BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan perpanjangan masa rawat inap bagi penderita. Risiko infeksi di

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perawatan. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat. darurat (Permenkes RI No. 147/ Menkes/ Per/ 2010).

HUBUNGAN TINGKAT KOMPETENSI PADA ASPEK KETRAMPILAN PEMASANGAN INFUS DENGAN ANGKA KEJADIAN PLEBITIS DI RSUD BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Di dalam rumah sakit pula terdapat suatu upaya

HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN STRES KERJA DI INSTALASI RAWAT INAP RSU ISLAM SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. (Permenkes RI No. 340/MENKES/PER/III/2010). Dalam memberikan

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan gawat darurat, yang merupakan salah satu tempat pasien berobat atau dirawat, di tempat

PERBEDAAN TINGKAT STRES KERJA ANTARA PERAWAT KRITIS DAN PERAWAT GAWAT DARURAT DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Healthcare Associated Infections (HAIs) telah banyak terjadi baik di

BAB I PENDAHULUAN. pasien lain dan dari lingkungan yang tercemar kepada pasien. Hand hygiene

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi nosokomial merupakan problem klinis yang sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi stres kerja yang dihadapinya. Berdasarkan hasil penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun preventif serta

nosokomial karena penyakit infeksi. Di banyak negara berkembang, resiko perlukaan karena jarum suntik dan paparan terhadap darah dan duh tubuh jauh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi dan penyakit menular merupakan masalah yang masih dihadapi oleh negara-negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. penangan oleh tim kesehatan. Penanganan yang diberikan salah satunya berupa

BAB I PENDAHULUAN. menjalani rawat inap. ( Wahyunah, 2011). Terapi intravena berisiko untuk terjadi komplikasi lokal pada daerah pemasangan

BAB I PENDAHULUAN. Pemasangan infus termasuk kedalam tindakan invasif atau tindakan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dirumah sakit merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS). Dampak dari proses pelayanan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keselamatan pasien (Patient Safety) adalah isu global dan nasional bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. sekaligus tempat perawatan bagi orang sakit. Menurut Hanskins et al (2004)

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan atau pelatihan medik dan para medik, sebagai tempat. lantai makanan dan benda-benda peralatan medik sehingga dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dinilai melalui berbagai indikator. Salah satunya adalah terhadap upaya

BAB I. padat pakar dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena pelayanan di. Rumah sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PROGRAM DIKLAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI) DI PUSKESMAS KALIBARU KULON

BAB I PENDAHULUAN. infeksi tersebut. Menurut definisi World Health Organization. (WHO, 2009), Healthcare Associated Infections (HAIs)

BAB 1 PENDAHULUAN. sistemik (Potter & Perry, 2005). Kriteria pasien dikatakan mengalami infeksi

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN GANGGUAN KESEHATAN PERAWAT DI IRD RSUP DR.SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mikroorganisme dalam tubuh yang menyebabkan sakit yang disertai. dengan gejala klinis baik lokal maupun sistemik.

BAB I PENDAHULUAN. mikroorganisme dapat terjadi melalui darah, udara baik droplet maupun airbone,

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi (Hanafiah & Amir,

maupun sebagai masyarakat profesional (Nursalam, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Di jaman modernisasi seperti sekarang ini Rumah Sakit harus mampu

BAB I PENDAHULUAN. Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu upaya yang mendorong rumah sakit untuk

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang sudah ditentukan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENERAPAN PROTAP PERAWATAN LUKA POST OPERASI DI RUANG CENDANA RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. yang terdiri dari tenaga medis, tenaga paramedis dan tenaga non medis. Dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN PERAWAT DENGAN KEPATUHAN PENERAPAN PROSEDUR TETAP PEMASANGAN INFUS DI RUANG RAWAT INAP RSDM SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. maka pada tahun 1976 Join Commission on Acreditation of Health Care

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mandiri untuk menangani kegawatan yang mengancam jiwa, sebelum dokter

BAB I PENDAHULUAN. secara garis besar memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Keselamatan menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat menyebabkan stres kerja pada perawat antara lain pola dan beban kerja,

BAB I PENDAHULUAN. Di era industrialisasi seperti sekarang ini, Rumah Sakit menjadi institusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerja maupun pihak yang menyediakan pekerjaan. Hal ini sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

BAB I PENDAHULUAN. (World Health Organization (WHO), 2011). Menurut survei di Inggris,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. mencetuskan global patient safety challenge dengan clean care is safe care, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pasien yang masuk ke rumah sakit untuk menjalani perawataan dan. pengobatan sangat berharap memperoleh kesembuhan atau perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial atau yang sekarang dikenal dengan Healthcare Associated

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan, pemulihan serta pemeliharaan kesehatan. Sebagai layanan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pedoman Manajerial Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas

BAB I PENDAHULUAN. rumah sakit, komponen penting dari mutu layanan kesehatan, prinsip dasar dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. dapat berasal dari komunitas (community acquired infection) atau berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kualitas mutu pelayanan kesehatan. Rumah sakit sebagai tempat pengobatan, juga

BAB I PENDAHULUAN. di rumah sakit. Anak biasanya merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan

KERANGKA ACUAN PROGRAM DIKLAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI) DI RSIA ANUGRAH KUBURAYA

BAB I PENDAHULUAN. diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki

BAB I PENDAHULUAN. care and acritical component of quality management.. Keselamatan pasien

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh perhatian dari dokter (medical provider) untuk menegakkan diagnosis

HUBUNGAN PERAWATAN INFUS DENGAN TERJADINYA FLEBITIS PADA PASIEN YANG TERPASANG INFUS. Sutomo

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan merupakan bagian terpenting dalam. diantaranya perawat, dokter dan tim kesehatan lain yang satu dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era globalisasi ini teknologi berkembang semakin pesat, begitu

BAB I PENDAHULUAN. penduduk pada tahun 2000 menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia

promotif (pembinaan kesehatan), preventif (pencegahan penyakit), kuratif (pengobatan penyakit) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan) serta dapat

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit (RS) sebagai institusi pelayanan kesehatan, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. dan gawat darurat (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009

BAB 1 : PENDAHULUAN. intelejensi bagi setiap orang guna menjalani kegiatan serta aktifitas sehari-hari secara

BAB I PENDAHULUAN. Penyedia pelayanan kesehatan dimasyarakat salah satunya adalah rumah sakit. Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Infeksi yang diperoleh dari fasilitas pelayanan kesehatan adalah salah satu penyebab utama kematian dan peningkatan morbiditas pada pasien rawat

BAB 1 PENDAHULUAN. Keselamatan klien merupakan sasaran dalam program Patient Safety yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bagi perubahan kelangsungan hidup seseorang. Perubuhan-perubahan yang terjadi. diberbagai bidang termasuk bidang kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. kompetitif, toksin, replikasi intra seluler atau reaksi antigen-antibodi.

BAB 1 PENDAHULUAN. dibentuk oleh Kepala Rumah Sakit (Depkes RI, 2007). Menurut WHO (World

BAB 1 PENDAHULUAN. melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja, dimana

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar spesialistik dan

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Di Indonesia, infeksi merupakan salah satu penyebab utama kematian. Selain itu, menyebabkan perpanjangan masa rawat inap bagi penderita. Risiko infeksi di rumah sakit atau yang biasa dikenal dengan infeksi nosokomial merupakan masalah penting di seluruh dunia. Menurut data WHO tahun 2011, infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia dengan 1,4 juta angka kematian di seluruh dunia.infeksi ini terus meningkat dari 1% di beberapa Negara Eropa dan Amerika, sampai lebih dari 40% di Asia, Amerika Latin dan Afrika. Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan yang sering dilakukan di rumah sakit. Namun, hal ini risiko tinggi terjadinya infeksi nosokomial atau disebut juga Hospital Acquired Infection (HAIs) yang akan menambah tingginya biaya perawatan dan waktu perawatan. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada standar yang telah ditetapkan (Andares, 2009). Dalam program rumah sakit mengenai infeksi nosokomial salah satunya adalah pencegahan kejadian flebitis dari pemasangan infus. Flebitis merupakan komplikasi terbanyak dari pemasangan infus. Pemasangan infus 1

2 merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan yang sering dilakukan di rumah sakit. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada standar yang telah ditetapkan. Dengan demikian dapat mencegah terjadinya penularan infeksi (Depkes, 2008). Pemasangan infus digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderita di semua lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama. Sebanyak 70% pasien yang dilakukan rawat inap mendapatkan terapi cairan infus. Terapi dengan menggunakan infus ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya infeksi dan infeksi terseringnya adalah flebitis. Flebitis merupakan peradangan pada dinding pembuluh darah balik/ vena dan hal ini terjadi karena terapi melalui intravena yang tidak steril yang menyebakan mikroorganisme masuk melalui pembuluh darah dan menyebabkan infeksi (Nursalam, 2003). Pemasangan infus dilakukan oleh setiap perawat. Semua perawat dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan mengenai pemasangan infus yang sesuai standar operasional prosedur (SOP). Tindakan pemasangan infus yang dilakukan perawat harus berdasarkan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP ) yang sudah ditetapkan. Terjadinya kejadian plebitis, bengkak, dan trauma akibat pemasangan infus yang berulang- ulang adalah akibat tindakan pemasangan infus yang tidak mengutamakan patient safety, sehingga pasien akan banyak dirugikan akibatnya pasien mengalami banyak kerugian, diantaranya menderita lebih lama, lama perawatan memanjang, dan otomatis biaya yang harus dikeluarkan juga bertambah (Masdalifa,2006).

3 Tenaga perawat merupakan tenaga terbanyak dan mereka mempunyai waktu kontak dengan pasien lebih lama dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, sehingga mereka mempunyai peranan penting dalam menentukan baik buruknya mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit. Peran perawat dalam terapi infus terutama dalam melakukan tugas delegasi, dapat bertindak sebagai care giver, dimana mereka harus memiliki pengetahuan tentang bidang praktek keperawatan yang berhubungan dengan pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi dalam terapi infus. Pemberian terapi infus diinstruksikan oleh dokter tetapi perawatlah yang bertanggung jawab pada pemberian serta mempertahankan terapi tersebut pada pasien. Peran perawat jugalah yang memasangkan alat akses intravena, perawatan, monitoring dan yang paling penting adalah pencegahn infeksi terutama pencegahan flebitis pada pemasangan infus (Masdalifa, 2006). Keberhasilan pengendalian infeksi nosokomial pada tindakan pemasangan infus bukanlah ditentukan oleh canggihnya peralatan yang ada, tetapi ditentukan oleh perilaku petugas dalam melaksanakan tindakan keperawatan secara benar. Adanya Stress kerja dapat mempengaruhi kinerja perawat, dan pengaruh sikap perawat dalam mematuhi SOP pemasangan infus juga dapat menjadi penyebab terjadinya flebitis. Stress kerja merupakan suatu kondisi ketegangan yang dialami karyawan atau pekerja yang dapat mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Stres kerja dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi pekerjaan yang nantinya dapat menghambat pencapaian kinerja yang diharapkan dan tentunya akan merugikan Organisasi. Ashar

4 (2008) menyatakan bahwa stres yang dialami tenaga kerja sebagai hasil atau akibat lain dari proses bekerja, yang dapat berkembang menjadikan tenaga kerja sakit fisik dan mental, sehingga tidak dapat bekerja lagi secara optimal. Perawat dituntut untuk memiliki kecekatan, keterampilan dan kesiagaan setiap saat dalam menangani pasien sehingga kondisi ini membuat perawat akan lebih mudah stres (Masdalifa, 2006). Penelitian dari National Institute for Occupational Safety and Health (1996) menetapkan perawat sebagai profesi yang beresiko sangat tinggi terhadap stress. Hasil penelitian selye (1996) menunjukkan alasan mengapa profesi perawat mempunyai resiko yang sangat tinggi terpapar oleh stres karena perawat memiliki tugas dan tanggungjawab yang sangat tinggi terhadap keselamatan nyawa manusia. Selain itu ia juga mengungkapkan pekerjaan perawat mempunyai beberapa karakteristik yang dapat menciptakan tuntutan kerja yang tinggi dan menekan. Karakteristik tersebut ketergantungan dalam pekerjaan dan spesialisasi, budaya kompetitif di rumah sakit, jadwal kerja yang ketat dan harus siap kerja setiap saat serta tekanan tekanan dari teman sejawat. Stres kerja yang dihadapi oleh perawat akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien (Robin, 1998). Menurut survey di Perancis (dalam Fresser,1997) ditemukan bahwa presentase kejadian stress kerja sekita 74% dialami perawat. Sedangkan di Indonesia menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Persatuam Perawatan Nasional Indonesia (2006) terdapat 50,9% perawat mengalami stress kerja sedangkan

5 menurut penelitian Baker. dkk (1998) stres yang dialami seseorang akan merubah cara kerja system kekebalan tubuh. Akibatnya, orang tersebut cenderung sering mudah terserang penyakit yang cenderung lama penyembuhannya karena tubuh tidak banyak memproduksi sel sel kekebalan tubuh ataupun sel sel antibodi banyak yang kalah. Kesehatan dan efektifitas kerja karyawan karena memiliki efek pada aspek fisik dan psikologis. Berdasarkan hasil penelitian Andares (2009), menunjukkan bahwa perawat kurang memperhatikan kesterilan luka pada pemasangan infus. Perawat biasanya langsung memasang infus tanpa memperhatikan tersedianya bahan-bahan yang diperlukan dalam prosedur tindakan tersebut, tidak tersedia sarung tangan steril, kain kasa steril, alkohol, pemakaian yang berulang pada selang infus yang tidak steril. Hasil penelitian Mutiana (2013), yang melakukan penelitian dengan judul Tinjauan Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemasangan Infus Pada Pasien Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS PKU Muhammadiyah Gombong menunjukan perawat cenderung tidak patuh pada persiapan alat dan prosedur pemasangan infus yang prinsip. Hasil penelitian terhadap 12 perawat pelaksana yang melakukan pemasangan infus, perawat yang tidak patuh sebanyak 12 orang atau 100% dan yang patuh sebanyak 0 atau 0%. Hasil penelitian Pasaribu (2008), yang melakukan analisa pelaksanaan pemasangan infus di ruang rawat inap Rumah Sakit Haji Medan menunjukan bahwa pelaksanaan pemasangan infus yang sesuai Standar Operasional Prosedur katagori baik 27 %, sedang 40 % dan buruk 33 %. Kepatuhan perawat dalam

6 melaksanakan SOP pemasangan infus ditentukan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal seperti sikap perawat dalam pemasangan infus dan faktor eksternal seperti stres kerja pada perawat (Andareas,2009). Dari beberapa penelitian diatas, pentingnya peran sikap perawat dan tingginya stress kerja pada perawat yang dapat mempengaruhi kinerja mereka dalam memberikan pelayan keperawatan pada pasien terutama dalam pemasangan infus. Besarnya pengaruh sikap perawat dalam mematuhi SOP pemasangan infus berperan dalam proses pencegahan infeksi. Salah satunya pencegahan terjadinya flebitis. Menurut Depkes RI Tahun 2006 dikutip Wijayasari, Jumlah kejadian Infeksi Nosokomial berupa flebitis di Indonesia sebanyak (17,11%). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Widiyanto (2002), mengatakan bahwa angka kejadian flebitis di Rumah Sakit Cipto Mangkusumo Jakarta sebanyak 53,8%. Sejalan dengan Penelitian yang dilakukan Baticola (2002), mengatakan bahwa angka kejadian phlebitis di RSUP Dr. Sardjito Jogjakarta sebanyak 27,19 %, Sedangkan hasil penelitian Saryati (2002), mengatakan bahwa angka kejadian phlebitis di RSUD Purworejo sebanyak 18,8% (Bayu, 2010). Dan di instalasi rawat inap RSUD Dr. SoeradjiTirtonegoro klaten tahun 2002 ditemukan kejadian flebitis sebanyak 26,5 % kasus (Pasaribu, 2008). Program pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan salah satu cara menurunkan kejadian infeksi yang dalam pelaksanaannya di RS PKU Muhammadiyah Bantul sudah lama dilakukan. Kejadian flebitis ini sendiri masih sering ditemukan di RS PKU Muhammadiyah Bantul namun banyak

7 kasus flebitis atau infeksi lainnya yang terjadi di ruang rawat inap, perinatal, unit gawat darurat atau ICU pelaporannya belum maksimal. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan di IGD RS PKU Muhammadiyah Bantul pada tanggal 4 Desember 2012, bahwa data yang peneliti temukan dari Tim Pengendalian dan Pencegahan Infeksi (PPI) Rumah Sakit pada tahun 2011 yaitu angka kejadian plebitis sebesar 0,6% tetapi setelah didapatkan data terbaru pada tahun 2013 dari Tim Pengendalian dan Pencegahan Infeksi (PPI) Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul didapatkan angka kejadian plebitis sebesar 2,3%. Angka ini berada di atas standar yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI nomor 129 tahun 2008 tentang standar pelayanan medis yaitu 1,5%. Unit gawat darurat merupakan unit penting dalam operasional suatu rumah sakit, yaitu sebagi pintu masuk bagi setiap pelayanan yang beroperasi selama 24 jam. Sebagai ujung tombak dalam pelayanan keperawatan rumah sakit, UGD harus melayani semua kasus yang masuk ke rumah sakit. Dengan kompleksitas kerja yang sedemikian rupa, maka perawat yang bertugas di UGD ini dituntut untuk memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan perawat yang melayani pasien di ruang lain. Setiap perawat yang bertugas di UGD wajib membekali diri dengan ilmu pengetahuan, ketrampilan bahkan dianggap perlu mengikuti pelatihan-pelatihan yang menunjang kemampuan perawat dalam menangani pasien secara cepat dan tepat sesuai dengan kasus yang masuk ke UGD. Perawat juga dituntut untuk mampu bekerjasama dengan tim kesehatan lain serta dapat berkomunikasi dengan pasien dan

8 keluarga pasien berkaitan dengan kondisi kegawatdaruratan di ruang tersebut (Hinlay,2006). Unit gawat darurat sering memicu stress kerja pada karyawan/staf yang bertugas karena kurangnya perhatian dari pimpinan/penyelenggara RS, sarana dan peralatan yang kurang mencukupi, keterbatasan bahan habis pakai, ketatnya peraturan dan jadwal shift yang melelahkan serta beban kerja yang berlebihan serta kurangnya tenaga perawat dalam mengantisipasi kunjungan pasien di ruang UGD, hal ini tergambar dari jumlah perawat yang bertugas di ruang UGD RS PKU Muhammadiyah Bantul 11 orang dengan jumlah kunjungan pasien 100-130/hari. Berkaitan dengan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji tentang pengaruh stress kerja dan sikap perawat dalam pemasangan infus. Penelitian ini belum pernah diadakan di RS PKU Muhammadiyah Bantul sehingga relevan jika permasalahan ini diangkat sebagai judul tesis Pengaruh stress kerja dan sikap perawat dalam pemasangan infus di Unit Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Bantul. B. Perumusan Masalah Kejadian infeksi pada pasien merupakan salah satu indikator untuk mengukur dan mengevaluasi keberhasialn dari program pengendalian dan pencegahan infeksi khususnya kejadian flebitis dalam pemasangan infus. Flebitis ini yang merupakan angka kejadian tertinggi di RS PKU Muhammadiyah Bantul. Untuk itu, perawat sebagai garda utama dengan

9 tenaga terbanyak dan mereka mempunyai waktu kontak dengan pasien lebih lama dibandingkan tenaga kesehatan yang lain. Berdasarkan hal di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh stress kerja perawat dalam pemasangan infus di ruang UGD RS PKU Muhammadiyah Bantul 2. Bagaimana pengaruh sikap perawat dalam pemasangan infus di ruang UGD RS PKU Muhammadiyah Bantul 3. Bagaimana pengaruh stress kerja dan sikap perawat secara bersamasama dalam pemasangan infus di ruang UGD RS PKU Muhammadiyah Bantul C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara stress kerja dan sikap perawat dalam pemasangan infus di UGD RS PKU Muhammadiyah Bantul. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui tingkat stress kerja perawat dalam pemasangan infus di ruang UGD RS PKU Muhammadiyah Bantul b. Mengetahui tingkat sikap perawat dalam pemsangan infus di ruang UGD RS PKU Muhammadiyah Bantul

10 c. Mengetahui pengaruh stress kerja dan sikap perawat secara bersama-sama dalam pemasangan infus di ruang UGD RS PKU Muhammadiyah Bantul. D. Manfaat penelitian Manfaat penelitian dapat disampaikan sebagai berikut : 1. Manfaat bagi institusi pendidikan Diharapkan penulisan ini dapat memperkaya bahasan dalam bidang manajemen sumber daya manusia bidang kesehatan yang berhubungan dengan tingkat stress kerja dan sikap perawat dalam mendukung penerapan program pencegahan dan pengendalian infeksi 2. Manfaat bagi RS PKU Muhammadiyah Bantul Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi upaya pengembangan sumber daya manusia yang berhubungan dengan tingkat stress kerja dan sikap perawat untuk mendukung penerapan program pencegahan dan pengendalian infeksi khususnya flebitis pada pemasangan infus. 3. Manfaat bagi peneliti a. Peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir yang merupakan syarat untuk kelulusan di fakultas magistes managemen rumah sakit di universitas muhammadiyah Yogyakarta. b. Peneliti dapat menerapkan ilmu atau teori pada waktu kuliah yang digunakan untuk penelitian ini. Disamping itu penelitian ini

11 menambah wawasan bagi peneliti tentang faktor pengetahuann dan sikap untuk mendukung penerapan program pencegahan dan pengendalian infeksi dalam mencegah terjadinya flebitis dalam pemasangan infus.