Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

Pantjar Simatupang LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. perdagangan multilateral dalam bentuk organisasi perdagangan dunia atau World

analisis FluKtuasi ekspor beberapa PRoduK PeRtanian indonesia di negara mitra utama

BAB V PENUTUP. pertanian selain dua kubu besar (Amerika Serikat dan Uni Eropa). Cairns Group

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

Lima Peraturan WTO yang Perlu Diubah untuk Memungkinkan Kedaulatan Pangan dari Semua Negara Jacques Berthelot, Solidarité, 18 Oktober 2015

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1)

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

Kajian SSM terhadap komoditas ekspor Indonesia

Analisis Kepentingan Special Safeguard Mechanism Indonesia Dalam Negosiasi Pertanian Di World Trade Organization (WTO) Oleh :

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

III KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Oleh: Dabukke Muhammad. Frans Betsi M. Iqbal Eddy S. Yusuf

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

PRODUKSI PANGAN DUNIA. Nuhfil Hanani AR

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sarnowo dan Sunyoto (2013:1) permintaan adalah jumlah barang

MEKANISME PERLINDUNGAN KHUSUS UNTUK INDONESIA DAN K 33: SEBUAH GAGASAN

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V GAMBARAN UMUM NEGARA-NEGARA TUJUAN EKSPOR. tersebut juga menjadi tujuan ekspor utama bagi Indonesia.

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 PROSPEK KERJASAMA PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat

BAB I PENDAHULUAN. Liberalisasi perdagangan mulai berkembang dari pemikiran Adam Smith

KULIAH UMUM MENTERI PERTANIAN PADA PROGRAM MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

SIARAN PERS Pusat Hubungan Masyarakat Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Telp: /Fax:

ISBN : PENYUSUNAN BAHAN ADVOKASI DELEGASI INDONESIA DALAM PERUNDINGAN MULTILATERAL

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS NOTIFIKASI DAN KERANGKA MODALITAS PERJANJIAN PERTANIAN WTO

DI WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN BAHAN ADVOKASI DELEGASI INDONESIA DALAM PERUNDINGAN MULTILATERAL

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

KAJIAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DAN GLOBAL

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

Adreng Purwoto, Handewi P.S. Rachman, dan Sri Hastuti Suhartini. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANI KEDELAI DENGAN KEBIJAKAN TARIF OPTIMAL

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

KEBIJAKAN PEMERINTAH dalam EKONOMI PERTANIAN

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Mendobrak Pasar Ekspor Melalui Pendekatan Total Football

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

Kinerja Ekspor Nonmigas Januari-April Lampui Target *Sinyal bahwa FTA/EPA Semakin Efektif dan Pentingnya Diversifikasi Pasar

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

BABI PENDAHULUAN mendasar, mudahnya perpindahan arus barangfjasa, faktor produksi dan modal

BAB I PENDAHULUAN. Strategi yang pertama sering dikatakan sebagai strategi inward looking,

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dan liberalisasi perdagangan barang dan jasa semakin tinggi intensitasnya sehingga

SKENARIO USULAN PEMOTONGAN TARIF G-20 DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA 2

1 Universitas Indonesia

Ekspor Bulan Juni 2014 Menguat. Kementerian Perdagangan

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah)

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional. By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

Transkripsi:

Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization LAPORAN AKHIR PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN KEMENTRIAN PERDAGANGAN JAKARTA 2010

Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization Tim Penulis : Adrian Darmawan Lubis Kasan Irma Rahmawati Tony Irawan Rusan Nasrudin PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN KEMENTRIAN PERDAGANGAN JAKARTA 2010

RINGKASAN EKSEKUTIF Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization. Keikutsertaan aktif Indonesia dalam negosiasi produk pertanian dan non pertanian di WTO akan memberikan dampak positif dalam kinerja perdagangan nasional. Namun, masih perlu dilakukan analisis untuk menentukan usulan posisi terbaik, khususnya dalam proteksi petani domestik melalui special safeguard mechanism (SSM) dan peningkatan akses pasar melalui isu non tariff barriers (NTB). Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disusun tujuan dari kajian ini sebagai berikut : 1) Menganalisis kinerja serta pola impor produk pertanian nasional, 2) Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi spesial safeguard mechanism, 3) Mengidentifikasi dan menganalisis signifikansi hambatan non tarif yang menghambat ekspor non migas Indonesia, dan 4) Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi hambatan non-tarif. Kajian ini dilakukan selama 11 (sebelas) bulan dengan menggunakan data sekunder dan selanjutnya hasil pengolahan data sekunder dilakukan verifikasi dengan kegiatan turun lapang. Adapun metodologi yang digunakan adalah Statistical Quality Control (SQC), Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Gravity Model. Hasil analisis selanjutnya dikonsultasikan dengan stake holders melalui kegiatan Focus Group Discussion. Kajian ini mengkhususkan pada beberapa produk pertanian penting yaitu beras, tebu, jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah, susu, teh dan tepung terigu untuk SSM serta coklat, sawit, dan kopi untuk NTB. Adapun hasil dari kajian ini menemukan bahwa 1)Tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk merupakan produk pertanian komersil dengan trend impor, sedangkan sisanya hanya diimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi; 2) Seluruh produk menunjukkan pola impor musiman, terutama moving seasonality berdasarkan data year on year dengan fluktuasi impor rata-rata berdasarkan nilai standar deviasi adalah 20 sampai 36 persen; 3) Sebagian besar eksportir menyatakan tidak ada hambatan non tarif yang berarti terhadap produk pertanian, dimana ini disebabkan ketergantungan terhadap produk nasional; 4) Standart yang paling sering dihadapi adalah standart keamanan/kesehatan, namun eksportir tidak keberatan untuk memenuhi hal tersebut; dan 5) Eksportir menyatakan pemenuhan ketentuan NTB menjadi sulit karena ketidakdisiplinan beberapa pihak untuk memenuhi ketentuan negara mitra

Berdasarkan kesimpulan tersebut, direkomendasikan agar : 1) Indonesia dalam menggunakan trigger volume impor sebaiknya juga memperhatikan perubahan harga domestik agar pelaksanaan SSM tidak merugikan konsumen; 2) Indonesia tidak dapat memberlakukan SSM selama setahun penuh karena terdapat periode dimana impor sangat dibutuhkan; 3) Indonesia sebaiknya menekankan penentuan besaran SSM untuk beberapa produk saja, antara lain beras dan tebu, oleh karena itu besaran trigger SSM yang diusulkan antara 22 sampai 36 persen; 4) Jeruk merupakan komoditas yang paling membutuhkan proteksi, namun mekanisme SSM tidak efektif bagi produk ini; dan 5) Indonesia sebaiknya mengusulkan pelaksanaan standar internasional di bidang kesehatan dan keamanan konsumen. Usulan tersebut perlu disertai pelatihan untuk membantu negara berkembang.

KATA PENGANTAR Syukur Alhamdullilah tim penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan kajian dengan judul Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization. Tim penulis mengucapkan terima kasih atas arahan dan bimbingan dari Bapak Kapuslitbang Daglu yang tidak henti dan putus dalam penyusunan kajian ini. Selain itu penulis juga berterima kasih atas bantuan data dan informasi dari Dinas di daerah dan stakeholders terkait yang berperan serta dalam keberhasilan penyelesaian kajian ini. Tim penulis menyadari keterbatasannya, dan oleh karena itu mengharapkan adanya saran yang membangun untuk dapat meningkatkan mutu kajian ini. Selain itu tim penulis mengharapkan kajian ini dapat dimanfaatkan dengan sebaiknya. Jakarta, Desember 2010 Tim Penulis

DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan 6 1.3. Ruang Lingkup 7 1.4. Pembabakan 8 II. STUDI PUSTAKA DAN LITERATUR 9 2.1. Special Safeguard Mechanism Dalam WTO 9 2.2. Special Safeguard Mechanism Dalam Kerangka Teoritis 12 2.3. Special Safeguard Mechanism Dalam Literatur Terdahulu 13 2.4. Definisi Non Tariff Barrier (NTB) 17 2.5. Taksonomi NTB 18 2.6. Pendekatan Untuk Mengukur NTB 19 2.7. Estimasi Empiris Model Gravity: Inklusif Border Effect, Tarif Dan NTB 20 III. METODOLOGI PENELITIAN 22 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 22 3.2. Data dan Sumber Data 22 3.3. Metode Penelitian 22 3.3.1. Statistika Deskriptif 22 3.3.2. Statistical Quality Control 22 3.3.3. Analytical Hierarchy Process (AHP) 26 3.3.4. Uji Konsistensi AHP 30 3.3.5. Pendekatan Gravity Model 31 IV. ANALISIS KEPENTINGAN INDONESIA DALAM NEGOSIASI SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM 34 4.1. Kinerja Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Indonesia 34 4.2. Faktor Seasonal dan Trend Pada Impor Komoditi Pertanian Indonesia 36 4.3. Penerapan Control Chart Pada Impor Komoditi Pertanian Indonesia 38 4.4. Tanggapan Masyarakat terhadap Fluktuasi Impor untuk Studi Kasus Medan dan Bandung 39 V. PENDEKATAN MODEL EKONOMETRIKA UNTUK MENGUKUR DAMPAK NTB PADA KOMODITAS KOPI, SAWIT DAN COKLAT 45 5.1. Dinamika Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke EU, Jepang dan US 45 5.2 Dampak Kebijakan NTB Khususnya REACH Terhadap Kinerja Ekspor Nasional ke Uni Eropa 50 5.3. Identifikasi dan Pemeringkatan Bobot Jenis Hambatan Non-Tarif dengan Teknik AHP: Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara 51 5.4. Analisis Hasil Pemeringkatan Bobot Masalah NTB di Provinsi Sumatera Utara 53 iv vi vii

5.4.1. Sawit 54 5.4.2. Kopi 55 5.4.3. Coklat 56 VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 57 6.1. Kesimpulan 57 6.2. Rekomendasi 57 Daftar Pustaka 59

DAFTAR TABEL Nomor Judul Halaman 1. Bantuan Pemerintah Negara Maju Terhadap Petani yang Dihitung Dalam Bentuk Producer Support Estimate (Rata-Rata 2001-2003) 2. Neraca Perdagangan Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan (2005-2008) 3. Isu Hambatan Non-Tarif 6 4. Tiga Tipe Safeguard Untuk Komoditas Pertanian 10 5. Elemen Dari Hirarki Tingkat Kedua NTB 28 6. Comparative Judgement: Ilustrasi 29 7. Hasil Perhitungan Normalized Relative Weight 30 8. Kinerja Neraca Perdagangan 10 Komoditas Pertanian Terpilih 35 9. Seasonality Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih 37 10. Trend Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih 38 11. Penerapan Konsep Control Chart Pada 10 Komoditas Pertanian 39 12. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan SSM 44 13. NTB yang dihadapi Produk Sawit, Kopi dan Coklat tahun 2007-2008 14. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Sawit 55 15. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Kopi 55 16. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Coklat 56 2 3 53

DAFTAR GAMBAR Nomor Judul Halaman 1. SSM dalam Kerangka Putaran Doha 11 2. SSM dalam Kerangka Teoritis 12 3. Komponen Control Chart 24 4. Persentase Nilai Sebaran yang Mampu Ditangkap Oleh Cakupan Standar Deviasi yang Berbeda 5. Hirarki Tingkat Pertama dari NTB 28 6. Ancaman Produk Pertanian Impor terhadap Produk Pertanian Lokal 7. Alasan Yang Mengakibatkan Produk Pertanian Impor Menjadi Ancaman Bagi Produk Lokal 42 8. Upaya Menekan Laju Impor Produk Pertanian 43 9. Besaran Peningkatan Impor Yang Dapat Dikategorikan Sebagai Serbuan Impor 43 10. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke 3 Negara Sampel, ribu USD 11. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke EU, ribu USD 47 12. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke Jepang, ribu USD 48 13. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke US, ribu USD 49 14. Hirarki Faktor NTB 53 15. Pergerakan Nilai Ekspor Sawit-HS 1511 dan Kopi-HS 0901 54 25 41 46

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang berdiri sejak 1 Januari 1995, Indonesia telah menjadi anggota dengan memiliki peluang keterbukaan akses pasar produk ekspor ke seluruh anggota WTO yang berjumlah 150 negara. Liberalisasi produk pertanian dan produk industri merupakan salah satu isu sentral dalam negoisasi World Trade Organization (WTO) belakangan ini. Negoisasi yang telah dimulai sejak Putaran Uruguay dan berlanjut hingga di Putaran Doha, sampai saat ini belum juga membuahkan hasil. Putaran Doha yang telah berjalan sejak tahun 2001 dan telah membuahkan komitmen negara-negara dalam Deklarasi Para Menteri pada bulan November 2001 untuk mencapai tujuan yakni sistem perdagangan dunia yang berlandaskan pasar dan keadilan, ternyata masih belum mampu menggiring anggota WTO mencapai kesepakatan liberalisasi. Negara maju dan negara berkembang saling menyalahkan satu sama lain terkait mandeg -nya negoisasi perdagangan untuk komoditas pertanian ini. Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa menuding negara berkembang terlalu menutup pintu perdagangannya yang mengakibatkan sulitnya mencapai kesepakatan. Sebaliknya, negara berkembang tidak akan membuka pintu perdagangannya selama subsidi yang diberikan negara maju kepada para petani sangat besar sekali yang tentu saja mengakibatkan petani di negara maju mampu menghasilkan produk yang lebih bersaing di pasaran. Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang sangat vocal dalam menyuarakan liberalisasi perdagangan memproteksi sektor pertaniannya tidak hanya melalui tariff namun juga melalui subsidi ekspor yang sangat besar. Pada tahun 2007 dukungan pemerintah Amerika Serikat terhadap para petaninya diperkirakan mencapai 32,663 milyar USD, sebuah nilai yang sangat fantastis jika dibandingkan dengan subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia yang hanya sebesar 1,4 milyar USD (Susilowati dan Kustiari, 2009). Dukungan yang besar terhadap petani pada negara-negara besar juga dapat dilihat pada kasus negara-negara Uni Eropa (UE), Australia, Kanada dan Selandia Baru. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa untuk komoditi daging sapi, peternak di negara anggota Uni Eropa mendapatkan bantuan sebesar 74 persen dari total pendapatan usaha ternaknya. Dengan kata lain, hanya 36 persen pendapatan peternak sapi di Uni Eropa berasal dari usaha ternak mereka sendiri. Hal yang serupa juga dapat

dilihat pada komoditas pertanian lainnya. Negara-negara maju lainnya seperti Australia, Kanada dan Selandia Baru juga memberikan dukungan yang cukup besar terhadap petani mereka meski tidak sebesar yang diberikan AS dan UE. Kebijakan subsidi eskpor ini tentu mengakibatkan persaingan yang tidak adil antar petani di beda negara. Jika petani di negara berkembang secara langsung berhadapan dengan produk pertanian yang dihasilkan negara maju sudah sangat jelas petani di negara berkembang akan kalah bersaing. Sebesar apapun tingkat efisiensi yang mampu dikejar oleh petani di negara berkembang tentu tidak akan sebanding dengan dukungan yang didapat petani di negara maju yang membuat mereka mampu menawarkan produk pertaniannya dengan harga yang sangat kompetitif. Tabel 1. Bantuan Pemerintah Negara Maju Terhadap Petani yang Dihitung Dalam Bentuk Producer Support Estimate (Rata-Rata 2001-2003 dalam US D Juta) Komoditas AS UE Australia Kanada Selandia Baru Total OECD Beras 46 37 6 Na Na 78 Jagung 21 36 na 13 0 24 Kedelai 20 36 3 14 Na 24 Gula 58 56 10 12 Na 51 Daging Sapi 4 74 4 NA 1 33 Daging Unggas 4 37 3 4 31 17 Catatan: na menandakan tidak ada data Sumber: Sawit (2007) Salah satu implikasi logis yang mungkin terjadi bagi negara berkembang jika negara maju tetap memberikan subsidi pertanian yang besar adalah harga komoditas pertanian dunia akan rendah dan ini bukan dikarenakan perbaikan tingkat efisiensi petani melainkan subsidi besar-besaran yang dilakukan negara maju. Tentu saja hal ini akan menimbulkan persaingan yang tidak adil dalam perdagangan, dimana dimungkinkan terjadinya serbuan produk pangan dari negara maju ke negara berkembang (Sawit, 2009). Kondisi inilah yang saat ini mengancam Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk produk pangan. Tekanan produk pangan impor terlihat jelas pada neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia. Tabel 1

menunjukkan bahwa semenjak tahun 2005, neraca perdagangan sub sektor tanaman pangan selalu negatif atau dengan kata lain total nilai ekspor kita lebih kecil dibandingkan dengan total nilai impor. Fakta yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa jika dilihat hingga ke level komoditi, komoditi yang memiliki neraca perdagangan negatif adalah komoditi-komoditi pangan utama Indonesia seperti beras, jagung, kacang tanah dan kedelai. Tabel 2. Neraca Perdagangan Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan (2005- Sumber: Badan Pusat Statistik 2008) 2004 2005 2006 2007 2008 Tanaman Pangan Ekspor 274,497 286,744 264,155 289,049 348,914 Impor 2,423,418 2,115,138 2,568,454 2,729,147 3,526,961 Selisih (2,148,921) (1,828,394) (2,304,299) (2,440,098) (3,178,047) Ekspor 1,462 Beras 9,088 626 541 935 Impor 64,948 53,753 133,905 46,444 123,783 Selisih (63,486) (44,665) (133,279) (45,903) (122,848) Ekspor 13,746 Jagung 11,894 4,674 18,626 29,325 Impor 189,139 45,634 299,112 174,608 13,586 Selisih (175,393) (33,740) (294,438) (155,982) 15,739 Ekspor 6,703 Kedelai 6,565 8,406 8,613 8,252 Impor 967,957 801,779 809,056 500,878 732,722 Selisih (961,254) (795,214) (800,650) (492,265) (724,470) Ekspor 7,656 Kc.Tanah 10,792 10,743 9,526 1,407 Impor 45,708 44,087 59,527 64,539 10,253 Selisih (38,052) (33,295) (48,784) (55,013) (8,846) Ubi Kayu Ekspor 57,346 41,029 16,684 14,188 35,871 Impor 10,446 24,632 70,284 778 57,948 Selisih 46,900 16,397 (53,600) 13,410 (22,077) Ekspor 5,209 Ubi Jalar 4,581 6,259 6,197 6,594 Impor 3 16 98 123 7 Selisih 5,206 4,565 6,161 6,074 6,587 Gandum Ekspor 167,119 177,895 187,801 203,957 251,973 Impor 990,739 994,486 1,041,386 1,444,784 2,371,698 Selisih (823,620) (816,591) (853,585) (1,240,827) (2,119,725) Tanaman Pangan Lainnya Ekspor 15,256 249 28,962 27,401 1,894 Impor 154,479 150,751 155,084 1,975 2,413 Selisih (139,223) (150,502) (126,122) 25,426 (519) Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat pada sub sektor peternakan. Sebagai gambaran, selama periode 2005-2009, sekitar empat puluh persen dari

kebutuhan daging sapi nasional masih diimpor 1. Sedangkan untuk komoditas susu, 73 persen kebutuhan susu nasional masih harus diimpor 2. Kondisi tersebut menunjukkan betapa rentannya perekonomian Indonesia terhadap serbuan produk pangan luar negeri jika dilihat dari sisi konsumen. Kebutuhan masyarakat yang terus meningkat akibat dorongan populasi dan perubahan taraf hidup akan semakin memperparah ketergantungan Indonesia di masa yang akan datang. Jika dilihat dari sisi produsen, tekanan produk pangan asing akan berdampak negatif secara langsung terhadap kesejahteraan tenaga kerja di sektor pertanian Indonesia. Salah satu ukuran yang dapat digunakan dalam mengukur kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Besar NTP dapat mencerminkan kemampuan tukar produk pertanian yang dihasilkan dengan komoditas yang dikonsumsi rumah tangga petani. Sepanjang tahun 2008, NTP petani cenderung mengalami penurunan dari 100,69 pada bulan Januari menjadi 99,20 pada bulan Oktober. Hal ini mengartikan secara relatif kesejahteraan petani mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi tahun dasar yakni 2007. Secara lebih detail juga dapat ditunjukkan bahwa untuk petani tanaman pangan, NTP mengalami penurunan yang lebih tajam dari 100,52 menjadi 97,64 pada bulan Oktober. Secara agregat, penurunan NTP ini dirasakan oleh lebih dari 40 juta tenaga kerja di sektor pertanian atau sekitar 41 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat terlihat bahwa posisi Indonesia dalam negoisasi perdagangan internasional sangatlah penting mengingat ancaman datang baik dari sisi konsumen maupun produsen. Oleh karena itu sangatlah penting bagi pemerintah untuk memanfaatkan berbagai tindakan yang dimungkinkan dan dibenarkan sebagai anggota WTO guna melindungi serbuan produk pangan luar negeri, salah satunya melalui Special Safeguard Mechanism (SSM). Melalui mekanisme SSM, Indonesia dapat melakukan tindakan perlindungan terhadap produsen lokal ketika terjadi tingkat impor yang melebihi dari faktor pemicu atau trigger yang telah ditetapkan. Tindakan perlindungan yang dimaksud adalah penerapan tariff yang lebih tinggi daripada kondisi normal. Ukuran trigger secara konseptual dapat menggunakan peningkatan drastis pada volume impor atau penurunan drastis pada harga komoditas impor. Permasalahan yang selanjutnya muncul adalah seberapa besar perubahan pada volume dan harga impor tersebut dapat dikatakan sudah termasuk tingkat yang mengkhawatirkan. Beberapa ekonom muncul dengan berbagai usulan tentang bagaimana menghitung trigger tersebut. Sampai dengan laporan ini dibuat, 1 Kompas, 9 November 2009 2 Media Indonesia, 29 Juni 2010

perhitungan trigger yang paling umum adalah dengan menggunakan patokan volume atau harga impor rata-rata tiga tahun ke belakang atau yang dikenal dengan konsep Moving Average (MA 3). Cara perhitungan semacam ini termasuk sederhana dan mudah diterapkan, namun yang masih sering menjadi pertanyaan adalah apakah metode tersebut sudah tepat dan cocok untuk semua negara? Merujuk kepada kasus Indonesia, trigger yang sangat ketat dan sensitif cenderung tidak akan memberikan perlindungan melainkan tekanan terhadap produsen. Jika volume impor melebihi trigger dan remedy diterapkan, maka akan berdampak kepada peningkatan harga komoditas pangan yang selanjutnya akan merugikan konsumen domestik. Di sisi lain, negosiasi DDA-WTO sudah mengarah lebih dari sekedar liberalisasi hambatan tarif dan mulai beralih pada negosiasi hambatan non-tarif atau NTB. Diantara sektor yang penting dalam negosiasi ini adalah sektor elektronik, otomotif, dan kimia. Namun dalam studi ini tidak terbatas untuk membahas nonpertanian saja, melainkan beberapa produk pertanian akan menjadi bahasan juga. Hambatan non tarif seperti prosedur dan labelling saat ini diduga menjadi salah satu penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Untuk itu, perlu dilakukan analisis mengenai tingkat signifikansi pengaruh tersebut atau dengan kata lain membuktikan hipotesis tersebut. Studi ini mencoba menjawab kebutuhan analisis dimaksud, dan fokus pada isu seputar NTB. Diantara isu NTB yang berkembang, tentunya Indonesia akan meletakkan prioritas pada masalah yang memang dihadapi oleh sektor tertentu dalam perekonomian yang dianggap strategis. Selain tentunya mempertimbangkan apakah isu ini menjadi kepedulian dari anggota WTO yang lain. Isu yang berkembang dalam negosiasi NTB dan yang dibawa oleh setiap negara pengusul bervariasi. Mencakup persoalan fasilitasi, ketentuan pajak ekspor, transparansi perijinan, standar, ketentuan NTB pada komoditas tertentu. Isu yang terkumpul disajikan dalam Tabel 3. Dalam studi ini, beberapa isu yang dipilih untuk dijadikan fokus pembahasan dibatasi pada ketersediaan informasi dan data. Adapun yang direncanakan adalah ketentuan penerapan pajak ekspor, transparansi perijinan ekspor, dan penerapan standar pada produk elektronik. Namun karena faktor keterbatasan akses terhadap data khususnya data primer, maka pembahasan kemudian mencakup komoditas pertanian yang memang didukung oleh ketersediaan data. Selain itu, komoditas tersebut diduga sedang mengalami kendala dari munculnya NTB baru yang dianggap signifikan mempengaruhi kinerja ekspor.

Tabel 3. Isu Hambatan Non-Tarif Isu Proponent Fasilitasi Penyelesaian Masalah Hambatan African Group, Kanada, Uni Eropa, Non-Tariff LDC Group, NAMA-11 (incl. Indonesia), New Zealand, Norwegia, Pakistan, Swiss. Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor* Uni Eropa Transparansi Perijinan Ekspor* Jepang, Taiwan, Amerika Serikat Penghapusan Diskriminasi Terhadap Barang Jepang, Swiss, Amerika Serikat Bukan Baru Ketentuan NTBs Produk Kimia Argentina Ketentuan NTBs Produk Kehutanan dalam New Zealand Konstruksi Bangunan Ketentuan NTBs Elektronika Uni Eropa Prosedur Electrical Safety dan EMC Barangbarang Elektronika* Amerika Serikat Standar Produk Otomotif* Amerika Serikat Labelling Tekstil, Pakaian, Alas Kaki dan Travel Uni Eropa, Sri Lanka, Amerika Goods* Serikat Sumber : www.wto.org Sampai saat ini Indonesia belum dapat memutuskan posisi runding untuk setiap negosiasi hambatan non tarif di atas. Adapun kendala utama dalam penyusunan usulan posisi runding tersebut adalah belum adanya kajian mengenai dampak hambatan non tarif bagi kinerja ekspor dan manfaat negosiasi tersebut bagi Indonesia. Menyadari masalah ini, perlu dilakukan kajian mengenai manfaat dan tantangan keikutsertaan Indonesia dalam negosiasi hambatan non tarif di WTO. 1.2. Tujuan Keikutsertaan aktif Indonesia dalam negosiasi produk pertanian dan non pertanian di WTO akan memberikan dampak positif dalam kinerja perdagangan nasional. Namun, masih perlu dilakukan analisis untuk menentukan usulan posisi terbaik, khususnya dalam proteksi petani domestik melalui special safeguard mechanism (SSM) dan peningkatan akses pasar melalui isu non tariff barriers (NTB). Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disusun tujuan dari kajian ini sebagai berikut :

1. Menganalisis kinerja serta pola impor produk pertanian nasional, 2. Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi spesial safeguard mechanism, 3. Mengidentifikasi dan menganalisis signifikansi hambatan non tarif yang menghambat ekspor non migas Indonesia, 4. Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi hambatan non-tarif. 1.3. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup yang digunakan dalam kajian ini menekankan pada hal penting sebagai berikut : 1. Data impor produk pertanian yang dianalisis dalam menyusun usulan posisi runding SSM diutamakan untuk produk penting dari Kementrian Pertanian yaitu beras, tebu, jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah, susu, teh dan tepung terigu. 2. Data impor yang digunakan dalam analisis ini adalah data bulanan dan tahunan selama lima tahun terakhir. 3. Analisis impor dilakukan berdasarkan data impor untuk menentukan pola impor musiman, trend impor bulanan dan tahunan, serta lonjakan impor yang masih dapat ditolerir. 4. Lonjakan impor yang ditolerir didasarkan pada nilai standart deviasi, dengan batas maksimal sebesar tiga standart deviasi. 5. Data konsumsi tidak dapat diperoleh, sehingga dilakukan analisis trend impor untuk mengetahui apakah produk pertanian diimpor untuk kepentingan konsumsi atau barang konsumtif. 6. Analisis NTB menekankan pada tiga produk pertanian yaitu coklat, sawit, dan kopi yang digunakan adalah selama periode 1988 2009. 7. Mitra dagang yang dianalisis dalam hambatan NTB adalah negara mitra dengan aturan NTB ketat yaitu Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. 8. Analisis regresi NTB dikhususkan pada contoh kasus kebijakan NTB negara mitra dan dampaknya bagi kinerja ekspor nasional. 1.4. Pembabakan Kajian ini akan disusun dalam beberapa bab yang terdiri dari enam bab yang merupakan suatu kesatuan. Adapun judul dan isi dari setiap bab tersebut terdiri dari : 1. Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, tujuan, dan ruang lingkup penelitian. 2. Studi Pustaka Dan Literatur, berisikan literatur mengenai teori dan aplikasi Special Safeguard Mechanism, serta definisi, taksonomi, metode estimasi dan pendekatan mengukur Hambatan Non Tarif.

3. Metodologi Penelitian, memberikan informasi terkait waktu, tempat, dan metode yang digunakan dalam kajian ini. 4. Analisis Kepentingan Indonesia dalam negosiasi Special Safeguard Mechanism yang memberikan informasi neraca perdagangan, analisis pola dan trend impor, metode penentuan lonjakan impor dan temuan turun lapang. 5. Pendekatan Model Ekonometrika Untuk Mengukur Dampak NTB Pada Komoditas Kopi, Sawit Dan Coklat, berisi dinamika ekspor, analisis dampak kebijakan NTB terhadap kinerja ekspor, dan temuan turun lapang. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi, merupakan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan yang menjadi intisari kajian ini. II. STUDI PUSTAKA DAN LITERATUR 2.1. Special Safeguard Mechanism Dalam WTO Special Safeguard Mechanism (SSM) bukanlah satu-satunya bentuk perlindungan yang diberikan untuk komoditas pertanian. Berdasarkan hasil dari Putaran Uruguay, sebuah negara dapat melakukan GATT safeguard atau tindakan pembatasan impor sementara pada sebuah produk (termasuk produk pertanian) jika industri domestik terpuruk atau tertekan akibat serbuan produk impor yang diiringi dengan penurunan harga (jika hanya terjadi penurunan harga maka safeguard tidak

dapat digunakan). Pembatasan impor tersebut dapat dilakukan dalam bentuk kuota atau peningkatan tariff di atas bound rate. Pelaksanaan safeguard ini dapat dilaksanakan jika telah dilakukan pengujian atau pembuktian terjadinya keterpurukan dan negoisasi terkait dengan kompensasi. Selanjutnya berdasarkan Agreement on Agriculture (AoA) yang dihasilkan pada Putaran Uruguay, sebuah negara dapat memanfaatkan Special Safeguard (SSG) untuk melindungi sektor pertanian domestik jika terjadi serbuan produk impor atau jatuhnya harga secara signifikan. SSG hanya dapat digunakan pada produk yang memiliki tariff dan termasuk ke dalam produk yang dinegoisasikan pada Putaran Uruguay. Terdapat 39 anggota yang mendapatkan hak untuk menerapkan SSG, yakni terdiri dari 9 negara maju, 24 negara berkembang dan 6 negara transisi. Secara detail nama negara dan jumlah produk (tariff lines) yang dapat menggunakan SSG adalah: Australia (10), Barbados (37), Botswana (161), Bulgaria (21), Canada (150), Colombia (56), Costa Rica (87), Czech Republic (236), Ecuador (7), El Salvador (84), EU (539), Guatemala (107), Hungary (117), Iceland (462), Indonesia (13), Israel (41), Japan (121), Korea (111), Malaysia (72), Mexico (293), Morocco (374), Namibia (166), New Zealand (4), Nicaragua (21), Norway (581), Panama (6), Philippines (118), Poland (144), Romania (175), Slovak Republic (114), South Africa (166), Swaziland (166), Switzerland-Liechtenstein (961), Chinese Taipei (84), Thailand (52), Tunisia (32), United States (189), Uruguay (2), Venezuela (76). Berdasarkan data di atas dapat terlihat bahwa hanya sedikit negara berkembang yang dapat memanfaatkan instrument SSG. Meskipun ada, jumlah produk yang dapat dilindungi sangat sedikit sekali, contohnya pada Indonesia yang hanya mendapatkan 1 persen dari total produk yang dinegoisasikan. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar negara berkembang menggunakan ceiling binding yang mengakibatkan hilangnya hak untuk menggunakan SSG. Selain itu, negara berkembang yang telah memanfaatkan SSG juga sangat mengeluhkan sulitnya formula dan kebutuhan data yang digunakan dalam SSG. Akibatnya, SSG sangat sulit untuk diterapkan. Which products? Which countries Tabel 4. Tiga Tipe Safeguard Untuk Komoditas Pertanian GATT Safeguard Special Agricultural Safeguard/ SSG Special Safeguard Mechanism/ SSM All, including Agricultural, if tariffied Agricultural agricultural All Developed and Only developing developing countries, but

Trigger Import surge with price fall Remedy Quantity restriction, tariff increase Constraint/ Show injury or Condition threat of injury, negotiate compensation Expiry of Permanent mechanism? Sumber: WTO (2008) only if tarrified Import surge or price fall Tariff increase Only products tariffied in Uruguay Round (where comfort needed for liberalization) Expires or reduced post- Doha Import surge or price fall Tariff increase For import surge: limit on % of products in a year ceiling on tariff at or above pre-doha rate minimum surge for tariff exceeding pre-doha rate? Different views Tipe safeguard yang ketiga dan sampai saat ini masih terus dinegoisasikan adalah Special Safeguard Mechanism (SSM). SSM hanya berlaku untuk negara berkembang, khususnya bagi negara yang tidak memiliki SSG. Sama seperti SSG, trigger dari SSM ditentukan oleh peningkatan produk impor yang drastis atau penurunan harga yang cukup signifikan tanpa harus disertai dengan pembuktian atau negoisasi. Trigger direpresentasikan dalam bentuk persentase dari tahun dasar, jadi trigger sebesar 115 persen dapat diartikan terjadinya kenaikan sebesar 15 persen. Jika hal itu terjadi maka negara dapat meningkatkan tariff safeguard-nya (atau sering disebut dengan remedy) yang besarnya tergantung pada besarnya trigger. Jika merujuk kepada Revised Draft Modalities for Agriculture December 2008, kelemahan dari ukuran ini adalah bahwa SSM tidak dapat digunakan jika ukuran safeguard lain sedang digunakan pada produk yang sama dan besar tariff yang diterapkan ditambah dengan remedy tidak boleh melebihi bound rate yang telah disepakati pada negoisasi sebelum Putaran Doha. Perhitungan trigger berdasarkan volume pada awalnya diusulkan untuk sama dengan SSG yakni dengan memasukkan variabel perubahan volume konsumsi domestik, namun berdasarkan Teks Desember 2008 trigger untuk SSM yang diusulkan hanya memperhitungkan perubahan volume impor terhadap rata-rata tiga tahun terakhir. Selanjutnya jika terjadi lonjakan impor sebesar 110% - 115% maka

tariff dinaikkan sebesar 25%; 115% - 135% tariff dinaikkan sebesar 40 persen dan remedy sebesar 50 persen jika terjadi lonjakan impor sebesar lebih dari 135 persen. Jika perhitungan trigger didasarkan pada harga, maka kejatuhan harga didefinisikan sebagai perubahan harga relatif terhadap rata-rata harga impor tiga tahun sebelumnya. SSM akan berlaku jika terjadi kejatuhan harga c.i.f sebesar 85 persen dari rata-rata harga impor tiga tahun sebelumnya. Besaran remedy yang diterapkan adalah sebesar 85 persen dari perbedaan harga impor dan harga trigger. Sumber: WTO (2008) Gambar 1. SSM dalam Kerangka Putaran Doha Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat 2 hal teknis yang sangat penting dalam negoisasi WTO selanjutnya. Pertama, yakni besaran remedy yang dapat diterapkan berikut dengan besaran rentang lonjakan. Kedua, cara dalam menentukan besaran trigger. Pendekatan yang selama ini diusulkan dan cukup banyak diterima adalah dengan menggunakan Moving Average (MA), khususnya MA 3. Beberapa pendekatan lain yang sempat diwacanakan adalah penggunaan MA 5, fixed reference prices dan Olympic average price (dengan menghilangkan nilai yang terbesar dan terkecil, setelah itu baru dihitung rata-ratanya). Kedua poin ini yang terus menerus dinegoisasikan selain dari tuntutan negara berkembang agar negara maju mau menurunkan dan bahkan menghilangkan subsidi ekspor yang mereka berikan. 2.2. SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DALAM KERANGKA TEORITIS Pada dasarnya SSM merupakan suatu pengecualian bagi suatu negara untuk menerapkan kebijakan perdagangan yang protektif ketika terjadi suatu kondisi yang

dapat menekan produsen domestik. Proteksi perdagangan tersebut selanjutnya direpresentasikan dengan peningkatan tariff (remedy) ketika terjadi lonjakan impor atau penurunan harga yang sangat drastis dan melewati trigger yang telah ditetapkan. Dengan demikian, secara teoritis SSM mirip dengan kebijakan tariff yang lebih tinggi pada negara pengimpor. Price Supply Pw +t+t Pw+t Pw Pw Q1 Q2 Q3 Q4 Demand Quantity Gambar 2. SSM dalam Kerangka Teoritis Gambar 2 menunjukkan bahwa pada kondisi normal harga dunia adalah Pw dan setelah dikenai tariff maka harga yang berlaku di domestik adalah Pw+t dengan tingkat impor sebesar Q1-Q4. Ketika harga dunia jatuh ke level Pw atau terjadi lonjakan impor dengan tingkat impor di atas Q1-Q4, maka hal ini akan memicu SSM dan pemerintah dapat menerapkan remedy yakni dengan menerapkan tariff lebih besar daripada t atau dengan kata lain menaikkan harga domestik menjadi Pw +t+t dan impor akan menurun ke level Q2-Q3. Berdasarkan Gambar 2. ini dapat dilihat bahwa konsekuensi yang harus dibayar ketika suatu negara menerapkan SSM adalah harga yang lebih tinggi yang harus dihadapi oleh konsumen. Sehingga jika suatu negara petani merupakan net consumer maka penerapan SSM akan berdampak negatif terhadap negara tersebut. 2.3. SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DALAM LITERATUR TERDAHULU Special Safeguard Mechanism (SSM) merupakan isu yang sangat menarik bagi para peneliti di bidang perdagangan internasional. Salah satu penelitian yang fokus pada SSM pada masa awal perkembangannya adalah Ruffer (2002). Pada penelitiannya, Ruffer (2002) dan Vergano mengusulkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memformulasikan SSM. Beberapa hal tersebut diantaranya

adalah: perlunya untuk menghilangkan persyaratan pembuktian terjadinya dampak negatif akibat adanya serbuan impor; penerapan SSM dengan jangka waktu yang pendek; tidak adanya kewajiban untuk memberikan kompensasi bagi negara yang terkena dampak negatif akibat diterapkannya SSM; tidak perlunya persyaratan untuk merubah regulasi nasional untuk menerapkan SSM; penerapan SSM tidak boleh dilakukan bersamaan dengan penerapan hambatan perdagangan yang lain; dan pelaporan penerapan SSM kepada CoA (WTO Committee on Agriculture) dan review secara periodik. Selain itu Ruffer dan Vergano (2002) juga mengusulkan beberapa poin penting yang harus segera disepakati terkait dengan penerapan SSM, yakni: country coverage; product coverage; triggers; safeguard measures; dan timescale. Didalam perkembangannya sebagian besar temuan dan rekomendasi dari penelitian ini digunakan dalam teknis pelaksanaan SSM. Grant dan Meilke (2005) menganalisis dampak penerapan SSM pada komoditas gandum. Penelitian ini berfokus pada stabilitas pasar dan kesejahteraan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah partial equilibrium model untuk sektor gandum dengan memanfaatkan data dari 38 negara dimana 32 negara diantaranya memiliki posisi sebagai net-importer. Grant dan Meilke (2005) mengestimasi dampak dari Mr. Harbinson draft text yang disirkulasikan pada bulan Maret 2003 dan proposal dari Amerika Serikat (Swiss-25) jika kebijakan tersebut diterapkan. Secara umum hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa SSM dapat mengakibatkan distorsi perdagangan namun dalam skala yang tidak tergolong parah. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa penerapan SSM hanya mengakibatkan biaya ekonomi kurang dari 20 persen dari keuntungan yang diperoleh dunia dengan adanya SSM tersebut. Selain itu penelitian ini juga menghasilkan beberapa temuan penting lainnya, yakni: potensi pemanfaatan SSM akan meningkat seiring dengan meningkatnya liberalisasi perdagangan dan jatuhnya harga domestik; Negara yang memiliki pendapatan rendah terancam akan menerima dampak negatif dari penerapan SSM yang ditunjukkan dengan turunnya surplus konsumen; dan kebijakan SSM diprediksi mampu menstabilkan nilai import khususnya pada Negara dengan tingkat pendapatan yang rendah. Sawit et al. (2006) menganalisis penerapan proposal G-33 yang terkait dengan SSM untuk kasus Indonesia. Merujuk pada penerapan fasilitas perlindungan perdagangan yang diterapkan sebelumnya, yakni SSG, Sawit et al. (2006) menunjukkan bahwa fasilitas SSG tersebut tidak sesuai digunakan oleh Indonesia karena: (i) rata-rata harga impor yang dijadikan sebagai harga referensi akan memperkecil peluang Indonesia untuk menggunakan mekanisme SSG dalam melindungi pasar domestik; (ii) parameter atau konstanta yang digunakan dalam

formula SSG dalam menentukan tambahan tariff menghasilkan tambahan tariff yang tidak memadai untuk mengatasi penurunan harga. Selain itu, temuan penting lainnya yang dipaparkan pada Sawit et al. (2006) diantaranya adalah besarnya persentase perubahan volume impor komoditas pertanian jauh lebih fluktuatif dengan rentang yang jauh lebih besar dan persentase yang lebih tinggi; penerapan SSG yang tidak efektif dikarenakan remedy yang dapat diterapkan dalam mekanisme SSG relatif rendah bila dibandingkan dengan bound tariff komoditas pertanian secara umum. Jika proposal SSM dari negara-negara yang tergabung dalam G-33 diterapkan maka dapat ditunjukkan bahwa Indonesia mengalami serbuan impor dan kejatuhan harga pada periode 1996 sampai dengan 2005 untuk komoditas pangan, khususnya pada komoditas beras, jagung, gula, daging sapi, pisang, dan daging unggas. Selama data yang digunakan adalah data bulanan (berdasarkan proposal SSM G-33) maka penerapan SSM jika diperlukan akan dapat dilakukan sesegera mungkin dan masalah keterlambatan penerapan seperti yang dialami pada fasilitas SSG dapat dihindari. Selain itu mekanisme SSM berdasarkan proposal negaranegara G-33 secara teknis jauh lebih mudah dan simple. Terkait dengan adanya berbagai usulan mekanisme SSM dari berbagai pihak, Hutabarat dan Rahmanto (2006) memandang bahwa SSM merupakan fasilitas yang sangat penting untuk terus diperjuangkan oleh Negara berkembang guna melindungi pasar domestik Negara yang bersangkutan. Negara berkembang harus dapat segera merumuskan komponen-komponen dari SSM, yakni yang berkaitan dengan kerangka penerapan SSM dan Instrumen/Alat dalam penerapan SSM. Yang dimaksud dengan kerangka pada hasil penelitian ini mencakup hal-hal yang sebagian telah diungkapkan oleh Ruffer (2002), diantaranya adalah SSM seharusnya tidak dibatasi pada keadaan dan jumlah produk tertentu; mekanismenya haruslah sederhana dan efektif; tidak mensyaratkan pembuktian kerugian; tidak menuntut adanya kompensasi untuk Negara yang menerima dampak negatif akibat penerapan SSM; penggunanya bersifat tetap; dan alat SSM-nya dapat berupa tariff bea masuk yang tinggi dan pembatasan impor. Terkait dengan alat/instrument yang harus dimiliki oleh SSM, Hutabarat dan Rahmanto (2006) menekankan beberapah hal penting, yakni pemicu penerapan SSM dapat berupa peningkatan jumlah impor atau penurunan harga domestik yang terjadi secara tiba-tiba; harga acuan yang dipakai adalah c.i.f dalam mata uang yang digunakan dalam perdagangan; apabila nilai impor lebih besar daripada tren-nya atau harga lebih rendah daripada tren-nya maka pemberlakuan bea masuk tambahan atau pembatasan kuota impor dapat dilakukan. Sharma (2006) membandingkan berbagai alternatif dalam penentuan trigger baik berdasarkan volume ataupun harga. Untuk penentuan trigger berdasarkan

harga dibandingkan beberapa alternatif yakni penggunaan fixed reference prices dengan 3 alternatif harga rata-rata (periode 1992-1994, 1995-2004 dan olympic average pada periode 1986-2004) dan rolling reference prices yakni dengan menggunakan 3 year moving average (MA-3) dan 5 year moving average (MA-5). Sedangkan untuk penentuan trigger dengan berdasarkan volume impor dibandingkan pendekatan 3 year moving average (MA-3), fixed period reference import level pada periode 1992-1994, dan higher of two reference. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa MA-3 dan MA-5 merupakan ukuran yang cukup tepat untuk menentukan trigger yang berdasarkan harga. Diantara kedua pilihan ini, MA-5 terbukti cukup efektif mengatasi penurunan harga komoditas dunia. Selain itu, MA-5 juga akan memberikan remedy yang secara relatif lebih besar dibandingkan MA-3. Sementara itu, 3 alternatif harga rata-rata yang tetap menghasilkan output yang secara relatif kurang bagus dibandingkan moving average. Untuk penentuan trigger berdasarkan volume impor didapatkan hasil yang agak mirip dimana moving average terlihat lebih baik dibandingkan dengan 2 pendekatan lainnya. Montemayor (2008) menganalisis potensi dampak dari draft proposal yang disirkulasikan pada bulan Mei 2008 terhadap kemampuan negara-negara dalam mengakses SSM dan pada kondisi apa SSM tersebut efektif untuk mengatasi gap antara harga barang dunia dan harga barang impor. Pada penelitian tersebut dikembangkan berbagai model simulasi dengan memanfaatkan data bulanan dari 27 komoditas pertanian dari 6 negara berkembang termasuk didalamnya Indonesia untuk periode 2000 sampai dengan 2005. Hasil dari simulasi pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan threshold, penentuan periode berlakunya remedy, dan cross check terbukti memiliki dampak yang relatif lebih besar terhadap tingkat akses negara terhadap SSM dan efektifitas dari SSM tersebut dibandingkan dengan tingkat dari remedy itu sendiri. Hal ini mengimplikasikan bahwa negara berkembang dapat mengurangi fokus negoisasinya tidak lagi kepada tingkat remedy melainkan pada hal-hal lainnya. Diskusi dan perdebatan tentang konsep SSM terus berlanjut dan pada bulan Juli 2008 telah disirkulasikan kembali revisi ketiga atau yang dikenal dengan Chairman Falconer s third modalities text. Isi dari dokumen ini menunjukkan bahwa anggota WTO telah mencapai beberapa konsensus yang terkait dengan hal teknis dari SSM, kecuali yang terkait kemungkinan negara berkembang dalam menerapkan tariff di atas tingkat yang disetujui pada sebelum Putaran Doha. Grant dan Meilke (2008) menganalisis hal tersebut dan melihat dampaknya terhadap negara berkembang. Pada penelitian tersebut diestimasi dampak yang akan diterima oleh

negara berkembang untuk 3 kondisi yang ditunjukkan oleh tiga skenario pada model simulasi. Ketiga skenario tersebut adalah pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli; pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli yang dikombinasikan dengan batasan tariff sesuai kesepakatan anggota WTO sebelum putaran Doha; dan pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli dan dimungkinkannya peningkatan tariff yang lebih besar daripada batasan tariff yang telah disepakati anggota WTO pada sebelum putaran Doha. Hasil dari analisis Grant dan Meilke (2008) menunjukkan bahwa penerapan Paket Juli diprediksi hanya akan mengakibatkan welfare loss yang kecil, khususnya bagi developing dan least developed countries. Selanjutnya jika penerapan Paket Juli tersebut dikombinasikan dengan kebijakan batasan tariff sesuai kesepakatan anggota WTO sebelum putaran Doha maka diprediksi akan mengakibatkan welfare loss perekonomian dunia sebesar US$ 204 juta. Welfare loss akan meningkat sedikit jika Negara berkembang dimungkinkan untuk menerapkan SSM dan dapat meningkatkan tariff yang lebih besar daripada batasan tariff yang telah disepakati anggota WTO pada sebelum putaran Doha. Studi tersebut menunjukkan bahwa penerapan SSM yang disertai mekanisme peningkatan tariff yang melebihi batasan yang telah disepakati pada sebelum putaran Doha hanya akan menimbulkan welfare loss yang kecil, sehingga tidak menjadi hal yang terlalu mengkhawatirkan jika diterapkan. Negara anggota WTO khususnya negara maju seharusnya mempertimbangkan hal tersebut sehingga kesepakatan perdagangan untuk produk pertanian dapat segera tercapai. Selain dari diskusi mengenai metode perhitungan apa yang relatif lebih tepat dalam menghitung trigger SSM, beberapa penelitian menunjukkan berbagai kelemahan dari SSM dalam melindungi kepentingan negara berkembang. Finger (2009) menunjukkan bahwa kebijakan SSM dapat menimbulkan kebijakan yang salah, dimana negara dapat menerapkan SSM pada komoditi yang seharusnya tidak di SSM dan juga sebaliknya dimana komoditi yang seharusnya mendapat SSM justru tidak mendapatkan perlindungan karena statistic masih di bawah trigger yang ditetapkan. Salah satu contoh yang cukup menarik dipaparkan pada penelitian tersebut adalah kasus Indonesia. Jika berdasarkan statistik maka banyak sekali produk yang seharusnya mendapatkan SSM, namun jika itu diterapkan maka akan berdampak negatif terhadap petani domestik dikarenakan tipikal petani Indonesia yang cenderung net-consumer. Keterbatasan lain yang ada pada konsep SSM yang saat ini diajukan adalah jika perhitungan trigger didasarkan pada volume, maka terdapat kemungkinan trigger tersebut menjadi terlalu tinggi dan terlalu telat (South Centre, 2009). Selain itu, South Centre (2009) juga menekankan bahwa remedy

yang diusulkan saat ini masih terlalu rendah dan belum mampu untuk mengatasi serbuan barang impor, baik itu untuk price-based SSM dan volume-based SSM. Hertel et.al (2010) menambahkan kekurangan lain dari SSM yakni kemungkinannya dalam meningkatkan tekanan terhadap volatilitas harga domestik akibat output domestic yang terlalu rendah dan harga yang tinggi dibandingkan dengan fungsi utamanya sebagai stabilator harga. 2.4. Definisi Non Tariff Barrier (NTB) Secara umum definisi hambatan non-tarif atau NTB mengacu pada berbagai intervensi kebijakan selain tarif yang pada akhirnya mempengaruhi dan mendistorsi perdagangan barang, jasa, dan faktor-faktor produksi (Beghin, 2006). Bentuk umum dari NTB dapat berupa aturan perdagangan spesifk di pasar domestik dan kebijakan khusus seperti kuota impor, sukarela pembatasan ekspor (voluntary export restraints), pembatasan intervensi negara-trading, subsidi ekspor, countervailing duty, hambatan teknis perdagangan, kebijakan sanitary dan phytosanitary (SPS), aturan asal, dan skema kebutuhan konten domestik. Dari keberagaman bentuk NTB ini, diskusi yang berkembang dalam literatur pada akhirnya mencoba melakukan klasifikasi atau taksonomi atas jenis-jenis NTB. Taksonomi dari NTB, selain berasal dari jenis spesifik NTB juga termasuk kebijakan makro yang dapat mempengaruhi perdagangan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun penggolongan atau taksonomi NTB yang sempurna atau lengkap, karena suatu NTB seringkali didefinisikan dengan konsep yang tidak dicakup oleh definisi yang sudah ada (Deardorff dan Stern, 1998 dalam Beghin, 2006). 2.5. Taksonomi NTB Deardorff dan Stern (1998) mengusulkan taksonomi NTB terdiri dari lima jenis. Jenis pertama meliputi NTB yang sifatnya kuantitatif dan hambatan yang terkait dengan tipe NTB ini. Contoh praktek NTB yang masuk kategori ini adalah impor kuota dan hambatan administrasinya (perizinan, pelelangan, dan lainnya); batasan ekspor dan larangan impor (ban); pembatasan ekspor sukarela, batas maksimal impor tetapi dikelola oleh eksportir; kontrol devisa yang berdasarkan lisensi; embargo; konten domestik dan persyaratan pencampuran konten yang memaksa penggunaan komponen lokal dalam produk akhir; diskriminatsi perjanjian perdagangan dan aturan asal; dan countertrade, seperti barter dan pembayaran in kind. Jenis kedua mencakup biaya selain tarif dan kebijakan terkait yang dapat mempengaruhi impor. Kategori ini meliputi pungutan yang dibebankan saat harga mencapai batas ambang atau tingkat acuan tertentu; persyaratan deposito awal

pada impor, anti-dumping dan countervailing duty yang dikenakan pada barang masuk yang diduga diekspor "di bawah biaya" atau dengan bantuan subsidi ekspor yang diberikan oleh pemerintah mitra, dan seperti pajak pertambahan nilai yang terkadang secara asimetris dikenakan atas barang impor relatif terhadap barang domestik. Jenis ketiga cakupannya lebih luas, meliputi semua berbagai bentuk kebijakan pemerintah,termasuk kebijakan makro-ekonomi. Kategori misalnya dalam bentuk partisipasi langsung pemerintah dalam perdagangan melalui institusinya dan dukungan negara pada bentuk aktivitas monopoli dan monopsoni; kebijakan pemerintah untuk pengadaan barang dengan preferensi domestik, dan kebijakan yang pro perusahaan dalam negeri yang terkait subsidi dan bantuan. Selain itu, jenis ketiga dari NTB juga mencakup kebijakan makro ekonomi dan nilai tukar, kebijakan persaingan, kebijakan investasi asing langsung; kebijakan perpajakan nasional dan kebijakan jaminan sosial nasional, termasuk kebijakan imigrasi. Dari ilustrasi singkat tentang bentuk-bentuk NTB tersebut dapat dikatakan bahwa definisi NTB pada akhirnya tergantung pada konteks kebijakan yang dilakukan. Dua kategori terakhir terkait dengan prosedur kepabeanan dan administrasi, dan hambatan teknis perdagangan atau technical barriers to trade (TBT), yang menjadi isu sentral dalam taksonomi NTB. Jenis pertama meliputi metode penilaian kepabeanan yang berbeda dengan penilaian impor yang sebenarnya; klasifikasi kepabeanan yang berbeda dari sistem klasifikasi internasional yang sering ditujukan untuk menarik pungutan; dan prosedur customs clearance, seperti pemeriksaan dan dokumentasi yang menciptakan biaya tambahan. Sedangkan hambatan teknis untuk perdagangan atau dikenal sebagai TBT berkaitan dengan kesehatan,sanitasi, perlindungan hewan, dan peraturan lingkungan; standar mutu; keselamatan dan standar industri, kemasan dan peraturan pelabelan dan media lain/peraturan periklanan. Terkait dengan kompleksitas dan keragaman jenis NTB, studi ini memilih fokus dari jenis NTB untuk studi kasus Indonesia pada aspek kategori keempat khususnya terkait dengan hambatan yang sifatnya teknis (TBT). Hal ini didasarkan informasi awal pada kegiatan pra survey lapangan untuk komoditas sektor otomotif, elektronik, pertanian dan kakao yang mengindikasikan dominannya jenis NTB ini pada komoditas fokus dari studi ini. 2.6. Pendekatan Untuk Mengukur NTB

Secara umum dapat dikatakan bahwa mengukur hambatan non tarif bukanlah sesuatu yang mudah. Menurut (Fukao, Kataoka, & Kuno, 2003) terdapat empat metode pengukuran NTB. Pendekatan pertama adalah teknik menghitung perbedaan antara harga impor dan harga domestik yang dikenal price wedge atau price differential. Teknik ini menghitung ukuran NTB sebagai selisih antara kedua harga di setiap tingkat sub agregasi komoditas dan mengurangkan tarif pada komoditas ini dari selisih tersebut. Seperti dikutip dalam Fukao et al. (2003) pendekatan ini pernah dipergunakan untuk mengestimasi besaran NTB di Jepang oleh Sazanami, Urata, dan Kawai (1995), Kataoka dan Kuno (2003), di Korea oleh Kim (1995), di Cina oleh Shuguang et al. (1999), di Uni Eropa oleh Messerlin (2001). Pendekatan ini, meskipun terkesan paling mudah untuk dihitung, memiliki dua kelemahan. Kelemahan pertama adalah terkait dengan kualitas. Komiya and Negishi (1998) dalam Fukao et al. (2003) mengkritisi bahwa ukuran NTB yang didapatkan dengan teknik price differential ini hanya akan valid apabila dipastikan kesamaan kualitas antara barang impor dan barang domestik yang dibandingkan harganya. Apabila kualitas antara kedua barang tidak identik, maka ukuran NTB menjadi kurang bermakna. Kelemahan kedua terkait dengan ketidakmampuan pendekatan ini untuk menangkap pola NTB berupa kebijakan bantuan non-tarif seperti subsidi yang diberikan kepada produksi domestik, serta efek dari margin biaya perdagangan dan biaya transportasi antar negara terkait barang impor. Pada akhirnya, efek NTB yang hendak diukur menjadi bias atau tidak terungkap. Namun, jika dikehendaki teknik ini sebagai alat analisis sebatas untuk identifikasi awal ada atau tidaknya NTB, pendekatan ini masih dapat dipergunakan dengan mengurangkan tarif(jika ada) dalam perbedaan harga tersebut. Tentunya masih dengan asumsi, inklusif atas trading dan transportation cost. Pendekatan kedua, mirip dengan pendekatan pertama yaitu menghitung selisih harga namun dengan mempergunakan perbedaan antara harga domestik dan harga di negara mitra (Jetro, 2000 dalam Fukao et al. 2003). Namun sayangnya terkait dengan harga di negara mitra atau dikenal dengan basis data purchasing power parity (PPP) tidak banyak tersedia. Selain itu, relatif sulit untuk mengisolasi efek perbedaan dari pengaruh biaya distribusi dan margin biaya perdagangan antara negara. Selain itu, dengan pendekatan ini juga sulit untuk memisahkan antara hambatan tarif dan NTB. Pendekatan ketiga adalah pendekatan yang mempergunakan teknik ekonometrika dan memperkiraan besaran NTB melalui gravity model. Dalam pendekatan ini, error yang tidak dapat dijelaskan dalam model diperlakukan sebagai besaran hambatan (tarif dan non-tarif), seperti yang dilakukan oleh Yoon (2001) dan

Harrigan (2003) dalam Fukao et al. (2003). Selain itu ada pertimbangan atas berbagai faktor lain selainntb yang menjelaskan besaran error seperti impor dari luar negeri afiliasi. Selain itu terdapat kritik bahwa estimasi ini sulit dilakukan karena masalah ketersediaan data pada tingkat sub agregat suatu komoditi, sedangkan pada tingkat agragatif sifat NTB akan berbeda-beda sehingga estimasi menjadi tidak lagi valid. 2.7. Estimasi Empiris Model Gravity: Inklusif Border Effect, Tarif Dan NTB Salah satu studi terkini yang mencoba menghitung efek NTB terhadap kinerja perdagangan bilateral dengan basis model graviti untuk efek perbatasan dan perbedaan harga adalah (Chevassus-Lozza, Latouche, & Majkovic, 2007) yang mendasarkan pada pendekatan yang dibuat oleh Anderson dan van Wincoop (2003). Dalam melakukan uji empiris, Chevassus-Lozza, et al.(2007) tidak mempergunakan nilai volume perdagangan sebagai komponen di sebelah kiri model graviti, namun yang dipergunakan adalah koefisien perdagangan bilateral relatif yang diformulasikan sebagai: RI ijk = x ijk Dimana: x ijk m jk x ik Y wk m jk x ik Y wk = nilai nominal ekspor barang k dari i ke j = pengeluaran total negara j untuk komoditas k = total ekspor negara i untuk komoditas k = nilai total perdagangan dunia untuk barang k Adapun definisi persamaan operasional yang dipergunakan oleh Chevassus-Lozza, et al.(2007) yang akan diadopsi dalam studi ini ditunjukkan oleh spesifikasi persamaan berikut. ln(ri ijk ) = α 0 ln P ik + α P 1 lnφ ik + α 2 lnd ij + α 3 B ij + i α 4 T i + i α 5 jk Dimana NTB i + ε ijk P ik P jk = perbandingan harga relatif komoditas k terhadap indeks harga umum di negara j φ ik d ij B ij = indeks CES dari tingkat daya saing negara i di dunia = jarak antara i dan j = efek perbatasan antara i dan j, model ini mengadopsi variabel kesamaan tertentu seperti bahasa dan sejarah koloni dalam bentuk dummy T i = tarif i NTB i = non-tarif i

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama 11 (sebelas) bulan di tahun 2010. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dan selanjutnya hasil pengolahan data sekunder dilakukan verifikasi dengan kegiatan turun lapang. 3.2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian Republik Indonesia untuk 10 komoditi terpilih. Data primer digunakan untuk memberikan gambaran riil tentang bagaimana para pelaku bisnis dan pembuat kebijakan memandang kondisi impor saat ini dan penting atau tidaknya penerapan SSM sebagai salah satu upaya proteksi. Data primer yang dianalisis hanya mencakup kasus kota Medan dan dikumpulkan seiringan dengan kegiatan Focus Group Discussion (FGD). 3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Statistika Deskriptif Metode statistika deskriptif digunakan untuk menggambarkan data yang telah dikumpulkan. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode ini sehingga dapat diperoleh gambaran karakteristik responden dan faktor yang berpengaruh terhadap kemauan lembaga keuangan dalam menyalurkan kredit perumahan. Data dapat disajikan dalam bentuk tabulasi (seperti tabulasi tunggal dan tabulasi silang), charts, dan diagram. Metode tabulasi silang (cross-tabulation) adalah metode statistika yang merangkum data dengan dua atau lebih variabel secara bersamaan. Terkadang metode ini juga menggunakan cara deskriptif sederhana untuk melihat apakah ada hubungan antara dua buah variabel. Tabulasi silang biasanya menggunakan tabel yang di dalamnya terdapat dua atau lebih variabel bebas dan takbebas. Setiap sel pada tabel ini berisi jumlah responden yang memberikan sebuah kombinasi informasi yang lebih spesifik. Oleh karenanya, setiap sel mengandung sebuah tabulasi silang tunggal (single cross-tabulation). Pada intinya, penggunaan metode ini adalah untuk memberikan solusi dari suatu masalah dengan menampilkan kombinasi dari variabel dan menganalisis variabel bebas dan takbebas.

Penggunaan metode tabulasi silang seringkali dijumpai dalam penelitian karena metode ini mudah untuk dimengerti bagi kebanyakan orang yang memiliki keterbatasan pengertian dalam ilmu hitung. Selain itu metode ini juga dapat digunakan untuk berbagai jenis tipe data baik berupa data nominal, ordinal, interval maupun rasio. Dengan demikian, tabulasi silang dapat digunakan jika salah satu variabel bersifat kualitatif dan lainnya kuantitatif ataupun jika keduanya bersifat kualitatif dan sebaliknya. 3.3.2. Statistical Quality Control Statistical Quality Control (SQC) merupakan suatu pendekatan statistik yang digunakan oleh profesional untuk melakukan penilaian dan pemantauan terhadap capaian kualitas dari suatu komoditas dan sekaligus mengidentifikasi permasalahan kualitas dari suatu komoditas dan proses dalam menghasilkan komoditas tersebut. Secara umum, alat statistik yang digunakan dalam SQC adalah descriptive statistics, statistical process control (SPC) dan acceptance sampling. Diantara ketiga alat ini, SPC merupakan pendekatan yang paling sering digunakan karena juga mampu untuk mengidentifikasi perubahan atau variasi dari karakter kualitas suatu produk atau proses produksinya. Analisa terhadap variasi kualitas produk tersebut pada akhirnya akan mampu memberikan informasi tentang ada tidaknya produk yang tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan dan ketidakkonsistenan dari tingkat kualitas berdasarkan data sampel yang digunakan. Atas dasar penjelasan inilah peneliti melihat adanya kesamaan tujuan dari statistical quality control dengan SSM yakni mengidentifikasi ada tidaknya suatu kondisi yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan pendekatan ini diharapkan dapat memberikan suatu komparasi metode perhitungan trigger dari SSM. Selain itu, alasan menggunakan SQC sebagai metode adalah atas dasar kemudahan pengoperasian atau perhitungan yang merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam prasyarat metode yang digunakan dalam perhitungan trigger SSM. Analisa dengan menggunakan SPC selanjutnya akan kita fokuskan kepada penggunaan control chart yakni suatu chart yang mampu menunjukkan apakah sampel yang dianalisis berada pada variasi yang normal atau tidak. Dalam kasus impor, jika data impor tidak berada pada variasi normal maka dapat diasumsikan bahwa pada periode tersebut telah terjadi lonjakan impor. Setiap control chart memiliki batas atas (upper control limit/ucl) dan batas bawah (lower control limit/lcl) yang membatasi wilayah range dari nilai impor yang masih dapat diakomodasi. Gambar 3. memperlihatkan bagaimana gambaran control chart yang akan digunakan dalam penelitian ini.

Gambar 3. Komponen Control Chart Jika merujuk kepada rule of thumb yang sering digunakan, batas bawah dan batas atas yang digunakan adalah ± 3 standar deviasi dari nilai mean. Standar deviasi merupakan suatu ukuran variasi yang diformulasikan sebagai berikut: n i 1 (1) Dimana: x 2 i x n 1 : standar deviasi dari sampel x x i n : rata-rata : observasi ke-i : jumlah observasi dalam sampel Nilai standar deviasi yang kecil menunjukkan bahwa observasi yang dianalisa berada di sekitar nilai rata-rata sampelnya. Jika diasumsikan bahwa data yang digunakan memiliki sebaran normal maka batasan range ini akan menangkap 99.74 persen dari variasi normalnya. Namun jika kita menetapkan bahwa batasan yang digunakan adalah ± 2 standar deviasi, maka control limit tersebut akan menangkap 95.44 persen dari variasi normalnya. Penjelasan dari konsep ini secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Persentase Nilai Sebaran yang Mampu Ditangkap Oleh Cakupan Standar Deviasi yang Berbeda Control chart memiliki tipe yang bermacam-macam, namun yang paling umum digunakan adalah sample mean chart, sample range chart dan proportion defective chart. Sample mean chart digunakan untuk memonitor perubahan dari nilai rata-rata untuk setiap observasi. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam membuat sample mean chart terlebih dahulu, dengan mengikuti rumus: n x xi i 1 (2) adalah dengan menghitung rata-rata dari sampel Setelah didapatkan nilai rata-ratanya maka langkah selanjutnya adalah menentukan batas atas (upper control limit/ucl) dan batas bawah (lower control limit/lcl), yakni UCL x z (3) LCL x z (4) Dimana z merupakan variabel standar normal dengan pilihan nilai 2 untuk 95.44 persen tingkat confidence dan 99.74 persen tingkat confidence. Alternatif lainnya dalam membuat control chart adalah dengan menggunakan range untuk mengestimasi variabilitas dari obsevasinya. Cara perhitungannya hampir mirip dengan persamaan 3.3. dan 3.4. yakni: UCL x AR (5)

LCL x AR (6) Dimana A adalah nilai Z untuk control chart dan R adalah nilai rata-rata Range dari sampel yang digunakan. 3.3.3. Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah Metode pengambilan keputusan dengan cara memecah suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok kelompok, dan mengaturnya kedalam suatu hirarki yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Metode AHP dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan prioritas sebuah permasalahan atau kebijakan. Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat(saaty, 1993). Dengan kata lain, AHP adalah salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang menggunakan presepsi manusia yang dianggap ahli (orang yang mengerti permasalahan yang diajukan atau orang yang mempunyai kepentingan terhadap isu atau permasalahan yang diajukan) sebagai input utamanya. Kelebihan model AHP dibandingkan model pengambilan keputusan lainnya terletak pada kemampuan memecahkan masalah yang multiobjectives dan multicriterias. Dalam konteks NTB, AHP menjadi salah satu instrumen pengganti yang reliable dalam mengidentifikasi jenis atau kategori dari NTB yang dominan dihadapi oleh eksportir komoditas empat sampel. Hal ini dilakukan dengan cara menggali persepsi tingkat pentingnya masing-masing NTB dari para ahli dalam hal ini pemangku kepentingan dari empat komoditas tersebut. Secara praktis, AHP dilakukan dengan membandingkan satu variabel dengan variable lainnya. Misal untuk membandingkan antara A dengan B. Maka penggunaan skala perbandingan yang lazim dipergunakan adalah sebagai berikut: 1. Bila kedua elemen sama penting, misalnya beri nilai 1, artinya bahwa kedua elemen tersebut (A dan B) mempunyai tingkat kepentingan yang sama. 2. Bila elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding yang lain dalam mempengaruhi elemen diatasnya, beri nilai 3, artinya terdapat pertimbangan atau pengalaman yang mendukung bahwa satu elemen dianggap sedikit lebih penting dibanding elemen lainnya. Bila A dianggap sedikit lebih penting, maka dikatakan kesehatan 3 kali lebih penting daripada B. 3. Bila elemen yang satu lebih penting dibanding yang lain, beri nilai 5, artinya terdapat pertimbangan atau pengalaman bahwa satu elemen dianggap lebih

penting dibanding elemen lainnya. Bila A dianggap lebih penting, maka dikatakan A 5 kali lebih penting daripada B. 4. Bila elemen yang satu jelas sangat penting dibanding yang lain, beri nilai 7, artinya terdapat pertimbangan atau pengalaman bahwa satu elemen dianggap jauh lebih penting dibanding elemen lainnya. Bila kesehatan dianggap jauh lebih penting, maka dikatakan A 5 kali lebih penting daripada B. 5. Bila elemen yang satu mutlak lebih penting dibanding yang lain, beri nilai 9, artinya terdapat pertimbangan atau pengalaman bahwa satu elemen dianggap jauh lebih penting dibanding elemen lainnya. Bila kesehatan dianggap mutlak lebih penting, maka dikatakan A 9 kali lebih penting daripada B. Terdapat empat tahapan dalam penggunaan teknik AHP: 1. Mendefinisikan suatu aktivitas yang memerlukan pemilihan dalam pembuatan skala prioritasnya. Dalam hal ini aktivitas tersebut adalah jenis/kategori dari NTB dan bentuk-bantuknya yang ada atau lazim dihadapi oleh ekspor Indonesia ke negara mitra utama yang dijadikan cakupan dalam studi ini. 2. Menentukan kriteria dari pilihan-pilihan tersebut didasarkan pada identitas aktivitas pembuat hirarkinya atau elemen. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan dengan memperhatikan prinsip comparative judgement dalam rangka menyusun prioritas tiap elemen pada tiap hirarki. Matriks ini disusun dalam bentuk bobot relatif yang dinormalkan (normalized relative weight). 4. Melakukan uji konsistensi perbandingan elemen pada tiap hirarki dan dilanjutkan dengan uji konsistensi hirarki. Ilustrasi aplikasi AHP dalam studi ini adalah sebagai berikut. Deardorff dan Stern membagi NTB menjadi 5 kategori. Lima kategori inilah yang akan dipergunakan dalam pembuatan hirarki tingkat pertama dari masalah atau hambatan non-tarif yang dihadapi oleh ekspor Indonesia. Lima hambatan tersebut mencakup kategori seperti yang tercantum dalam gambar berikut. NTB hambatan kuantitatif (Q) biaya selain tarif (C) kebijakan ekonomi makro (MP) administrasi dan kepabeanan (CA) hambatan teknis atau TBT Gambar 5. Hirarki Tingkat Pertama dari NTB

Selanjutnya, masing-masing kategori dari NTB pada tingkat pertama memiliki faktor atau bentuk spesifik dari hambatan non-tarifnya. Mengadopsi dari taksonomi yang sama, elemen dari hirarki tingkat kedua NTB tercantum dalam tabel berikut. Tabel 5. Elemen Dari Hirarki Tingkat Kedua NTB Hirarki Tingkat Pertama Q C MP CA TBT Hirarki Tingkat Kedua Perizinan dan peraturan lelang Kuota ekspor dan larangan impor Pembatasan ekspor sukarela Batasan impor maksimal yang dikelola oleh eksportir Kontrol devisa Embargo Persyaratan konten domestik* Diskriminasi perjanjian* Countertrade* Aturan pembayaran in kind Pungutan atas batas harga Deposito awal Anti-dumping Countervailing duty Penyesuaian border tax Keterlibatan institusi pemerintah dalam perdagangan Pengadaan barang dengan preferensi domestik Kebijakan yang pro perusahaan domestik Penilaian kepabeanan yang berbeda dengan penilaian impor yang sebenarnya Klasifikasi kepabeanan yang berbeda dari sistem klasifikasi internasional yang sering ditujukan untuk menarik pungutan Prosedur customs clearance, seperti pemeriksaan dan dokumentasi yang menciptakan biaya tambahan Kesehatan Sanitasi Perlindungan hewan dan peraturan lingkungan Standar mutu Keselamatan dan standar industri Kemasan dan peraturan pelabelan dan media lain/peraturan periklanan Selanjutnya, contoh comparative judgement untuk kasus ini dengan data ilustratif pada hirarki tingkat pertama adalah sebagai berikut. Tabel 6. Comparative Judgement: Ilustrasi Kriteria Q C MP CA TBT Q 1 5 0,333333 0,25 0,5 C 0,2 1 0,142857 0,125 0,166667 MP 3 7 1 0,5 0,25 CA 4 8 2 1 0,333333 TBT 2 6 4 3 1 Jumlah 10,2 27 7,47619 4,875 2,25

Baris jumlah dipergunakan untuk melakukan normalisasi bobot pada masing-masing kriteria. Dalam hal ini masing-masing nilai perbandingan dihitung sebagai nilai relatif terhadap masing masing jumlah tiap kolom yang selanjutnya disebut normalized relative weight. Hasil perhitungan normalized relative weight disertai nilai rata-rata di tiap baris adalah sebagai berikut. Tabel 7. Hasil Perhitungan Normalized Relative Weight Eigenvektor Kriteria Q C MP CA TBT utama 0,09803 0,18518 0,04458 0,05128 0,22222 Q 9 5 6 2 2 0,120263 C 0,01960 8 0,03703 7 0,01910 8 0,02564 1 0,07407 4 0,035094 MP 0,29411 8 0,25925 9 0,13375 8 0,10256 4 0,11111 1 0,180162 CA 0,39215 7 0,29629 6 0,26751 6 0,20512 8 0,14814 8 0,261849 TBT 0,19607 8 0,22222 2 0,53503 2 0,61538 5 0,44444 4 0,402632 Jumla h 1 1 1 1 1 1 Nilai rata-rata di tiap baris atau disebut eigenvektor utama adalah bobot rasio masing-masing kriteria. Nilai ini menunjukkan justifikasi tingkat kepentingan masingmasing jenis NTB oleh para ahli. Sebagai contoh dari perhitungan ini NTB yang bersifat kuantitatif (Q) memiliki tingkat kepentingan 0,120263/0,402632=0,298692 kali dari TBT atau TBT 3,34793 kali lebih penting dari hambatan kuantitatif. Selanjutnya tingkat kepentingan masing-masing jenis NTB dalam hirarki berikutnya dapat dihitung dengan pola yang sama. 3.3.4. Uji Konsistensi AHP Jika aij mewakili derajat kepentingan faktor iterhadap faktor j dan ajk menyatakankepentingan dari faktor j terhadap faktor k,maka agar keputusan menjadi konsisten,kepentingan dari faktor i terhadap faktor k harus sama dengan aij.ajk atau jika aij.ajk = aik untuk semua i,j,k maka matrix tersebut konsisten.permasalahan di

dalam pengukuran pendapat manusia, konsistensi tidak dapat dipaksakan. Jika A>B (misalnya 2 > 1) dan C>B (misalnya3>1), tidak dapat dipaksakan bahwa C>A dengan angka 6>1 meskipun hal itu konsisten. Pengumpulan pendapat antara satu faktor dengan yang lain adalah bebas satu sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada inkonsistensi jawaban yang diberikan responden. Namun, terlalu banyak inkonsistensi juga tidak diinginkan. Pengulangan wawancara padasejumlah responden yang sama kadang diperlukan apabila derajat tidak konsistennya besar (Teknomo, Siswanto, & Yudhanto, 1999). Saaty telah membuktikan bahwa indek konsistensi dari matrik berordo n dapat diperoleh dengan rumus: CI = λ max n n 1 Dimana CI λ max (7) = indeks konsistensi = nilai egenvektor terbesar dari matriks n x n Apabila CI bernilai nol, berarti matrik konsisten. Batas inkonsistensi yang ditetapkan Saaty diukur dengan menggunakan Rasio Konsistensi(CR), yakni perbandingan indek konsistensi dengan nilai pembangkit random (RI) yang nilainya tergantung pada ordo matriks n x n-nya. 3.3.5. Pendekatan Gravity Model Sesuai uraian pada bagian studi literatur, salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melihat tingkat pengaruh dari NTB terhadap kinerja perdagangan internasional sebuah negara adalah model gravity equation. Pendekatan ini akah diadopsi untuk menjawab tujuan kedua dari studi ini yaitu mengukur tingkat signifikansi peran NTB pada kenierja perdagangan empat produk terpilih yang menjadi cakupan studi ini. Dalam bentuknya yang paling sederhana persamaan graviti menyatakan bahwa perdagangan bilateral antara dua negara adalah proporsional terhadap perkalian dari PDB kedua negara. Dalam hal ini dapat diduga bahwa dua negara dengan kecenderungan ukuran yang besar ditinjau dari ukuran PDB akan semakin tinggi perdagangan satu sama lainnya. Secara empiris persamaan ini membuktikan hipotesis tersebut pada masa awal aplikasi dari model graviti (Feenstra, 2004). Dengan asumsi pertama tidak ada biaya transportasi antar negara dan tarif, secara formal, pendekatan matematis untuk membuktikan pernyataan sederhana dari model graviti, oleh Feenstra dirumuskan sebagai berikut. Indeks i,j=1,2,, N

adalah indeks negara dan k=1,2,, k adalah indeks jenis barang yang homogen dikonsumsi antar negara. Dan dengan asumsi tingkat harga tidak berbeda antar negara karena asumsi pertama, maka besarnya PDB di masing-masing negara sebagai ukuran volume produksi adalah Y i = k i 1 y k dan PDB dunia adalah Y w = N i=1 y i. Asumsi ketiga yang diperlukan untuk menyederhanakan model ini dari kondisi riil adalah tiap negara memproduksi barang yang berbeda. Dengan asumsi ini jika s j = Y j Y w, maka ekspor barang k dari negara i ke j atau impor barang k negara j dari i dapat dirumuskan sebagai: X k ij = s j y k i (8) Sehingga total ekspor atau total impor dengan asumsi keempat bahwa tiaptiap negara berada dalam kondisi trade balance, maka: X ij = X k ij k (9) = s j y k i k = s j Y i = Yj Y i = sj s i Y w = X ji Y w Pada akhirnya intensitas perdagangan antara dua negara adalah: X ij + X ji = 2Yj Y i (10) Y w Salah satu daru tujuan utama dari studi ini adalah melihat pengaruh dari NTB terhadap intensitas perdagangan bilateral antara Indonesia dengan empat mitra utamanya. Untuk itu, asumsi pertama dari model di atas menjadi kurang relevan karena adanya biaya yang muncul baik transport dan efek dari NTB untuk tiap barang k. Dalam melakukan pembebasan situasi perekonomian dari asumsi pertama, Feenstra memulai modifikasi persamaan di atas dengan konsepsi bahwa tingkat kepuasan sebuah negara didefinisikan sebagai: U j ij (σ 1)/σ N = C i (c k ) i=1 (11) k=1 Konsumsi c k ij diasumsikan sebagai konsumsi negara j dari i atas barang k dengan tingkat harga yang sama dengan negara j, yaitu p ij. Harga ini sudah termasuk biaya transport atau berbasis c.i.f. Sementara itu tingkat harga domestik, p i tidak mencakup biaya transport atau berbasis f.o.b. Selanjutnya hubungan antar harga ini dapat diasumsikan sebagai: p ij = T ij p i (12)

Dimana T ij 1 dan T ii = 1. Kedua formulasi ini menjelaskan konsepsi biaya transportasi iceberg yang diperkenalkan oleh Samuelson pada tahun 1952. Esensinya karena adanya biaya transportasi, diperlukan pengiriman sebesar T ij barang ke negara j untuk mendapatkan hasil akhir sebesar 1 unit, sisanya sebesar T ij 1 akan meleleh di sepanjang perjalanan. Dengan asumsi lebih lanjut bahwa ketika harga p ij berlaku untuk semua komoditas k=1,2,, k i, maka didapatkan c k ij = c ij. Yaitu tingkat konsumsi di negara j akan sama dengan tingkat produksi di negara i untuk komoditas k. Dengan demikian, fungsi utilitas dapat dirumuskan sebagai: U j = C i=1 (13) N i (c ij ) (σ 1)/σ Dimana masyarakat menghadapi kendala anggaran: Y j = C i=1 (14) k i p ij c ij Dimana Y j adalah pengeluaran agregat di negara j dengan asumsi neraca perdagangan berimbang. Maksimasi persamaan 7 dengan kendala persamaan 8 akan didapatkan formulasi permintaan c ij sebagai berikut. c ij = (p ij P j ) σ (Y j P j ) (15) Dimana P j = ( C i=1 k i (p ij ) (1 σ) ) 1/(1 σ) adalah indeks harga umum di negara j. Akhirnya, persamaan untuk model graviti yang menunjukkan total ekspor dari i ke j, dapat didefinisikan sebagai: X ij = k i Y j ( pij p j ) 1 σ (16) Di sini terlihat, harga relatif kedua negara yang diekspresikan oleh elemen ketiga daro persamaan 10 menjadi penentu tingkat ekspor i ke j.

IV. ANALISIS KEPENTINGAN INDONESIA DALAM NEGOSIASI SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM 4.1. Kinerja Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Indonesia Mengingat begitu banyaknya komoditas pertanian, maka pada penelitian ini analisis akan difokuskan kepada 10 komoditas pertanian yang merupakan bagian dari Special Product yang diajukan oleh Indonesia, yakni beras, tebu, jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah, susu, teh dan tepung terigu. Komoditas pertanian yang masuk kedalam Special Product haruslah memenuhi beberapa indikator, yakni: proporsi dalam nutrisi/kalori; proporsi produksi terhadap konsumsi dalam negeri; persentase konsumsi dalam negeri terhadap total ekspor; proporsi lahan yang digunakan untuk memproduksi produk; proporsi dalam total tenaga kerja pertanian; proporsi petani berpendapatan rendah dan miskin; proporsi dalam produksi atau pendapatan; besarnya nilai tambah yang diperoleh produk yang bersangkutan; proporsi dalam penerimaan tariff bea masuk pertanian; proporsi dalam total pengeluaran pangan; ada tidaknya subsidi AMS atau Blue Box dari negara eksportir; dan produktivitas per orang atau per hektar. Secara umum, tekanan produk pangan impor terlihat jelas pada neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia. Hanya 3 dari 10 komoditas pertanian yang dianalisis memiliki neraca perdagangan yang positif, yakni kopi, rempah-rempah dan teh. Sementara itu, komoditas pertanian yang cukup vital seperti beras, tebu (termasuk gula) dan kedele memiliki tingkat impor yang sangat besar, dan sempat meningkat sangat drastis pada tahun 2007. Pada tahun tersebut, defisit neraca perdagangan beras meningkat hampir tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya dari 437 ribu ton menjadi 1,4 juta ton. Hal tersebut terjadi karena dibukanya keran impor beras oleh pemerintah guna menekan gejolak harga beras yang semakin meningkat dan untuk menjaga stok beras nasional yang kosong seiring dengan pelaksanaan operasi pasar dan program RASKIN 3. Komoditi tebu dan kedele juga memiliki masalah yang serupa. Sepanjang tahun, defisit neraca perdagangan tebu (gula) dan kedele Indonesia masing-masing tidak pernah kurang dari 1 juta ton guna menutupi kebutuhan konsumsi nasional. Pemerintah memperkirakan konsumsi gula dan kedele nasional masing-masing mencapai 2,7 juta ton 4 dan 2,4 juta ton per tahun 5. Hal tersebut menandakan bahwa 3 http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=beritautama&topik=1&id=1441 4 http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/08/16/brk,20100816-271605,id.html 5 Simatupang et al (2005)

hampir 40 persen dari kebutuhan tebu (gula) nasional dan lebih dari 50 persen kebutuhan kedele nasional dipenuhi dari impor. Ketergantungan yang cukup besar terhadap produk pangan impor juga terjadi pada komoditas lainnya, yakni pada jeruk, susu dan tepung terigu. Meskipun tidak sebesar beras, defisit neraca perdagangan jagung juga perlu mendapatkan perhatian serius. Terkait masalah fluktuasi impor, impor komoditas jagung sempat meningkat sangat signifikan pada tahun 2006 dengan pertumbuhan lebih dari 12 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan kesulitan pengusaha mencari jagung pipilan di pasaran lokal untuk pakan ternak. Pada musim tanam 2005/2006, para petani lebih memilih untuk menanam padi dikarenakan curah hujan yang sangat tinggi 6. Tabel 8. Kinerja Neraca Perdagangan 10 Komoditas Pertanian Terpilih (USD) Beras Tebu Jagung Jeruk Kedele Kopi Rempahrempah Susu Tea Tepung Terigu 2005 2006 2007 2008 2009 Ekspor 42,286,072 959,459 1,613,492 876,502 2,454,798 Impor 189,616,605 438,108,531 1,406,847,570 289,689,411 250,473,149 Nett (147,330,533) (437,149,072) (1,405,234,078) (288,812,909) (248,018,351) Ekspor 1,173,489 1,480,011 479,352 1,692,683 927,180 Impor 1,996,367,719 1,511,001,382 2,972,786,783 1,018,594,437 1,393,226,616 Nett (1,995,194,230) (1,509,521,371) (2,972,307,431) (1,016,901,754) (1,392,299,436) Ekspor 54,008,742 28,073,845 101,739,895 107,001,294 62,575,222 Impor 185,597,289 1,775,320,810 701,953,110 275,603,211 338,797,674 Nett (131,588,547) (1,747,246,965) (600,213,215) (168,601,917) (276,222,452) Ekspor 838,566 458,195 703,374 916,549 538,584 Impor 84,356,502 96,211,140 114,231,957 138,711,997 209,615,233 Nett (83,517,936) (95,752,945) (113,528,583) (137,795,448) (209,076,649) Ekspor 875,574 1,732,370 1,871,649 1,024,898 446,001 Impor 1,086,178,239 1,132,143,509 1,411,588,709 1,169,015,597 1,314,619,698 Nett (1,085,302,665) (1,130,411,139) (1,409,717,060) (1,167,990,699) (1,314,173,697) Ekspor 445,929,794 414,105,384 321,404,023 468,749,533 510,898,385 Impor 3,195,160 6,599,917 49,992,886 7,581,126 14,399,633 Nett 442,734,634 407,505,467 271,411,137 461,168,407 496,498,752 Ekspor 11,779,666 8,921,876 7,684,734 14,670,214 13,098,954 Impor 1,289,785 1,975,962 1,448,754 709,994 1,153,439 Nett 10,489,881 6,945,914 6,235,980 13,960,220 11,945,515 Ekspor 37,798,721 27,354,669 21,965,851 44,226,283 30,348,519 Impor 172,842,482 187,176,494 197,228,336 174,026,950 170,002,893 Nett (135,043,761) (159,821,825) (175,262,485) (129,800,667) (139,654,374) Ekspor 102,293,988 95,338,934 83,658,624 96,209,628 92,304,141 Impor 5,477,713 5,293,541 8,694,629 6,625,264 7,168,678 Nett 96,816,275 90,045,393 74,963,995 89,584,364 85,135,463 Ekspor 63,751,853 47,954,212 48,265,428 15,776,965 20,363,167 Impor 483,138,356 542,308,511 587,289,109 534,877,133 651,764,794 Nett (419,386,503) (494,354,299) (539,023,681) (519,100,168) (631,401,627) Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu 6 Pernyataan Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Soetarto Ali Moesa pada lokakarya nasional di Pontianak tahun 2006 dan dimuat di http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment/clips/2006-08- 10-114-0009-001-03-0899.pdf

Seperti yang diungkapkan sebelumnya, 3 komoditi memiliki neraca perdagangan yang positif, yakni kopi, rempah-rempah, dan teh. Jika dilihat secara lebih detail (HS yang lebih detail), jenis komoditi kopi yang paling banyak diimpor dan diekspor berada pada HS yang sama, yakni kopi robusta dan arabika yang belum diolah. Kondisi ini sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia yang menyukai kopi impor yang biasanya dikonsumsi langsung di restoran kopi seperti Star Bucks dan Gloria Jeans. Hal yang serupa juga terjadi pada komoditas teh, dimana teh hijau merupakan komoditi teh yang paling banyak diekspor dan juga diimpor. Sementara itu, untuk rempah-rempah, jahe merupakan komoditi yang paling banyak diimpor, sedangkan jenis komoditi yang paling banyak diekspor adalah other spices. Struktur ekspor dan impor pada komoditas kopi dan teh merupakan kondisi yang sangat menarik mengingat jenis komoditas yang sama baik untuk ekspor dan impor. Karakter konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produk impor dibandingkan dengan produk lokal merupakan hal yang umum terjadi tidak hanya pada komoditas kopi dan teh. Pilihan konsumsi yang bias pada produk impor umumnya terjadi untuk masyarakat yang berpendapatan menengah dan tinggi dan bukan atas dasar perbedaan kualitas melainkan lebih kepada faktor gengsi. Oleh karena itu, khusus untuk dua komoditas tersebut, pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada sisi suplainya saja melainkan juga pada sisi demandnya. Maksudnya disini adalah bahwa penting bagi pemerintah untuk melakukan promosi dan pengembangan produk lebih lanjut dari produk kopi dan teh lokal agar mampu bersaing dengan produk impor. 4.2. Faktor Seasonal dan Trend Pada Impor Komoditi Pertanian Indonesia Berdasarkan pemaparan sebelumnya telah dipaparkan bahwa ada kalanya impor produk pangan merupakan hal yang tidak terelakkan lagi. Oleh karena itu menjadi hal yang cukup penting untuk mengetahui apakah impor 10 komoditas pangan Indonesia dipengaruhi oleh faktor trend atau seasonal atau bahkan keduanya. Guna menjawab pertanyaan tersebut maka digunakan pendekatan parametrik dan non parametrik yang merupakan bagian dari prosedur X12 ARIMA untuk melakukan seasonality test. Selain itu juga akan dilakukan moving seasonality test guna melihat variasi komponen seasonal dari tahun ke tahun. Data yang digunakan adalah data nilai impor bulanan untuk 10 komoditas pertanian yang telah dikoreksi dengan Indeks Harga Perdagangan Besar Impor. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh harga terhadap fluktuasi impor.

Tabel 9menunjukkan bahwa kesepuluh komoditas pertanian memiliki faktor seasonal khususnya moving seasonality. Hal tersebut mengartikan bahwa ada periode (bulan) tertentu dimana impor cenderung besar dibandingkan dengan bulanbulan lainnya selama beberapa tahun yang dianalisis. Hal ini semakin memperkuat indikasi adanya kebutuhan akan impor produk pertanian yang tak terelakkan pada periode-periode tertentu. Untuk itu penting untuk dipertimbangkan akan analisa lebih lanjut, khususnya yang terkait dengan identifikasi periode yang memiliki tren peningkatan impor yang tinggi dan faktor-faktor yang menjadi menimbulkan hal tersebut sebagai salah satu tindakan antisipatif terhadap serbuan impor di masa yang akan datang. Tabel 9. Seasonality Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih KOMODITAS Nonparametric Test for the Test for the presence of Presence of Seasonality seasonality assuming stability Assuming Stability Beras No evidence of stable seasonality at Seasonality present at the one the 0.1 per cent level percent level Tebu Seasonality present at the 0.1 per Seasonality present at the one cent level percent level Jagung Seasonality present at the 0.1 per Seasonality present at the one cent level percent level Jeruk Seasonality present at the 0.1 per Seasonality present at the one cent level percent level Kedele No evidence of stable seasonality at No evidence of seasonality at the 0.1 per cent level the one percent level Kopi No evidence of stable seasonality at No evidence of seasonality at the 0.1 per cent level the one percent level Rempah-rempah No evidence of stable seasonality at No evidence of seasonality at the 0.1 per cent level the one percent level Susu No evidence of stable seasonality at No evidence of seasonality at the 0.1 per cent level the one percent level Teh No evidence of stable seasonality at No evidence of seasonality at the 0.1 per cent level the one percent level Tepung terigu No evidence of stable seasonality at Seasonality present at the one the 0.1 per cent level percent level Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu Moving Seasonality Test Moving seasonality present at the one percent level Moving seasonality present at the one percent level Moving seasonality present at the one percent level Moving seasonality present at the one percent level Moving seasonality present at the one percent level Moving seasonality present at the one percent level Moving seasonality present at the one percent level Moving seasonality present at the one percent level Moving seasonality present at the one percent level Moving seasonality present at the one percent level Selanjutnya, terkait dengan trend maka pendekatan yang digunakan adalah Mann-Kendall trend test. Pendekatan ini dipilih karena sebaran dari sepuluh komoditi yang dianalisa tidak mengikuti sebaran normal. Berdasarkan Onoz (2002), Mann- Kendall trend test merupakan metode yang relatif lebih baik dibandingkan dengan t- test untuk data yang tidak memiliki sebaran normal. Hasil analisa menunjukkan bahwa faktor trend hanya terjadi pada beberapa komoditi, yakni: tepung terigu, teh,

susu, kopi, kedele, dan jeruk. Sementara itu, khusus untuk produk beras, tebu, jagung, dan rempah-rempah, hasil menunjukkan tidak adanya faktor trend. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa penerapan SSM khusus untuk komoditi tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk harus sangat hati-hati mengingat selain faktor seasonal, trend juga menjadi salah satu faktor yang penting dipertimbangkan. Atau dengan kata lain, impor komoditi tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk cenderung memiliki tren yang cenderung meningkat dan terdapat periode tertentu dimana tingkat impornya cenderung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode-periode lainnya. Tabel 10. Trend Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih Komoditi Kendall's tau p-value (Two-tailed) Beras -0.046 0.306 Tebu 0.075 0.093 Jagung -0.026 0.560 Jeruk 0.266 < 0.0001 Kedele -0.274 < 0.0001 Kopi 0.279 < 0.0001 Rempah-rempah 0.026 0.554 Susu 0.510 < 0.0001 Teh 0.363 < 0.0001 Tepung terigu 0.500 < 0.0001 Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu 4.3. Penerapan Control Chart Pada Impor Komoditi Pertanian Indonesia Setelah kita identifikasi ada tidaknya faktor seasonal dan trend maka pertanyaan selanjutnya yang perlu kita jawab adalah seberapa besar lonjakan impor yang masih dapat ditolerir oleh Indonesia. Maksud dapat ditolerir disini sifatnya adalah relatif tidak begitu menekan konsumen maupun produsen (yang menggunakan produk impor sebagai bahan bakunya) meskipun dampak negatifnya terhadap produk lokal tetap tidak bisa dihindarkan. Guna menjawab pertanyaan tersebut, pendekatan yang digunakan adalah metode Control Chart. Control Chart merupakan sebuah metode statistik yang umum digunakan dalam menilai atau menerapkan proses Quality Control di sebuah pabrik. Dalam produksi suatu barang, ada kemungkinan produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang sedikit menyimpang dari yang sudah ditetapkan. Dengan Control Chart

maka dapat ditentukan mana produk yang masih bisa ditolerir tidak terlalu menyimpang dari standar yang ditetapkan. Dengan konsep yang sama, maka kita juga dapat menentukan berapa besar batas toleransi peningkatan import yang masih dapat ditolerir oleh Indonesia. Konsep Control Quality import pada dasarnya adalah menetapkan batas atas sama dengan 3 kali standar deviasi dari rata-rata importnya. Tabel 1 menampilkan lonjakan rata-rata dan batas atas dari import dengan menggunakan dua macam perhitungan, yakni dengan menggunakan semua observasi atau dengan olympic (menghilangkan data yang terbesar dan terkecil). Tabel 11. Penerapan Konsep Control Chart Pada 10 Komoditas Pertanian Product Import 2009 All Observations Olympic Method WTO Lonjakan Rata- % Upper Lonjakan Rata- % Upper Upper limit Upper limit Rata limit Rata limit 10% 20% 40% Beras 250,473,149 54,554,185 678,609,608 171% 83,171,712 575,605,499 130% 275,520,464 300,567,779 350,662,409 Tebu 1,393,226,616 300,114,388 2,678,738,550 92% 267,349,780 2,435,581,245 75% 1,532,549,278 1,671,871,939 1,950,517,262 Jagung 338,797,674 203,929,628 1,267,243,302 274% 216,996,614 1,089,774,508 222% 372,677,441 406,557,209 474,316,744 Jeruk 209,615,233 27,761,244 211,909,097 1% 18,839,032 172,902,128-18% 230,576,756 251,538,280 293,461,326 Kedele 1,314,619,698 158,153,299 1,697,169,046 29% 80,884,836 1,447,914,108 10% 1,446,081,668 1,577,543,638 1,840,467,577 Kopi 14,399,633 21,282,800 80,202,144 457% 3,457,321 19,898,855 38% 15,839,596 17,279,560 20,159,486 Rempah-rempah 1,153,439 530,937 2,908,399 152% 201,367 1,901,427 65% 1,268,783 1,384,127 1,614,815 Susu 170,002,893 11,438,674 214,571,453 26% 12,182,427 214,562,591 26% 187,003,182 204,003,472 238,004,050 Tea 7,168,678 1,373,679 10,773,002 50% 749,541 8,672,509 21% 7,885,546 8,602,414 10,036,149 Tepung Terigu 651,764,794 60,605,139 741,690,999 14% 43,170,467 684,336,319 5% 716,941,273 782,117,753 912,470,712 Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu Secara umum dapat dilihat bahwa untuk komoditas beras, tebu, jagung, kopi, rempah-rempah, dan teh cenderung memiliki nilai upper limit yang cukup tinggi dan bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemungkinan besaran yang ditetapkan oleh WTO. Jika kita menggunakan metode olympic, maka komoditi seperti beras, tebu, jagung, dan rempah-rempah masih memiliki nilai upper limit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan semua kemungkinan besaran yang ditetapkan oleh WTO. Hal tersebut mengartikan bahwa khusus untuk komoditas-komoditas tersebut semua pilihan konsep trigger yang mungkin ditetapkan dalam negoisasi SSM di WTO masih berada dalam batas toleransi Indonesia. Jika kita analisa lebih detail untuk masing-masing komoditas maka dapat kita tunjukkan beberapa temuan yang menarik. Pertama, komoditas beras, tebu dan jagung cenderung tetap memiliki nilai upper limit yang tinggi baik dengan

menggunakan semua observasi atau dengan metode olimpic. Hal tersebut mengartikan bahwa data impor tahunan ketiga komoditas tersebut cenderung berfluktuasi dan besar impor pada tahun 2009 jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun lainnya. Jika berbicara tentang proyeksi impor di masa yang akan datang, maka terdapat indikasi bahwa besar kemungkinannya terjadi lonjakan impor di masa yang akan datang. Kedua, komoditas kopi dan rempah-rempah memiliki feature yang sangat menarik dimana ketika menggunakan semua observasi nilai upper limitnya sangat besar, namun ketika digunakan olympic method nilai upper limitnya menurun sangat signifikan. Hal ini menandakan bahwa pada komoditas tersebut terdapat tingkat impor yang sangat rendah atau sangat tinggi sekali pada periode tertentu, namun kondisi tersebut tidak berulang. Hal ini mengartikan bahwa lonjakan impor pada kedua komoditas tersebut hanya terjadi sesekali karena kasus tertentu dan kecil kemungkinannya akan terjadi kembali di periode yang akan datang kecuali terjadi kasus khusus. Ketiga, khusus untuk komoditas jeruk, pemerintah sangat perlu berhati-hati karena dengan konsep Quality Chart maka batas toleransi yang dimiliki hanyalah 1 persen dari total impor 2009. Hal tersebut terjadi karena impor jeruk yang cenderung stabil dari tahun ke tahun dan baru meningkat drastis pada tahun 2009 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Keempat, besaran trigger 40 persen untuk komoditas kedele dan susu tergolong di atas batas yang bisa ditolerir, atau dengan kata lain besaran trigger yang tepat (berdasarkan opsi yang berkembang saat ini) untuk kedua komoditas tersebut adalah maksimum 20 persen. Hal yang sedikit berbeda adalah pada tepung terigu, dimana pilihan trigger terbaik adalah 10 persen, lebih dari itu maka tergolong besaran yang tidak dapat ditolerir. 4.4. Tanggapan Masyarakat terhadap Fluktuasi Impor untuk Studi Kasus Medan dan Bandung Untuk melengkapi analisa data sekunder, kami juga melakukan pengumpulan data primer guna mendapatkan gambaran yang lebih riil tentang permasalahan lonjakan impor di Indonesia. Narasumber yang digunakan sebagai responden adalah seluruh stakeholder yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan impor, diantaranya adalah pengusaha, policy maker, dan akademisi. Studi kasus yang digunakan adalah kota Medan, mengingat salah satu pintu masuk barang impor ke Indonesia adalah melalui pelabuhan Belawan. Mengingat data yang dikumpulkan hanyalah mencakup kota Medan dan dilakukan beriringan dengan FGD yang mana hanya melibatkan sedikit responden, maka kita sangat perlu hati-hati menarik

kesimpulan dari hasil analisa data primer tersebut. Kasus Medan tidak dapat secara langsung digeneralisir menjadi permasalahan yang dihadapi nasional, namun tetap dapat dijadikan sebagai acuan tentang permasalahan yang dihadapi oleh perekonomian nasional. Secara umum seluruh responden menyatakan bahwa terdapat ancaman produk pertanian impor terhadap produk pertanian lokal. Hal tersebut terlihat pada Gambar 6 yang menunjukkan bahwa 62 persen responden menyatakan bahwa ancamannya cukup besar dan 38 persen lainnya menyatakan bahwa ancaman produk impor tersebut sangat besar. Hal tersebut sangatlah wajar mengingat jenis produk yang cukup banyak diimpor adalah produk yang juga dapat diproduksi di dalam negeri, sebagaimana yang telah ditunjukkan pada pembahasan sebelumnya tentang kinerja ekspor dan impor khususnya pada produk kopi dan teh. 0% 0% 62% 38% Gambar 6. Ancaman Produk Pertanian Impor terhadap Produk Pertanian Lokal Terkait dengan faktor yang mengakibatkan timbulnya ancaman dari produk pertanian impor tersebut, sebagian besar responden menyatakan bahwa keunggulan utama produk impor tersebut adalah dari faktor harganya. Gambar 7 menunjukkan bahwa 52 persen responden yang menyatakan bahwa factor harga yang lebih murah yang mengakibatkan lebih menariknya produk impor. Selain itu, 30 persen responden menyatakan bahwa kualitas produk pertanian impor lebih bagus dibandingkan dengan produk lokal. Hal yang cukup menarik adalah terdapat 18 persen responden yang menyebutkan faktor lainnya sebagai penyebab produk impor lebih diminati, diantaranya adalah produk yang sangat menarik, promosi yang bagus, daya tahan barang yang lebih baik dan sikap import-minded dari konsumen Indonesia. Faktor yang terakhir disebutkan merupakan hal yang perlu disikapi dengan serius mengingat kualitas dan daya tahan produk dapat kita tingkatkan dengan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), namun jika prilaku konsumen

yang lebih import-minded merupakan faktor utama maka dibutuhkan sosialisasi dan gerakan cinta produk nasional yang lebih intensif. 18% 30% 52% Harga Lebih Murah Kualitas lebih bagus Lainnya Gambar 7. Alasan Yang Mengakibatkan Produk Pertanian Impor Menjadi Ancaman Bagi Produk Lokal Salah satu tindakan cepat yang dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan produk impor adalah dengan menerapkan proteksi perdagangan yang lebih ketat. Hasil survey menunjukkan bahwa 85 persen responden setuju penerapan proteksi perdagangan yang lebih ketat khususnya kepada produk pertanian yang mengalami lonjakan impor. Alasan utama perlunya penerapan proteksi yang diungkapkan oleh responden adalah untuk melindungi petani lokal dan pasar domestik. Sementara itu 15 persen responden menyatakan tidak setuju dengan proteksi dengan alasan yang sangat masuk akal, yakni kemungkinan diberlakukannya proteksi yang sama dari negara partner dagang kita yang selanjutnya juga akan berdampak negative terhadap Indonesia. Salah satu usulan yang disampaikan adalah perlunya upaya penguatan pertanian domestik khususnya dalam segi produksi untuk menjamin kualitas dan pencapaian economies of scale dan economies of scope guna tercapainya harga jual yang terjangkau dan bersaing. 15% 85% Proteksi Tidak Proteksi

Gambar 8. Upaya Menekan Laju Impor Produk Pertanian Hal penting selanjutnya untuk dianalisa adalah mengetahui seberapa besar peningkatan impor (lonjakan impor) yang dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap produk lokal. Hasil survey menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa peningkatan impor sebesar 20 persen sudah dapat dikategorikan sebagai serbuan produk impor yang perlu segera ditanggapi pemerintah. 38 persen lainnya memilih persentase peningkatan impor yang lebih tinggi yakni, 25 persen hingga 40 persen dan hanya 15 persen yang memilih 10 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa para responden tidak terlalu antipasti terhadap produk impor mengingat memang sebagian besar dari produk impor tersebut merupakan produk penting yang dibutuhkan oleh masyarakat. 15% 15% 15% 10 persen 20 persen 8% 47% 25 persen 30 persen 40 persen Gambar 9. Besaran Peningkatan Impor Yang Dapat Dikategorikan Sebagai Serbuan Impor Tabel 12. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan SSM Faktor yang perlu dipertimbangkan Persentase Volume Impor yang Tinggi 92% Harga Komoditas yang Jatuh 92% Daya Beli Petani 69% Faktor Musiman 38% Tingkat Produksi Domestik 69%