PENDAHULUAN Latar Belakang Susu merupakan salah satu hasil peternakan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi asupan gizi tubuh. Susu adalah hasil sekresi dari ambing ternak mamalia seperti sapi, kambing dan kerbau. Susu dikonsumsi manusia tergantung dari umur dan kebutuhan manusia tersebut. Anak-anak dan orang dewasa mengkonsumsi susu yang berbeda tergantung dari kebutuhan tubuh masing-masing. Konsumsi susu di Indonesia sangat rendah. Berdasarkan data statistik nasional konsumsi susu di Indonesia pada tahun 2012 yaitu hanya mencapai 14,6 liter/kapita/tahun. Angka konsumsi susu negara kita jika dibandingkan dengan konsumsi susu negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina yang mencapai 22,1 liter/kapita/tahun, Thailand 33,7 liter/kapita/tahun, dan India yang mencapai 42,08 liter/kapita/tahun masih jauh lebih rendah (Usman, 2014). Tingkat konsumsi susu di Indonesia yang rendah disebabkan produksi susu nasional yang masih rendah yaitu mencapai 26,5% dari kebutuhan, sedangkan 73,5% sisa kebutuhan susu nasional diperoleh dari impor (Bachruddin, 2010). Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi susu rendah di Indonesia yaitu budaya minum susu di masyarakat. Masyarakat sering berlebihan dalam menafsirkan manfaat mengkonsumsi susu yang disebabkan oleh pengaruh iklan. Selama ini masyarakat sebagai konsumen hanya memilih 1
mengkonsumsi susu berdasarkan pertimbangan harga, pengaruh iklan, rasa dan promosi hadiah. Pendidikan yang benar kepada masyarakat diperlukan agar masyarakat paham manfaat dalam mengkonsumsi susu yang benar. Program perbaikan gizi akan lebih efektif untuk memperbaiki pemahaman masyarakat dalam memilih susu serta program tersebut akan berkelanjutan jika disertai program edukasi gizi dan pola makan yang sehat kepada masyarakat (Wirakartakusuma, 2014). Konsumsi susu anak yang rendah menjadi salah satu pemicu penyebab gizi buruk (Anggraini, 2012). Novitasari (2012) menjelaskan banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk, antara lain status sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk anak, dan berat badan lahir. Faktor status ekonomi berpengaruh dengan kemampuan seseorang dalam mengkonsumsi makanan bergizi tinggi. Seseorang yang mempunyai status sosial yang rendah cenderung tidak mampu untuk membeli makanan bergizi. Faktor ketidaktahuan ibu tentang gizi berdampak pada tingkat konsumsi makanan bergizi anak. Pada saat memberikan makanan kepada anak, ibu tidak mempunyai kecukupan pengetahuan untuk memperdulikan gizi yang terkandung dalam makanan tersebut. Asupan makanan keluarga, faktor infeksi, dan pendidikan ibu menjadi penyebab kasus gizi buruk. Pendidikan rendah secara tidak langsung dapat mempengaruhi ketersediaan pangan yang merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak. Kondisi gizi buruk ini 2
secara umum terjadi pada masyarakat yang berpendapatan rendah. Hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat daya beli bahan pangan menjadi rendah, sehingga krisis ekonomi berdampak negatif terhadap kecukupan gizi. Masyarakat yang berpendapatan rendah akan lebih mengutamakan untuk membeli bahan pangan pokok seperti beras, karena mereka masih menganggap bahwa bahan makanan non pokok seperti susu adalah barang mewah. Krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia pada tahun 1997 mempunyai efek terhadap pola konsumsi pangan masyarakat. Hasil penelitian konsumsi gizi oleh Direktorat Gizi Masyarakat Kementrian Kesehatan RI, rata-rata konsumsi protein/orang/hari sebesar 49,8 gram. Sebelum krisis ekonomi, tingkat konsumsi protein sebesar 46,2 gram/orang/hari (Suharjo, 1998, cit. Syamsul, 1999). Sebelum krisis ekonomi tahun 1997 melanda Indonesia, sekitar 8 juta dari 23 juta anak balita kekurangan gizi dan saat krisis meningkat menjadi 12 juta orang (Unicef, 1998, cit. Syamsul, 1999). Berdasarkan SKRT tahun 1995 prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Jawa Tengah mencapai 10-15%. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 1995 untuk Jawa Tengah yaitu 10,1%. Data prevalensi gizi buruk setelah krisis ekonomi diperkirakan lebih tinggi lagi (Tarigan, 2003). Menurut data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan, memperlihatkan prevalensi gizi buruk di Indonesia terus menurun dari 9,7% di tahun 2005 menjadi 4,9% di tahun 2010 (KKRI, 2014). 3
Anak-anak merupakan generasi penting penerus bangsa yang berperan penting dalam pembangunan nasional di masa yang akan datang, sehingga orang tua harus memperhatikan perkembangan anak terutama kecukupan gizi anak. Pada tahap usia 6-12 tahun, anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan kesehatan serta kecerdasan yang pesat. Perkembangan anak bangsa akan mempengaruhi kualitas sumber daya masyarakat pada masa mendatang, sehingga memerlukan zat gizi yang optimal dan pendidikan yang berkualitas untuk membangun sumber daya masyarakat yang baik. Kecerdasan kognitif mempunyai keterkaitan dengan status gizi seseorang. Anak yang memiliki status gizi baik dan memiliki pola kebiasaan yang baik akan memiliki kecerdasan yang baik pula. Status gizi akan mempengaruhi tingkat kecerdasan seseorang dan kemampuan seseorang dalam menangkap pelajaran di sekolah, sehingga seseorang yang memiliki status gizi baik akan memiliki daya tangkap yang lebih baik dan dapat memperoleh prestasi yang baik pula di sekolah. Jika seseorang memiliki status gizi yang kurang akan berdampak pada kecerdasan, sehingga kurang optimal dalam menangkap pelajaran di sekolah yang berdampak pada prestasi belajar menjadi kurang baik (Maulanaputri, 2011). Usia anak Sekolah Dasar (SD) adalah usia penting dalam mengkonsumsi susu karena pertumbuhan manusia lebih berkembang pada usia anak SD, sehingga mempunyai kemungkinan mendominasi presentasi konsumsi di Indonesia. Pada anak usia 6-12 tahun mulai mempunyai banyak aktivitas, sehingga anak memerlukan 4
asupan gizi yang baik untuk dapat mengimbangi aktivitas tersebut agar kesehatan anak terjamin. Daya beli masyarakat berpengaruh dalam pola konsumsi pangan masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya beli masyarakat adalah pendapatan (Nasyoetion, 2015). Menurut IMF (2012) pendapatan perkapita Indonesia pada tahun 2011 mencapai US$ 3.512. Pendapatan perkapita Indonesia jika dikonversi ke dalam rupiah ketika harga dollar pada tahun 2011 menurut BI (2012) di harga Rp. 9.336 maka pendapatan mencapai Rp. 32.788.032. Menurut BPS (2012) dalam rancangan kerangka ekonomi daerah dan kebijakan keuangan daerah Kabupaten Sleman pendapatan perkapitan Kabupaten Sleman tahun 2011 mencapai Rp. 13.520.000. Jika dilihat dari data pendapatan, pendapatan perkapita Kabupaten Sleman tidak sampai setengah dari pendapatan perkapita Indonesia. Data statistik di website Kabupaten Sleman menunjukkan jumlah penerima raskin pada tahun 2012 di Kecamatan Pakem sebanyak 2.162 rumah tangga (BPS, 2012). Jumlah keluarga miskin dan rentan miskin di Kecamatan pakem berjumlah 3461 keluarga atau 30,51 % yang menunjukkan angka yang cukup besar, sehingga jumlah keluarga miskin di Kecamatan Pakem cukup banyak (BPS, 2014 a ). Penerima beras miskin (raskin) terbanyak terdapat di Desa Candibinangun sebanyak 620 rumah tangga dan paling sedikit di Desa Pakembinangun sebanyak 260 rumah tangga (BPS, 2012). Desa Candibinangun menjadi tempat yang tepat untuk diketahui pola konsumsi susu anak SD karena mempunyai banyak 5
warga miskin, sehingga dapat mengidentifikasi faktor harga dan faktor rumah tangga yang mempengaruhi konsumsi susu di daerah yang mempunyai cukup banyak warga miskin. Mengetahui pola konsumsi susu anak SD di daerah pedesaan yang mempunyai banyak warga miskin diharapkan menjadi pedoman pemerintah dalam peningkatan konsumsi susu untuk menanggulangi gizi buruk. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis pola konsumsi susu pada anak usia SD di Desa Candibinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. 2. Menganalisis pengaruh faktor harga pangan dan faktor sosial ekonomi rumah tangga terhadap pengeluaran untuk konsumsi susu anak usia SD di Desa Candibinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk masyarakat tentang pola konsumsi susu anak SD dan mengetahui pengaruh faktor harga pangan seperti harga susu, harga beras, harga daging, harga telur dan harga pangan kedelai serta faktor sosial ekonomi 6
rumah tangga seperti pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, partisipasi kerja ibu dan jumlah anggota keluarga terhadap konsumsi susu anak usia SD yang tinggal di Desa Candibinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. 7