BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Basis Gigitiruan Basis gigitiruan adalah bagian dari suatu gigitiruan yang bersandar pada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. lunak dan merupakan tempat melekatnya anasir gigitiruan. 1 Berbagai macam bahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. lunak dan sebagai tempat melekatnya anasir gigitiruan. 1 Daya tahan, penampilan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang hilang serta jaringan sekitarnya (Zweemer, 1993). Penggunaan gigi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Resin akrilik polimerisasi panas adalah salah satu bahan basis gigitiruan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. jaringan lunak dan juga sebagai tempat melekatnya anasir gigitiruan. 1 Pada dasarnya,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MAKALAH DISKUSIINTEGRASI MODUL 3.11 SEMINAR BAHAN KEDOKTERAN GIGI

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. atas 65 tahun. Gigi tiruan yang paling banyak digunakan adalah jenis gigi tiruan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. Gigi tiruan merupakan suatu alat yang berfungsi untuk menggantikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. di atas. 3 Bahan yang paling umum digunakan untuk pembuatan basis gigitiruan adalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. stabil dan mudah dipoles (Nirwana, 2005). Sebagai bahan basis gigi tiruan, resin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang memiliki kasus

BAB I PENDAHULUAN. keberadaannya dalam fungsi pengunyahan, berbicara, maupun segi estetik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. lunak dan merupakan tempat melekatnya anasir gigitiruan. 1 Berbagai macam bahan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari gigi dan mencegah kerusakan selanjutnya (Tylman, 1970).

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. keadaan ini dapat meningkatkan resiko kehilangan gigi. Kehilangan gigi dapat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Resin akrilik polimerisasi panas berbahan polimetil metakrilat masih

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar lebih mudah mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kanker mulut (Lamster dan Northridge, 2008). Kehilangan gigi dapat menjadi

PENGARUH JENIS FIBER PADA PASAK FABRICATED FIBER REINFORCED COMPOSITE TERHADAP KETAHANAN FRAKTUR AKAR

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. langsung pada kavitas gigi dalam sekali kunjungan. Restorasi tidak langsung

TEKNIK PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN KEMASAN KERTAS DAN PLASTIK

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU MATERIAL 1. Penyusun:

BAB 1 PENDAHULUAN. menggantikan struktur rongga mulut atau sebagian wajah yang hilang. 2, 3

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. polimerisasinya dengan pemanasan. Energi termal yang diperlukan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dan bersih menjadi tujuan utamanya. Bleaching merupakan salah satu perawatan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fungsional gigi dapat menyebabkan migrasi (tipping, rotasi, dan ekstrusi),

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan partikel bahan pengisi. Kelemahan sistem resin epoksi, seperti lamanya

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahan basis gigi tiruan yang ideal memiliki karakteristik tidak iritan, toksik,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahan tumpatan warna gigi yang lain (Winanto,1997). Istilah resin komposit dapat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut The Glossary of Prostodontics Term prostodonsia adalah cabang

Disusun oleh : Adi Sudirman ( ) Ahmad Zainul Roziqin ( )

I. Pendahuluan. A. Latar Belakang. terhadap restorasi estetik semakin banyak. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Resin komposit merupakan salah satu restorasi estetik yang paling populer

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. retensi. Alat ortodonsi lepasan merupakan alat yang dapat dilepas dan dibersihkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan protesa yang menggantikan gigi yang hilang. Pembuatan gigi tiruan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kedokteran gigi mengembangkan berbagai jenis material restorasi sewarna gigi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahan restorasi yang cepat dan mudah untuk diaplikasikan, dapat melekat dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Semen Ionomer Kaca Modifikasi Resin (SIKMR) ionomer kaca. Waktu kerja yang singkat dan waktu pengerasan yang lama pada

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan. Karies gigi, trauma dan kegagalan restorasi menyebabkan kerusakan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan penemuan

PENGARUH KEKUATAN BENDING DAN TARIK BAHAN KOMPOSIT BERPENGUAT SEKAM PADI DENGAN MATRIK UREA FORMALDEHIDE

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan perlekatan yang merupakan hubungan antara mukosa dan gigi tiruan,

BAB 1 PENDAHULUAN. akar. 4 Pasak telah digunakan untuk restorasi pada perawatan endodonti lebih dari 100

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gigi tiruan lepasan adalah protesis yang menggantikan sebagian ataupun

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 RESIN KOMPOSIT. yang dihasilkan dari restorasi resin komposit, sebuah restorasi yang paling digemari

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian : Eksperimental Laboratoris

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suatu tindakan restorasi gigi tidak hanya meliputi pembuangan karies

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. di beberapa variasi dan bentuk yang terbagi atas 3 yaitu 2 : 1. Powder-Liquid.

BAB I PENDAHULUAN. kekompakan dengan jaringan mulut (Anusavice, 2004). banyak unit. Polimer ada dua jenis yaitu polimer alami dan polimer sintetik.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan koronal mahkota klinis gigi asli, yang dapat memperbaiki morfologi,

BAB I PENDAHULUAN. pada jaringan keras dan akan terus berlangsung sampai jaringan dibawahnya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menggantikan gigi hilang. Restorasi ini dapat menggantikan satu atau lebih gigi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bahan basis gigitiruan resin. Resin akrilik. Swapolimerisasi. Konduktivitas termal. Minuman soda Obat Kumur Kopi Teh Nikotin

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. gigi pada satu lengkung rahang atau gigi antagonis. Maloklusi dapat dikoreksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. posterior dalam dunia kedokteran gigi terus mengalami peningkatan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemakaian sistem pasak dan inti sebagai retensi intra-radikular merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. digunakan dikedokteran gigi. Bahan restorasi ini diminati masyarakat karena

PENINGKATAN SIFAT FISIS DAN MEKANIK BAHAN GUSI TIRUAN BERBASIS KOMPOSIT RESIN AKRILIK DENGAN PENAMBAHAN VARIASI UKURAN SERAT KACA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dihubungkan dengan jumlah kehilangan gigi yang semakin tinggi.

MATERIAL PLASTIK DAN PROSESNYA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. model gigitiruan dilakukan dengan cara menuangkan gips ke dalam cetakan rongga

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam bidang kedokteran gigi semakin beragam dan pesat. Terdapat berbagai jenis

3 Universitas Indonesia

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Basis Gigitiruan Basis gigitiruan adalah bagian dari suatu gigitiruan yang bersandar pada jaringan pendukung (McCabe & Walls 2007). Fungsi basis gigitiruan adalah menggantikan tulang alveolar yang sudah hilang, menyalurkan tekanan oklusal ke jaringan pendukung gigi, mempertahankan residual ridge, dan tempat untuk melekatkan komponen gigitiruan lainnya seperti anasir gigitiruan, sandaran oklusal, lengan retentif dan lengan resiprokal pada gigitiruan dari bahan resin akrilik (Gunadi 2012; Powers dkk. 2006; Carr dkk. 2005). Daya tahan dan sifat-sifat dari suatu basis gigitiruan sangat dipengaruhi oleh bahan basis gigitiruan tersebut. Berbagai bahan telah digunakan untuk membuat gigitiruan, namun belum ada bahan yang dapat memenuhi semua persyaratan basis gigitiruan (Van Noort 2007; Carr dkk. 2005). 2.1.1 Syarat Bahan Basis Gigitiruan Bahan basis gigitiruan harus memiliki syarat yang ideal untuk pembuatan basis gigitiruan. Persyaratan ideal untuk bahan basis gigitiruan dapat dibagi berdasarkan sifat fisis, mekanis, kemis, biologis dan sifat lain yaitu: (McCabe & Walls 2007; Gunadi 2012; Zarb dkk. 2012; Chhnoeum 2008; Van Noort 2007; Manappallil 2003; Powers dkk. 2006) 2.1.1.1 Persyaratan Biologis

1. Tidak toksik dan tidak mengiritasi jaringan (biokompatibel) 2. Tidak larut dalam saliva dan tidak mengabsorbsi saliva 3. Jika terjadi proses absorpsi, basis sebaiknya dapat bertahan dari perkembangan bakteri dan jamur 2.1.1.2 Persyaratan Fisis dan Mekanis 1. Berat jenis rendah 2. Penghantar termal yang baik 3. Kekuatan impak yang (cukup untuk tahan terhadap fraktur), transversal (tidak kurang dari 60-65 MPa) dan modulus elastisitas yang tinggi untuk rigiditas yang lebih baik (paling sedikit 2000 Mpa untuk polimer yang dipolimerisasi dengan panas). ISO 20795-1:2013(E) (International Standart 2013) 4. Warna sesuai dengan jaringan sekitarnya (estetik) 5. Memiliki temperatur glass transition yang mampu untuk mencegah melunak atau rusaknya selama pemakaian 6. Memiliki stabilitas dimensi yang baik 7. Tidak mudah mengalamai abrasi, sehingga bentuk gigitiruan tetap baik dalam jangka waktu yang lama 8. Radiopak, sehingga terlihat saat melakukan foto ronsen 9. Mudah dimanipulasi dan direparasi bila patah atau retak

10. Mudah dibersihkan baik secara mekanis maupus kemis 2.1.1.3 Persyaratan Kemis dan Lainnya 1. Bahan basis sebaiknya tahan terhadap bahan kimia 2. Memiliki warna yang baik sehingga terlihat alami 3. Tidak larut dalam cairan rongga mulut 4. Tidak menyerap air dan saliva sehingga tidak merubah sifat mekanisnya serta tetap higienis 5. Bahan basis sebaiknya tidak mahal, dapat tahan lama pada saat di simpan, dan pemrosesannya tidak membutuhkan alat yang mahal. 2.1.2 Bahan Basis Gigitiruan Berdasarkan bahan yang digunakan, basis gigitiruan dapat dibagi menjadi basis gigitiruan logam dan basis gigitiruan non logam (Powers & Sakaguchi 2006). 2.1.2.1 Basis Logam Bahan berbasis logam biasanya terbuat dari campuran 2 logam atau lebih yang disebut dengan alloy, contohnya adalah basis dari kobalt kromium, kobalt kromium nikel dan nikel kromium (Zarb dkk. 2012). Basis dengan bahan logam memiliki beberapa keuntungan apabila dibandingkan dengan bahan non logam, stabilitas dimensi yang lebih baik dan kekuatan yang diperoleh maksimal dengan

ketebalan yang minimal. Kerugian dari bahan logam adalah estetik yang kurang baik serta sulit di perbaiki apabila patah (Gunadi 2012; Zarb dkk. 2012; Carr dkk. 2005). 2.1.2.2 Basis Non Logam Bahan basis gigitiruan polimer oleh The International Organization for Standardization (ISO 20795-1:2003(E)) diklasifikasikan menjadi 5 tipe, yaitu : (International Standart 2013) 1. Tipe 1, klas 1 : Heat processing polymers, powder and liquid Tipe 1, klas 2 : Heat processed (plastic cake) 2. Tipe 2, klas 1 : Autopolymerised polymers, powder and liquid Tipe 2, klas 2 : Autopolymerised polymers, powder and liquid (powder and liquid pour type resins) 3. Tipe 3 : Thermoplastic blank or powder 4. Tipe 4 : Light activated materials 5. Tipe 5 : Microwave cured materials Bahan berbasis non logam merupakan jenis bahan yang paling sering digunakan dalam kedokteran gigi karena memiliki sifat yang lebih baik apabila dibandingkan dengan bahan berbasis logam. Bahan basis non logam memiliki estetik yang lebih baik serta harga yang lebih terjangkau apabila dibandingkan dengan basis logam. Bahan basis non logam umumnya terbuat dari bahan polimer. Berdasarkan reaksi termalnya, basis non logam dapat terbagi menjadi 2 macam, yaitu polimer

termoplastik dan polimer termoset (Henkel dkk. 2002; Van Noort 2007; Powers dkk. 2006). 2.1.2.2.1 Termoplastik Polimer termoplastik adalah jenis polimer termoplastik yang akan melunak ketika dipanaskan dan mengeras kembali saat didinginkan secara reversible. Degradasi irreversible akan terjadi apabila pemanasan dilakukan dalam temperatur yang melewati batas ambang. Contoh polimer termoplastik yang sering digunakan pada kedokteran gigi adalah nilon termoplastik (Henkel dkk. 2002; Van Noort 2007; Powers dkk. 2006). 2.1.2.2.2 Termoset Polimer termoset adalah jenis polimer termoset yang akan menjadi keras secara permanen pada saat pembuatannya dan tidak akan melunak ketika dipanaskan kembali. Salah satu contohnya adalah cross-linked poly(methyl methacrylate)atau resin akrilik (Henkel dkk. 2002; Van Noort 2007; Powers dkk. 2006). Resin akrilik mulai diperkenalkan oleh Rohm dan Hass pada tahun 1936 dalam bentuk lembaran, kemudian Nemours pada tahun 1937 memperkenalkan resin akrilik dalam bentuk bubuk. Pada tahun yang sama Dr. Walter Wright memperkenalkan bahan polimetil metaklirat atau resin akrilik sebagai bahan basis gigitiruan yang hingga saat ini paling banyak digunakan (Tandon dkk. 2010). Sejak pertengahan tahun 1940, resin akrilik

sudah banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi untuk berbagai keperluan seperti splinting, pelapis estetik, bahan pembuat anasir gigitiruan, piranti ortodonti, bahan reparasi dan bahan basis gigitiruan (Sitorus & Dahar 2012). Resin akrilik banyak digunakan karena memiliki banyak keuntungan, yaitu harganya yang relatif murah, mudah direparasi, proses pembuatannya yang menggunakan peralatan yang sederhana, warna yang sesuai dengan jaringan disekitar rongga mulut, stabilitas dimensinya baik, serta mudah dipoles (Yu dkk. 2012; Yu dkk. 2013). Bahan basis gigitiruan resin akrilik saat ini terbagi atas beberapa jenis, yaitu resin akrilik swapolimerisasi, resin akrilik polimerisasi sinar dan resin akrilik polimerisasi panas (Zarb dkk. 2012; Gladwin dkk. 2009). Bahan basis gigitiruan resin akrilik saat ini terbagi atas beberapa jenis yaitu resin akrilik swapolimerisasi, resin akrilik polimerisasi sinar, dan resin akrilik polimerisasi panas. 1. Resin akrilik swapolimerisasi (cold cured/chemically activated acrylic resin) adalah resin akrilik yang terdiri dari bubuk dan cairan yang dilengkapi dengan aktivator kimia untuk mempercepat proses polimerisasi yaitu dimetil-para-toluidin atau amin tersier. Bahan ini memiliki kekuatan dan stabilitas warna yang kurang apabila dibandingkan dengan resin akrilik polimerisasi panas, tetapi working time yang lebih cepat dari resin akrilik polimerisasi panas. Bahan ini biasanya digunakan untuk basis gigitiruan sementara serta bahan reline dan rebase gigitiruan (Zarb dkk.

2012; Van Noort 2007; Hamza dkk. 2004; Powers dkk. 2006; Carr dkk. 2005). 2. Resin akrilik polimerisasi sinar (light-activated resin) adalah resin akrilik yang menggunakan sinar tampak untuk proses polimerisasinya. Penyinaran dilakukan selama 10 menit dengan panjang gelombang cahaya sebesar 400-500 nm pada unit kuring khusus. Resin akrilik jenis ini dilapisi oleh komponen lapisan non reaktif untuk mencegah masuknya oksigen selama proses polimerisasi berlangsung (Zarb dkk. 2012; Powers dkk. 2006; Gladwin dkk. 2009). 3. Resin akrilik polimerisasi panas (heat cured acrylic resin) adalah resin akrilik yang menggunakan proses pemanasan untuk polimerisasinya. Resin akrilik jenis ini tidak memerlukan aktivator dalam proses polimerisasinya, sehingga working time dari resin akrilik ini paling lama apabila dibandingkan dengan resin akrilik swapolimerisasi dan polimerisasi sinar, tetapi resin akrilik jenis ini memiliki kekuatan yang paling besar (Van Noort 2007; Powers dkk. 2006; Gladwin dkk. 2009). 2.2 Resin Akrilik Polimerisasi Panas Resin akrilik polimerisasi panas merupakan bahan basis gigitiruan yang paling sering digunakan sebagai basis gigitiruan dalam kedokteran gigi. Bahan ini terbuat dari bahan polimetil metaklirat yang memerlukan energi termal atau energi

panas dalam proses polimerisasinya. Energi termal yang dibutuhkan untuk proses polimerisasinya dapat diperoleh dari perendaman dalam air yang dipanaskan (waterbath) (Anusavice 1996). 2.2.1 Komposisi Resin akrilik polimerisasi panas tersedia dalam bentuk bubuk dan cairan. Bubuk akrilik mengandung komponen polimer dan cairan mengandung monomer. Komponen-komponen yang terkandung dalam bubuk dan cairan resin akrilik polimerisasi panas antara lain: (Zarb dkk. 2012; Carr dkk. 2005; Gladwin dkk. 2009) a. Bubuk (powder) Polimer: granul prepolimerisasi dari polimetil metaklirat Inisiator: benzoil peroksida (0,5-1,5%) atau diisobutylazonitrile Pigmen: merkuri sulfida, kadmium sulfida, ferri oksida atau pigmen organik Lainnya: serat sintetik yang telah diwarnai b. Cairan (liquid) Monomer: metil metaklirat Inhibitor: hidroquinon (0,003-0,1%) Cross-linking agent : etilen glikol dimetaklirat (2-14%) 2.2.2 Manipulasi Resin akrilik polimerisasi panas dimanipulasi sehingga menghasilkan bentuk yang keras dan kaku dengan menggunakan teknik compression moulding. Proses

manipulasi resin akrilik polimerisasi panas dengan teknik compression moulding antara lain: (Anusavice 1996) a. Perbandingan monomer dan polimer Pencampuran bubuk polimer dan cairan monomer dilakukan dengan perbandingan volume 3:1 atau perbandingan berat 2,5:1 (Zarb dkk. 2012; Anusavice 1996). b. Proses Pencampuran polimer dan monomer Bubuk dan cairan dengan rasio yang tepat dicampurkan didalam wadah yang bersih, kering dan tertutup lalu di campurkan hingga homogen. Selama proses pencampuran, ada beberapa tahapan yang terjadi, yaitu: (Zarb dkk. 2012; Mowade dkk. 2012; Anusavice 1996) 1. Sandy stage adalah tahap terbentuknya campuran yang menyerupai pasir basah. Pada tahap ini polimer secara bertahap bercampur dengan monomer. 2. Sticky stage adalah tahap ketika bubuk mulai larut dalam cairan sehingga akan terlihat seperti berserabut saat ditarik. Pada tahap ini monomer sudah berpenetrasi dengan polimer. 3. Dough stage adalah tahap saat monomer sudah berpenetrasi seluruhnya ke dalam polimer yang ditandai dengan konsistensi adonan mudah diangkat dan tidak lengket lagi. Tahap ini merupakan waktu yang tepat memasukkan adonan ke dalam mold.

4. Rubbery (elastic) stage adalah tahap saat monomer sudah tidak dapat bercampur dengan polimer lagi. Pada tahap ini, akrilik akan berwujud seperti karet dan tidak bisa lagi dimasukkan dalam mold. 5. Stiff stage adalah tahap sewaktu akrilik sudah kaku dan tidak dapat dibentuk lagi. c. Proses pengisian dalam mold Pengisian dalam mold dilakukan pada fase dough stage yaitu setelah pengisian dilakukan pres hidrolik sebanyak 2 fase. Fase pertama yaitu dengan tekanan 1000 psi supaya mold terisi secara padat dan kelebihannya dibuang dengan lekron. Fase kedua dilakukan pengepresan dengan tekanan sebesar 2200 psi dan dibiarkan pada suhu kamar selama 30-60 menit (Bhaskaran dkk. 2012; Salim 2010). d. Proses kuring Proses kuring dilakukan sebanyak 2 fase. Fase pertama dilakukan pada waterbath pada suhu 70 0 C selama 90 menit dan dilanjutkan dengan fase kedua yang dilakukan pada suhu 100 0 C selama 30 menit sesuai dengan JIS (Japan Industrial Standard) (Sadamori dkk. 2007). Proses kuring dengan cara pemanasan yang tinggi dan cepat dapat menyebabkan sebagian monomer tidak sempat berpolimerisasi menjadi polimer sehingga dapat menguap dan membentuk bola-bola uap, bola uap tersebut dapat terperangkap di dalam matriks resin sehingga menyebabkan terjadinya internal porosity yang tidak terlihat (Powers & Sakaguchi 2006). e. Proses pendinginan dan penyelesaian

Setelah proses kuring selesai, kuvet dikeluarkan dari waterbath dan dibiarkan hingga mencapai suhu kamar, lalu resin akrilik dikeluarkan dari mold kemudian dirapikan dengan menggunakan bur dan dipoles (Powers dkk. 2006; Sadamori dkk. 2007). 2.2.3 Kelebihan Resin akrilik polimerisasi panas memiliki kelebihan, antara lain: (Van Noort 2007; Powers dkk. 2006; Faot dkk. 2009; Soygun dkk. 2013) 1. Mudah digunakan dan diperbaiki 2. Estetik yang baik karena warnanya yang menyerupai jaringan rongga mulut 3. Harga yang lebih murah apabila dibandingkan dengan basis gigitiruan logam dan nilon termoplastik 4. Biokompatibel, yaitu tidak toksik dan tidak bersifat iritan 5. Tidak larut dalam cairan rongga mulut dan tidak mengabsorpsi saliva 6. Stabilitas warna yang baik 7. Mudah dipoles 8. Proses pembuatannya mudah dan hanya memerlukan peralatan sederhana 9. Lebih kuat dibandingkan dengan resin swapolimerisasi 2.2.4 Kekurangan Resin akrilik polimerisasi panas memiliki beberapa kekurangan, yaitu: (Van Noort 2007; Mowade dkk. 2012; Powers dkk. 2006; Gladwin dkk. 2009)

1. Kekuatan impak (resistensi terhadap benturan) yang rendah apabila dibandingkan dengan nilon termoplastik dan logam 2. Kekuatan transversal (fleksural) yang rendah apabila dibandingkan dengan nilon termoplastik dan logam 3. Ketahanan terhadap fatique yang rendah 4. Ketahanan terhadap abrasi yang rendah 5. Konduktivitas termal yang rendah 6. Apabila proses polimerisasinya tidak sempurna, monomer sisa yang berlebihan dapat menyebabkan reaksi alergi. 7. Working time yang lama apabila dibandingkan dengan resin akrilik polimerisasi sinar dan resin akrilik swapolimerisasi. 2.2.5 Sifat Sifat-sifat yang dimiliki resin akrilik polimerisasi panas, antara lain: sifat kemis, sifat biologis, sifat fisis dan sifat mekanis (McCabe & Walls 2007; Van Noort 2007; Powers dkk. 2006). 2.2.5.1 Sifat Kemis Bahan basis gigitiruan harus stabil secara kimia yaitu tidak boleh larut dalam cairan apapun termasuk cairan dalam rongga mulut, tidak boleh mengalami erosi maupun korosi. Sifat kemis dari resin akrilik berhubungan dengan penyerapan air dan kelarutannya. Besarnya penyerapan air resin akrilik polimerisasi panas adalah 0,6

mg/cm 2, sedangkan besar kelarutan dalam cairannya adalah 0,02 mg/cm 2 (McCabe & Walls 2007; Powers 2008; Van Noort 2007). 2.2.5.2 Sifat Biologis Bahan basis gigitiruan harus biokompatibel, tidak bersifat toksik, tidak bersifat iritan, tidak karsinogenik dan tidak berpotensi menyebabkan alergi. Resin akrilik polimerisasi panas merupakan bahan yang biokompatibel, tetapi monomer sisa yang berlebihan dapat menyebabkan reaksi alergi. Besarnya monomer sisa pada resin akrilik polimerisasi panas adalah sebesar 1-3% ketika dikuring dalam waktu kurang dari 1 jam dalam air mendidih. Jumlah monomer sisa akan berkurang hingga 0,4% atau bahkan lebih kecil apabila dikuring pada suhu 70 0 C dan dipanaskan dengan air mendidih selama 3 jam (McCabe & Walls 2007; Powers 2008; Powers dkk. 2006). 2.2.5.3 Sifat Fisis Sifat fisis yang terdapat pada resin akrilik polimerisasi panas adalah konduktivitas termal, koefisien ekspansi termal, stabilitas dimensi, densitas dan kestabilan warna. Konduktivitas termal merupakan laju aliran panas per satuan gradien suhu pada suatu benda. Konduktivitas termal diperlukan pada bahan basis gigitiruan untuk menahan stimulus panas dan dingin supaya kesehatan rongga mulut dapat terjaga dengan baik. Konduktivitas termal untuk resin akrilik polimerisasi panas adalah (5,7 x 10-4 ) 0 C/cm. Koefisien ekspansi termal adalah jumlah energi yang

diabsorpsi suatu benda ketika dipanaskan. Koefisien ekspansi termal untuk resin akrilik polimerisasi panas adalah sebesar (81 x 10-6 )/ 0 C (McCabe & Walls 2007; Van Noort 2007; Powers dkk. 2006). Stabilitas dimensi merupakan kemampuan resin akrilik polimerisasi panas untuk mempertahankan bentuknya baik setelah pemrosesan maupun sebelum pemrosesan. Besarnya penyusutan yang terjadi selama polimerisasi resin akrilik polimerisasi panas adalah sebesar 0,97% volume. Besarnya densitas resin akrilik polimerisasi panas adalah kira-kira sebesar 1,16-1,18 g/cm. Kestabilan warna dapat ditentukan dengan pengukuran color stability test yaitu resin akrilik akan disinari dengan sinar ultraviolet selama 24 jam. Hasil yang diperoleh hanya boleh menunjukkan sedikit perubahan warna apabila dibandingkan dengan resin akrilik sebelum dilakukan penyinaran (McCabe & Walls 2007; Zarb dkk. 2012; Powers dkk. 2006). 2.2.5.4 Sifat Mekanis Sifat mekanis adalah respon yang terukur baik elastis maupun plastis dari bahan bila terkena gaya atau distribusi tekanan. Sifat mekanis bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas adalah kekuatan tarik, kekuatan impak, kekuatan transversal dan fatik. Kekuatan tarik merupakan tekanan tarik yang menyebabkan terpisahnya rantai molekul-molekul polimer, kekuatan tarik merupakan kekuatan yang sering menyebabkan terjadinya retak pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas. Kekuatan impak merupakan kekuatan yang menyebabkan suatu bahan menjadi patah akibat benturan yang tiba-tiba. Kekuatan transversal (fleksural)

merupakan ukuran kekuatan terhadap tekanan yang terjadi pada bahan basis gigitiruan akibat pengunyahan. Kekuatan fatik merupakan kekuatan yang menyebabkan patahnya basis gigitiruan akibat pembengkokan yang berulang yang disebabkan oleh pemakaian gigitiruan yang terlalu lama (Mc.Caracken s 2000; Van Noort 2007). Salah satu faktor yang dapat mengakibatkan fraktur dari gigitiruan adalah rendahnya resisten dari impak dan transversal, atau juga teknik pembuatan basis gigitiruan yang tidak baik (Hamza dkk. 2004). Khasawneh dan Arab (2001) mengemukakan bahwa rata-rata fraktur basis gigitiruan pada rahang atas adalah 8,1 tahun dan pada rahang bawah adalah 7,6 tahun (Khasawneh & Arab 2002). 2.2.6 Kekuatan Impak Kekuatan impak adalah ukuran kekuatan dari suatu bahan ketika bahan tersebut patah akibat benturan yang terjadi secara tiba-tiba. Kelemahan dari kekuatan impak biasanya terjadi diluar rongga mulut yang diakibatkan jatuh saat gigitiruan dibersihkan, batuk, atau bersin (El-Sheikh & Al-Zahrani 2006). Survei fraktur gigitiruan yang dilakukan oleh El-Sheikh dan Al-Zahrani (2006) bahwa perbaikan gigitiruan dalam 3 tahun adalah sebesar 69,7%, sedangkan fraktur yang terjadi akibat kekuatan impak adalah sebesar 80,4%. Hal ini sejalan dengan survei yang dilakukan oleh Hargreaves yang melaporkan 63% gigitiruan patah setelah 3 tahun pemasangan (El-Sheikh & Al-Zahrani 2006). Dua tipe alat pengujian kekuatan impak yang sering digunakan pada resin akrilik polimerisasi panas, yaitu Izod dan Charpy. Pada alat penguji Charpy kedua ujung sampel diletakkan pada posisi horizontal, sedangkan

pada alat penguji Izod sampel dijepit secara vertikal pada salah satu ujungnya. Kekuatan impak diukur menggunakan sampel dengan ukuran tertentu yang diletakkan pada alat penguji dengan lengan pemukul yang dapat diayun. Pemukul tersebut kemudian diayun dan membentur sampel sehingga patah selanjutnya energi yang tertera pada alat penguji dibaca dan dicatat lalu dilakukan perhitungan kekuatan impak (McCabe & Walls 2007; Van Noort 2007; Powers dkk. 2006). Keterangan: A = Energi yang diserap (Joule) X = Lebar batang uji (mm) Y = Tebal batang uji (mm) 2.2.7 Kekuatan Transversal Gigitiruan yang berada pada rongga mulut pada saat pengunyahan di sebelah posterior gigitiruan merupakan model penerapan tekanan transversal yang serupa dengan dukungan three point bending test (Vojvodic dkk. 2009; Yondem dkk. 2011; Yu dkk. 2012; Unalan dkk. 2010). Tekanan transversal pada suatu bahan material merupakan gabungan dari kekuatan kompresi, kekuatan tarik, dan kekuatan shear (Yondem dkk. 2011). Kekuatan transversal didefinisikan sebagai kemampuan bahan untuk menahan deformasi bawah beban. Sheikh dan Al-Zahrani (2006) bahwa

perbaikan gigitiruan dalam 3 tahun fraktur yang terjadi akibat kekuatan transversal adalah sebesar 16,1% (El-Sheikh & Al-Zahrani 2006). Uji lentur melintang paling sering digunakan pada sampel dengan penampang lingkaran atau persegi panjang dibengkokkan sampai fraktur atau menggunakan teknik three point bending test. Kekuatan transversal merupakan stres tertinggi dialami dalam materi pada saat yang fraktur. Kekuatan transversal dapat juga didefinisikan sebagai gaya per satuan luas pada titik fraktur benda uji mengalami beban lentur. Menurut American Society for Testing dan Material (ASTM) D790 standar, sampel yang diuji untuk kekuatan melintang dengan three point bending test menggunakan Instron UTM (Raszewski dkk. 2013; Raszewski dkk. 2011; Unalan dkk. 2010; Bashi dkk. 2009; Paladugu dkk. 2014). Beban diterapkan terpusat pada sampel bar pada kecepatan dari 5 mm/menit dan panjang rentang 50 mm (ISO 1567) (Raszewski dkk. 2013; Raszewski dkk. 2011; Yondem dkk. 2011; Vojdani dkk. 2006; Yu dkk. 2012; Gurbuz dkk. 2010). Sampel didefleksikan sampai terjadi gaya fraktur (Paladugu dkk. 2014). Gaya yang dibutuhkan sampai fraktur dihitung dengan cara menurut ISO 20795-1:2013(E) (International Standart 2013; Gurbuz dkk. 2010). Dimana: σ = kekuatan transversal (megapascal) F = gaya maksimum, dalam satuan Newton l = jarak sampel, dalam satuan milimeter antara jarak dukungan

b = lebar sampel, dalam satuan milimeter h = tinggi sampel atau ketebalan sampel, dalam satuan milimeter 2.3 Bahan Penguat Resin Akrilik Resin akrilik merupakan bahan yang paling sering digunakan dalam kedokteran gigi, tetapi resin akrilik memiliki berbagai kelemahan, salah satunya ialah kekuatan impak dan transversal yang rendah (Powers 2008). Untuk meningkatkan kekuatan resin akrilik polimerisasi panas dapat digunakan berbagai macam bahan penguat. Bahan penguat yang dapat digunakan yaitu bahan logam, kimia dan serat (Sitorus dkk. 2012; Soygun dkk. 2013; Dogan dkk. 2008). 2.3.1 Bahan Logam Bahan logam dapat ditambahkan kedalam resin akrilik polimerisasi panas sebagai penguat. Bentuk logam yang dapat ditambahkan ke dalam resin akrilik polimerisasi panas ialah logam yang berbentuk kawat, plat dan mesh (Vojdani dkk. 2006; Sitorus dkk. 2012; Jaber 2011). Bahan penguat ini memiliki beberapa kerugian sehingga sangat jarang digunakan, yaitu sistem adhesi yang inadekuat antara resin akrilik dan komponen logam, harga yang relatif mahal, korosi serta warna logam yang gelap sehingga akan mengurangi estetik gigitiruan (Schricker dkk. 2006; Hamza 2004; Dogan dkk. 2008). Penggunaan kawat logam sebagai penguat tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekuatan impak (Vojdani & Khaledi 2006).

2.3.2 Bahan Kimia Bahan polifungsional berupa cross-linking agent seperti polietilen glikol dimetakrilat dapat ditambahkan kedalam monomer resin akrilik sebagai penguat (Dogan dkk. 2008). Penambahan cross-linking agent dapat menambah ikatan kovalen antar monomer sehingga secara mikroskopik akan berpengaruh pada kekuatan resin akrilik pada saat dicampur ke dalam polimer. Ikatan kovalen yang kuat akan mencegah terputusnya rantai polimer pada saat pemanasan dan meningkatkan elastisitas (Henkel & Pense 2002). Penggunaan bahan kimia sebagai penguat resin akrilik polimerisasi panas jarang digunakan, karena penggunaan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan resin akrilik menjadi fatik akibat elastisitas yang berlebihan serta harganya yang sangat mahal yang bahkan melebihi harga resin akrilik polimerisasi panas yang konvensional. Bahan kimia lainnya yang dapat ditambahkan kedalam resin akrilik polimerisasi panas sebagai penguat adalah rubber particles dan filler kimia (Van Noort 2007; Yu dkk. 2013). Bahan rubber yang dapat ditambahkan kedalam resin akrilik polimerisasi panas adalah butadienestyrene rubber yang dapat bertindak sebagai shock absorber untuk menahan stress yang diterima oleh resin akrilik polimerisasi panas sehingga dapat meningkatkan kekuatan impak (Sitorus & Dahar 2012). 2.3.3 Bahan Serat

Serat merupakan bahan yang paling sering digunakan sebagai penguat pada bahan yang terbuat dari polimer. Penggunakaan serat dapat meningkatkan sifat mekanis dari resin akrilik polimerisasi panas (Raszewski & Nowakowska 2011), terutama kekuatan impak dan transversal (Vojvodic dkk. 2009; Vojdani 2006). Berdasarkan bahan pembuatnya, serat terbagi menjadi dua macam, yaitu serat alami dan serat buatan (Feldman dkk. 1995). 2.3.3.1 Serat Alami Serat alami merupakan serat yang terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam seperti hewan, mineral dan tumbuhan, misalnya serat jute (Feldman dkk. 1995; Hyer 1998). Dalam penelitian yang dilakukan Kondo, dkk (2009) yang menambahkan serat jute potongan kecil kedalam bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas menyatakan perlunya penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi optimal dan surface treatment yang tepat sehingga dapat digunakan sebagai bahan penguat basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas (Alla dkk. 2013). 2.3.3.2 Serat Buatan Serat buatan dapat berbentuk filamen maupun stapel. Serat buatan yang sering dijadikan sebagai penguat adalah serat karbon, serat kaca dan serat polimer (Feldman dkk. 1995; Hyer 1998). Serat karbon merupakan serat yang memiliki kekuatan yang sangat kuat, ringan dan memiliki modulus elastisitas yang tinggi, tetapi serat ini jarang digunakan sebagai bahan penguat basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas karena warnanya yang gelap serta harganya yang relatif mahal. Warna yang

gelap dari serat karbon akan mengurangi estetik apabila dijadikan sebagai bahan penguat resin akrilik polimerisasi panas (Henkel 2002; Yu dkk. 2012). Serat kaca adalah material berbentuk serabut yang sangat halus dan mengandung bahan kaca, serat ini lebih murah daripada serat karbon. Serat ini termasuk serat estetis, sehingga tidak akan menggangu estetik dari bahan basis gigitiruan. Serat polimer merupakan serat yang terbuat dari rantai polimer panjang yang berada di sepanjang aksis dan membentuk serabut. Serat polimer umumnya memiliki kekuatan yang tinggi (Hyer 1998). Serat polimer yang dapat dijadikan sebagai bahan penguat adalah serat aramid, serat rayon, serat polietilen, serat nilon dan serat poliester. Serat rayon, serat polietilen, serat nilon dan serat poliester merupakan serat estetik sehingga estetika dari basis gigitiruan akan terjaga (Yu dkk. 2012; Dogan dkk. 2007). Serat aramid berwarna kekuningan dan dapat menambah kekasaran resin akrilik polimerisasi panas sehingga sulit dipoles serta daya adhesi yang rendah antara serat aramid dan resin akrilik membuat serat aramid tidak digunakan secara luas sebagai bahan penguat (Alla dkk. 2013). 2.4 Serat Polietilen 2.4.1 Pengertian Polietilen (PE) atau plastik diproduksi secara global 80 juta ton. Penggunaan utamanya adalah dalam kemasan (kantong plastik, wadah botol, film plastik) (Wikipedia 2015). Serat ini bersifat inert, memiliki kekuatan impak yang tinggi, dan merupakan pilihan yang baik untuk resin akrilik (Maldonado dkk. 2012). Banyak

jenis dari polietilen dengan sebagian besar memiliki rumus kimia (C 2 H 4 ) n H 2 (Gambar 2.1). Jadi PE biasanya campuran senyawa organik serupa yang berbeda dalam hal nilai n (Wikipedia 2015). Gambar 2.1. Rumus kimia polietilen dan ikatan rantai polietilen Sumber : Strassler HE, Brown C. 2001. Periodontal splinting with a thin-high-modulus polyethyelene ribbon. 2.4.2 Klasifikasi Klasifikasi dari polietilen dibagi menurut kepadatannya: (Wikipedia 2015) Ultra-high-molecular-weight polyethylene (UHMWPE) Ultra-low-molecular-weight polyethylene (ULMWPE or PE-WAX) High-molecular-weight polyethylene (HMWPE) High-density polyethylene (HDPE) High-density cross-linked polyethylene (HDXLPE) Cross-linked polyethylene (PEX or XLPE) Medium-density polyethylene (MDPE) Linear low-density polyethylene (LLDPE) Low-density polyethylene (LDPE)

Very-low-density polyethylene (VLDPE) Chlorinated polyethylene (CPE) Serat polietilen yang banyak digunakan pada kedokteran gigi adalah jenis UHMWPE yang merupakan serat dengan berat molekul berjumlah jutaan (Vojvodic dkk. 2009; Yondem dkk. 2011; Narva dkk. 2005; Yu dkk. 2012; Unalan dkk. 2010; Jagger dkk. 1999; Wikipedia 2015; Belli 2006). Serat ini mulai di perkenalkan tahun 1960, memiliki rantai yang sangat panjang dengan massa molekul antara 2-6 juta unit (Strassler & Brown 2001). Susunan rantai yang makin panjang berfungsi mentransfer beban yang lebih efektif untuk polimer dengan penambahan interaksi intermolekuler. Berat molekul tinggi membuatnya menjadi bahan yang sangat kuat dan kekuatan impak yang tinggi (Wikipedia 2015; Strassler 2001). Jenis serat polietilen UHMWPE yang sering digunakan sebagai serat penguat komposit merupakan bahan berbasis resin yang diperkuat dengan serat untuk meningkatkan sifat fisis (Ganesh & Tandon 2006). Penggunaan kawat logam sebagai penguat tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekuatan impak (Vojdani & Khaledi 2006). Faktor kunci yang mempengaruhi sifat fisis dari struktur serat penguat adalah serat yang diberikan beban saat berada diantara resin dan efektifitas dari bonding terhadap permukaan serat, orientasi serat dan lokasi serat dalam resin (Ganesh & Tandon 2006). Serat polietilen Ribbond merupakan salah satu serat polietilen UHMWPE yang diperkenalkan pada tahun 1992 dalam kedokteran gigi dan merupakan bahan

penguat serat polietilen yang mudah dimanipulasi (Gambar 2.2). Serat ini jauh melebihi titik patah dari serat kaca dan diperlukan gunting khusus untuk memotongnya. Kunci utama kesuksesan dari serat polietilen Ribbond yaitu anyaman lenoweave yang dipatenkan dengan desain lock- stitch yang memiliki keefektifan memindahkan beban melewati anyaman tanpa tekanan terbalik ke resin. Serat polietilen Ribbond tidak memiliki virtual memory, mudah diadaptasikan ke dalam bentuk gigi dan lengkung rahang. Sifat dari serat polietilen Ribbond translusen, tidak berwarna diantara komposit atau akrilik sehingga estetik menjadi maksimal. Aplikasi dalam penggunaan serat ini dalam kedokteran gigi juga berfungsi sebagai pasak endodontik, splin periodontal, space maintainers yang estetik, mahkota tunggal dan retainer ortodonsia (Ganesh & Tandon 2006). Gambar 2.2. Serat polietilen (Ribbond lebar 3mm) Sumber :Strassler HE, Brown C. 2001. Periodontal splinting with a-thin high-modulus polyethylene ribbon. Kunci kesuksesan dari serat polietilen Ribbond dan yang menjadi pembeda serat polietilen Ribbond di bandingkan dengan serat penguat yang lain adalah lenoweave yang di patenkan. Anyaman serat polietilen Ribbond juga menyediakan

karakter pengelolaan yang baik dan hampir tidak memiliki memori sehingga mudah diadaptasikan dengan kontur dari gigi dan lengkung gigi. Tidak seperti anyaman yang longgar dari serat unidireksi, anyaman serat polietilen Ribbond tidak menyebar atau berantakan saat dimanipulasi (Belli 2006; Ganesh 2006; Strassler 2001). Hasil penempatan serat yang tidak akurat menyebabkan celah didalam rongga atau komposit yang berlebih pada sisi tarik (tensile) menyebabkan komposit mudah fraktur (Ganesh & Tandon 2006). Desain yang unik membuat serat properti berikut ke serat polietilen Ribbond : (Gambar 2.3) Gambar 2.3. Desain anyaman lenoweave serat polietilen Ribbond Sumber : Ganesh M, Tandon S. 2006. Versatility of ribbond in contemporary dental practice. Properti lainnya terlihat di serat polietilen Ribbond : (Ganesh 2006; Strassler 2001) a. Mudah di bonding Serat polietilen Ribbond mudah di bonding pada komposit. Pembesaran 110.000 kali yang dilakukan dengan SEM menunjukkan penyatuan yang lengkap resin dengan serat polietilen Ribbond ini (kurangnya voids). Tekanan yang diberikan kepada resin mudah di transferkan serat polietilen Ribbond sehingga menjadi bagian kekuatan yang tidak terpisahkan dari protesa. b. Ikatan serat polietilen Ribbond ke resin akrilik

Resin akrilik swapolimerisasi dengan setting time yang lama, akan memperkuat resin. Serat polietilen Ribbond yang telah di campurkan dengan monomer di lapisi oleh resin akrilik pada fase sticky stage, setelah itu manipulasi dapat dilakukan dengan tangan dan dicampurkan ke akrilik pada fase dough stage. c. Estetik Serat polietilen Ribbond tidak memiliki warna dan translusen, tidak terlihat bila berada diantara resin akrilik. d. Biokompatibel Serat polietilen Ribbond adalah standar dalam biokompatibilitas. Material ini juga digunakan dalam konstruksi pinggul dan lutut sendi buatan. Jenis serat polietilen Ribbond dibagi menjadi serat polietilen Ribbond THM, Ribbond Original, Ribbond Ultra dan Ribbond Triaxial. Pada serat polietilen Ribbond Original (1991), dapat digunakan untuk aplikasi yang sama seperti serat polietilen Ribbond yang lainnya, ketebalannya 0,35 mm. Serat polietilen Ribbond THM terbuat dari serat tipis dengan jumlah serat yang lebih banyak dan memiliki kekuatan lentur dan modulus elastisitas yang lebih tinggi dari serat polietilen Ribbond Original dan Ribbond Triaxial dengan ketebalan 0,18 mm. Serat polietilen Ribbond THM (2001) juga memiliki disain lenoweave dan memiliki kekuatan yang baik serta lebih tipis dibandingkan dengan serat polietilen Ribbond Original (Gambar 2.4) (Belli 2006; Ganesh 2006). Serat polietilen Ribbond Triaxial merupakan serat unidireksi hibrid yang dikepang membentuk pita triaksial ganda dan memiliki ketebalan 0,50 mm.

Desain ini dipatenkan untuk memberikan ketahanan fraktur dari beban berbagai arah dan modulus elastisitas yang lebih besar (Belli 2006; Ganesh 2006). Serat polietilen Ribbond Triaxial adalah bahan pilihan untuk jembatan, restorasi endodontik, dan aplikasi lain. Serat polietilen Ribbond Ultra (2013) merupakan serat yang paling tipis diantara semua serat dengan ketebalan 0,12 mm sehingga lebih mudah diadaptasikan dan memiliki kekuatan transversal yang tertinggi dibanding serat polietilen Ribbond yang lain. Serat polietilen Ribbond Original, Ribbond THM dan Ribbond Ultra telah diberikan perlakuan plasma dingin dan hanya berbeda di ketebalan (Belli 2006; Strassler 2001; Hamza dkk. 2004). Diameter dari serat polietilen yang diubah dari 215 denier (Ribbond Original) menjadi 100 denier (Ribbond THM) meningkatkan 2,5x lipat kekuatan transversal pada resin tanpa pemberian serat penguat dan 15% dibandingkan Serat polietilen Ribbond Original (Strassler & Brown 2001). Gambar 2.4. Perbandingan ketebalan Serat polietilen Ribbond Original dengan Ribbond THM Sumber : Ganesh M, Tandon S. 2006. Versatility of ribbond in contemporary dental practice.

Hal ini sejalan dengan rumus Hall-Petch yang menyatakan diameter serat berbanding terbalik dengan tegangan yang dihasilkan. Tegangan bertambah bila diameter dari serat dikurangi (Carlton & Ferreira 2007). Hamza TA, dkk (2004) menyatakan kekuatan transversal yang dihasilkan oleh basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas yang diberikan penambahan serat menunjukkan kekuatan yang tertinggi pada serat polietilen Ribbond THM dilanjutkan dengan serat polietilen Ribbond Original, lalu diikuti serat polietilen Ribbond Triaxial (Hamza dkk. 2004). Hal ini berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Kanie T., dkk (2000) yang meneliti tentang ketebalan serat 0,13 mm, 0,18 mm dan 0,21 mm didapatkan hasil kekuatan transversal pada serat 0,18 mm lebih tinggi dibandingkan dengan serat dengan ketebalan 0,13 mm. Pada serat dengan ketebalan 0,13 mm didapatkan modulus elastisitas yang tertinggi dibandingkan dengan serat dengan ketebalan 0,18 mm dan 0,21 mm. Pada serat dengan ketebalan 0,21 mm menunjukkan kekuatan impak yang tertinggi dibandingkan serat dengan ketebalan 0,13 mm dan 0,18 mm (Kanie dkk. 2000). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Lasilla, dkk (2002) yang menyatakan serat- serat dengan diameter yang lebih kecil dapat menyebabkan mudah terjadinya voids antara permukaan serat dan matriks sehingga menurunkan kekuatan transversal dan modulus elastisitas (Rezvani dkk. 2013). Rezvani MB dkk. (2013) melaporkan bahwa diameter serat 14, 19, and 26 μm yang di impregnasikan kedalam resin matriks, menunjukan bahwa tidak terjadi perubahan kekuatan transversal dan modulus elastisitas antar kelompok. Penggunaan serat dengan

diameter yang kecil tidak menunjukkan kekuatan transversal yang lebih tinggi (Rezvani dkk. 2013). Belli (2006) menyatakan anyaman serat polietilen Ribbond lebih efektif dalam menahan beban tarikan daripada serat unidireksi karena struktur tiga dimensi yang dihasilkan dari lenoweave. Analisis Finite Element menunjukkan bahwa penguatan dengan serat polietilen lenoweave dirancang dengan fitur lock-stitch mengurangi nilai stres nilai bila dibandingkan dengan serat unidireksi atau triaxial dibawah penekanan (Belli & Eskitascioglu 2006). 2.4.3 Pengaruh Efektivitas Variasi Serat Polietilen 2.4.3.1 Perlakuan terhadap Serat Polietilen Serat polietilen memiliki beberapa keuntungan yaitu estetik yang baik, mudah dimanipulasi dan dapat meningkatkan kekuatan mekanis (Raszewski dkk. 2013; Yu dkk. 2012). Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa kekuatan adhesi antara matriks resin akrilik dan serat polietilen sangat rendah sehingga dapat mempengaruhi sifat mekanis yang mengakibatkan adanya voids (Rahamneh 2009) oleh karena itu diperlukan aktivasi permukaan (surface treatment) (Raszewski dkk. 2013; Mowade dkk. 2012). Setelah proses tersebut, akan terbentuk kelompok-kelompok baru pada permukaan serat dan dapat mudah bereaksi dengan resin lainnya, terutama dengan kelompok metakrilat (Raszewski dkk. 2013). Mowade, dkk (2012) menyatakan sifat adhesi yang lebih baik dapat dicapai dengan treated polietilen karena permukaan serat ini akan teretsa sehingga memudahkan penyatuan mekanik dengan matriks

polimer. Branden, dkk (1988) menyatakan penguatan resin akrilik dengan penambahan serat polietilen menunjukkan hasil yang memuaskan dan diperlukan plasma treated untuk meningkatkan adhesi antara serat dan resin (Jagger 1999; Mowade dkk. 2012). Berbagai saran telah dilakukan untuk meningkatkan adhesi permukaan surface treatment pada serat adhesi resin akrilik dengan polimer resin akrilik dengan menggunakan metode: sandblasting, pemberian bahan adhesif yang berbeda, plasma treatment (Mowade dkk. 2012), dan metode pretreatment lainnya (Rahamneh 2009). Cara lain untuk meningkatkan adhesi dari serat ke dalam matriks polimer yaitu dengan impregnasi resin ke dalam serat sebelum di aplikasikan (Mowade dkk. 2012). Vallitu, dkk (1994) menyatakan impregnasi serat kedalam matriks yang tidak baik mengakibatkan penurunan dari kekuatan transversal dari bahan basis gigitiruan yang diakibatkan karena penyerapan cairan monomer yang berlebih dalam serat sebelum terjadinya polimerisasi (Kanie dkk. 2000). Hal ini berbeda dengan penelitian Vojdani dan Khaledi (2006) yang menyatakan peningkatan cairan monomer akrilik pada serat menurunkan voids yang terjadi (Vojdani & Khaledi 2006). Vallitu (1994) menyatakan adhesi antara serat dengan polimer matriks sangat penting untuk meningkatkan sifat mekanis dari polimer matriks. Voids dapat terjadi didalam sampel resin akrilik karena adanya penyusutan pada saat polimerisasi sebesar 8-21%. Jumlah monomer yang digunakan berbeda pada berbagai tipe serat karena adanya penyusutan yang terjadi akibat polimerisasi. Voids yang ditemukan pada percobaan ini menyebabkan matriks yang diperkuat serat mudah patah (Vallittu

dkk. 1994). Voids yang terjadi akibat penyusutan saat terjadi polimerisasi dari monomer dari bahan basis gigitiruan resin akrilik terlihat pada hasil SEM yang dilakukan pada serat dan matriks mengakibatkan pelemahan matriks polimer (Narva dkk. 2001). Metode impregnasi menjadi efektif apabila akrilik resin dapat berkontak dengan permukaan serat yang telah diberikan wetting (Mowade dkk. 2012). Jumlah air diserap dalam matriks polimer mempengaruhi sifat mekanis dari resin diperkuat serat karena efek plasticizer dari air. Pada saat ini serat yang paling dapat diterima sebagai serat penguat resin akrilik adalah serat polietilen karena mudah disesuaikan dengan bentuk dan panjang yang diinginkan. Rahamneh A. (2009) meneliti bahwa sampel yang mengandung serat polietilen memiliki kekuatan impak tertinggi diikuti oleh sampel yang mengandung serat kaca dan serat karbon (Rahamneh 2009). Serat yang digunakan kedalam resin akrilik harus dibasahi dengan monomer sebelum ditempatkan dalam campuran monomer dan polimer (Hamza dkk. 1996). Untuk menghindari kontaminasi permukaan yang plasma treated, sepasang sarung tangan katun yang disediakan dalam paket, bersama dengan gunting yang dirancang untuk memotong serat dengan panjang yang diperlukan (Ramos dkk. 1996). 2.4.3.2 Penyusunan Serat Polietilen Serat polietilen dan serat kaca yang unidireksi merupakan bahan pengaplikasian yang baik pada kedokteran gigi untuk meningkatkan sifat mekanis dari RAPP (Raszewski & Nowakowska 2013). Bashi TK dan Al-Nema LM (2009)

menyatakan bahwa resin akrilik yang diperkuat dengan serat yang tersusun unidireksi menunjukkan kekuatan transversal yang tertinggi dibandingkan dengan serat anyaman dan serat yang tersusun acak dalam matriks polimer. Susunan serat yang tegak lurus dengan arah tekanan yang diberikan akan memberikan dukungan kekuatan yang paling baik. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ladizesky bahwa kekuatan impak yang tertinggi pada serat kaca adalah apabila serat tersusun unidireksi dan tersusun paralel dengan permukaan matriks, sehingga kemampuan matriks saat menerima beban mekanis di transfer ke serat (Bashi dkk. 2009). Ladizesky juga meneliti 13,4% serat polietilen yang unidireksi atau 39% potongan kecil serat polietilen meningkatkan kekuatan impak hingga 44 KJ/m 2 (Loncar dkk. 2008). Berbeda pada penelitian Unalan, dkk (2010) menunjukkan bahwa kekuatan tertinggi dari sampel di dapat pada serat anyaman dari pada serat unidireksi (Unalan dkk. 2010). Serat yang panjang memberikan hasil yang berbeda pada sifat mekanis pada resin akrilik dan cocok untuk digunakan pada daerah yang memiliki beban yang besar (Raszewski 2011; Narva dkk. 2001). Arah serat yang memiliki pengaruh signifikan pada bahan material apabila serat yang tersusun paralel dengan arah beban yang diberikan mempermudah resisten fraktur dari bahan. Peningkatan kuantitas serat dalam matriks meningkatkan kekuatan transversal dari kekuatan matriks (Raszewski dkk. 2013). Vojvodic (2009) menyatakan bahwa serat unidireksi lebih kuat pada polimer material dibanding dengan serat yang tersusun net shaped serat karena posisi

serat tegak lurus dengan beban yang diberikan (net shaped memiliki penyusunan serat 45 o ) sehingga memberikan efek memperkuat (Vojvodic dkk. 2009). Serat unidireksi yang tegak lurus dengan midline dari gigitiruan akan mencegah fraktur dibagian midline akibat tekanan transversal. Yu SH (2012) menyatakan serat unidireksi memiliki kelemahan yaitu pada saat mengunyah, beban yang diberikan ke berbagai arah, sedangkan unidireksi menahan beban hanya dari 1 arah (Yu dkk. 2012). Standar deviasi dapat terjadi walaupun persiapan pembuatan sampel proses laboratoris dilakukan secara sama, faktor yang tidak terkendali tetap terjadi diakibatkan pembasahan permukaan oleh monomer dan polimer, penetrasi resin akrilik polimerisasi panas ke dalam serat, proses mikroporositas pada tepi serat, dan lokasi serat pada sampel (Raszweski dkk. 2013; Raszewski dkk. 2011). 2.4.3.3 Efek Surface Treatment pada Serat Polietilen Voids internal terbentuk dalam resin akrilik komposit serat resin disebabkan oleh penyusutan polimerisasi akrilik resin monomer cair di dalam serat atau wetting agent serat dengan resin akrilik sedikit sehingga mengurangi penyatuan permukaan antara serat dengan matriks (Hamza dkk. 2004; Ramos dkk. 1994). Serat yang setelah dicelupkan dalam monomer resin akrilik yang mengelilingi serat menyusut hanya 8% (Vojdani dkk. 2006; Vallittu dkk. 1994). Serat polietilen bersifat hidrofobik dan memiliki energi permukaan rendah sehingga kompatibilitasnya dengan resin akrilik rendah. Serat yang tidak di treated dapat menjadi eksklusi dalam campuran resin akrilik dan bukannya memperkuat

sebenarnya melemahkan resin dengan memecah-belah matriks resin (Mowade dkk. 2012). Mowade, dkk (2012) menyatakan serat polietilen yang dilakukan plasma treatment menunjukkan kekuatan impak yang signifikan lebih tinggi daripada kelompok yang tidak dilakukan plasma treatment (Mowade dkk. 2012). Dalam rangka meningkatkan adhesi antara resin dan serat, modifikasi permukaan harus dilakukan. Beberapa teknik yang diikuti adalah plasma treatment serat polietilen menggunakan Oksigen, Helium atau gas Argon, treated asam kromat dari serat polietilen (Raszewski dkk. 2013; Mowade dkk. 2012). Serat polietilen dengan permukaan di modifikasi oleh plasma dingin diproses pada suhu yang sangat tinggi dapat mengubah permukaan polietilen. Peningkatan energi permukaan serat dan pembasahan permukaan yang dihasilkan oleh plasma treated akan teretsa sehingga memudahkan penyatuan mekanik dengan matriks polimer (Raszewski dkk. 2013; Raszewski dkk. 2011; Mowade dkk. 2012). Kekuatan transversal tidak akan meningkat dengan penambahan serat pada polimer matriks apabila surface treatment tidak dilakukan karena adhesi yang rendah (Hamza dkk. 2004; Ramos dkk. 1996). IE Kostoulas, T. Kavoura, MJ Frangou, GL Polyzois meneliti serat yang di berikan MMA wetting agent selama 180 detik pada resin polimerisasi panas menunjukkan bahwa proses wetting sangat penting untuk meningkatkan adhesi yang baik antara serat dan resin (Raszewski 2013). Proses wetting yang kurang antara permukaan serat dengan matriks polimer merupakan daerah kritikal untuk rentan terhadap mikrofraktur (Raszewski 2013). Mowade T., dkk (2012) menyatakan serat

polietilen yang telah diberi perlakuan plasma menunjukkan dampak signifikan lebih tinggi dari serat polietilen yang tidak diberi perlakuan (t = 5,3710, df = 18, p =.0001). Temuan dari analisis SEM membenarkan peningkatan kekuatan impak setelah perlakuan plasma (Mowade dkk. 2012). Mowade, dkk (2012). Peningkatan kekuatan impak setelah perlakuan plasma pada serat polietilen sejalan dengan penelitian Ladizesky, dkk (1993) menunjukkan peningkatan dalam dampak kekuatan PMMA setelah perlakuan plasma pada serat tetapi bertentangan Gutteridge (1992) yang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan sampel serat plasma treated (Mowade dkk. 2012). Mowade, dkk (2012). Berbeda dengan penelitian lain Tagaki K., dkk (1996) bahwa adhesi yang lemah antara serat dengan matriks polimer, bahkan dengan bantuan plasma treated, tidak jauh meningkatkan sifat mekanis dari basis gigitiruan polimer (Narva dkk. 2005; Narva dkk. 2001). Yu SH (2012) menyatakan bahwa serat polietilen UHMWP yang diberikan perlakuan plasma menunjukkan peningkatan kekuatan transversal (Yu dkk. 2012). 2.4.3.4 Efek Lokasi pada Serat Polietilen Raszewski Z dan Nowakowska D (2011) menyatakan bahwa kekuatan transversal dari resin akrilik bertambah bila di tambahkan serat, tetapi kekuatan yang di hasilkan bergantung pada posisi dari serat pada resin. Peningkatan kekuatan transversal bertambah apabila posisi serat ditempatkan dalam arah yang berlawanan dengan arah tekanan yang diberikan (Raszewski 2013; Raszewski 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian Narva KK, dkk (2005) dengan analisis statistik dua arah

varian menunjukkan bahwa merek dan lokasi serat pada resin yang diperkuat secara signifikan mempengaruhi kekuatan transversal. Narva KK, dkk (2004) penempatan serat di sisi tensile (tarik) menghasilkan kekuatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah serat yang sama pada sisi kompresi (Narva dkk. 2005). Serat yang diposisikan pada daerah yang dekat dengan daerah kompresi tidak meningkatkan kekuatan transversal (Raszewski 2011). Resin akrilik yang telah di perkuat serat ditempatkan di sisi tarik dari sampel menghasilkan kekuatan transversal jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sampel pada saat serat ditempatkan di sisi kompresi karena serat memiliki kemampuan untuk melengkung dan menyerap energi tanpa destruksi dari matriks resin (Raszewski 2011). Kekuatan tarik lebih tinggi terjadi pada serat penguat lebih efektif digunakan jika lokasi serat dekat dengan beban tarik tertinggi dari benda uji. Dalam situasi klinis resin yang di perkuat serat juga harus ditempatkan di dekat posisi tegangan tarik pada daerah non fungsional gigitiruan (Gambar 2.5) (Narva dkk. 2005). Serat polietilen yang terletak tegak lurus terhadap garis tengah gigi tiruan akan berguna untuk mencegah fraktur garis tengah gigi palsu akibat kekuatan transversal (Narva dkk. 2001). Secara metodologis, salah satu keterbatasan penelitian ini diakibatkan pengujian dry specimens. Beberapa studi telah menunjukkan pengaruh saturasi air pada sifat transversal gigitiruan yang di perkuat serat (Narva dkk. 2005). Serat polietilen Ribbond meningkatkan kekuatan fraktur dari resin saat diletakkan pada daerah tarikan (Ramos dkk. 1996).

Gambar 2.5. Skematik sisi tarikan dan sisi kompresi. A. Sampel tanpa disertai penambahan serat, aksis netral terletak pada bagian tengah dari sampel. B. Serat berada pada sisi tarikan dari sampel. C. Serat berada pada sisi kompresi dari sampel Sumber : Narva KK, Lassila LV, Vallittu PK. 2005. The static Strength and modulus of fiber reinforced denture base polymer. 2.4.3.5 Impregnasi pada Serat Polietilen Gutteridge (1992) menyatakan peningkatan kekuatan impak terjadi apabila di tambahkan serat polietilen UHMWPE kedalam resin (Jagger dkk. 1999). Narva, dkk (2004) menyatakan efek penguatan dari serat polietilen (terlepas dari apakah serat ditempatkan pada daerah tarikan atau kompresi) juga memungkinkan terjadinya adhesi antar permukaan yang berkurang antara gigitiruan dasar polimer dan serat. Hal ini juga mungkin disebabkan impregnasi serat polietilen yang berikatan dengan resin akrilik gigitiruan kurang memadai (Narva dkk. 2005). Adhesi membutuhkan impregnasi yang tepat dari serat dengan matriks, dan idealnya semua serat yang tertanam dalam polimer matriks (Hamza dkk. 2004; Kanie dkk. 2000). Impregnasi yang kurang pada serat yang dimasukkan ke dalam matriks mengakibatkan terjadinya porositas yang dapat meningkatkan absorpsi air (Raszewski 2013; Loncar dkk. 2008)