I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

ANALISIS PRODUKSI DAN DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN AGAM PROVINSI SUMATERA BARAT IDA INDRAYANI

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

Bab 4 P E T E R N A K A N

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam

I. PENDAHULUAN. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian adalah suatu proses perubahan sosial. Hal tersebut tidak

BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

BAB I PENDAHULUAN. penyedia protein, energi, vitamin, dan mineral semakin meningkat seiring

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Lingkungan Eksternal Penggemukan Sapi. diprediksi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. Kontribusi sektor pertanian cukup besar bagi masyarakat Indonesia, karena

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Kemajuan pembangunan nasional tidak terlepas dari peran bidang peternakan.

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PETERNAKAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT*)

BAB I PENDAHULUAN. saling mempengaruhi suatu negara dengan negara lain serta lalu lintas barang dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 PROSPEK KERJASAMA PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

PENGANTAR. Latar Belakang. Peternakan merupakan salah satu subsektor yang berperan penting dalam

I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGANTAR. guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

KARYA ILMIAH PELUANG USAHA PETERNAKAN SAPI

DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 2007

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat.

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

I. PENDAHULUAN. merupakan salah satu usaha peternakan yang banyak dilakukan oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

PENDAHULUAN. Latar Belakang. subsektor peternakan. Suatu negara dapat dikatakan sistem

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan tidak sekedar di tunjukan oleh prestasi pertumbuhan ekonomi. perekonomian kearah yang lebih baik. (Mudrajad,2006:45)

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN IMPOR SAPI TERHADAP PERKEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI DI NTB

I. PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang

I. PENDAHULUAN. tani, juga merupakan salah satu faktor penting yang mengkondisikan. oleh pendapatan rumah tangga yang dimiliki, terutama bagi yang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang,

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan perolehan devisa, tetapi juga dapat dilihat secara lebih komprehensif, antara lain sebagai penyediaan pangan masyarakat sehingga mampu berperan secara strategis dalam penciptaan ketahanan pangan nasional (food security) dan dapat menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk substitusi impor (Daryanto, 2009) Tujuan pembangunan pertanian diantaranya adalah : (1) meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas, efisiensi usaha dan perbaikan sistem pemasaran, (2) meningkatkan produksi pangan sumber protein guna mendorong peningkatan gizi masyarakat, (3) mendorong terciptanya kesempatan kerja di pedesaan dengan pendapatan yang layak melalui pengembangan sistem agribisnis, dan (4) menyediakan bahan baku industri dan meningkatkan ekspor komoditi pertanian dengan mengembangkan komoditi unggulan terutama pada kawasan-kawasan sentra produksi pertanian yang prospektif untuk dikembangkan. Salah satu agenda penting pembangunan ekonomi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang terkait dengan pembangunan pertanian adalah revitalisasi pertanian yang antara lain

2 diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan asal ternak, meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, serta meningkatkan produksi dan ekspor komoditi pertanian (Departemen Pertanian, 2006). Perkembangan hingga saat ini menunjukkan pencapaian yang cukup memuaskan, diantaranya : (1) dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi tinggi terutama didorong oleh sektor pertanian, dimana pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian selama 2005-2009 rata-rata 3.30 persen, (2) produksi pangan selama RPJMN 2005-2009 meningkat tajam, disertai ketahanan pangan yang memperlihatkan kecenderungan membaik, yaitu ketersediaan energi selama 2005-2008 meningkat 2,60 persen per tahun dan ketersediaan protein meningkat 2.70 persen per tahun, (3) jumlah penduduk miskin berkurang, dimana tahun 2005 sebesar 15.79 persen dan tahun 2009 menjadi 14.15 persen (Kementerian Pertanian, 2009). Pembangunan pertanian perlu terus dikembangkan agar mengarah pada terciptanya pertanian yang efisien, memiliki daya saing, serta mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup para petani pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Subsektor peternakan berpotensi dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian. Beberapa peluang dalam pengembangan sektor peternakan adalah jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat, kondisi geografis dan sumberdaya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan, serta pemanfaatan diversifikasi produk peternakan. Hal ini ditandai selama periode 2000-2006 subsektor peternakan tumbuh rata-rata 3.63

3 persen per tahun lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sektor pertanian yaitu sebesar 2.66 persen per tahun (Ilham, 2007). Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, serta merupakan komoditas ekonomi yang mempunyai nilai sangat strategis. Untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia terutama berasal dari daging unggas, daging sapi, daging kerbau serta daging kambing dan domba. Secara nasional, konsumsi daging sapi di Indonesia setiap tahun selalu meningkat, sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani. Peningkatan konsumsi daging sapi belum dapat diimbangi dengan produksi daging sapi yang memadai, baik dari segi mutu maupun jumlahnya, sehingga terjadi kesenjangan yang semakin besar antara permintaan dan penawaran daging sapi. Hal ini memaksa pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan impor daging sapi. Tabel 1. Neraca Komoditas Daging Nasional Tahun 2007-2008 No Komoditi 2007 (ribu ton) 2008 (ribu ton) Produksi Konsumsi Produksi Konsumsi 1. Daging Sapi 339.5 453.8 352.4 395.0 2. Daging kambing 34.5 35.1 37.6 38.2 3. Daging Ayam 683.3 687.8 716.3 720.7 4. Daging Babi 138.6 140.2 144.5 146.2 Total 1 195.9 1 316.9 1 250.8 1 300.6 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2009a Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi daging pada periode 2007-2008 tidak diimbangi oleh produksi dalam negeri, terutama untuk daging sapi. Produksi daging sapi periode 2005-2008 cenderung mengalami penurunan, sedangkan konsumsi daging sapi mengalami peningkatan. Pertumbuhan produksi daging sapi tahun 2005-2008 mengalami penurunan rata-rata sebesar 0.08 persen per tahun,

4 sedangkan pertumbuhan kebutuhan daging sapi rata-rata naik 5.47 persen per tahun, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi dan Tingkat Swasembada Daging Sapi di Indonesia Tahun 2005 2008 Tahun Produksi (ton) Kebutuhan (ton) Tingkat Swasembada (%) 2005 358 704 378 930 94.66 2006 395 843 399 660 99.04 2007 339 480 421 520 80.54 2008 352 413 444 580 79.27 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2009a Jika kesenjangan antara produksi dan konsumsi daging sapi tidak diantisipasi dengan upaya terobosan dalam peningkatan produksi di dalam negeri akan menyebabkan Indonesia akan selalu bergantung pada pasokan impor dan menjadi target potensial pemasaran ternak sapi dan produk-produk turunannya bagi negara produsen utama (FAO, 1999). Tabel 3 menunjukkan perkembangan perdagangan ternak dan daging sapi Indonesia tahun 2003-2007. Tabel 3. Perkembangan Perdagangan Daging dan Ternak Sapi di Indonesia Tahun 2003-2007. Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Laju (%) Volume Daging sapi (ton) Impor Ekspor Neraca Nilai Daging Sapi (USD 1000) Impor Ekspor Neraca Impor Ternak Sapi (ekor) Sapi Bibit Sapi Bakalan Jumlah Nilai Impor Ternak Sapi (USD 1000) Sapi Bibit Sapi Bakalan Jumlah 10 671 111 (10 560) 18 566 450 (18 116) 5 800 208 800 214 600 2 843 66 544 69 387 11 772 19 (11 753) 27 113 126 (26 987) 4 200 235 800 240 000 2 292 88 989 91 281 21 485 98 (21 387) 43 646 113 (43 533) 4 600 256 200 260 800 1 922 107 731 109 653 25 949 14 (25 935) 49 077 24 49 101 6 200 265 700 271 900 2 545 108 597 111 142 39 400 52 (39 348) 92 847 36 (92 811) 100 414 200 414 300 15 217 720 217 735 41.36 68.59 41.56 52.16-27.77 53.02-81.68 20.30 19.28-25.62 39.02 37.24

5 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2008 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2009 Tabel 3 menunjukkan bahwa impor daging sapi dan sapi bakalan mengalami peningkatan tiap tahunnya, yaitu rata-rata 20.30 persen per tahun dan 41.36 persen per tahun. Hal ini merupakan ancaman bagi produsen daging sapi nasional, apalagi dengan diberlakukannya perdagangan bebas (Free Trade Area/FTA) dan kesepakatan di bidang Pertanian (Agreement on Agriculture, AoA), yang merupakan bagian dari Kesepakatan Umum di bidang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade, GATT). Produk-produk peternakan Indonesia akan bersaing dengan produk-produk sejenis asal luar negeri, terutama untuk komoditi daging. Harga sapi impor yang jauh lebih murah, akan membuat para peternak rakyat harus mengkondisikan harga jualnya menjadi lebih mengimbangi murahnya harga jual sapi impor. Hal ini akan menempatkan peternak sapi potong yang umumnya peternak kecil pada posisi yang semakin sulit, sehingga mengancam kelangsungan usaha peternakan sapi potong dalam negeri. Intensitas perdagangan internasional (ekspor maupun impor) yang semakin meningkat, menjadikan produktivitas, efisiensi dan daya saing semakin penting untuk diperhatikan. Indonesia tidak akan mampu menang dalam persaingan global, baik di pasar internasional maupun di pasar domestik tanpa membangun ketiga hal tersebut. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan berbagai program dalam rangka pemenuhan kebutuhan daging dalam negeri. Program swasembada daging sapi sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 59/ Permentan/HK.060/8/2007 tentang Pedoman Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) adalah bagian tak terpisahkan dari program

6 Revitalisasi Pertanian yang dicanangkan pada tahun 2005. Targetnya, memenuhi kebutuhan minimal protein hewani asal daging 10.10 kilogram per kapita per tahun, yang saat ini baru dicapai sekitar 8.00 kg per kapita per tahun. Kontribusi daging sapi tahun 2007 baru mencapai 1.84 kg per kapita per tahun. Dari program tersebut diharapkan kontribusi daging sapi akan mencapai sekitar 2.00 kg per kapita per tahun pada 2010 (Busyairi, 2009). Sasaran yang akan dicapai adalah mengurangi ketergantungan impor daging maupun sapi potong, yang dalam lima tahun dapat mencukupi sebagian besar kebutuhan daging domestik. Solusi jangka pendek terhadap masalah daging sapi kita saat ini adalah meningkatkan kemampuan dalam negeri untuk memasok daging sapi secara lebih kompetitif. Suplai daging sapi dalam negeri bisa lebih kompetitif jika daya saingnya dapat ditingkatkan. Daya saing sangat terkait dengan ketersediaan dan penggunaan input produksi yaitu ketersediaan pakan, penggunaan bibit unggul, manajemen dan kesehatan hewan, serta inovasi teknologi dan faktor-faktor eksternal lainnya. Tersedianya sumberdaya lokal dan teknologi serta adanya dukungan pemerintah diharapkan dapat dijadikan peluang untuk pengembangan usaha ternak sapi dalam negeri. Populasi sapi sebagian besar disumbangkan oleh daerah sentra produksi seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Aceh. Namun dalam rangka peningkatan populasi yang lebih besar, perlu diperhatikan daerah-daerah lain, yang juga merupakan daerah potensial pengembangan sapi potong seperti Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung.

7 1.2. Perumusan Masalah Pemberlakuan pasar bebas (Free Trade Area/FTA) terutama Persetujuan ASEAN-Australia New Zealand Free Trade Area (AANZ-FTA) menuntut setiap daerah untuk dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kualitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk impor serta menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing. Kondisi ini terutama akan berpengaruh pada usaha peternakan sapi, dimana selama ini impor daging sapi terutama berasal dari Australia dan New Zealand. Dengan adanya kerjasama AANZ-FTA ini akan ada penurunan sejumlah tarif, dimana untuk daging sapi yang saat ini sebesar 5 persen akan diturunkan secara bertahap hingga tahun 2020 akan menjadi nol persen. Akibatnya produk sapi impor akan sepenuhnya bebas masuk ke pasar dalam negeri dengan harga yang lebih rendah. Sejalan dengan hal tersebut, maka percepatan pembangunan usaha peternakan sapi potong harus dikembangkan pada daerah-daerah yang memiliki basis usaha komoditi unggulannya adalah sapi potong. Sumatera Barat menjadikan sapi potong sebagai salah satu komoditas unggulan. Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat menunjukkan penurunan, dimana rata-rata pertumbuhan ternak sapi dalam lima tahun terakhir menurun sebesar 4.55 persen per tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang dipotong meningkat sebesar 7.85 persen per tahun. Rendahnya tingkat produksi dan produktivitas ternak sapi potong disebabkan masih rendahnya tingkat kelahiran (angka kelahiran dibawah 50 persen), jarak beranak yang terlalu panjang (> 18 bulan), tingginya angka kematian (> 2 persen), kurang terkendalinya

8 pemotongan hewan betina produktif serta tingginya inseminasi berulang di daerah kawasan ternak pembibitan (Dinas Peternakan Sumatera Barat, 2008). Berdasarkan tingkat konsumsi masyarakat Sumatera Barat dalam mengkonsumsi protein hewani khususnya daging, konsumsi masyarakat terhadap daging belum mencapai standar pola pangan harapan. Dari data yang ada ternyata konsumsi masyarakat Sumatera Barat terhadap daging sebesar 5.33 kg per kapita per tahun dari target 10.00 kg per kapita per tahun. Dengan demikian permintaan terhadap daging masih akan terus meningkat (Natra, 2004). Dilihat dari kondisi tersebut, maka usaha peningkatan produksi sapi potong perlu dilakukan. Produksi daging sapi di Sumatera Barat berdasarkan data tahun 2006 adalah 15 561 671 kg dan diperkirakan sampai tahun 2010 produksi daging dapat mencapai 16 375 342 kg. Dengan kondisi Sumberdaya alam yang mendukung dan ketersediaan lahan, pakan hijauan ternak serta tenaga kerja, produksi daging sapi masih dapat ditingkatkan (Dinas Peternakan Sumatera Barat, 2007) Kabupaten Agam sebagai salah satu sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat memiliki potensi pengembangan di masa datang. Populasi sapi potong terus meningkat yaitu tahun 2005 berjumlah 27 843 ekor dan tahun 2008 mencapai 32 017 ekor (Dinas Peternakan Kabupaten Agam, 2008). Usaha penggemukan sapi potong merupakan salah satu alternatif usaha yang banyak dipilih peternak. Hal ini karena disamping sistem pemeliharaan yang relatif mudah, periode pengusahaan juga relatif singkat. Saat ini sebagian besar peternak mengusahakan penggemukan sapi jenis peranakan Simental. Hal ini karena sapi jenis peranakan umumnya memiliki performa produksi yang lebih baik. Mata pencaharian utama masyarakat pada bidang pertanian yang mendukung

9 penyediaan pakan baik berupa hijauan maupun limbah pertanian juga dapat dijadikan sebagai salah satu potensi pengembangan sapi potong. Selain berbagai faktor pendukung di atas, usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam juga menghadapi beberapa kendala yaitu (1) skala usaha ternak yang diusahakan masih kecil yaitu dengan kepemilikan 1-3 ekor, (2) ketersediaan bibit unggul terbatas, (3) terbatasnya akses teknologi, (4) pertambahan bobot badan sapi yang belum optimal, yaitu baru mencapai 400-500 g per hari, sedangkan pertambahan bobot badan sapi berpotensi di atas 800 g per hari, serta (5) manajemen pemeliharaan ternak relatif masih rendah. Selain kendala diatas peternak juga masih dihadapkan pada masalah keterbatasan modal yang dimiliki, sehingga sebagian peternak masih melakukan usaha dengan sistem bagi hasil. Keterbatasan modal juga menjadi penyebab peternak harus membeli bakalan yang berumur lebih muda, sehingga peternak harus melakukan pemeliharaan sapi dalam waktu yang lebih lama hingga sapi tersebut dapat dijual. Semua permasalahan tersebut dapat menjadi hambatan bagi peternak dalam rangka peningkatan produksi usaha penggemukan sapi potong. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lokasi penelitian, permasalahan lainnya adalah posisi peternak di Kabupaten Agam yang mulai terdesak dengan masuknya sapi potong impor yang berasal dari perusahaan penggemukan sapi yang berada di Lampung. Harga sapi impor di lokasi penelitian berkisar antara Rp. 20 000 hingga Rp. 22 000 per kilogram bobot hidup, sedangkan harga yang ditawarkan peternak rata-rata Rp. 23 500 per kilogram bobot hidup. Kondisi ini menuntut peternak untuk dapat menawarkan sapi potong dengan kualitas dan harga bersaing.

10 Berdasarkan kondisi usaha yang ada dengan berbagai permasalahan di atas, baik dari segi produksi maupun kondisi pasar yang dihadapi, maka akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Oleh karena itu menuntut perlu dikembangkannya kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usaha peternakan sapi domestik. Kebijakan tersebut dapat berupa tarif, kuota, subsidi dan pajak. Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 1997 turun menjadi 20 persen, sedangkan untuk tahun 2003 menjadi 5 persen (Dirgantoro, 2004). Selanjutnya tarif tahun 2005 sampai sekarang masih ditetapkan sebesar 5 persen (Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2004). Kebijakan Pemerintah yang ada akan berpengaruh terhadap input dan output dalam usaha peternakan sapi potong. Kebijakan yang mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi potong, sedangkan kebijakan yang mengakibatkan biaya input menjadi naik dan nilai guna output menurun akan menurunkan daya saing. Esensi dari daya saing suatu komoditas adalah efisiensi dan produktivitas, dimana salah satu sumber pertumbuhan produktivitas tersebut adalah efisiensi teknis (tehnical efficiency), (Coelli et al. 1998). Berdasarkan kondisi di atas maka perlu untuk memberikan perhatian serius terhadap upaya-upaya peningkatan daya saing usaha penggemukan sapi potong antara lain melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas yang didukung oleh kebijakan pemerintah. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian terhadap produksi dan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam

11 Provinsi Sumatera Barat. Melalui penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Variabel apa saja yang mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam? 2. Apakah usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam secara teknis sudah efisien? 3. Bagaimana tingkat daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam? 4. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah (input dan ouput) terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis produksi, dan daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) pengusahaan penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. 2. Menganalisis tingkat efisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. 3. Menganalisis tingkat daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. 4. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah (input dan ouput) terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam.

12 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Agam yang merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat. Lokasi unit penelitian adalah tingkat Kecamatan yang merupakan basis pengembangan usaha penggemukan sapi potong. Penelitian ini dilaksanakan pada rumahtangga peternak yang mengusahakan penggemukan sapi potong yang tersebar di dua Kecamatan, yaitu Kecamatan : Tilatang Kamang dan Sungai Puar. Kedua Kecamatan ini merupakan daerah dengan populasi sapi jantan terbesar di Kabupaten Agam. Analisis produksi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi potong, tingkat efisiensi teknis yang dicapai, serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Untuk mengetahui daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha penggemukan sapi potong dilakukan pendekatan terhadap penggunaan sumberdaya domestik dan input tradable. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis ini akan memberikan informasi keunggulan kompetitif dan komparatif sekaligus efisiensi ekonomi serta dampak kebijakan terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat.