Subjective Well-Being Pada Guru Sekolah Menengah. Dinda Arum Natasya Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA MASYARAKAT MISKIN DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO JEBRES SURAKARTA.

BAB I PENDAHULUAN. Sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2005,

Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Tuna Rungu

Subjective Well-Being Pada Peserta Akselerasi. Aini Nadiva Fakultas Psikologi

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental p-issn e-issn

Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini termasuk dalam penelitian komparatif. Menurut Sudjud

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING ANTARA GURU BERSERTIFIKASI DAN NON SERTIFIKASI

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method yang merupakan suatu

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN SUBJECTIVE WELL- BEING PADA GURU SEKOLAH DASAR

HUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN SUBJECTIVE WELL- BEING SISWA SMA NEGERI 1 BELITANG NASKAH PUBLIKASI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PENARI STUDIO SENI AMERTA LAKSITA SEMARANG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas : Terapi Kebermaknaan Hidup

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB III METODELOGI PENELITIAN

LAPORAN PENELITIAN PERILAKU BERHUTANG DENGAN PERASAAN SENANG PADA MAHASISWA

Hubungan antara Gaya Regulasi Motivasi dengan Psychological Well Being pada Mahasiswa Bidikmisi Fakultas Ilmu Budaya Unpad Novita Purnamasari

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah combined

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak Kelas VI Sekolah Dasar Full-Day Darul Ilmi Bandung

RELATIONSHIP BETWEEN SPIRITUAL INTELLIGENCE AND SUBJECTIVE WELL-BEING IN CIVIL SERVANT GROUP II DIPONEGORO UNIVERSITY

Hubungan antara Self-Efficacy dengan Subjective Well-Being pada Siswa SMA Negeri 1 Belitang

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

Prosiding Psikologi ISSN:

HUBUNGAN ANTARA QUALITY OF SCHOOL LIFE DENGAN EMOTIONAL WELL BEING PADA SISWA MADRASAH SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

SUBJECTIVE WELL-BEING DAN REGULASI DIRI REMAJA PELAKU TINDAK KEKERSAN (Studi pada anak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang)

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. menekankan analisis pada data-data numerikal (angka) yang diolah

PENGARUH SELF EFFICACY TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU SLB DI KOTA PADANG

Subjective Well-Being pada Guru Honorer di SMP Terbuka 27 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

SUBJECTIVE WELL BEING MAHASISWA YANG MENGGUNAKAN INTERNET SECARA BERLEBIHAN. Novrita Ade Putri

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. yakni angkanya dapat berbeda-beda dari satu objek ke objek yang lain.

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Korban Pelecehan Seksual yang Berusia 8-12 Tahun di Sukabumi

KONTRIBUSI KONTROL DIRI TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU SEKOLAH LUAR BIASA (SLB)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. Dampak perubahan tersebut salah satunya terlihat pada perubahan sistem keluarga dan

Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi PSIKOLOGIA. ISSN:

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU NEGERI DI SMAN I WONOSARI DENGAN GURU SWASTA DI SMA MUHAMMADIYAH I KLATEN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia seseorang dikatakan sejahtera apabila dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BERITA RESMI STATISTIK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

Kata kunci : Work-Family Conflict, Subjective Well-Being, Perawat.

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan suatu kondisi apabila individu memiliki tekanan

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA LANSIA MUSLIM NASKAH PUBLIKASI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. penelitian antara dua kelompok penelitian.adapun yang dibandingkan adalah

INDEKS KEBAHAGIAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

KONTRIBUSI RELIGIUSITAS TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA MAHASISWA

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI SELATAN TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INDEKS KEBAHAGIAAN MALUKU UTARA TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BERITA RESMI STATISTIK

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. perilakuan religius terhadap kesejahteraan subjektif penderita gagal ginjal kronis

INDEKS KEBAHAGIAAN SUMATERA UTARA TAHUN 2017

BAB V PENUTUP. yang ditandai dengan tingginya derajat kepuasan hidup serta gairah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesejahteraan subjektif merupakan suatu hal yang penting dan sangat

INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI TENGAH TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI TENGAH TAHUN 2017 SEBESAR 71,92 PADA SKALA 0-100

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. maupun swasta namun, peningkatan jumlah perguruan tinggi tersebut tidak dibarengi

Study Deskriptif Children Well Being Anak Penderita Leukimia All di Rumah Cinta Bandung

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA YANG MELAJANG SKRIPSI

INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI UTARA TAHUN 2017

INDEKS KEBAHAGIAAN PROVINSI PAPUA TAHUN 2017

Hubungan Antara Coping Stress dengan Subjective Well-Being pada Mahasiswa Luar Jawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. hendak diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai gambaran psychological wellbeling

INDEKS KEBAHAGIAAN RIAU TAHUN 2017

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN BARAT TAHUN 2017

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

INDEKS KEBAHAGIAAN PAPUA BARAT TAHUN 2017

BERITA RESMI STATISTIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective wellbeing

Abstrak. Kata kunci : subjective wellbeing, lansia, penyakit kronis. vii Universitas Kristen Maranatha

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan pada. bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Subjective Well-being ditinjau dari faktor demografi pada petani sawit di Desa Rawa Bangun

INDEKS KEBAHAGIAAN KEP. BANGKA BELITUNG TAHUN 2017

Transkripsi:

Subjective Well-Being Pada Guru Sekolah Menengah Dinda Arum Natasya Fakultas Psikologi Universitas Surabaya dindanatasyaa@yahoo.com Abstrak - Guru mengalami berbagai masalah dalam menjalankan profesinya. Masalah yang dialami guru dapat merujuk pada afek negatif dan afek positif. Kedua afek tersebut ada di dalam subjective well being yaitu bagaimana individu mengelola emosi baik positif maupun negatif dalam dirinya dan bagaimana kepuasan individu dalam menjalani sebuah kehidupan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi subjective well being guru sekolah menengah, mengklasifikasikan subjective well being guru sekolah menengah, dan memetakan karakteristik guru sekolah menengah berdasarkan hasil klasifikasi subjective well being pada guru sekolah menengah. Subjek dalam penelitian ini adalah 93 guru sekolah menengah yang mengajar di SMP atau SMA. Penelitian ini bersifat deskriptif, menggunakan gabungan antara teknik quota sampling dan teknik purposive sampling. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis cluster. Hasil penelitian menunjukkan adanya tiga kelompok subjek yang telah disesuaikan dengan komponen dalam subjective well being. Ketiga kelompok tersebut yaitu kelompok life satisfaction (N=5), merasa puas terhadap 4 ranah kehidupanya yaitu kehidupan beragama (spiritual), kesempatan untuk berbagi dengan orang lain, tercapainya cita-cita/keinginan, dan melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi. Kelompok ini merasa sedih sekaligus merasa bahagia selama menjadi guru. Kelompok affect (N=12), merasa sedih, cemas, dan stres namun sekaligus merasa bahagia selama menjadi guru. Kelompok ini juga merasa puas terhadap 4 ranah kehidupannya yaitu kondisi keluarganya, kehidupan beragama (spiritual), kesempatan untuk berbagi dengan orang lain, dan melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi. Kelompok wellbeing (N=76), merasa puas hampir pada semua ranah kehidupannya yaitu kondisi keluarganya, kehidupan beragama (spiritual), kesempatan untuk berbagi dengan orang lain, sukses dalam pekerjaan, kesempatan untuk mengembangkan diri, tercapainya cita-cita/keinginan, kesehatan, dan melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi. Kelompok ini merasa sedih sekaligus merasa bahagia selama menjadi guru. Kata Kunci: Subjective Well-being, Guru Sekolah Menengah, SMP, SMA 1

PENDAHULUAN Guru dalam menjalankan profesinya umumnya mengalami berbagai permasalahan. Masalah yang dialami guru dapat merujuk pada afek negatif dan afek positif yang dapat memengaruhi well being serta kondisi emosional seorang guru. Afek negatif dan afek positif merupakan dua komponen yang ada di dalam subjective well being yaitu bagaimana individu mengelola emosi baik negatif maupun positif dalam dirinya dan bagaimana kepuasan individu dalam menjalani sebuah kehidupan (Diener, Oishi & Lucas, 2003). Jumlah penelitian dengan tema subjective well being berdasarkan pusat data online telah mencapai lebih dari lima ribu penelitian (Vennhoven, 1999 dalam Compton 2005). Penelitian mengenai subjective well being dinilai penting untuk dilakukan karena tidak hanya dapat memberikan manfaat yang bersifat teoritis, tetapi juga manfaat yang bersifat praktis. Contohnya penelitian menunjukkan bahwa subjective well being dapat digunakan untuk memprediksi kinerja dan kualitas individu dalam melakukan sebuah pekerjaan (Diener, Biswas- Diener, dan Tamir dalam Dewi & Utami, 2008). Berdasarkan penelitian terdahulu menjelaskan tentang well being guru yang bekerja di Yayasan PESAT Nabire, yaitu sebuah yayasan yang terletak di wilayah pedalaman Papua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah guru yang menjadi subjek dalam penelitian tersebut memiliki tingkat well being yang beragam. Perbedaan tersebut diduga muncul karena adanya perbedaan faktor spiritualitas, dukungan sosial, dan pengalaman masa lalu (Sumule, 2008). Penelitian lain juga menjelaskan tentang wellbeing guru dan persepsi dalam praktek kepemimpinan pada guru di Finlandia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wellbeing guru yang mengajar di sekolah dasar lebih tinggi daripada wellbeing guru yang mengajar di sekolah menengah pertama. Perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan faktor status kerja dan lama bekerja (Konu, Viitanen & Lintonen, 2010). Dapat disimpulkan bahwa subjective well being pada guru dapat dipengaruhi oleh banyak hal antara lain seperti faktor spiritualitas, dukungan sosial, pengalaman masa lalu, status kerja, dan lama bekerja. 2

Penelitian ini menggunakan subjective well being dan informasi mengenai penelitian ini dinilai dapat digunakan untuk memprediksi kinerja dan kualitas guru sebagai tenaga pendidik yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas pendidikan secara keseluruhan (Diener, Biswas-Diener, dan Tamir dalam Dewi & Utami, 2008). Selain itu, Ryan dan Decci (2001), menambahkan bahwa tingkat subjective well being akan memengaruhi cara kerja individu dalam mengubah orang lain menuju ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, tingkat subjective well being dapat memengaruhi cara kerja guru dalam mengubah anak didiknya menuju ke arah yang lebih baik. Subjective well being juga termasuk dalam positive psychology, yaitu digunakan untuk mengukur kinerja dan relasi interpersonal (Carr, 2004). Hal ini sesuai dengan kondisi yang dialami seorang guru. Guru tidak hanya bekerja menjalankan profesinya namun juga memiliki hubungan relasi interpersonal dengan siswa. Ketika guru memiliki well being yang baik, maka secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kinerja dan relasi interpersonalnya sehingga kualitas anak didik juga akan menjadi baik. Pentingnya peneliti memilih guru sekolah menengah karena siswa yang diajar di sekolah menengah berada pada tahap remaja yang sedang mengalami penyesuaian diri serta pencarian identitas. Remaja akan mulai mencari keunikan diri sendiri untuk menemukan identitasnya, namun sekaligus ingin menyesuaikan dengan orang lain agar dapat diterima di lingkungannya (Santrock, 2008). Hal ini membuat siswa lebih meyakini perkataan orang lain dibanding perkataan orang tua/guru. Kondisi ini dapat menimbulkan masalah bagi guru sehingga secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap emosi guru. METODE PENELITIAN Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah guru sekolah menengah yang telah ditentukan karakteristiknya sebagai berikut, mengajar di SMP Negeri 17 Surabaya, SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, SMA Negeri 17 Surabaya, dan SMA Trimurti Surabaya, baik laki-laki maupun perempuan, berpendidikan akhir S1 atau D4 dan tidak dibedakan antara lulusan kependidikan dengan non kependidikan, berusia 18-40 tahun (dewasa awal) atau berusia 40-60 tahun 3

(dewasa madya). Pemilihan sekolah berdasarkan pertimbangan peneliti yang ingin melihat kualitas sekolah yaitu berakreditasi A. Lokasi Surabaya juga dipilih atas pertimbangan peneliti yang berdomisili di Surabaya sehingga tidak membutuhkan waktu yang cukup lama. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik gabungan antara purposive sampling dan quota sampling. Sebelum membuat angket terlebih dahulu dilakukan survei awal sebagai dasar dalam pembuatan angket terbuka.angket yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 2 jenis, yaitu angket terbuka dan tertutup. Angket terbuka terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi identitas subjek dan bagian kedua berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan guru. Angket tertutup yang akan peneliti gunakan yaitu Satisfaction with Life Scale (SWLS) dari Diener, Emmons, Larsen, dan Griffin (1985), berisi 5 pernyataan yang terangkum dalam pernyataan sebagai berikut : 1. Dalam banyak hal, kehidupan saya sekarang sudah mendekati seperti apa yang saya cita-citakan. 2. Kondisi kehidupan saya sekarang sangat baik. 3. Saya puas dengan kehidupan saya sekarang. 4. Sejauh ini, hal-hal penting yang saya inginkan dalam hidup sudah saya dapatkan. 5. Seandainya saya bisa menjalani kehidupan ini untuk kedua kalinya, kemungkinan besar tidak akan ada yang saya ubah. Peneliti juga menggunakan angket tertutup Positive and Negative Affect Scale (PANAS) dari Watson, Clark, dan Tellegan (1988), berisi 20 aitem pertanyaan terangkum dalam 10 aitem untuk melihat positive affect dan 10 aitem untuk melihat emosi negative affect. Positive affect diantaranya adalah tertarik, gembira, kuat, bersemangat, bangga, siap sedia, bertekad, perhatian, aktif, sedangkan negative affect diantaranya adalah tertekan, kecewa, bersalah, takut, bermusuhan, tersinggung, malu, gugup, gelisah, cemas. Angket-angket tersebut diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dan telah digunakan pada penelitian sebelumnya. 4

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis cluster. Perhitungan dalam analisis cluster akan dilakukan dengan menggunakan SPSS for Windows Version 16 Windows. Sebelum melakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis cluster, peneliti menentukan kategori dari hasil data pada angket tertutup dengan menggunakan visual binning pada program SPSS. Kategori yang ditentukan oleh peneliti yaitu berada pada rentang 1 hingga 3, yaitu 1 untuk kategori rendah, 2 untuk kategori sedang, dan 3 kategori tinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN Seluruh subjek penelitian (N=93) dikelompokkan dengan analisis cluster dan diperoleh tiga kelompok. Kelompok tersebut diberi nama yang sesuai dengan nilai dari masing-masing komponen subjective well-being yaitu positive affect, negative affect, dan life satisfaction (Guardiola dan Munoz, 2008). Tiga kelompok tersebut adalah kelompok life satisfaction (N=5), kelompok affect (N=12), dan kelompok well-being (N=76). Tabel 1. Hasil Final Cluster Centers Kelompok Cluster Life Satisfaction Affect Well-Being (N=76) (N=5) (N=12) Negative Affect 2,00 3,00 2,22 Positive Affect 1,80 2,83 3,00 Tabel 2. Hasil Tabulasi Silang Domain Satisfaction Domain Satisfaction Kondisi keluarga Kehidupan beragama (spiritual) Kesempatan untuk berbagi dengan orang lain Sukses dalam pekerjaan Kesempatan untuk mengembangkan diri Tercapainya cita-cita/keinginan Kesehatan Melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi Kelompok Cluster Life Satisfaction (N=5) Affect (N=12) Well-Being (N=76), Sangat (40%) (50%) (55,3%) (60%) (66,7%) (56,6%) (60%) (66,7%) (55,3%) Agak Agak, (60%) (41,7%) (67,1%) Agak Agak Tidak (60%) (33,3%) (61,8%) Agak (40%) (50%) (57,9%) Sangat Agak, (60%) (33,3%) (68,4%) (60%) (50%) (48%) 5

Dalam ketiga kelompok tersebut terdapat karakteristik yang sama pada setiap kelompoknya, yaitu mayoritas anggota kelompok berjenis kelamin perempuan, berlatar belakang pendidikan S1, berstatus menikah, menjadi guru berdasarkan dorongan dari orang tua, alasan/pertimbangan menjadi guru untuk mengamalkan ilmu, dan merasakan hal positif (bahagia) ketika menjadi guru. Selain karakteristik yang sama pada tiap kelompok, adapula karakteristik yang berbeda pada tiap kelompok. Berikut adalah pembahasan karakteristik subjek penelitian pada masing-masing kelompok : 1. Kelompok life satisfaction (N=5) Kelompok life satisfaction, memiliki komponen life satisfaction yang tergolong tinggi dibandingkan komponen lainnya yaitu negative affect dan positive affect. Komponen life satisfaction yang tinggi nampak pada kelompok ini merasa puas terhadap 4 ranah kehidupannya yaitu kehidupan beragama (spiritual), kesempatan untuk berbagi dengan orang lain, tercapainya cita-cita/keinginan, dan melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi. Perasaan negatif dan positif juga dirasakan oleh subjek pada kelompok ini. Subjek penelitian merasa sedih (40%) sekaligus merasa bahagia (40%) selama menjadi guru. Terlihat bahwa subjek penelitian pada kelompok ini berusia 46-50 tahun (40%) dan 56-60 tahun (40%), memiliki 2 anak (40%), pasangannya telah pensiun (40%), subjek telah berprofesi sebagai guru selama 26-30 tahun (60%), serta mengajar sebanyak 14-16 kelas (50%) per-minggu. Terlihat juga bahwa subjek penelitian pada kelompok ini memilih melanjutkan pendidikan (60%) sebagai kegiatan pendukung profesinya, subjek pada kelompok ini juga memandang profesinya sebagai pekerjaan yang baik (28,6%). Subjek dalam kelompok ini juga merasakan jenuh terhadap profesinya ketika ada masalah dengan rekan (100%). Namun subjek memiliki cara untuk mengatasi rasa jenuh tersebut dengan melakukan variasi (100%). Disisi lain, subjek memiliki kegiatan lain yaitu mengikuti organisasi (66,7%). Hal ini dilakukan subjek untuk mengisi waktu luangnya disamping pekerjaannya sebagi guru. Pada kelompok ini subjek juga memiliki pekerjaan lain selain menjadi guru yaitu berdagang (online shop) (28,6%). 6

2. Kelompok affect (N=12) Kelompok affect, memiliki komponen negative affect dan positive affect yang tergolong tinggi dibandingkan komponen lainnya yaitu life satisfaction. Komponen negative affect dan positive affect yang tinggi nampak pada perasaan negatif dan positif yang dirasakan subjek pada kelompok ini. Subjek merasa sedih (23,1%), cemas (23,1%), dan stres (23,1%) namun sekaligus merasa bahagia (50%) ketika menjadi guru. Life satisfaction juga nampak pada kelompok ini merasa puas terhadap 4 ranah kehidupannya yaitu kondisi keluarganya, kehidupan beragama (spiritual), kesempatan untuk berbagi dengan orang lain, dan melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi. Terlihat bahwa subjek penelitian pada kelompok ini berusia 31-35 tahun (25%) dan 51-55 tahun (25%), memiliki 1 anak (33,3%), pekerjaan pasangannya adalah wiraswasta (25%) dan swasta (25%), subjek telah berprofesi sebagai guru selama 1-5 tahun (41,75%), serta mengajar sebanyak 11-13 kelas (50%) perminggu. Terlihat juga bahwa subjek penelitian pada kelompok ini memilih untuk mempelajari materi (37,5%) sebagai kegiatan pendukung profesinya, subjek pada kelompok ini juga memandang profesinya sebagai pekerjaan yang baik (31,2%). Subjek dalam kelompok ini juga merasakan jenuh terhadap profesinya ketika kecewa dengan sikap siswa (33,3%). Namun subjek memiliki cara untuk mengatasi rasa jenuh tersebut dengan sabar (25%). Disisi lain, subjek memiliki kegiatan lain yaitu memberi les tambahan (40%). Hal ini dilakukan subjek untuk mengisi waktu luangnya disamping pekerjaannya sebagi guru. Pada kelompok ini subjek juga memiliki pekerjaan lain selain menjadi guru yaitu berdagang (online shop) (50%) dan menjadi guru les (50%). 3. Kelompok well-being (N=76) Kelompok well-being, memiliki komponen positive affect dan life satisfaction yang tergolong tinggi dibandingkan komponen lainnya yaitu negative affect. Komponen life satisfaction yang tinggi nampak pada kelompok ini merasa puas hampir pada semua ranah kehidupannya yaitu kondisi keluarganya, kehidupan beragama (spiritual), kesempatan untuk berbagi dengan orang lain, sukses dalam pekerjaan, kesempatan untuk mengembangkan diri, tercapainya cita- 7

cita/keinginan, kesehatan, dan melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi. Perasaan negatif dan positif juga dirasakan oleh subjek pada kelompok ini, namun perasaan positif lebih mendominasi dibandingkan perasaan negatif. Subjek penelitian merasa sedih (35,4%) sekaligus merasa bahagia (47,1%) selama menjadi guru. Terlihat bahwa subjek penelitian pada kelompok ini berusia 51-55 tahun (30,3%), memiliki 2 anak (32,9%), pekerjaan pasangannya adalah guru/dosen (25%), subjek telah berprofesi sebagai guru selama 11-15 tahun (26,3%), serta mengajar sebanyak 5-7 kelas (46,1%) per-minggu. Terlihat juga bahwa subjekpenelitian pada kelompok ini memilih untuk mempelajari materi (33,3%) sebagai kegiatan pendukung profesinya, subjek pada kelompok ini juga memandang profesinya sebagai pekerjaan yang terhormat (38%). Subjek dalam kelompok ini juga merasakan jenuh terhadap profesinya ketika kecewa dengan sikap siswa (36,4%). Namun subjek memiliki cara untuk mengatasi rasa jenuh tersebut dengan melakukan refreshing (32,7%). Disisi lain, subjek memiliki kegiatan lain yaitu memberi les tambahan (33,8%). Hal ini dilakukan subjek untuk mengisi waktu luangnya disamping pekerjaannya sebagi guru. Pada kelompok ini subjek juga memiliki pekerjaan lain selain menjadi guru yaitu menjadi guru les (31,8%). Secara keseluruhan dapat disimpulkan ada kelompok yang memiliki karakteristik yang sama, namun ada juga kelompok yang memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tahap perkembangan yang memengaruhi well being pada masing-masing kelompok, yaitu subjek penelitian mayoritas berada pada usia dewasa madya. Pada usia ini individu memasuki tahap perkembangan generavity vs stagnation. Generavity bukan hanya dalam aktivitas membesarkan anak, namun juga aktivitas mengajar, mendidik, memberi pengetahuan baru dan mewariskan kepada generasi berikutnya. Hal ini nampak pada ketiga kelompok subjek penelitian yang memiliki alasan/pertimbangan sebagai guru karena ingin mengamalkan ilmu untuk anak didiknya. Pada usia dewasa madya juga terdapat tugas perkembangan salah satunya adalah memiliki arti dalam kehidupannya yang artinya individu perlu menemukan 8

arti dan makna dirinya, oleh karena itu dibutuhkan tujuan, nilai, self-efficacy, dan perasaan bahagia. Terlihat dari hasil penelitian menunjukkan bahwa guru merasa bahagia ketika memiliki arti dalam kehidupannya yaitu ketika masyarakat memandang profesi guru sebagai pekerjaan yang terhormat. Menurut Santrock (2008), pada umumnya individu dalam usia dewasa madya memiliki beberapa peran salah satunya berkaitan dengan kehidupan karir (pekerjaan). Karir (pekerjaan) adalah salah satu faktor yang dapat memengaruhi subjective well being. Pada kelompok life satisfaction, subjek memiliki pekerjaan lain selain menjadi guru yaitu berdagang (online shop). Pada kelompok affect, subjek memiliki pekerjaan lain yaitu menjadi guru les dan berdagang (online shop). Pada kelompok well being, subjek memiliki pekerjaan lain yaitu menjadi guru les. Secara umum terlihat guru memiliki pekerjaan tetap, namun guru juga masih memiliki pekerjaan lain sebagai guru les. Hal ini menunjukkan secara finansial guru masih merasa kurang cukup untuk memenuhi berbagai hal, seperti kebutuhan keluarga, kesehatan, dan lain-lain. Disisi lain, peran individu tidak hanya berkaitan dengan kehidupan karir (pekerjaan) saja, namun peran lain berkaitan dengan waktu luang juga terjadi pada usia dewasa madya. Salah satu hal yang penting dalam kehidupan masa dewasa madya adalah waktu luang karena individu dapat dengan bebas melakukan segala hal yang disenangi seperti hobi, olahraga, dan lain-lain. Pada kelompok life satisfaction, subjek mengisi waktu luang dengan mengikuti organisasi (keagamaan, sosial, dan lain-lain). Pada kelompok affect dan kelompok well being, subjek mengisi waktu luang dengan memberi les tambahan. Individu yang memiliki waktu luang yang cukup dan dapat memanfaatkannya dengan baik dapat mengurangi stres. Hal ini juga didukung oleh domain satisfaction pada kelompok life satisfaction, kelompok affect, dan kelompok well being yang merasa puas melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi. Pada usia dewasa madya juga mengalami workload atau beban kerja. Workload atau beban kerja termasuk salah satu faktor yang dapat memengaruhi subjective well being berkaitan dengan psikososial. Pada kelompok life satisfaction, subjek mengajar sebanyak 14-16 kelas, dan pada kelompok affect, 9

subjek mengajar sebanyak 11-13 kelas. Sedangkan pada kelompok well-being, subjek mengajar sebanyak 5-7 kelas. Terlihat dengan jelas bahwa subjek pada kelompok life satisfaction dan kelompok affect memiliki beban kerja yang lebih besar dimana subjek harus mengajar jumlah kelas yang lebih banyak dibandingkan jumlah kelas yang diajar oleh kelompok well-being. Disisi lain munculnya workload atau beban kerja pada tiap kelompok tidak hanya dari jumlah kelas yang diajar saja, namun juga ditunjukkan pada lama subjek berprofesi sebagai guru. Pada kelompok life satisfaction, subjek berprofesi sebagai guru selama 26-30 tahun. Pada kelompok affect, subjek berprofesi sebagai guru selama 1-5 tahun, sedangkan pada kelompok well being, subjek berprofesi sebagai guru selama 11-15 tahun. Terlihat dengan jelas bahwa pada kelompok life satisfaction memiliki beban kerja yang lebih besar dimana individu pada usia ini bertugas untuk mengembangkan keahlian sebagai guru dan menjadi unggul dibandingkan kelompok yang lain yaitu kelompok affect dan well being. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis cluster, terbentuk tiga kelompok yang dikelompokkan berdasarkan nilai dari masing-masing komponen subjective well being yaitu positive affect, negative affect, dan life satisfaction. Ketiga kelompok tersebut yaitu kelompok life satisfaction (N=5), kelompok affect (N=12), dan kelompok well-being (N=76). Mayoritas subjek penelitian berada dalam kelompok well-being. Kelompok life satisfaction menunjukkan komponen life satisfaction memiliki nilai yang tinggi dibandingkan komponen negative affect dan positive affect. Subjek dalam kelompok ini merasa puas terhadap 4 ranah kehidupannya, yaitu kehidupan beragama (spiritual), kesempatan untuk berbagi dengan orang lain, tercapainya cita-cita/keinginan, dan melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi. Kelompok affect menunjukkan komponen negative affect dan positive affect memiliki nilai yang tinggi dibandingkan komponen life satisfaction. Sama seperti kelompok life satisfaction, subjek pada kelompok ini juga merasa puas terhadap 4 ranah kehidupannya, yaitu kondisi keluarganya, kehidupan beragama 10

(spiritual), kesempatan untuk berbagi dengan orang lain, dan melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi. Kelompok well-being menunjukkan komponen positive affect dan life satisfaction memiliki nilai yang tinggi dibandingkan komponen negative affect. Berbeda dengan kelompok life satisfaction dan kelompok affect, subjek pada kelompok ini merasa puas hampir pada semua ranah kehidupannya, yaitu kondisi keluarganya, kehidupan beragama (spiritual), kesempatan untuk berbagi dengan orang lain, sukses dalam pekerjaan, kesempatan untuk mengembangkan diri, tercapainya cita-cita/keinginan, kesehatan, dan melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi. SARAN 1. Bagi Guru Diharapkan dengan bertambahnya usia, guru dapat mempertahankan subjective well beingnya. Guru juga diharapkan untuk dapat meningkatkan kualitas kerja dengan mengembangkan kurikulum dan metode pengajaran, lebih memahami karakteristik siswa dari tingkat pendidikan yang berbeda, dan melakukan kegiatan yang disukai sesuai dengan hobinya. 2. Bagi instansi terkait Diharapkan pihak instansi dapat mengadakan aktivitas atau kegiatan yang bertujuan meningkatkan kemampuan serta potensi diri guru, contohnya seminar tentang pengembangan mutu dan kualitas guru agar subjective well being guru menjadi lebih baik. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk melengkapi penelitian selanjutnya yang relevan. Saran yang dapat diperhatikan untuk penelitian selanjutnya yaitu mengelompokkan subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan siswa yang diajar agar tidak tercampur antara guru SMP dan guru SMA, sehingga karakteristik subjective well being dapat lebih spesifik. DAFTAR PUSTAKA Carr, A. (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strengths. NewYork: Brunner-Routledge. 11

Compton, W. C. (2005). Introduction to Positive Psychology. Belmont: Thomson Wadsworth. Dewi, P. S., & Utami, M. S. (2008). Subjective Well-Being Anak Dari Orang Tua Yang Bercerai. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Vol 35, (2), 194-212. Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The Satisfaction with Life Scale. Journal of Personality Assesment, 49, 71-75. Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). Personality, culture, and subjective well-being: Emotional and cognitive evaluations of life. Annual Review of Psychology, 54 (1), 403-425. Guardiola, J. & Munoz, T. (2008). Subjective well-being and basic needs: evidence from rural. University of Granada, Guatemala. Konu, A., Viitanen, E., Lintonen, T. (2010) "Teachers' Wellbeing and Perceptions of Leadership Practices", International Journal of Workplace Health Management, Vol. 3 Iss: 1, pp.44 57. Ryan, R.M., & Decci, E.L. (2001). On Happiness and Human Potentials: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being. Annual Review of Psychology, 52: 141-166. Santrock, J. W. (2008). Life Span Development (11 th ed). New York: McGraw Hill. Sumule, R. (2008). Psychological Wellbeing To The Teacher That Work In Foundation Papua Pesat Nabire. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Diunduh tanggal 14 Maret 2013, dari http://www.gunadarma.ac.id Watson, D., Clark, L. A., & Tellegen, A. (1988). Development and validation of brief measures of positive and negative affect: The PANAS scales. Journal of Psychology, 54(6), 1063-1070. 12