BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBORONGAN KERJA. 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; 2. Perjanjian kerja/perburuhan dan;

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

KONTRAK PENGADAAN BARANG DAN JASA. Oleh : Rusdian Rasih Hendrato, S.H. Surakarta, 2005

PERLUNYA PEMAHAMAN PENYEDIA DAN PENGGUNA BARANG/JASA TERHADAP PERJANJIAN PEMBORONGAN. Oleh: Taufik Dwi Laksono. Abstraksi

BAB II LANDASAN TEORI Tinjauan Terhadap Perjanjian Pada Umumnya. hukum perdata adalah sama penyebutannya secara berturut-turut seperti

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah :

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB 4 TINJAUAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN UNTUK PELAKSANAAN PEMELIHARAAN JALAN DAN JEMBATAN MERAUKE

PEMUTUSAN KONTRAK OLEH PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN Oleh : Abu Sopian (Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Palembang)

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB II TINJAUAN UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris yaitu contract sedangkan dalam

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

KONTRAK KERJA KONSTRUKSI DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA PROPINSI SUMATERA BARAT DENGAN CV. SARANA BARU PADANG SKRIPSI

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

serta mengembangkan perangkat peraturan pendukung, serta pengembangan sistem pendanaan perumahan. Salah satu alternatif dalam pendanaan perumahan yang

SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP RETUR PENJUALAN DALAM ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB I PENDAHULUAN. sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian dalam Pasal 1313

TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN KERJA KARYAWAN PADA RUMAH SAKIT WOODWARD KOTA PALU. Ardy Pramana Putra / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu transaksi jual beli, apapun jenis benda yang diperjual-belikan

PELAKSANAAN PEMBERIAN BANK GARANSI DALAM PEMBORONGAN PROYEK JALAN LINGKAR DUKU-SICINCIN OLEH PT.BANK NAGARI CABANG UTAMA PADANG

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan

BAB II KONTRAK DAN PENGADAAN BARANG DAN JASA. A. Pengertian Kontrak Menurut Hukum di Indonesia. 1. Pengertian Kontrak Secara Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TANGGUNG JAWAB PEMBORONG DALAM PELAKSANAAN PEMBORONGAN BANGUNAN DENGAN DANA APBD. (Studi Kasus di Pemerintah Kota Padang)

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB III TINJAUAN TEORITIS. mengenai perikatan-perikatan yang dilahirkan dari. Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. Sumber hukum kontrak di Indonesia yang berbentuk perundang-undangan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst, yang diterjemahkan

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian.

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

KEDUDUKAN HUKUM DARI M.O.U DITINJAU DARI HUKUM KONTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017. TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2

BAB II LANDASAN TEORI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

PEMERINTAH KOTA SURABAYA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH...

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONTRAK SEWA BELI

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut juga berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pengertian perjanjian untuk melakukan pemborongan pekerjaan dapat dilihat dalam Buku III KUH Perdata Bab VIIA pada bagian ke Satu, mengenai Ketentuan-Ketentuan Umum. Dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan : Pemborongan pekerjaan adalah pejanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. 25 Beberapa sarjana memberikan definisi dari perjanjian pemborongan, antara lain : Menurut FX. Djumaialdji, pengertian perjanjian pemborongan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang ditentukan. Sedangkan menurut R. Subekti, perjanjian pemborongan adalah perjanjian antara seseorang (pihak yang memborongkan) dengan seseorang yang lain (pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak yang pertama menghendaki suatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lain tersebut serta adanya suatu pembayaran uang tertentu sebagai harga pemborongan. 26 Perjanjian perburuhan adalah perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri: adanya suatu upah atau gaji tertentu yang 25 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Penerbit Kencana, Jakarta, 2004, hal 30. 26 FX. Djumaialdji, Op.Cit, hal 5 20

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintahperintah yang harus ditaati oleh yang lain. 27 Saat ini jasa pemborongan atau jasa konstruksi telah diatur dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Yang dimaksud dengan Jasa Konstruksi dalam undang-undang ini adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. 28 Sedangkan pengertian Jasa Pemborongan dapat dilihat dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menyebutkan bahwa Jasa Pemborongan adalah layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi atau wujud fisik lainnya yang perencanaan teknis dan spesifikasinya ditetapkan pengguna barang/jasa dan proses serta pelaksanaannya diawasi oleh pengguna jasa. 29 Sebagai bentuk perjanjian tertentu, maka perjanjian pemborongan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam title I sampai dengan IV Buku III KUH Perdata. Dalam Buku III KUH Perdata, diatur mengenai ketentuan-ketentuan umum yang berlaku terhadap semua perjanjian yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata maupun jenis perjanjian baru yang belum ada aturannya dalam Undang-undang. Sebagai dasar 27 R. Subekti, Op.Cit, hal 58 28 Nazarkhan Yasin. Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal 18 29 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomo 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Penerbit CV. Eko Jaya. Jakarta, hal 76 21

perjanjian pemborongan bangunan KUHPerdata mengatur dalam Pasal 1601 butir (b) yang berbunyi: Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, sipemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. 30 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. 31 Menurut Subekti, perjanjian pemborongan pekerjaan dibedakan dalam dua macam yaitu a. dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut, dan b. dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya saja. 32 Perjanjian pemborongan bangunan dapat dilaksanakan secara tertutup, yaitu antar pemberi tugas dan kontraktor atau terbuka yaitu melalui pelelangan umum atau tender. Lain halnya dengan pemborongan bangunan milik pemerintah dimana harus diadakan pelelangan. Kontrak kerja bangunan dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis yaitu: 33 1. Kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, sedangkan bahan-bahannya disediakan oleh pemberi tugas. b. 30 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis. Alumni Bandung. 1994, hal 17 31 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Op.Cit, Pasal 1601 huruf 32 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Alumni Bandung, 1995, hal 65 33 Munir Fuadi, Op.Cit, hal 47 22

2. Kontraktor melakukan pekerjaan dan juga menyediakan bahan-bahan bangunan. Dalam hal kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, jika barangnya musnah sebelum pekerjaan diserahkan, maka ia bertanggung jawab dan tidak dapat menuntut harga yang diperjanjikan kecuali musnahnya barang itu karena suatu cacat yang terdapat di dalam bahan yang disediakan oleh pemberi tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1606 dan 1607 KUH Perdata. 34 Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan bangunan mirip dengan perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa, yaitu samasama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan pihak lain dengan pembayaran tertentu. Perbedaannya satu dengan yang lainnya ialah bahwa pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dengan majikan. Pada pemborongan bangunan danperjanjian melakukan jasa tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya secara mandiri. 35 Ketentuan pemborongan pada umumnya diatur dalam Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1617 KUH Perdata. Perjanjian pemborongan bangunan juga memperhatikan berlakunya ketentuan-ketentuan perjanjian untuk melakukan pekerjaan, khususnya bagi bangunan yang diatur dalam KUH Perdata yang berlaku sebagai hukum pelengkap peraturan tersebut pada umumnya mengatur tentang hak-hak dan kewajiban pemborong yang harus diperhatikan baik pada pelaksanaan perjanjian, dan berakhirnya perjanjian. 36 34 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal 8 35 Sri Soedewi Masjchun Sofwan. Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan Bangunan, Liberty Yogyakarta. 1982, hal 52 36 R. Subekti, Op.Cit, hal 58 23

Pemborong bertanggungjawab dalam jangka waktu tertentu, pada masa ini pemborong wajib melakukan perbaikan jika terbukti adanya cacat ataupun kegagalan bangunan. Dalam prakteknya pemborong bertanggungjawab sampai masa pemeliharaan sesuai dengan yang tertulis dikontrak. Menurut Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi: kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. 37 Di dalam KUH Perdata perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut pasal 1601 b KUH Perdata, pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang telah ditentukan Definisi perjanjian pemborongan yang diatur dalam KUH Perdata menurut para sarjana adalah kurang tepat. Karena menganggap bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak, sebab si pemborong hanya memiliki kawajiban saja sedangkan yang memborongkan mempunyai hak saja. Sebenarnya perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik yaitu antara pemborong dengan mana yang memborongkan yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. 38 Subekti berpendapat bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian antara seseorang (pihak yang memborongkan) dengan seorang lain (pihak yang memborongkan pekerjaan) dimana pihak yang satu menghendaki suatu pekerjan yang disanggupi oleh pihak lainnya untuk diserahkan dalam jangka waktu yang 37 FX Djumaialdji, Op.Cit, hal 26 38 Subekti dan Tjirosudibio, Op.Cit, hal 37 24

ditentukan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan. Ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan didalam KUH Perdata berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah maupun swasta. Perjanjian pemborongan pada KUH Perdata itu bersifat pelengkap, artinya ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata dapat digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Apabila para pihak dalam perjanjian pemborongan membuat sendiri ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pemborongan maka ketentuanketentuan dalam KUH Perdata dapat melengkapi apabila ada kekurangannya. 39 Pemborongan pekerjaan merupakan persetujuan antara kedua belah pihak yang menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lainnya, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan. Disini tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan pekerjaan bagaimana pihak yang memborong pekerjaan mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil dari pekerjaan tersebut, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik (mutu dan kwalitas/kwantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Perjanjian pemborongan bangunan dapat dilaksanakan secara tertutup, yaitu antar pemberi tugas dan kontraktor atau terbuka yaitu melalui pelelangan umum atau tender. Lain halnya dengan pemborongan bangunan milik pemerintah dimana harus diadakan pelelangan. 39 Ibid, hal 38 25

B. Bentuk Perjanjian Pemborongan Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian pemborongan dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam praktek, apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan yang agak besar, biasanya perjanjian dibuat secara tertulis baik dengan akta dibawah tangan atau akta autentik (akta notaris). Selain itu perjanjian jasa pemborongan juga bersifat formil, karena khusus dalam proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk perjanjian standar artinya perjanjian pemborongan (surat perintah kerja an surat perjanjian pemborongan) dibuat dalam model-model formulir tertentu yang isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan. 40 Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil artinya perjanjian pemborongan itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yaitu pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong mengenai pembuatan suatu karya dan harga borongan/kontrak. Dengan adanya kata sepakat tersebut perjanjian pemborongan mengikat kedua belah pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian pemborongan tanpa persetujuan pihak lain. 41 Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian pemborongan dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam praktek, apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian pemborongan 40 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit, hal 15 41 Ibid, hal 16 26

menyangkut harga borongan yang agak besar, biasanya perjanjian dibuat secara tertulis baik dengan akta dibawah tangan atau akta autentik (akta notaris). 42 Selain itu perjanjian jasa pemborongan juga bersifat formil, karena khusus dalam proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk perjanjian standar artinya perjanjian pemborongan (surat perintah kerja dan surat perjanjian pemborongan) dibuat dalam model-model formulir tertentu yang isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan. Dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dikenal adanya 3 (tiga) bentuk perjanjian pemborongan yaitu: 43 1. untuk pengadaan dengan nilai di bawah Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) bentuk kontrak cukup dengan kuitansi pembayaran dengan materai secukupnya. 2. untuk pengadaan dengan nilai diatas Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), bentuk kontrak berupa surat perintah kerja (SPK) tanpa jaminan pelaksanaan. 3. untuk pengadaan dengan nilai diatas Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), bentuk kontrak berupa kontrak pengadaan barang/jasa (KPBJ) dengan jaminan pelaksanaan. Pada umumnya, bantuk perjanjian yang dibuat oleh pihak pengguna jasa dan penyedia jasa dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan adalah berbentuk tertulis. Bentuk perjanjian ini dibuat dalam akta di bawah tangan. Karena yang 42 Ibid, hal 16 43 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomo 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Penerbit CV. Eko Jaya. Jakarta 27

membuat perjanjian itu hanya para pihak. Biasanya pihak pengguna jasa telah menyiapkan substansi perjanjian secara sepihak, sedangkan pihak penyedia jasa tinggal mempelajari substansi perjanjian tersebut. Apabila penyedia jasa menyetujuinya maka ia menandatangani perjanjian tersebut. Pada dasarnya, perjanjian kerja pemborong ini dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam perjanjian pemborongan, yang terdiri dari perjanjian kerja pemborong untuk pekerjaan perencanaan, pekerjaan pelaksanaan pemborong dan perjanjian kerja pemborong untuk pekerjaan pengawasan. Namun, tidak tertutup kemungkinan pekerjaan dilakukan secara integrasi antara perjanjian kerja untuk perencanaan, pekerjaan pelaksanaan dan pengawasan. 44 Menurut cara penentuan harganya, perjanjian pelaksanaan pemborongan itu dapat dibedakan atas tiga bentuk, yaitu 1. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Dalam hal ini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, baik mengenai harga kontrak maupun harga satuan. 2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum. Dalam hal ini harga borongan diperhitungkan secara keseluruhan. 3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar harga satuan (unit price), yaitu harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Dalam hal ini luas pekerjaan ditentukan menurut jumlah perkiraan jumlah unit. 4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (cost plus fee). Dalam hal ini pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan upahnya. 45 C. Macam dan Jenis Perjanjian Pemborongan Di dalam KUH Perdata dikenal adanya dua macam perjanjian pemborongan yaitu : 46 44 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 111 45 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit, hal. 59. 46 FX Djumaialdji, Op.Cit, hal 42 28

1. Perjanjian pemborongan dimana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja. 2. Perjanjian pemborongan dimana pemborong selain melakukan pekerjaan juga menyediakan bahan-bahannya. Satu dan lain membawa perbedaan dalam hal tanggungjawabnya si pemborong atas hasilnya pekerjaan yang diperjanjikan. Dalam hal pemborongan harus menyediakan bahan-bahannya, dan hasil pekerjaannya, karena apa pun juga musnah sebelum diserahkan, maka kegiatan itu dipikul oleh pemborong kecuali jika pemberi tugas itu lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut. Dalam hal pemborong hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaannya itu musnah, maka ia hanya bertanggung jawab atas kemusnahan itu sepanjang hal itu terjadi karena kesalahannya. 47 Pasal 1605 dan 1606 KUH Perdata Ketentuan yang terakhir ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahan-bahan yang telah disediakan oleh pihak yang memborongkan, dipikul pada pundaknya pihak yang memborongkan ini. Subekti Baru apabila dari pihaknya pemborong ada kesalahan mengenai kejadian itu, hal mana harus dibuktikan oleh pihak yang memborongkan, maka si pemborong dapat dipertanggungjawabkan sekedar kesalahannya itu mengakibatkan kemusnahan bahan-bahan tersebut. Kemudian dalam halnya si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja. Dalam Pasal 1607 KUH Perdata dikatakan bahwa jika musnahnya hasil pekerjaan tersebut dalam pasal yang lalu terjadi di luar kesalahan/kelalaian pemborong sebelum penyerahan dilakukan, sedangkan pemberi tugas pun tidak lalai untuk memeriksa dan 47 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal 30 29

menyetujui hasil pekerjaan itu, maka pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali jika barang itu musnah karena bahan-bahannya cacat. 48 Perjanjian pemborongan pekerjaan dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Perjanjian pemborongan pekerjaan dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut. Dalam hal si pemborong diwajibkan memberikan bahannya dan kemudian pekerjaannya itu dengan cara bagaimanapun musnah sebelum diserahkan kepada pihak yang memborongkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan si pemborong, kecuali apabila pihak yang memborongkan telah lalai untuk menerima hasil pekerjaan itu. Jika si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, dan kemudian pekerjaannya musnah, maka ia hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya (Pasal 1605 dan Pasal 1606 KUH Perdata). Ketentuan yang terakhir ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahanbahan yang telah disediakan oleh pihak yang memborongkan, dipikulkan pada pundaknya pihak yang memborongkan ini. Baru apabila dari pihaknya pemborong ada kesalahan mengenai kejadia itu, maka hal tersebut harus dapat dibuktikan oleh pihak yang memborongkan, dengan demikian si pemborong dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahannya itu mengakibatkan bahanbahan tersebut musnah. 2. Perjanjian pemborongan pekerjaan dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya saja. Dalam hal si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, di dalam Pasal 1607 Kitab Undang-Undang Hukum 48 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit, hal 21 30

Perdata disebutkan bahwa jika musnahnya pekerjaan itu terjadi diluar sesuatu kelalaian dari pihaknya si pemborong, sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedang pihak yang memborongkan pekerjaan tidak telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, maka si pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali apabila musnahnya barang atau pekerjaan itu disebabkan oleh suatu cacad dalam bahannya. Sedangkan menurut cara terjadinya, ada tiga jenis perjanjian pemborongan, yaitu 49 1. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Dalam hal ini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, baik mengenai harga kontrak maupun harga satuan. 2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum. Dalam hal ini harga borongan diperhitungkan secara keseluruhan. 3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar harga satuan (unit price), yaitu harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Dalam hal ini luas pekerjaan ditentukan menurut jumlah perkiraan jumlah unit. 4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (cost plus fee). Dalam hal ini pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan upahnya. Kontrak pengadaan barang dapat dibedakan berdasarkan bentuk imbalan, jangka waktu dan jumlah penggunaan barang (Pasal 30 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003). Ketiga pembagian tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kontrak Berdasarkan Imbalan Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan bentuk imbalannya, merupakan kontrak yang dibuat berdasarkan atas imbalan atau biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Kontrak pengadaan barang berdasarkan imbalannya dibagi menjadi 5 (lima) macam, yaitu : 49 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit, hal. 59. 31

a. Kontrak Lump Sum, adalah : Kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap dan semua risiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya di tanggung oleh penyedia barang/jasa b. Kontrak Harga Satuan, adalah : Kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya masih bersifat perkiran sementara, sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia barang. c. Kontrak Gabungan Lump dan Harga Satuan, adalah : Kontrak yang merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu pekerjaan yang diperjanjikan. d. Kontrak Terima Jadi, adalah : Kontrak pengadaan barang pemborongan, atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh bangunan/konstruksi, peralatan dan jaringan utama maupun penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan. e. Kontrak Presentase, adalah : Kontrak pelaksanaan jasa konsultasi dibidang konstruksi atau pekerjaan pemborongan tertentu, di mana konsultan yang bersangkutan menerima 32

imbalan jasa berdasarkan persentase tertentu dari nilai pekerjaan fisik konstruksi/pemborongan tersebut. 2. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Jangka Waktu Pelaksanaan Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan jangka waktu pelaksanaan, merupakan kontrak atau perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak, di mana dalam kontrak itu ditentukan lamanya kontrak pengadaan dilaksanakan. Kontrak ini dibagi menjadi : a. Kontrak Tahun Tunggal, adalah : Kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa satu tahun anggaran. b. Kontrak Tahun Jamak, adalah : Kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari satu tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan : 1) Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN 2) Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Provinsi Bupati atau Walikota untuk pengadaan barang yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota. 3. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Jumlah Penggunaan Barang/Jasa Kontrak pengadaan barang/jasa ini, merupakan kontrak pengadaan barang/jasa didasarkan pada jumlah lembaga atau institusi yang menggunakan barang tertentu. Kontrak pengadaan barang/jasa ini dibagi menjadi : a) Kontrak Pengadaan Tunggal, adalah : Kontrak antara satu unit kerja atau satu proyek dengan penyediaan barang tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu. 33

b) Kontrak Pengadaan Bersama, adalah : Kontrak antara beberapa unit kerja atau beberapa proyek dengan penyediaan barang tertentu, untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing unit kerja dan pendanaan bersama yang dituangkan dalam kesepakatan bersama. 50 D. Hak dan Kewajiban para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan Hukum perjanjian yang sifatnya timbal balik dimana hak pada satu pihak merupakan kewajiban pihak lain dan sebaliknya. Hak dan kewajiban para pihak adalah ketentuan mengenai hak-hak yang dimiliki serta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa dalam melaksanakan kontrak. Ada pun hak-hak dan kewajiban dari para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan menurut Pasal 32 ayat (1) ayat (5) KEPPRES Nomor 80 Tahun 2003 adalah : 1. Setelah penandatangan kontrak pengguna barang/jasa segera melakukan pemeriksaan lapangan bersama-sama dengan penyedia barang/jasa dan membuat berita acara keadaan lapangan/serah terima lapangan; 2. Penyedia barang/jasa dapat menerima uang muka dari pengguna barang/jasa; 3. Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan seluruh pekerjaan utama dengan mensubkontrakan kepada pihak lain; 4. Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggungjawab sebagian pekerjaan utama dengan mengsubkontrakan kepada pihak lain dengan cara 50 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, PT. RajaGrafindo, Edisi I, Jakarta, 2006, hlm. 267-268 34

dan alas an apapun kecuali disubkontrakan kepad penyedia barang/jasa spesialis; 5. Terhadap pelanggaran atas larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kontrak. Dalam Lampiran I KEPPRES Nomor 80 Tahun 2003 disebutkan bahwa hak dan kewajiban pihak pengguna barang/jasa dan pihak penyedia barang/jasa dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Hak dan Kewajiban pihak pengguna barang/jasa 1) Mengawasi dan memeriksa pekerjaan yang dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa; 2) Meminta laporan-laporan secara periodik mengenai pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak penyedia barang/jasa; 3) Membayar pekerjaan sesuai dengan harga kontrak yang telah ditetapkan kepada pihak penyedia barang/jasa; 4) Memberikan fasilitas berupa sarana dan pra sarana yang dibutuhkan oleh pihak penyedia barang/jasa untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai ketentuan kontrak. b. Hak dan Kewajiban pihak penyedia barang/jasa 1) Menerima pembayaran untuk pelaksaan pekerjaan sesuai denga harga yang telah ditentukan dalam kontrak; 2) Berhak meminta fasilitas-fasilitas dalam bentuk sarana dan pra sarana dari pihak pengguna barang/jasa untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan kontrak; 35

3) Melaporkan pelaksanaan pekerjaan secara periodic kepada pihak penguna barang/jasa; 4) Melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan pekerjaan yang telah ditentukan dalam kontrak; 5) Memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan untuk pemeriksaan pelaksanaan yang dilakukan oleh\ pihak pengguna barang/jasa; 6) Menyerahkan hasil pekerjaan sesuai dengan jadwal penyerahan pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak; 7) Kontraktor harus mengambil langkah-langkah yang cukup memadai untuk melindungi lingkungan di dalam maupun di luar tempat kerja dan membatasi perusakan dan pengaruh/gangguan kepada masyarakat maupun miliknya, sebagai akibat polusi, kebisingan dan kerusakan lain sebagai akibat kegiatan kontraktor. E. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi bila seorang: 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat 4. Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya. 36

Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan risiko, maupun membayar biaya perkara. 51 Wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji, yaitu kewajiban dari debitur untuk memenuhi suatu prestasi, jika dalam melaksanakan kewajiban bukan terpengaruh karena keadaan, maka debitur dianggap telah melakukan ingkar janji. 52 Dalam kehidupan bermasyarakat terkait lahirnya suatu perjanjian perlu dijaga prinsip umum berlakunya hukum perjanjian. Dengan demikian antara hak dan kewajiban para pihak akan terlindungi. Apabila hak dan kewajiban tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh salah satu pihak, maka terjadi konflik kepentingan yaitu terdapat ingkar janji atau wanprestasi. Apabila terjadi ingkar janji atau wanprestasi diperlukan instrumen hukum perjanjian untuk menyelesaiannya bahkan penyelesaiannya memerlukan putusan hakim. 53 Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya. 54 Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. 55 Klausula wanprestasi merupakan suatu hal yang penting untuk dicantumkan dalam suatu perjanjian. R. Subekti menguraikan arti dari kata wanprestasi sebagai berikut: Apabila si berutang (Debitur) tidak melakukan apa 51 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Cetakan Ketuju, Penerbit Kencana, Jakarta 2014, hlm 41 52 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal 53 53 Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, Cetakan Kedua, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2012, hlm 50-77 54 J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm 3 55 R. Subekti, Op.Cit, hal. 45. 37

yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. Ia adalah alpa atau lalai atau bercidera janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. 56 Pengertian umum mengenai wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si berutang tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk dilakukan atau melanggar perjanjian dalam hal diperjanjikan bahwa si Debitur tidak boleh melakukan sesuatu hal, sedangkan ia telah melakukannya. 57 Wanprestasi sebagai ketiadaan suatu prestasi, dimana prestasi yang dimaksudkan disini adalah prestasi dalam Hukum Perjanjian yang berarti sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Istilah ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanprestasi. 58 Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk menentukan kapan seseorang harus melakukan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan seseorang harus melaksanakan kewajibannya, seperti menyerahkan sesuatu barang atau melakukan sesuatu perbuatan. Apabila debitur tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia telah melakukan wanprestasi. Seseorang dianggap alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga melanggar perjanjian apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. 59 hal 40 38 56 Ibid 57 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta 2009, 58 Wirjono Prodjodiko, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal 59 Ibid, hal. 28. 38

Prestasi atau yang dalam Bahasa Ingris disebut juga dengan istilah performance dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengingatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan term dan condition sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Sementara itu, dengan wanprestasi (default atau non fulfilment, ataupun yang disebutkan juga dengan istilah breach of contract) yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang dimaksudkan dalam kontrak yang bersangkutan. 60 Ketentuan lain dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa : Semua persetujuan yang dibuat secara sah sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasanalasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik. Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut dapat disimpulkan, bahwa perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak adalah mengikat untuk pihak-pihak yang melakukan perjanjian pemborongan dan akan membawa akibat hukum bagi keduanya. Menegaskan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini telah memungkinkan perkembangan dalam hukum perjanjian, para pihak dapat menciptakan sendiri 60 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 87-88 39

bentuk dari perjanjian asalkan perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pelaksanaan perjanjian adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang membuat perjanjian, supaya perjanjian itu dapat mencapai tujuannya. Tujuan tidak akan terwujud tanpa adanya pelaksanaan dalam suatu perjanjian, yaitu : 1. Perjanjian untuk memberikan sesuatu barang/benda (Pasal 1234 KUH Perdata). 2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu (Pasal 1241 KUH Perdata). 3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1242 KUH Perdata). Menurut Pasal 1339 KUH Perdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian saja, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang, perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Suatu perjanjian tidak dapat kembali selain dengan kata sepakat diantara para pihak atau kerena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dibuat dengan itikad baik, ini mengandung arti, bahwa menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam hal pekerjaan tersebut. Dalam pelaksanaan pekerjaan kemungkinan timbul wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian. Dalam keadaan demikian, berlakulah ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi yang timbul akibat wanprestasi yaitu kemungkinan pemutusan perjanjian, penggantian kerugian atau pemenuhan. Pada umumnya wanprestasi baru terjadi apabila salah satu pihak dinyatalan telah lalai 40

untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada bila salah satu pihak tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan tenggang waktunya, maka salah satu pihak dipandang perlu untuk memperingatkan atau menegur agar segera memenuhi kewajibannya. Teguran ini disebut juga dengan sommatie. Pada dasarnya, tidak semua kerugian yang dimintakan penggantian. Undang-Undang menentukan, bahwa kerugian yang harus dibayar sebagai akibat dari wanprestasi, adalah sebagai berikut : 1. Kerugian yang dapat diduga ketika perjanjian dibuat. Menurut Pasal 1247 KUH Perdata, bahwa debitur harus diwajibkan membayar ganti kerugian yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perjanjian itu disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya. 2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi. Menurut Pasal 1248 KUH Perdata, jika tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan oleh tipu daya debitur, pembayaran ganti kerugian sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan keuntungan yang hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perjanjian. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) dapat berupa empat macam, yaitu : 1. Tidak melaksanakkan apa yang disanggupi akan dilakukannya. 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlamat. 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 61 61 R. subekti, Op.Cit, hlm. 43 41

Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut: 62 a. Perikatan tetap ada. Kreditur masih dapat memenuhi kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya. b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata). c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa. d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata. Akibat Hukum Pada Perjanjian Pekerjaan Pemborongan Bagi Para Pihak: 1. Early Warning System Dalam Kontrak Konstruksi Bahwa suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa di katakan, sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (Legally Concluded Contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sebagaimana diketahui, untuk setiap kontrak 62 Romadijawis, Ketentuan-Ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak Kontrak Bisnis (Perjanjian), melalui https://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/. Diakses tanggal 21 Februari 2016 42

bahwa kontrak dapat saja tidak terlaksana/tidak dilaksanakan dengan semestinya seringkali terjadi. Ketidakterlaksanakan kontrak tersebut mempunyai graduasi yang berbeda-beda yaitu sebagai berikut : a. Tidak terlaksana pada tingkat yang sangat ringan, sehingga tidak perlu diperbaiki sama sekali oleh pihak kontraktor. b. Tidak terlaksana ringan, sehingga perlu diperbaiki pada saat serah terima atau pada masa perawatan oleh pihak kontraktor. c. Tidak terlaksana yang agak berat, sehingga perlu diperbaiki pada saat sedang berlangsungnya pembangunan tanpa harus mengubah kontrak. d. Tidak terlaksana yang agak berat, sehingga perlu perbaikan pada saat sedang berlangsungnya pembangunan dengan dilakukannya penyesuaian/perubahan penbangunan dengan dilakukannya penyesuaian/perubahan kontrak. e. Tidak terlaksana yang berat, sehingga pelaksanaan kontrak harus ditunda. f. Tidak terlaksana yang sangat berat, sehingga kontrak boleh diputus (terminasi) oleh salah satu pihak. 63 Merupakan tindakan yang sangat baik, jika ketidakterlaksanaan kontrak dapat dideteksi sejak dini, sehingga masih mudah untuk diperbaiki atau dapat dengan segera diperbaiki. Untuk itu, perlu secepatnya dianalisis gejala-gejala ketidakberesan dalam pelaksanaan proses pembangunan proyek tersebut, sehingga perlu segera dibicarakan dengan pihak kontraktornya. Early warning system dari ketidakberesan pelaksanaan pekerjaan proyek dapat dideteksi dengan dua cara sebagai berikut : Dengan mengamati bangunan secara fisiknya, sehingga jika ada penyimpangan atau ketidakberesan dapat segera diobservasi. Dengan mengamati dokumen yang ada, sebab banyak dokumen yang dibuat dalam proses pelaksanaan suatu pekerjaan proyek tersebut. 2. Ketidakterlaksanaan Kontrak Konstruksi 63 Munir Fuady, Op.Cit, hlm 196 43

Adapun macam-macam ketidakterlaksanaan kontrak konstruksi sebagai suatu rencana manusia, tentunya tidak semua dari rencana tersebut kesampaian apa adanya seperti yang direncanakan. Demikian juga dengan Rencana Pembangunan suatu proyek yang dituangkan dalam kontrak tertentu tidak semuanya tercapai. Banyak hal yang dipengaruhi oleh kehendak manusia atau di luar kehendak yang mempengaruhi jalannya suatu kontrak yang dapat menyebabkan rencana tersebut diubah di tengah jalan atau kemudian bahkan rencana tersebut harus batal sama sekali. Demikianlah akhirnya, berkembang teori dan praktek hukum mengenai ketidakterlaksanaan kontrak konstruksi dengan berbagai konsekuensinya. 3. Pemutusan Kontrak Salah satu bentuk ketidaklaksanaan suatu kontrak konstruksi, adalah dilakukannya pemutusan kontrak konstruksi, adalah dilakukannya pemutusan kontrak (terminasi) oleh salah satu kedua belah pihak dalam kontrak tersebut. Tindakan pemutusan kontrak ini, merupakan salah satu akibat hukum dari adanya suatu perjanjian yang tidak memenuhi prestasi. 44