46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin, tanin, dan pigmen (Sanderman 1960). Hasil analisis ragam menunjukkan kelarutan air dingin dipengaruhi oleh jenis bahan baku dimana kelarutan air dingin bervariasi antara 2.45 sampai dengan 12.86% (Lampiran 2). Kelarutan air dingin terendah terdapat pada kayu pinus sedangkan tertinggi terdapat pada kelapa sawit. Kelarutan air dari pinus ini relatif sama dengan kayu sengon namun berbeda nyata dengan kelarutan kayu gmelina dan kelapa sawit (Tabel 1). Kelarutan air panas dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut dalam air panas, meliputi garam-garam anorganik, garam organik, gula, gum, pektin, galaktan, tanin, pigmen, polisakarida, dan komponen lain yang terhidrolisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelarutan air panas bervariasi antara 8.00 sampai dengan 15.30% (Lampiran 3). Kelarutan air panas terendah terdapat pada kayu sengon dan tertinggi terdapat pada kelapa sawit (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Kelarutan Zat Ekstraktif Bahan Baku Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Jenis Bahan Air Dingin Air Panas NaOH 1% Etanol-Benzena Baku Pinus 2.45±0.00 c 9.53±1.73 b 10.33±0.18 d 2.54 Sengon 2.53±0.00 c 8.10±0.14 b 13.10±0.64 c 3.28 Gmelina 7.23±0.12 b 8.48±0.04 b 16.03±0.39 b 7.36 Kelapa sawit 12.38±0.68 a 15.30±0.00 a 43.43±0.74 a 38.23 Ket: Superkript menunjukkan hasil uji Tukey dan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada taraf nyata 5%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh terhadap kelarutan air panas, dimana kelarutan air panas dari kayu sengon berbeda tidak nyata dengan kayu pinus dan gmelina namun berbeda nyata dengan kelapa sawit.
47 Kelarutan dalam larutan NaOH 1% dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut, meliputi senyawa anoraganik, seperti karbohidrat yang mempunyai berat molekul tinggi, tanin, kinon, zat warna dan sebagaian lignin (TAPPI 1991). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh nyata terhadap kelarutan dalam NaOH 1%. Berdasarkan hasil uji Tukey terlihat bahwa antara satu jenis bahan baku dan lainnya mempunyai kelarutan NaOH 1% yang berbeda (Tabel 1). Menurut Martawijaya et al. (1981), kayu yang memiliki zat ekstraktif yang tinggi dalam alkohol benzena memerlukan banyak bahan kimia dalam pembentukan pulp. Kelarutan dalam etanol-benzena terendah terdapat pada kayu pinus dan tertinggi terdapat pada kelapa sawit. Secara umum, keberadaan zat ekstraktif dalam kayu dapat menyebabkan beberapa masalah dalam proses delignifikasi kayu di antaranya dapat meningkatkan konsumsi bahan kimia pemasak, mengurangi rendemen pulp. Menurut Syafii et al. (2009), terdapat kecenderungan bahwa jenis kayu dengan kadar ekstraktif yang tinggi dapat menyebabkan laju delignifikasi menjadi semakin rendah. Ekstraktif yang bersifat asam juga dapat menyebabkan korosif pada digester dan warna gelap pada pulp. Dalam proses hidrolisis dan fermentasi, keberadaan zat ekstraktif dapat menghambat proses degradasi selulosa maupun hemiselulosa menjadi gula maupun proses fermentasi oleh khamir S.cereviciae sehingga rendamen etanol yang dihasilkan berkurang. Oleh karena itu, dalam proses pulping zat ekstraktif ini juga dihilangkan bersama lignin. Komponen Struktural Komponen primer kayu merupakan suatu kelompok bahan polimer penyusun utama dinding sel yang meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh terhadap komponen primer bahan baku terutama kadar selulosa, lignin, dan holoselulosa dengan hasil uji Tukey ditunjukkan pada Tabel 2.
48 Tabel 2. Hasil Analisis Komponen Kimia Primer Bahan Baku Jenis Bahan Baku Selulosa (%) Hemiselulosa (%) Lignin (%) Holoselulosa (%) Pinus 42.40±0.11 b 23.25 27.50±0.00 a 65.65±0.99 a Sengon 41.30±0.42 b 15.53 26.90±0.14 a 56.83±0.04 b Gmelina 47.56±0.62 a 16.84 27.00±0.14 a 64.40±0.92 a Kelapa sawit 25.88±0.17 c 16.39 12.50±0.99 b 42.27±0.18 c Ket: Superkript menunjukkan hasil uji Tukey dan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada taraf nyata 5%. Analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh pada kadar lignin (Lampiran 29). Kadar lignin pada sampel uji bervariasi antara 12.50 sampai dengan 27.50% (Lampiran 6), dimana kadar lignin rata-rata terendah terdapat pada kelapa sawit dan tertinggi terdapat pada kayu pinus. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa kadar lignin kayu sengon relatif sama dengan kayu gmelina namun lebih tinggi dari kelapa sawit dan cenderung lebih rendah dari kayu pinus (Tabel 2). Tingginya kadar lignin pada kayu pinus disebabkan oleh kayu tersebut termasuk kayu daun jarum. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Biermann (1993), bahwa kandungan lignin kayu daun jarum umumnya lebih tinggi dibandingkan kayu daun lebar. Kandungan lignin kayu daun jarum berkisar antara 25 sampai dengan 35% sedangkan pada kayu daun lebar berkisar antara 18 sampai dengan 25%. Perbedaan kadar lignin dalam kayu dapat berpengaruh terhadap laju delignifikasi. Semakin tinggi kadar lignin kayu maka konsumsi bahan kimia pemasak akan semakin tinggi dan waktu pemasakan yang lebih lama untuk mencapai tingkat pemasakan tertentu (Casey 1980). Tujuan utama proses pulping adalah melarutkan sebanyak mungkin lignin dengan sedikit mungkin terjadinya kerusakan pada komponen selulosa. Kadar lignin yang rendah akan menyebabkan proses hidrolisis dan fermentasi menjadi lebih mudah. Menurut Nzelibe & Okafoagu (2007), lignin dapat menghambat proses sakarifikasi (hidrolisis) polisakarida sehingga perlu dihilangkan sehingga hidrolisis menjadi lebih efisien. Lignin merupakan jaringan polimer fenolik yang merekatkan serat selulosa sehingga menjadi sangat kuat. Kekuatan ikatan lignin menjadi penghalang dalam proses hidrolisis dan fermentasi pada proses konversi biomassa menjadi etanol. Delignifikasi dapat membuka struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih
49 mudah diakses oleh asam atau enzim yang memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sun & Cheng (2002) yang menyatakan bahwa lignin yang terdapat pada tongkol jagung dapat menghalangi atau memperlambat akses enzim dalam memecah polisakarida pada proses hidrolisis sehingga dapat menurunkan kinerja enzim pada proses sakarifikasi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku sangat mempengaruhi kadar selulosa bahan baku (Lampiran 27). Kadar selulosa pada sampel uji bervariasi antara 25.76 sampai dengan 48.00% (Lampiran 7), dimana kadar selulosa terendah terdapat pada kelapa sawit dan tertinggi terdapat pada kayu gmelina. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa kadar selulosa kayu pinus relatif sama dibandingkan kayu sengon namun lebih rendah bandingkan kayu gmelina serta lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit (Tabel 2). Selulosa bersifat tahan terhadap oksidasi larutan penggelantang, tidak larut air, alkohol, alkali encer, asam mineral dan eter. Degradasi selulosa dapat terjadi selama proses pemasakan pulp oleh larutan alkali dan asam pekat. Dua reaksi selulosa utama adalah reaksi peeling off yaitu pemutusan ujung pereduksi selulosa pada suhu 70 o C dan pemutusan gugus asetil secara acak di atas suhu 150 o C. Semakin tinggi kandungan selulosa bahan baku diharapkan meningkatkan rendemen pulp yang dihasilkan sehingga efisiensi proses pulping juga menjadi lebih tinggi. Selain selulosa, dalam kayu maupun dalam jaringan tanaman yang lain terdapat sejumlah polisakarida yang disebut poliosa atau hemiselulosa. Hemiselulosa disusun oleh berbagai unit gula, memiliki rantai molekul yang lebih pendek dan bercabang. Unit gula (gula anhidro) yang membentuk poliosa dapat dibagi menjadi kelompok seperti pentosa, heksosa, asam heksuronat, dan deoksiheksosa. Rantai utama hemiselulosa dapat terdiri hanya atas satu unit (homopolimer) seperti xilan atau terdiri atas dua unit atau lebih (heteropolimer), seperti glukomannan. Beberapa unit selalu atau kadang-kadang merupakan gugus samping rantai utama (tulang punggung) seperti asam 4-O-metilglukuronat, galaktosa (Fengel & Wegener, 1995).
50 Kadar holoselulosa menyatakan banyaknya karbohidrat total dalam suatu bahan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar holoselulosa dipengaruhi oleh jenis bahan baku, dimana kadar holoselulosa terendah terdapat pada kelapa sawit kemudian diikuti kayu sengon dan tertinggi terdapat pada kayu gmelina dan pinus yang memiliki kadar holoselulosa yang relatif sama berdasarkan hasil uji Tukey. Dalam proses kraft, penambahan Na 2 S mempengaruhi pembentukan NaSH yang bereaksi dengan lignin, sehingga kelarutan lignin menjadi lebih besar, delignifikasi menjadi lebih sempurna dan reaksi yang terjadi terhadap selulosa dan hemiselulosa menjadi kurang merusak. Adanya penggantian sebagian NaOH oleh Na 2 S memungkinkan dipersingkatnya waktu pemasakan atau diturunkannnya suhu maksimum pemasakan sehingga rendemen pulp yang dihasilkan meningkat. Penambahan Na 2 S pada proses kraft menyebabkan perubahan sebagian gugusgugus ujung hemiselulosa terutama glukomanan, namun tidak berpengaruh terhadap komponen hemiselulosa lainnya (Sjostrom 1995). Jadi, pada dasarnya dalam teknologi proses kraft, komponen holoselulosa dipertahankan sehingga tidak terhidrolisis selama proses pemasakan. Semakin tinggi komponen hemiselulosa bahan baku diharapkan dapat menghasilkan rendemen pulp yang tinggi yang selanjutnya akan dihidrolisis menjadi gula dan kemudian difermentasi menjadi etanol. Struktur mikrofibril dalam kayu tersusun dari daerah-daerah teratur yang disebut daerah kristalin dan daerah yang tidak teratur yang disebut amorf. Daerah kristalin tersusun dari selulosa yang sulit dihidrolisis atau didegradasi baik oleh asam maupun enzim. Kristalinitas selulosa menunjukkan persentase daerah kristalin yang terdapat dalam mikrofibril. Hasil pengujian derajat kristalinitas selulosa ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 9. Derajat kristalinitas selulosa tertinggi terdapat pada kayu pinus sekitar 51.14% dan terendah terdapat pada kayu gmelina 48.38%.
51 Tabel 3. Derajat Kristalinitas Selulosa Berbagai Bahan Baku Jenis Bahan Baku Derajat Kristalinitas Selulosa (%) Pinus 51.14 Gmelina 48.38 Sengon 50.32 Kelapa Sawit 49.61 Dalam produksi bieotanol, reaktivitas pulp terhadap suatu pereaksi dalam proses hidrolisis sangat bergantung pada proporsi komponen kristalin dan amorf selulosa penyusunnya. Daerah kristalin sangat sulit dipenetrasi oleh agen penghidrolisis seperti enzim karena rantai selulosa tersusun secara teratur dan ikatan antara rantai selulosa yang kuat yaitu ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Yoshida et al 2008). Pemecahan molekul selulosa dihambat oleh tingginya derajat polimerisasi dan kristalisasi molekul selulosa serta kandungan lignin yang membungkus molekul selulosa. Hidrolisis selulosa sulit terjadi jika derajat polimerisasi, kristalinitas dan kandungan lignin belum berkurang, sehingga produktivitas mikroorganisme dalam menghasilkan selulase rendah (Irawadi 1991). Perlakuan awal yang efisien harus dapat membebaskan struktur kristal selulosa dengan memperluas daerah amorf dan membebaskan dari lapisan lignin. Sun & Cheng (2002) menjelaskan lebih rinci bahwa perlakuan pendahuluan berfungsi sebagai berikut: meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik, menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat, menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi, dan efisiensi biaya.
Gambar 9 Derajat Kristalinitas Selulosa Berbagai Bahan Baku 52