KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN PENDAHULUAN Bambang Sayaka Gangguan (shocks) faktor-faktor eksternal yang meliputi bencana alam, perubahan iklim (banjir dan kekeringan), krisis ekonomi dan finansial, serta konflik sosial-politik sangat mempengaruhi kinerja sektor pertanian. Sebagian dari gangguan tersebut, khususnya bencana alam dan perubahan iklim, semakin tinggi intensitas dan frekuensinya. Krisis pangan, khususnya beras dan kebutuhan pokok lainnya, di Indonesia pernah terjadi pada tahun 1997/1998 karena meningkatnya harga eceran yang sangat tinggi. Saat itu kegagalan panen mewarnai gangguan produksi pangan ditambah dengan krisis ekonomi dan politik yang membuat harga pangan sangat tinggi sehingga jumlah penduduk yang mengalamai rawan pangan karena tidak mampu membeli bahan pangan bertambah drastis. Berbagai upaya untuk mencegah banjir maupun kekeringan telah dilakukan pemerintah secara bertahap walaupun pada taraf tertentu banjir tetap terjadi secara berulang. Tahapan penanggulangan tersebut meliputi pencegahan (prevention), penanganan (intervention/response), dan pemulihan (recovery). PERMASALAHAN Berbagai gangguan terhadap sektor pertanian akhir-akhir ini semakin sering terjadi dan beragam penyebabnya. Bencana alam seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, letusan gunung api, dan gempa bumi sangat merugikan sektor pertanian dan masyarakat secara umum. Perubahan iklim seperti musim kemarau yang berkepanjangan atau curah hujan yang terlalu tinggi sangat mempengaruhi produksi pertanian dan dapat menyebabkan gangguan terhadap ketahanan pangan. Harga jual produk pertanian yang terlalu rendah menyebabkan petani rugi. Demikian pula harga produk pertanian yang terlalu tinggi menyebabkan sebagian besar tidak terjangkau oleh konsumen. Kebijakan untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut pada umumnya bersifat jangka pendek dengan memberikan berbagai bantuan terhadap kelompok masyarakat yang terkena dampak gangguan tersebut. Di pihak lain, kebijakan yang difokuskan pada membangun kapasitas masyarakat untuk mengantisipasi, merespon dan mengatasi dampak tersebut masih relatif kurang. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan analisis daya tahan sektor pertanian terhadap gangguan kekeringan dan kebijakan untuk mengatasinya. 1
TEMUAN-TEMUAN POKOK (1) Jenis gangguan menurut sub-sektor, agroekosistem, intensitas, dan frekuensinya Khusus untuk tanaman padi, luas areal yang mengalami kekeringan tahun 2015 dirinci menurut provinsi sebagai berikut: lima provinsi dengan persentase kekeringan tertinggi adalah Papua (22,8%), Gorontalo (16,9%), Jambi (11,6%), Sulawesi Tenggara (10,7%), dan Sulawesi Selatan (10,2%). Selanjutnya ada tiga provinsi yang tidak mengalami kekeringan sama sekali, yaitu Kalimantan Utara, Maluku Utara dan Kepulauan Riau. Sepuluh provinsi memiliki intensitas kekeringan dibawah satu persen, diantaranya adalah NTT (0,13%), DIY (0,24%), dan Kalimantan Tengah (0,33%). Intensitas kerusakan tanaman akibat kekeringan dapat diklasifikasikan kedalam 4 (empat) kelompok yaitu: 1) Ringan, kerusakan hanya 25%; 2) Sedang, kerusakan 25-50%; 3) Berat, kerusakan 50-80%; dan 4) Puso, kerusakan 80-100%. Kerusakan yang masih tergolong ringan umumnya dapat pulih kembali. Pada tahun 2015 dari total areal yang mengalami kekeringan seluas 572.870 ha seluas 80.652 ha (14,1%) berhasil pulih kembali. Dengan kriteria yang berbeda kondisi kekeringan di suatu wilayah dapat dikelompokan pula menjadi 4 (empat) kategori, yaitu: sangat aman, aman, rawan dan sangat rawan. Berdasarkan klasifikasi tersebut, 14 provinsi masuk dalam kategori sangat rawan, 13 provinsi masuk kategori rawan, 5 provinsi masuk kategori aman dan hanya satu provinsi yang masuk kategori sangat aman yaitu Kepulauan Riau. Provinsi yang memiliki intensitas kekeringan cukup tinggi adalah provinsi yang sangat rawan atau rawan. Jawa Timur termasuk provinsi yang sangat rawan kekeringan. Luas areal padi yang terkena kekeringan selama tahun 2012-2015 mencapai rata-rata 14.073 ha dan 1.438 ha (10,2%) diantaranya mengalami puso. Pada tahun 2015, areal yang terkena kekeringan tersebut mencapai 1,35% dari total luas areal padi yang mencapai 2,2 juta ha. Pada tahun 2015, luas areal padi yang mengalami kekeringan meningkat drastis sebesar 1.608,1% dibanding tahun 2014 yang menunjukkan luas areal kekeringan relatif kecil. Lima kabupaten yang menunjukkan luas areal kekeringan tertinggi adalah Bojonegoro, Lamongan, Tuban, Gresik, dan Tulung Agung. Sedangkan kabupaten yang sama sekali tidak mengalami kekeringan adalah Blitar, Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, dan 7 wilayah kota. NTB juga termasuk provinsi yang sangat rawan kekeringan. Pada tahun 2014, luas areal padi yang terkena kekeringan mencapai 12.711 ha dan 557 ha (4,4%) diantaranya mengalami puso. Dibanding total luas areal padi yang mencapai 433.712 ha, luas areal yang terkena kekeringan tersebut mencapai 2,9%. Berdasarkan persentase luas areal kekeringan terhadap total kekeringan di Provinsi NTB, Kabupaten Lombok Tengah menunjukkan luas kekeringan tertinggi, yaitu 45,2%. Di urutan berikutnya adalah Kabupaten Dompu (28,6%) dan Kabupaten Bima (18,3%). Sebaliknya Kabupaten Sumbawa Barat, Lombok Utara, Kota Mataram, dan Kota Bima tidak mengalami kekeringan sama sekali. 2
(2) Dampak berbagai jenis gangguan eksternal Pendapatan petani selama mengalami kekeringan menurun dibanding kondisi normal. Pendapatan petani terdiri dari pendapatan usahatani pada musim kemarau panjang atau kekeringan (2015) dan pendapatan usahatani pada musim kemarau normal (2014). Pendapatan usahatani selama kekeringan mengalami penurunan bervariasi dari 20 persen hingga 100 persen (puso). Pendapatan petani padi rata-rata lebih rendah dari petani cabai. Sebaliknya porsi pendapatan non-usahatani petani padi lebih besar dari petani cabai. Dampaknya adalah daya tahan petani padi terhadap guncangan kekeringan relatif lebih baik dari petani cabai. Untuk asuransi pertanian, petani padi memiliki risiko lebih kecil dibanding petani cabai. Jika petani padi gagal panen karena kekeringan maka masih ada sumber pendapatan lain yang persentasenya lebih besar dibanding sumber pendapatan lain dari petani cabai. (3) Daya tahan petani dan usahatani terhadap dampak kekeringan Berdasarkan besaran yang dihasilkan oleh masing-masing jenis asset yang membentuk indeks daya tahan, petani padi di Kabupaten Kediri memiliki indeks daya tahan sebesar 62,86. Nilai indeks daya tahan yang dimiliki oleh petani padi di Kabupaten Lamongan merupakan yang terendah dibandingkan lokasi penelitian lainnya, yaitu 32.23. Dengan fenomena yang diuraikan atas, hasil pengukuran indeks daya tahan terhadap kekeringan yang terjadi di Desa Ubung, Kabupaten Lombok Tengah mencapai 59.28. Lokasi penelitian di Lombok Timur dipusatkan di Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik dan Desa Kerongkong, Kecamatan Suralaga, Kabupaten Lombok Timur. Kedua daerah ini merupakan sentra produksi cabai merah di Propinsi Nusa Tenggara. Nilai indeks daya tahan terhadap kekeringan yang diukur di kedua desa tersebut mencapai 67.49. Petani padi sawah yang mengalami kekeringan pada umumnya kurang dapat mengatasi masalah yang ada. Sumber air yang menyusut drastis, tidak adanya giliran irigasi, dan air tanah yang terlalu dalam merupakan penyebab utama sehingga sebagian gagal panen padi pada musim kemarau panjang atau produksinya menurun drastis. Sebagian petani cabai pada taraf tertentu berupaya keras mengatasi kekurangan air selama kekeringan. Walaupun mahal, kebutuhan irigasi untuk cabai dapat diatasi dari sumber air yang relatif jauh. Produktivitas yang diperoleh petani cabai memang lebih rendah pada musim kemarau panjang dibanding musim kemarau normal tetapi pada taraf tertentu bisa dikompensasi dengan naiknya harga cabai di tingkat petani karena suplai yang menurun. (4) Upaya menghadapi kekeringan Secara perorangan maupun kelompok petani padi dan cabai berusaha mengatasi kekeringan yang melanda lahan pertanian. Keberhasilan mengatasi kekeringan tergantung ketersediaan air yang masih mencukupi untuk irigasi walaupun jumlahnya sangat sedikit. Sebagian petani memilih membiarkan 3
lahannya bera, menanam komoditas yang relatif tahan kekeringan atau menunda menanam hingga datang musim hujan. Pada musim kemarau kedua umumnya petani tidak menanam palawija dan membiarkan lahan bera. Musim tanam padi setelah musim kemarau kedua umumnya mundur hingga akhir tahun atau awal tahun berikutnya. Petani berusaha menutupi kekurangan pendapatan pada musim kemarau yang berkepanjangan dengan bekerja pada sektor non pertanian. (5) Kinerja dan dampak kebijakan pemerintah dalam mengatasi gangguan eksternal Bantuan pemerintah dalam jangka pendek dalam mengatasi kekeringan berupa pompa air dangkal untuk menyedot air hingga kedalaman sekitar 15 meter. Hanya sebagian kecil kelompok tani yang mendapat bantuan pompa air dan kurang dapat memanfaatkan mengingat sumber air yang sangat dalam atau relatif jauh dari lahan petani. BMKG memberikan data ramalan tentang curah hujan untuk antisipasi ketersediaan air untuk musim tanam setiap tahun, khususnya untuk lahan sawah tadah hujan. Disamping itu BMKG juga menyelenggarakan SLI (Sekolah Lapangan Iklim) yang diharapkan dapat membangun kesadaran petani tentang dampak perubahan iklim. Petani diharapkan secara berangsur mampu beradaptasi dengan cuaca ekstrim termasuk kekeringan. GTCK (Gerakan Tanam Cabai Pada Musim Kemarau) yang diintroduksi oleh Ditjen Hortikultura relatif sedikit memberi dampak. Luas areal percontohan sangat terbatas dan teknologi yang diperkenalkan belum mampu mengatasi kekeringan yang dampaknya sangat besar bagi petani cabai. Balai Besar Wilayah Sungai Brantas di Jawa Timur dan Balai Wiayah Sungai NTB I di Nusa Tenggara selalu membuat Ramalan Alokasi Air Tahunan (RAAT) berdasarkan ramalan curah hujan dari BMKG. RAAT sangat bermanfaat dalam menentukan kalender tanam termasuk komoditas yang akan ditanam petani sesuai dengan ketersediaan air irigasi. Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) juga dilaksanakan di Jawa Timur dan NTB. GNKPA melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk konservasi Daerah Aliran Sungai sehingga sumber air tetap terjaga dan erosi dengan segala dampaknya dapat dikendalikan. IMPLIKASI KEBIJAKAN Perlu kebijakan antisipatif oleh pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan tersebut meliputi: (a) konservasi sumberdaya lahan di wilayah hulu; (b) pembangunan waduk, embung, pemeliharaan saluran irigasi dan pembangunan saluran irigasi baru; (c) mengatasi resiko berbasis pasar, misalnya asuransi pertanian; (d) meningkatkan kapasitas, efektifitas, dan diseminasi sistem peringatan dini; (e) diversifikasi pertanian dan diversifikasi sumber pendapatan dari kegiatan off-farm maupun nonfarm; (f) penerapan Sekolah Lapang Iklim (SLI), kalender tanam, adopsi varietas tahan kering. 4
Dalam jangka pendek perlu pendampingan bagi petani yang mengalami gangguan kekeringan. Instrumen kebijakan tersebut meliputi: (a) bantuan prasarana produksi, terutama pompa air untuk sumur kedalaman menengah; (b) bantuan sarana produksi, terutama bibit dan pupuk; dan (c) kegiatan padat karya untuk perbaikan prasarana pertanian dan pedesaan. 5