menyerang sistem RES (re

ABSTRAK PROFIL PEMBERIAN ANTIBIOTIK DAN PERBAIKAN KLINIS DEMAM PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

BAB I PENDAHULUAN. dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid

III. METODE PENELITIAN. cross sectional. Sampel diambil secara consecutive sampling dari data

KARAKTERISTIK HASIL PEMERIKSAAN IGM ANTI SALMONELA TYPHI DI LABORATORIUM SURYA HUSADHA DENPASAR PADA BULAN JUNI -NOVEMBER 2013

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK PADA TERAPI DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS BANCAK KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014

NEISSERIA MENINGITIDIS

BAB II TINJAUAN TEORI. infeksi systemic bersifat akut yang disebabkan oleh salmonella thyposa, ditandai oleh panas berkepanjangan (Sumarmo, 2002).

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

TINJAUAN PUSTAKA. Etiologi demam tifoid diakibatkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Demikian juga tubuh manusia yang diciptakan dalam keadaan

BAB 1 PENDAHULUAN. kesadaran (Rampengan, 2007). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh Salmonella typhi (Soedarmo, dkk., 2003). Demam typhoid masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN UKDW. untuk meningkat setiap tahun (Moehario, 2001). tifoid dibandingkan dengan anak perempuan (Musnelina et al., 2004).

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DINAS KESEHATAN PUSKESMAS LENEK Jln. Raya Mataram Lb. Lombok KM. 50 Desa Lenek Kec. Aikmel

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

UJI ANTIBAKTERI EKSTRAK TANAMAN PUTRI MALU (Mimosa pudica) TERHADAP PERTUMBUHAN Shigella dysentriae

Perbandingan Kloramfenikol dengan Seftriakson terhadap Lama Hari Turun Demam pada Anak Demam Tifoid

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam organisme, terutama fungi yang

Laporan Pendahuluan Typhoid

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Demam typhoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh

KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TERAPI DEMAM TYPHOID PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP DI RSUD Dr. M.M DUNDA LIMBOTO

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian penyakit Tifoid (Thypus) di masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. PENGUMPULAN/PENYAJIAN DATA DASAR SECARA LENGKAP

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi, bakteri gram negatif (WHO, 2003). Penyakit ini umumnya berhubungan dengan demam, sakit kepala, rasa tidak nyaman, dan gangguan pencernaan pada anakanak maupun dewasa. Beberapa kasus melaporkan bahwa demam tifoid dapat menyebabkan komplikasi yang fatal, seperti perforasi usus, perdarahan gastrointestinal dan radang otak (Mogasale et al., 2014). Laporan dari World Health Organization (WHO), terdapat 21 juta kasus demam tifoid di dunia dan lebih dari 600.000 mengalami kematian. Kasus terbanyak terjadi di negara berkembang karena pertumbuhan populasi, peningkatan urbanisasi, rendahnya kebersihan air, dan sistem kesehatan (Udeze et al., 2010; Andualem et al., 2014). Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan di banyak negara berkembang, baik tropis maupun sub tropis. Sebuah studi yang dilakukan di lima negara Asia (Vietnam, Cina, Indonesia, India dan Pakistan), Indonesia menempati urutan ketiga dalam jumlah kejadian demam tifoid anak untuk umur 5-15 tahun yaitu 180,3 kasus per 100.000 penduduk pertahun (Ochiai et al., 2008). Berdasarkan laporan Ditjen Bina Pelayanan Medik tahun 2007, pada tahun 2006 demam tifoid dan paratifoid menempati urutan ketiga dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit besar di Indonesia dengan jumlah kasus 72.804 dengan proporsi 3,26%, 1

2 urutan pertama ditempati oleh diare dan gastroenteritis karena infeksi tertentu dan urutan kedua ditempati demam berdarah dengue (Depkes RI, 2008 a ). Demam tifoid dapat disembuhkan dengan antibiotik. Antibiotik dosis dewasa yang direkomendasikan antara lain golongan fluorokuinolon, trimetoprimsulfametoksazol, ampisilin, sefalosporin generasi ketiga. Fluorokuinolon seperti siprofloksasin adalah drug of choice untuk demam tifoid (Dipiro et al., 2009). Pemberian siprofloksasin pada anak usia di bawah 18 tahun masih diperdebatkan karena adanya potensi atropati sehingga seftriakson lebih direkomendasikan. Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama yang telah dipakai selama puluhan tahun sampai akhirnya timbul multidrug resistance Salmonella typhi (MDSRT). Kasus MDSRT diberikan pilihan pengobatan lini kedua yaitu seftriakson atau kuinolon (Sidabutar dan Satari, 2010). Berdasarkan uraian di atas, penyakit demam tifoid perlu mendapat perhatian khusus. Penanganan yang tepat juga diperlukan karena angka kejadian tinggi serta mulai adanya resistensi terhadap antibiotik. Peneliti melakukan penelitian di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan mengambil data rekam medis pasien. Demam tifoid termasuk dalam 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap tahun 2014 di rumah sakit tersebut. Data yang diperoleh dibandingkan dengan SPM dan hasilnya nanti dapat digunakan para klinisi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya mengenai pemilihan antibiotik yang tepat dalam pengobatan demam tifoid.

3 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pola penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta? 2. Bagaimana kesesuaian jenis antibiotik demam tifoid terhadap SPM tahun 2012 untuk terapi pengobatan demam tifoid di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014. 2. Mengetahui kesesuaian jenis antibiotik demam tifoid terhadap SPM tahun 2012 untuk terapi pengobatan demam tifoid di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Bahan masukan bagi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dalam upaya meningkatkan pelayanan medis khususnya dalam hal penggunaan antibiotik untuk pasien demam tifoid. 2. Memberikan informasi kepada masyarakat dan para peneliti lain mengenai pola penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid. 3. Memberi bahan pertimbangan kepada pemerintah dalam mengatur pengadaan dan pendistribusian obat serta dalam melakukan pengawasan dan pengendalian obat, khususnya obat golongan antibiotik di Kota Yogyakarta.

4 E. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar Typhi. Salmonella enterica serovar Paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid (Stoesser et al., 2013). Gejala dan tanda kedua penyakit tersebut hampir sama, akan tetapi manifestasi kliniknya berbeda. Paratifoid memiliki manifestasi klinik yang lebih ringan dibandingkan demam tifoid (Hawker et al., 2005). Menurut World Health Organization tahun 2003, ada tiga definisi kasus dari demam tifoid yaitu pasien yang benar-benar penderita demam tifoid (pasien dengan demam 38 o C atau lebih minimal 3 hari, hasil laboratorium menunjukkan kultur positif Salmonella typhi), kemungkinan penderita demam tifoid (pasien dengan demam 38 0 C atau lebih minimal 3 hari dengan tes serodiagnosis atau deteksi antigen positif tetapi tanpa isolasi Salmonella typhi), dan karier kronis (pasien dengan ekskresi Salmonella typhi di feses atau urin selama lebih dari 1 tahun setelah onset demam tifoid akut, beberapa pasien yang mengekskresi Salmonella typhi tidak mempunyai riwayat demam tifoid) (WHO, 2003). 2. Epidemiologi Demam tifoid merupakan masalah kesehatan global. Jumlah pasti kejadian sulit diperkirakan karena gambaran klinis demam tifoid hampir sama dengan infeksi febril lainnya. Negara-negara berkembang tidak mempunyai

5 laboratorium bakteriologi sehingga memungkinkan banyak kasus yang tidak terdiagnosis (WHO, 2003). Diperkirakan ada sekitar 17 juta kasus demam tifoid di dunia dan 600.000 diantaranya mengalami kematian. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus pertahun dengan 20.000 kematian. Sebanyak 91% kasus demam tifoid menyerang penduduk Indonesia yang berusia 3-19 tahun (WHO, 2003). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 bahwa prevalensi demam tifoid klinis nasional adalah 1,6%, tersebar diseluruh kelompok umur. Prevalensi tifoid klinis banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah (5-14 tahun) yaitu 1,9% dan terendah pada bayi (0,8%) (Depkes RI, 2008 b ). 3. Etiologi dan patogenesis Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi. Bakteri ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tidak memiliki fimbria, bersifat aerob, dan anaerob fakultatif. Ukuran (2-4) x 0,6 µm. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37 o C dengan ph 6-8. Basil ini hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah, dan debu. Masa inkubasi tifoid 10-14 hari dan pada anak masa inkubasi ini lebih bervariasi berkisar 5-40 hari, dengan perjalanan penyakit yang terkadang tidak teratur (Kemenkes RI, 2006).

6 Beberapa macam antigen yang ada di bakteri Salmonella typhi adalah: a. Antigen O Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman, struktur kimia lipopolisakarida dan antigen ini tahan terhadap pemanasan 100 C selama 2 5 jam, alkohol dan asam yang encer. b. Antigen H Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbria atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60 C dan pada pemberian alkohol atau asam. c. Antigen Vi Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis, struktur kimia glikolipid, akan rusak jika dipanaskan 1 jam pada suhu 60 C dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier. d. Outer Membran Protein (OMP) Antigen OMP merupakan bagian dinding sel yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan nonporin. Porin merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM <6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85-100 C. Protein nonporin bersifat sensitif terhadap protease tetapi fungsinya belum diketahui dengan jelas (Puspa et al., 2005).

7 Manusia adalah satu-satunya host dan reservoir untuk Salmonella typhi (WHO, 2003). Demam tifoid berkaitan dengan masalah higiene yang rendah dan ketersediaan air bersih (Crump et al., 2004). Dosis yang dapat menginfeksi adalah 10 3-10 6 organisme yang tertelan secara oral melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses (Kothari et al., 2008). Setelah melewati lambung, kuman mencapai usus halus dan invasi ke jaringan limfoid (plak peyer) yang merupakan tempat untuk berkembang biak. Kuman melalui saluran limfe mesenterik kemudian masuk aliran darah sistemik (bakterimia I) dan mencapai sel-sel retikulo endotelial (RES), terutama hati dan limpa. Fase ini dianggap masa inkubasi (7-14 hari). Kuman dilepas ke sirkulasi sistemik (bakteremia II) melalui duktus torasikus dan mencapai organ-organ tubuh terutama limpa, usus halus, dan kandung empedu. Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana kuman Salmonella berkembang biak. Endotoksin juga merupakan stimulator yang kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel leukosit di jaringan yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator-mediator untuk timbulnya demam dan gejala toksemia (proinflamatory). Basil Salmonella bersifat intraseluler sehingga hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi (Kemenkes RI, 2006).

8 Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu jika tidak diobati dengan antibiotik. Bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan plak peyer di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada plak peyer dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Ini diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier (Nelwan, 2012). Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama di ileum bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada plak peyer terjadi hiperplasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu ke-2 dan ulserasi pada minggu ke-3, akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuklear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan retikuloendotelial lain, seperti limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan-kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan selaput otak. Pemeriksaan klinis demam tifoid sering ditemukan proses radang dan absesabses pada banyak organ sehingga dapat ditemukan bronchitis, arthritis septic, pielonefritis, meningitis, dll (Kemenkes RI, 2006).

9 4. Manifestasi klinis Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, mulai dari gejala tidak khas (sangat ringan) sehingga tidak terdiagnosis, gejala yang khas (sindrom demam tifoid), sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi (Bhutta, 2006). Gejala klinis pada anak cenderung tidak khas. Semakin kecil anak, gambaran klinis semakin tidak khas (Kemenkes RI, 2006). Pasien demam tifoid mempunyai gejala klinis berupa: demam tinggi berkepanjangan >7 hari, gangguan pencernaan (sakit perut, muntah, perdarahan, konstipasi, diare), dan gejala-gejala lain (WHO, 2014). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2006, beberapa gejala klinis yang sering terjadi pada demam tifoid adalah sebagai berikut: a. Demam Demam merupakan gejala utama demam tifoid. Awalnya, demam hanya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh naik turun yaitu pada pagi hari lebih rendah sedangkan sore dan malam hari lebih tinggi. Demam dapat mencapai 39 o C-40 o C. Intensitas demam akan semakin tinggi disertai gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual, dan muntah. Minggu ke-2 intensitas demam semakin tinggi. Apabila pasien membaik, maka pada minggu ke-3 suhu tubuh berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3. Tipe demam menjadi tidak beraturan mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal.

10 b. Gangguan saluran pencernaan Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering dan terkadang pecah-pecah. Lidah terlihat kotor dan ditutupi selaput kecoklatan dengan ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor. Penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama nyeri ulu hati, disertai mual dan muntah. Penderita anak lebih sering mengalami diare sedangkan dewasa cenderung mengalami konstipasi. c. Gangguan kesadaran Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran ringan. Sering ditemui kesadaran apatis. Apabila gejala klinis berat, penderita bisa sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis. d. Hepatosplenomegali Hati atau limpa sering ditemukan membesar pada penderita demam tifoid. Hati terasa kenyal dan nyeri bila ditekan. e. Bradikardi relatif dan gejala lain Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1 o C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah rose spot yang biasanya ditemukan di perut bagian atas, serta gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangat jarang ditemukan (Kemenkes RI, 2006).

11 Menurut WHO (2003), ada 3 macam keadaan demam tifoid dengan perbedaan gejala klinik, yaitu: a. Demam tifoid akut non komplikasi: demam tifoid ini dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan, abnormalitas fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa dan diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoreksia. Batuk bronkitis biasa terjadi pada awal fase penyakit. Selama periode demam, hingga 25% penyakit menunjukkan adanya rose spot pada dada, perut, dan punggung. b. Demam tifoid dengan komplikasi: pada demam tifoid akut, keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi parah. Hal ini bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien mengalami komplikasi, mulai dari melena (3%), perforasi usus (3%) dan peningkatan rasa tidak nyaman pada perut. c. Keadaan karier: terjadi pada 1-5% pasien (WHO, 2003). 5. Penegakan diagnosis Gambaran laboratorium untuk penegakan demam tifoid dapat berupa: a. Gambaran Darah Tepi Pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif, monositosis, dan aneosinofilia dan trombositopenia ringan. Terjadinya leukopenia akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada. Kejadian leukopenia diperkirakan sebesar 25%, namun banyak laporan bahwa dewasa ini hitung leukosit kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan.

12 Kejadian trombositopenia berhubungan dengan produksi yang menurun dan destruksi yang meningkat oleh sel-sel RES. Anemia juga bisa terjadi yang disebabkan produksi hemoglobin menurun serta kejadian perdarahan intestinal yang tidak nyata (Kemenkes RI, 2006). b. Pemeriksaan Bakteriologis Spesimen biakan dapat diambil dari darah, sumsum tulang, feses, dan urin. Spesimen darah dapat diambil pada minggu I sakit saat demam tinggi. Spesimen feses dan urin pada minggu ke II dan minggu-minggu selanjutnya (Kemenkes RI, 2006). Biakan darah merupakan metode diagnosis standar, membutuhkan volume darah yang banyak yaitu 15 ml untuk dewasa. Metode ini positif pada 60-80% pasien demam tifoid. Biakan sumsum tulang lebih sensitif daripada biakan darah. Biakan ini positif pada 80-95% pasien demam tifoid. Biakan darah kurang sensitif dibandingkan dengan biakan sumsum tulang karena jumlah mikroorganisme di dalam darah lebih rendah dibandingkan di sumsum tulang. Sensitivitas biakan darah lebih tinggi pada minggu pertama penyakit, berkurang karena penggunaan antibiotik, dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai (Parry et al., 2002). Biakan sumsum tulang mempunyai kendala yaitu memerlukan peralatan, perlengkapan, dan pegawai laboratorium terlatih, yang mana hal ini jarang ditemukan di fasilitas pelayanan kesehatan di negara berkembang (Wain dan Hosoglu, 2008).

13 Pemeriksaan bakteriologis Salmonella typhi merupakan metode yang handal dan sangat menentukan diagnosis, identifikasi kuman Salmonella typhi di laboratorium klinik memerlukan waktu 5-7 hari dan biakan bakteri sulit dilakukan di daerah yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap (Mahle dan Levine, 1993). Teknik ini mahal dan beberapa fasilitas kultur bakteri sering tidak tersedia (Wain et al., 2008). c. Pemeriksaan Serologis Pengukuran kadar antibodi terhadap kuman penyebab infeksi dalam serum atau darah manusia dapat dipakai untuk menunjang diagnosis infeksi oleh mikroorganisme bersangkutan (Kresno, 1991). Beberapa jenis uji serologi infeksi Salmonella diuraikan di bawah ini: 1) Uji Widal Uji Widal merupakan uji yang diperkenalkan pertama kali oleh F. Widal tahun 1896. Uji ini secara luas digunakan di negara berkembang untuk diagnosis demam tifoid karena murah, mudah dilakukan, dan membutuhkan peralatan serta pelatihan yang minimal (Ley et al., 2010; Beyene et al., 2008). Uji Widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap komponen basil Salmonella di dalam darah manusia (saat sakit, karier atau pasca vaksinasi) (Kemenkes RI, 2006). Prinsip uji Widal adalah serum pasien dengan pengenceran yang berbeda-beda ditambah antigen dalam jumlah yang sama. Apabila di dalam serum

14 terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan algutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum (Mahle dan Levine, 1993; Nelwan, 1995; Hoffman, 1991). Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari (Kemenkes RI, 2006). Uji ini memiliki spesifitas dan sensitivitas yang rendah. Manfaat uji ini juga masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini uji Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point) (Retnosari dan Tumbelaka, 2000). Batas titer yang dijadikan diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan suatu daerah dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan berpendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid (Kemenkes RI, 2006). 2) Tes TUBEX Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana (hanya 1 langkah tes) dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel berwarna untuk meningkatkan resolusi dan sensitivitas. Spesifitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D (WHO, 2003). Interpretasi dari skor Tubex dimulai dari skor 0-10. Kriteria penilaian Tubex yaitu negatif dengan skor kurang dari atau sama

15 dengan +2, artinya tidak mengindikasikan adanya infeksi demam tifoid. Borderline dengan skor +3, artinya skor belum dapat disimpulkan, perlu dilakukan analisis ulang. Skor +4 dan +5 diinterpretasikan sebagai positif lemah, artinya mengindikasikan adanya infeksi demam tifoid. Sedangkan skor +6 sampai +10 diinterpretasikan sebagai positif kuat, artinya menandakan indikasi kuat adanya infeksi demam tifoid (IDL Biotech AB, 2008). Uji ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik daripada uji Widal yaitu sensitivitasnya 100% dan spesifisitasnya 100%. Uji ini merupakan pemeriksaan ideal yang dapat digunakan untuk pemeriksaan rutin karena cepat, mudah, dan sederhana. Uji ini dapat digunakan di negara berkembang dimana prevalensi demam tifoid tinggi dan biaya instrumentasi lain mahal (Lim et al., 1998). 3) Dot EIA (Dot Enzyme Immunosorbent Assay) Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kd Salmonella typhi. Metode ini adalah metode yang sederhana, cepat, ekonomis, spesifisitasnya 75%, dan sensitivitasnya 95%, (WHO, 2003). Saat ini metode uji Dot EIA telah diluncurkan sebagai produk Typhidot. Beberapa keuntungan dari metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, sedikit kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), dan tidak

16 menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan luas di fasilitas kesehatan sederhana yang belum tersedia biakan kuman (Ismail et al., 1991). 4) Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ELISA digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap berbagai agen infeksi, termasuk Salmonella typhi. Uji ELISA dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM, dan IgA terhadap antigen 9 (O9), antibodi IgG terhadap flagella antigen d (Hd), dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi (Fadeel et al., 2004). 5) IgM Dipstick Test Uji ini didesain untuk uji serologis demam tifoid melalui deteksi antibodi spesifik IgM S. typhi pada serum dan darah sampel. Uji ini terdiri dari sebuah dipstik, reagen deteksi liofilisasi non-enzymatic, cairan untuk membasahi strip uji dari dipstik sebelum diinkubasi dengan serum dan reagen deteksi, dan tabung reaksi. Komponenkomponen ini stabil hingga 2 tahun jika disimpan pada temperatur 4-25 o C pada daerah kering dan terlindungi dari paparan sinar matahari langsung. Dipstick test ini dapat menjadi alternatif yang cepat dan sederhana untuk diagnosis demam tifoid, terutama di daerah-daerah yang fasilitas kulturnya tidak tersedia. Hasil dari dipstick test ini dapat langsung diketahui pada hari yang sama pada saat pasien melakukan pemeriksaan (WHO, 2003).

17 d. Hibridisasi Asam Nukleat Metode lain untuk identifikasi kuman S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) kuman S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara Polymerase Chain Reaction (PCR) (Song et al., 1993). Dasar spesifitas reaksi hibridisasi adalah kemampuan asam nukleat rantai tunggal untuk mendeteksi dan membentuk ikatan hidrogen (hibridisasi) dengan asam nukleat rantai tunggal yang mengandung urutan asam nukleat yang sepadan. Reaksi hibridisasi merupakan reaksi kinetik yang efisien dan dapat mendeteksi asam nukleat kuman dalam jumlah yang sangat kecil dan waktu yang sangat pendek (Retnosari dan Tumbelaka, 2000). 6. Penatalaksanaan a. Perawatan umum dan nutrisi Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan, observasi terhadap perjalanan penyakit, minimalisasi komplikasi, dan isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran dan atau kontaminasi (Kemenkes RI, 2006). 1) Tirah baring Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lalu (Rampengan, 2008). Penderita klinis berat perlu istirahat total. Penderita yang membaik perlu dilakukan mobilisasi secara bertahap

18 sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita (Kemenkes RI, 2006). Lama perawatan di rumah sakit sangat bervariasi. Hal ini sangat bergantung pada kondisi penderita (Rampengan, 2008). 2) Nutrisi Kebanyakan pasien demam tifoid mengalami dehidrasi, gangguan keseimbangan cairan tubuh, dan penurunan nafsu makan sehingga kesulitan untuk mendapat nutrisi makanan. Penderita demam tifoid harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral atau perenteral. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal (Kemenkes RI, 2006). Pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa aman untuk penderita demam tifoid (Rampengan, 2008). Diet untuk penderita tifoid diklasifikasikan menjadi diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa. Apabila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim. Penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita (Kemenkes RI, 2006). Pemberian vitamin diperlukan untuk mendukung keadaan umum pasien. Antipiretik dan antiemetik juga diberikan apabila diperlukan. Diharapkan dengan menjaga homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi secara optimal (Rampengan, 2008).

19 3) Kontrol dan monitor dalam perawatan Kontrol dan monitor yang baik harus dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan (Kemenkes RI, 2006). b. Antibiotik Antibiotik segera diberikan bila diagnosis telah dibuat. Antibiotik merupakan satu-satunya terapi yang efektif untuk demam tifoid (Hadinegoro, 2011). Antibiotika yang sering digunakan antara lain: 1) Kloramfenikol Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom 50S. Efek sampingnya adalah supresi sumsum tulang, gray baby syndrome, neuritis optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam. Kontraindikasi dengan bayi dan ibu menyusui karena dapat menyebabkan toksisitas sumsum tulang pada bayi (anemia aplastik) (Permenkes RI, 2011). Gray baby syndrome terjadi pada bayi yang lahir prematur dan pada bayi umur 2 minggu dengan gangguan hepar dan ginjal. Ciri-cirinya adalah bayi mengalami hipotermia, muntah, asidosis, sianosis, dan perubahan warna abu-abu pada kulit (Casavant dan Griffith, 2010). Kloramfenikol dapat diberikan peroral atau intravena. Dosis untuk dewasa dalam sehari adalah 4x500 mg yang diberikan selama 14 hari sedangkan untuk anak 50-100 mg/kgbb/hari selama 10-14 hari dibagi dalam 4 dosis (Kemenkes RI, 2006).

20 2) Tiamfenikol Tiamfenikol adalah turunan kloramfenikol yang juga aktif terhadap spesies Salmonella dan dapat diberikan secara oral. Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol, tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol (Utami, 2010). Dosis untuk dewasa adalah 4x500 mg dalam sehari sedangkan anak 50 mg/kgbb/hari selama 5-7 hari bebas panas (Kemenkes RI, 2006). 3) Kotrimoksazol Trimetoprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatis obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergi. Kotrimoksazol efektif untuk karier Salmonella typhosa dan Salmonella spesies lain. Efek sampingnya adalah dapat terjadi skin rash, sindrom Steven Johnson, agranulositosis, trombositopenia, anemia megaloblastik, dan hemolisis eritrosit (Rampengan, 2008). Dosis oral untuk dewasa adalah 2 x (160-800 mg) selama 2 minggu sedangkan anak 6-10 mg/kgbb/hari untuk trimetoprim atau 30-50 mg/kgbb/hari untuk sulfametoksazol (Kemenkes RI, 2006). 4) Ampisilin dan Amoksisilin Ampisilin dan amoksisilin merupakan turunan penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama pada kasus

21 resisten terhadap kloramfenikol. Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam apabila dibandingkan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier. Kelemahannya dapat terjadi skin rash dan diare. Amoksisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan peroral lebih baik (Rampengan, 2008). Turunan penisilin ini menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri (Permenkes RI, 2011). Dosis untuk dewasa adalah ampisilin (3-4) gram/hari selama 14 hari sedangkan anak 100 mg/kgbb/hari selama 10 hari. Ampisilin dan amoksisilin aman untuk ibu hamil (Kemenkes RI, 2006). 5) Sefiksim Sefiksim merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga oral. Golongan sefalosporin bekerja dengan menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri (Permenkes RI, 2011). Sefiksim dapat dipergunakan sebagai obat alternatif pengobatan demam tifoid khususnya apabila kloramfenikol tidak dapat diberikan (misal jumlah leukosit <2000/mm 3 ), adanya hipersensitif terhadap kloramfenikol, atau Salmonella typhi resisten terhadap kloramfenikol (Hadinegoro et al., 2001). Dosis untuk anak anak adalah (15-20) mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari (Kemenkes RI, 2006). Sefiksim telah digunakan secara luas kepada anak-anak pada lokasi geografi yang beraneka

22 ragam dan ditemukan memberikan hasil yang memuaskan (WHO, 2003). 6) Seftriakson Seftriakson sebagai antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga, bekerja dengan mengikat penicillin-binding proteins (PBPs) yang menghambat final transpeptidation sintesis peptidoglikan pada reaksi pembentukan dinding sel bakteri dan menghambat biosintesis dinding sel bakteri sehingga menyebabkan kematian sel bakteri. Seftiakson diberikan secara intravena karena kadar di dalam serum tinggi sehingga darah menjadi steril secara cepat. Seftriakson lebih efektif dalam membunuh bakteri dibanding dengan kloramfenikol (Nuraini, 2015). Dosis seftriakson yang digunakan untuk mengobati demam tifoid untuk dewasa adalah sebesar (2-4) gram/hari selama 3-5 hari dan anakanak sebesar 80 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 5 hari (Kemenkes RI, 2006). Efek samping yang mungkin terjadi adalah reaksi alergi, peningkatan fungsi hati, trombositosis, dan leukopenia (Sidabutar dan Satari, 2010). 7) Sefotaksim Sefotaksim adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang tersedia hanya dalam bentuk intravena saja. Mekanisme kerjanya seperti golongan sefalosporin lain yaitu menghambat sintesis atau

23 merusak dinding sel bakteri sehingga pertumbuhan bakteri terhambat (Permenkes RI, 2011). Dosis untuk dewasa dan anak di atas 12 tahun dalam sehari sebesar 1-2 gram, maksimal 12 gram sehari. Anak 1 bulan-12 tahun sebesar 50-100 mg/kgbb/hari dalam 4-6 dosis terbagi. Bayi dan bayi prematur 1-4 minggu sebesar 50 mg/kgbb/hari setiap 12 jam (Anonim, 2012). 8) Siprofloksasin Siprofloksasin adalah golongan fluorokuinolon yang bekerja dengan mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat (Permenkes RI, 2011). Dosis yang dianjurkan adalah 2x500 mg dalam sehari selama 1 minggu (Kemenkes RI, 2006). Siprofloksasin menjadi drug of choice pada kasus demam tifoid khususnya di daerah yang sudah mengalami multi drug resistance (MDR) (Dipiro et al., 2009). Efek samping terjadi pada tulang dan sendi sehingga apabila diberikan pada anak dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan tulang (Gerald, 1993; Nelwan, 1999). 7. Pencegahan Strategi pencegahan yang dipakai adalah selalu menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya resistensi (Bhan et al., 2005).

24 Perlindungan diri terhadap demam tifoid juga bisa dilakukan dengan membuat tubuh kebal, yaitu melalui imunisasi. Sampai saat ini vaksin tifoid baru diprioritaskan untuk para pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid, tenaga laboratorium mikrobiologis, dan tenaga pemasak/penyaji makanan di restoran-restoran. Namun mengingat kejadian demam tifoid dengan morbiditas cukup tinggi, vaksinasi tifoid sudah dapat dipertimbangkan pemberiannya sejak anak-anak (Kemenkes RI, 2006). Beberapa vaksin demam tifoid yang sudah dikembangkan antara lain (Bhan et al., 2005; Bhutta, 2006): a. Vaksin Vi Polysaccharide Vaksin ini diberikan pada anak usia di atas 2 tahun dengan diinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Efikasi perlindungan vaksin ini adalah 70-80%. b. Vaksin Ty21a Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan sebesar 67-82%. c. Vaksin Vi-conjugate Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.

25 F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid dan kesesuaian jenis antibiotik demam tifoid terhadap SPM RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2012 sehingga dapat diketahui tepat tidaknya pemberian antibiotik tersebut.