1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

PERIKANAN SERO DI PERAIRAN PANTAI PITUMPANUA KABUPATEN WAJO - TELUK BONE : SUATU KAJIAN EKOLOGIS TENRIWARE

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Oleh. Firmansyah Gusasi

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN 8.1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seolah tidak pernah berhenti membangun. mengubah pula susunan alamiah yang mendominasi sebelumnya.

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastropoda atau dikenal sebagai siput merupakan salah satu kelas dari filum

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan lepas pantai dan perikanan darat. Perikanan pantai cenderung mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam teknologi penangkapan dan rekayasa teknologi dalam pengembangan armada penangkapan dan peralatan pendukung lainnya. Skala usaha dalam sistem perikanan pantai sangat beragam dari skala konsumsi rumah tangga hingga yang dikembangkan secara profesional baik oleh perusahaan swasta maupun pemerintah. Salah satu alat tangkap tradisional yang dominan di kawasan pesisir Teluk Bone adalah sero. Alat tangkap tersebut tergolong alat tangkap pasif karena dioperasikan dengan cara menunggu kedatangan ikan, bukan mendekati atau mengejar kawanan ikan. Alat tangkap ini dipasang di kawasan perairan pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut. Salah satu faktor yang menyebabkan alat tangkap sero masih banyak dioperasikan di pesisir pantai sampai saat ini adalah karena relatif murah, mudah, dan sederhana pengoperasiannya. Meskipun jika dilihat dari produktivitasnya bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya seperti purse seine, jaring insang, dan bagan, kontribusi alat tangkap sero dalam total volume hasil tangkapan sero memang relatif lebih rendah. Pengembangan teknologi penangkapannya pun relatif lebih lambat dan inovasi baru hasil riset sangat kurang karena potensi pengembangan ke arah komersial kurang menjanjikan. Hal ini mengakibatkan para peneliti kurang berminat mengkaji masalah sero sehingga informasi dan kajian ilmiah masalah sero ini sangat terbatas, sementara populasi nelayan yang menggantungkan hidupnya pada alat tangkap ini cukup besar dan umumnya mengalami kesulitan untuk memilih pekerjaan lain karena keterbatasan keterampilan dan pengetahuan. Tipologi daerah penangkapan perikanan pantai yang banyak terdiri dari kawasan teluk yang sifatnya semi terbuka memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan perikanan tangkap di perairan terbuka. Sumberdaya ikan di kawasan teluk keragamannya sangat tinggi mengikuti keragaman dan tipe habitat yang bervariasi. Keistimewaan lain dibandingkan dengan perairan terbuka

2 adalah kemudahan akses oleh para nelayan. Jarak yang dekat dari pantai dan karakteristik oseanografi yang tidak terlalu ekstrim menyebabkan lebih mudah diakses oleh nelayan dengan teknologi dan peralatan armada penangkapan yang untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang ada dalam wilayah teluk. Berbeda dengan perairan terbuka yang membutuhkan armada penangkapan yang lebih maju dan skala yang lebih besar. Ekosistem teluk dan beberapa ekosistem pesisir lainnya memiliki fungsi ekologis yang sangat penting terhadap berbagai sumberdaya hayati laut, termasuk jenis-jenis ikan ekonomis penting yang banyak menjadi target penangkapan selama ini. Fungsi ekologis yang penting ekosistem teluk dan pesisir lainnya diantaranya sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah perlindungan, tempat mencari makan (feeding ground), dan penyebaran larva dan wilayah pembesaran berbagai biota laut (Dahuri 2003). Konsep dasar dalam manajemen perikanan tangkap mengacu pada perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan yakni ramah lingkungan, dan menguntungkan secara ekonomis. Pengelolaan sumberdaya perikanan sebaiknya menerapkan sistem perikanan berkelanjutan sehingga tidak terjadi eksploitasi yang menyebabkan overfishing. Hal ini dapat ditempuh melalui pemeliharaan ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang bersifat ramah terhadap lingkungan. Sebagai suatu sistem usaha apalagi jika berkembang sampai pada tingkat pengembangan industri perikanan maka secara ekonomis sebuah sistem perikanan harus bersifat menguntungkan. Pengelolaan yang sifatnya menguntungkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai obyek pelaku. Berkaitan dengan konsep manajemen perikanan yang dijelaskan di atas, maka sebaiknya dalam pengelolaan perikanan di wilayah pantai tetap menjaga kelestarian fungsi-fungsi ekosistem yang beragam agar daya dukung lingkungan tetap dapat dipertahankan dan mampu mendukung produksi berbagai sumberdaya yang menjadi target pengelolaan. Sehubungan dengan kemudahan akses wilayah pantai maka sebaiknya dampak aksesbilitas tinggi ini tidak bersifat negatif yaitu merusak ekosistem, sebaliknya harus besifat positif dengan memaksimalkan pemeliharaan habitat-habitat dalam semua ekosistem penyusun pantai. Salah satu aspek penting dan berpotensi merusak ekosistem dan mengganggu kelestarian

3 sumberdaya alam dan biota laut di dalamnya adalah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah terhadap lingkungan. Oleh sebab itu sebaiknya alat tangkap yang digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan di wilayah pantai adalah alat tangkap yang selektif dan tidak merusak habitat bilamana alat tangkap tersebut dioperasikan. Selektivitas alat tangkap sebaiknya tidak hanya mengacu kepada kalkulasi besaran populasi yang diloloskan tetapi juga mempertimbangkan aspek dinamika populasi sumberdaya ikan dalam wilayah pantai. Untuk itu sangat diperlukan kajian mengenai sistem rantai dan jaring makanan yang terkait dengan target penangkapan setiap jenis alat yang digunakan. Keanekaragaman hayati di kawasan pantai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di perairan terbuka atau perairan yang lebih dalam. Perbedaan ini lebih disebabkan karena keragaman ekosistem dan variabilitas parameter lingkungan yang relatif lebih tinggi di wilayah pantai. Wilayah pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut dan kegiatan di wilayah darat mampu mempengaruhi fluktuasi dan perubahan parameter lingkungan yang tidak terjadi dalam ekosistem perairan terbuka. Ekosistem perairan pantai merupakan perairan dangkal yang memiliki fungsi ekologis penting seperti penyebaran larva, wilayah pemijahan, pembesaran, dan perlindungan yang tidak terdapat dalam fungsi ekologi perairan terbuka. Ukuran biota laut yang menghuni perairan pantai umumnya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran biota yang sama yang menghuni perairan dalam. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan tertentu pun relatif lebih tinggi dibandingkan dengan organisme atau biota yang menghuni perairan terbuka, dimana hal tersebut terkait dengan perubahan lingkungan dan habitat yang terjadi di wilayah ekosistem perairan pantai. Faktanya bahwa ikan dan biota laut lainnya yang berukuran lebih kecil adalah memudahkan dimangsa oleh berbagai jenis ikan dan biota lain yang berukuran lebih besar. Hubungannya dengan rantai dan jaring makanan maka ada kecenderungan jalur rantai makanan lebih banyak dalam jaring makanan di wilayah pantai tetapi panjang rantai makanan relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan pada sistem perairan terbuka (Widodo dan Suadi 2008).

4 Tingginya keanekaragaman hayati dengan ukuran individu ikan yang umumnya lebih kecil dan banyaknya jalur rantai makanan dan penangkapan yang sangat intensif menyebabkan pentingnya mempertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya ikan. Aktivitas penangkapan yang dalam perspektif rantai makanan dapat dianggap puncak predator sangat berpotensi menyebabkan kerusakan keseimbangan ekologis dalam ekosistem pantai. Dampak negatif yang dapat disebabkan dari aktivitas tersebut adalah terputusnya sistem rantai makanan akibat penangkapan terhadap sumberdaya tertentu yang memegang peranan penting dalam sistem rantai makanan dalam ekosistem tersebut. Terputusnya rantai makanan tersebut mungkin saja terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung dapat terjadi jika spesies yang berperan penting dalam rantai makanan itu menjadi target penangkapan dan ditangkap melebihi daya dukung lingkungan, sedangkan dampak tidak langsung dapat terjadi ketika jenis atau spesies tersebut bukan menjadi ikan target tetapi ikut tertangkap dalam suatu alat tangkap dan bukan menjadi target dari alat tangkap itu. Mengingat betapa pentingnya mengkaji posisi trofik dan peranan spesies ikan dalam sistem rantai makanan di perairan pantai dalam kaitannya dengan sistem penangkapan sero sehingga sangat diperlukan dalam rangka pengembangan sistem perikanan berbasis ekosistem. Sampai saat ini kajian seperti ini masih sangat terbatas khususnya dalam sistem perikanan pantai dan hal ini menjadikan kajian dengan tema seperti ini sebagai topik terkini yang sangat dibutuhkan dalam rangka mengembangkan pengelolaan perikanan tangkap berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai Ecosystem Based Fisheries Management (EBFM) (Widodo dan Suadi 2008). Isu degradasi populasi pada beberapa daerah penangkapan tidak jarang mendiskreditkan masalah pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, dan keramahan suatu alat tangkap yang dioperasikan. Penelitian yang umum dilakukan adalah kajian parsial yang kadang menyorot masalah ekosistem dan alat tangkap secara tersendiri dalam bagian yang terpisahkan. Sementara untuk menjelaskan secara obyektif bagaimana gejala degradasi populasi itu terjadi mutlak diperlukan kajian komprehensif dengan melihat pengaruh simultan dari berbagai faktor. Apalagi dalam kasus alat tangkap sero yang daerah

5 penangkapannya pada berbagai tipe habitat, tidak mudah untuk digeneralisasikan karena mungkin saja ramah pada suatu habitat tapi tidak ramah pada habitat lainnya. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa alat tangkap sero yang dioperasikan nelayan saat ini dengan mata jaring 0,5 cm, terbukti tidak selektif dan ukuran mata jaring 4 cm yang terbukti selektif dan ramah dalam penangkapan berbagai jenis ikan target (Tenriware 2005). Meskipun dalam kajian tersebut menunjukkan ukuran mata jaring 4 cm selektif pada secara umum, namun belum diketahui secara spesifik tingkat selektivitasnya pada habitat yang berbeda, bukan hanya dilihat dari jumlah yang diloloskan tetapi juga mengkaitkan dengan trofik level ikan berdasarkan rantai dan jaring makanan dalam daerah penangkapan sero. Mengkaji trofik level ikan dalam daerah penangkapan sero maka akan melengkapi hasil analisis selektivitas yang terbatas pada aspek kuantitas yang diloloskan. Hal ini penting sekali karena bisa saja terjadinya degradasi populasi bukan karena pengaruh lingkungan maupun selektivitas alat tangkap, tetapi karena penangkapan berlebih terhadap jenis ikan pada trofik level tertentu yang menjadi fraksi makanan penting bagi beberapa ikan target sero. Hal tersebut penting untuk dilaksanakan dengan harapan memberikan informasi mengenai karakteristik daerah penangkapan sero dan struktur trofik level ikan serta mengevaluasi penerapan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm pada berbagai habitat. 1.2 Perumusan Masalah Perikanan sero dari tahun ke tahun di perairan pantai Pitumpanua mengalami banyak perubahan dari segi bahan yang digunakan dan terjadi penambahan alat tangkap. Perubahan yang signifikan yaitu alat tangkap ini berubah dari bahan bambu menjadi bahan waring dengan ukuran mata jaring 0,5 cm. Kecilnya ukuran mata jaring sero yang digunakan nelayan menimbulkan sorotan dari berbagai pihak bahwa alat tangkap tersebut tidak selektif, terlebih lagi karena alat tangkap sero dipasang di daerah pantai yang merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah perlindungan, tempat mencari makan (feeding ground), penyebaran larva (nursery ground), dan wilayah pembesaran berbagai biota laut (Dahuri 2003).

6 Permasalahan yang dialami oleh nelayan sero adalah menurunnya hasil tangkapan (KKP Wajo 2009). Penurunan hasil tangkapan diduga terkait dengan degradasi populasi ikan yang mungkin disebabkan oleh rusaknya ekosistem daerah penangkapan sero dan tidak selektifnya alat tangkap sero, atau karena penangkapan yang cukup intensif terhadap jenis ikan pada trofik level tertentu yang merupakan komponen makanan dari populasi ikan target. Tingginya intensitas penangkapan sero di daerah pantai akan berakibat secara ekologis terhadap beragam komunitas biologis yang ada di dalamnya. Diketahui bahwa daerah pantai mempunyai tingkat keanekaragaman sumberdaya ikan yang tinggi dan fungsi ekosistem yang sangat vital, tentunya perlu kehatihatian agar sumberdaya hayati yang ada tetap terjaga. Hasil tangkapan sero dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : parameter lingkungan, selektivitas alat tangkap sero, dan terjadinya interaksi pemangsaan dalam ekosistem tersebut pada masing-masing habitat. Faktor-faktor tersebut dalam kaitannya dengan hasil tangkapan sero belum banyak diteliti sampai saat ini. Bahkan kajian mengenai rantai dan jaring makanan yang membentuk struktur trofik level dalam daerah penangkapan sero belum pernah dilakukan sampai saat ini. Sangat dibutuhkan adanya kajian yang mempelajari bagaimana hubungan karakteristik ekosistem dengan hasil tangkapan, struktur trofik level, dan determinasi parameter yang paling berkontribusi besar terhadap hasil tangkapan pada beberapa tipe habitat di daerah penangkapan sero di pantai. Berdasarkan kajian sebelumnya yang secara umum bahwa ukuran mata jaring 4 cm cukup selektif yang dioperasikan di daerah pantai Pitumpanua (Tenriware 2005), namun kajian tersebut belum secara spesifik untuk habitat yang berbeda seperti estuaria (muara sungai) mangrove, dan lamun. Hasil tangkapan sero yang multispecies dengan ukuran yang sangat bervariasi pada berbagai habitat menimbulkan pertanyaaan bahwa apakah ukuran mata jaring 4 cm selektif untuk semua habitat perairan pantai dan semua jenis target tangkapan. Hal ini merupakan suatu pertanyaan dan masalah yang menarik untuk dikaji dan dievaluasi.

7 Apabila penelitian hanya dilakukan untuk mengevaluasi tingkat selektivitas ukuran mata jaring 4 cm hanya dilakukan pada habitat tertentu, maka tidak bisa diketahui pengaruhnya pada habitat yang berbeda. Dengan menguji penerapan mata jaring 4 cm pada habitat yang berbeda, maka hasilnya dapat diterapkan pada kebijakan penentuan lokasi sero pada habitat tertentu. Akibatnya kemungkinan beberapa unit sero direkomendasikan untuk tidak dioperasikan pada habitat tertentu. Hal ini jelas akan berdampak buruk pada penerimaan masyarakat nelayan jika tidak diberikan solusi alternatif. Eksperimen ini diharapkan dapat menjadi solusi alternatif terkait dengan keramahan alat tangkap, selain itu untuk dijadikan bahan pembanding dalam rangka mengevaluasi tingkat keramahan alat tangkap menurut habitat. Penelitian yang dilakukan ini dengan mengkombinasikan karakteristik ekosistem daerah penangkapan sero dan kelayakan mata jaring 4 cm pada berbagai habitat, maka diharapkan hasilnya dapat memberikan alternatif pengelolaan perikanan sero yang berkelanjutan. Dengan demikian diharapkan dalam penerapannya direkomendasikan adanya suatu regulasi yang sesuai kajian ilmiah mengenai kelayakan mata jaring 4 cm terhadap tipe habitat tertentu pada berbagai jenis ikan target tangkapan. Kerangka pikir dalam penelitian ini adalah seperti disajikan dalam Gambar 1.

8 Gambar 1 Kerangka pikir penelitian. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain : Umum: Mengevaluasi penerapan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm pada perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone, Kabupaten Wajo Khusus: 1. Menganalisis kondisi lingkungan habitat muara sungai, mangrove dan lamun yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan sero 2. Menganalisis komunitas ikan di tiga habitat yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan sero 3. Menganalisis selektivitas bunuhan bermata-jaring 4 cm terhadap ikanikan yang dominan tertangkap 4. Menganalisis posisi jenis ikan yang tertangkap dalam piramida makanan

9 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini : Sains Perikanan Laut: 1 Contoh analisis pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dalam perikanan sero di Indonesia 2 Penerapan studi ekologi dan teknologi untuk pengembangan pengembangan perikanan tangkap Pengelolaan Perikanan: 1. Input untuk pengelolaan perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone 2. Pembelajaran untuk pengelolaan perikanan tangkap di kawasan pesisir di tempat lain