II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengurangan Senyawa Sulfur dalam Minyak Bumi Minyak bumi adalah campuran kompleks hidrokarbon ditambah senyawa anorganik dari sulfur, oksigen, nitrogen, dan senyawa-senyawa yang mengandung logam terutama nikel, besi, dan tembaga. Minyak bumi sendiri bukan merupakan bahan yang seragam, melainkan komposisi yang sangat bervariasi, tergantung pada lokasi, umur lapangan minyak, dan juga kedalaman sumur. Amorelli (1992) melaporkan bahwa crude oil berisi sulfur dalam bentuk organik terlarut, ada beberapa senyawa sulfur dalam minyak yaitu (i) alifatik dan aromatik thiol dan produk oksidasinya, (ii) alifatik, aromatik dan campuran thioether, dan (iii) heterosiklik pada benzen thiophene: thiophene itu sendiri, benzothiophene (BT), dibenzothiophene (DBT), dan derivatnya. Struktur kimia dari senyawa sulfur organik dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur kimia senyawa sulfur organik minyak bumi (Shennan, 1996) 5
6 Keberadaan sulfur yang sangat sulit untuk dihilangkan pada bahan bakar cair seperti kerosene, gasoline, diesel fuel dan residu oil, sehingga menjadi perhatian yang penting untuk mencari metode yang tepat untuk menghilangkan kandungan sulfur dalam bahan bakar cair tersebut. Metode yang berkembang pada penghilangan sulfur pada bahan bakar cair seperti gasoline, diesel fuel, kerosene dan residu oil adalah metode hydrodesulfurization, oxidative desulfurization dan biodesulfurization. Hydrodesulfurization (HDS) adalah standar proses katalitik untuk menghilangkan sulfur dari produk minyak bumi. Dalam proses ini, sulfur dari minyak mentah dicampur dengan hidrogen dan katalis untuk bereaksi menjadi hidrogen sulfida. Metode hydrodesulfurization membutuhkan permintaan energi yang besar karena beroperasi pada tekanan dan temperature yang tinggi, sehingga diperlukan biaya yang besar (Anon, 2014) Kelemahan proses kimia atau hidrodesulfurisasi yaitu biaya operasional yang tinggi, selain itu prosesnya tidak bekerja baik pada sulfur organik, khususnya sulfur poliaromatik heterosiklik. Salah satunya adalah dibenzothiophene (DBT) yang biasa digunakan sebagai senyawa heterosiklik yang mengandung sulfur organik untuk penelitian biodesulfurisasi (Zhongxuan et al., 2002). Maka para peneliti memfokuskan perhatiannya untuk mencari teknologi alternatif lain. Selain metode alternatif hydrodesulfurization (HDS) dan oxidative desulfurization (ODS) terdapat pula metode lainya dalam penghilangan sulfur yaitu metode biodesulfurization. Metode biodesulfurization adalah penghilangan sulfur dengan menggunakan metode biologi, pada metode ini membutuhkan
7 mikroorganisme dan media untuk mikroorganisme yang sangat banyak untuk kelangsungan hidup dari mikroorganisme tersebut (Soleimani et al., 2007). 2.2. Dibenzothiphene Biodesulfurisasi sulfur organik banyak menggunakan DBT sebagai senyawa model, dibenzothiophene (DBT) adalah sulfur heterosiklik yang ditemukan pada minyak mentah dan batubara (Kirimura et al, 2001), dan di pandang secara luas sebagai senyawa model yang dapat mewakili pecahan senyawa sulfur organik aromatik pada batubara dan minyak mentah (Gilbert et al, 1998). DBT telah digunakan sebagai model sulfur heterosiklik poliaromatik untuk isolasi dan karakteristisasi bakteri yang mampu mengubah senyawa sulfur oragnik yang di temukan dalam berbagai bahan bakar fosil (Izumi et al., 1994). Struktur kimia dibenzothiophene dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Struktur kimia dibenzothiophene (Kirimura et al., 2006) 2.3. Biodesulfurisasi (BDS) Metode biodesulfurization adalah penghilangan sulfur dengan menggunakan metode biologi, pada metode ini mebutuhkan mikroorganisme dan media untuk mikroorganisme yang sangat banyak untuk kelangsungan hidup dari mikroorganisme tersebut (Soleimani et al., 2007). Untuk penanganan desulfurisasi secara biologis menggunakan mikroorganisme sebagai alternatif yang disebut
8 biodesulfurisasi. Proses ini memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan proses fisika dan kimia konvensional, yaitu proses dilakukan dalam kondisi suhu dan tekanan lebih rendah dibandingkan proses HDS (Monticello, 1998). Pemanfaatan bakteri untuk biodesulfurisasi sebagai penanganan alternatif untuk mengatasi kandungan sulfur organik yang sulit dihilangkan (Kayser et al., 1993). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa mikroba dapat memetabolisme DBT melalui hydrogen degradative pathway (dengan merusak ikatan C-C) (Olfield et al., 1997). Sangat sedikit strain mikroba yang termasuk Rhodococcus, Bacillus, Corrynebacterium, dan Arthobacter, yang memperlihatkan kemampuan memisahkan sulfur dari DBT melalui sulfur-specific pathway, memotong sulfur dari DBT secara selektif tanpa merusak benzen sehingga dapat mempertahankan jumlah energi (Ohshiro et al., 2002). Jalur desulfurisasi dibenzothiophene menggunakan strain bakteri dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Jalur desulfurisasi dibenzothiophene dengan Rhodococcus erythropolos IGTS8 (4S pathway) (Li Fuli et al., 2003).
9 Saat ini penelitian tentang biodesulfurisasi lebih banyak difokuskan pada desulfurisasi sulfur organik sebagian besar kerja biodesulfurisasi telah menunjukan hasil desulfurisasi yang baik dimulai dengan DBT (Takashi dan Izumi, 1999). Dari penelitian (Gunam et al., 2006) yang menggunakan Sphingomonas subartica T7b, mekanisme kerja enzim terbagi menjadi tiga tahap yaitu (i) enzim DszC bertugas untuk mengoksidasi senyawa DBT (dibenzothiophene) menjadi senyawa DBTO (dibenzothiophene sulfoxide) kemudian menjadi senyawa DBTO 2 (dibenzothiophene sulfone), (ii) enzim DszA bertugas untuk memecah cincin thiophene (DBTO 2 ) menjadi HBPSi (Hidroksifenil benzena sulfonat), dan (iii) DszB bertugas untuk memisahkan senyawa sulfonat (HBPS) menjadi 2-HBP (C 12 H 10 O) ditambah sulfit, senyawa 2-HBP kembali ke fase minyak sedangkan sulfit pindah ke fase air. 2.4. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri yaitu suhu, nutrisi, ph, dan aktifitas air. 2.4.1. Suhu Semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi dan laju reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh suhu, maka pola pertumbuhan bakteri dapat sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu juga mepengaruhilaju pertumbuhan dan jumlah total pertumbuhan organism. Keragaman suhu dapat juga mengubah proses proses metabolic tertentu serta morfologi sel.
10 Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu kisaran suhu tertentu. Atas dasar ini maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai psikrofil, yang tumbuh pada 0 o C sampai 30 o C, mesofil yang tumbuh pada 25 o C sampai 40 o C, dan termofil yang tumbuh pada suhu 50 o C atau lebih (Pelczar et al., 1986). 2.4.2. Nutrisi Fungsi utama nutrisi adalah sebagai sumber energi, bahan pembentuk sel, dan aseptor elektron di dalam aksi yang menghasilkan energi. Nutrisi yang diperlukan oleh mikroba meliputi air, sumber energi, sumber karbon,sumber nitrogen, sumber aseptor elektron, sumber mineral dan faktor tumbuh (Pelczar et al., 1986). 2.4.3. Nilai ph Pada umumnya untuk membunuh mikroba dengan pemanasan lebih mudah pada kondisi asam atau alkalis dibandingkan ph netral. Berdasarkan ph yaitu asidofil, neurofil, dan alkalifil, asidofil adalah mikroba yang dapat tumbuh pada phanatara 2,0 5,0, neurofil adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kisaran ph 5,5 8,0, dan alkalifil adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kisaran ph 8,4-9,5. Untuk bakteri memerlukan ph 6,5-7,5 (Hidayat et al., 2006) 2.4.4. Aktifitas Air Tiap jenis mikroba mempunyai kelembaban optimum tertentu. Pada umumnya bakteri membuthkan kelembaban yang lebih tinggi. Tidak semua air dalam medium dapat digunakan mikroba. Air yang dapat digunakan disebut air bebas. Air bebas larutan dinyatakan sebagai a w yaitu nilai perbandingan antara tekanan uap air larutan dengan tekanan uap air murni. Nilai a w untuk bakteri antara 0,90 0,999 ( Hidayat et al., 2006).