Puri Imperium Office Plaza UG 21 Jl. Kuningan Madya Kav 5 6 Jakarta Selatan 12980 Phone/Fax (62-21) 83703156-57 REKOMENDASI DAN USULAN PUSAT BANTUAN HUKUM PERADI TERHADAP NASKAH AKADEMIK DAN RUU SISTEM PEMASYARAKATAN BAGIAN ANAK info@pbhperadi.org http://www.pbhperadi.org
Rekomendasi dan Usulan Pusat Bantuan Hukum PERADI Terhadap Naskah Akademik dan RUU Sistem Pemasyarakatan Bagian Anak Diterbitkan oleh Pusat Bantuan Hukum PERADI PBH PERADI, Juli 2010 Disusun dan dipersiapkan oleh: Ranyta Yusran Editor Anggara Kunjungi PBH PERADI di Situs http://www.pbhperadi.org Blog http://pbhperadi.wordpress.com Follow us http://twitter.com/pbhperadi
Menindaklanjuti kegiatan Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengenai Naskah Akademik dan RUU Sistem Pemasyarakatan Bagian Anak pada 14 Juli 2010 yang lalu maka, bersama ini Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia hendak menyampaikan masukan mengenai Naskah Akademik tersebut sebagai berikut: I. Peran Advokat dalam Penanganan Perkara Anak yang Berhadapan dengan Hukum dan Pemasyarakatan Anak. Dalam Rancangan Naskah Akademik dan Rancangan Undang Undang Sistem Pemasyarakatan yang disosialisasikan dalam FGD belum ditemukan peran advokat dalam penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum dan pemasyarakatan anak. PBH PERADI merekomendasikan agar peran advokat dimasukan ke dalam pertimbangan Naskah Akademik tersebut karena sesungguhnya hak anak yang berhadapan dengan hukum, terutama mereka yang berasal dari kalangan miskin, untuk mendapatkan pendampingan penasehat hukum dalam semua tingkatan proses hukum dijamin dalam UUD 1945 (pasal 28D, 28I, dan 34), KUHAP (pasal 56), pasal 51 52 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 18 ayat 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 17 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan pasal 22 ayat 1 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hak untuk mendapatkan pendampingan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum juga dijamin dalam berbagai perjanjian dan deklarasi internasional antara lain; Pasal 40(2)(i) Convention on the Rights of the Child (yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No 36/1990); Prinsip ke-2 dari Deklarasi Hak Anak 1959; Pasal 7, 8, dan 10 Universal Declaration of Human Rights 1948; Pasal 14 International Covenant on Civil and Political Rights (telah diratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik); Poin 15 Bagian 3 dari United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The Beijing Rules"); dan Rule 18 dan 78 dari United Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty (Havana Rules). Pemberian bantuan dan pendampingan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum, terutama yang berasal dari keluarga miskin, juga merupakan kewajiban Negara dan advokat yang dijamin berdasarkan UUD 1945, pasal 22 UU no. 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan pasal 2 PP No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma. Berdasarkan berbagai ketentuan nasional dan internasional maka, cukup jelas bahwa kebutuhan akan pendampingan hukum dari advokat adalah sangat signifikan dalam
penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum diseluruh tingkatan proses hukum. Dalam menangani perkara anak, tentunya pendampingan advokat di segala tingkat proses hukum dapat membantu terjaminnya hak-hak anak yang tengah berhadapan dengan hukum serta mecegah terjadinya pelanggaran. Di sisi lain peran advokat juga dapat menciptakan suatu sinergi serta mekanisme check and balances diantara para penegak hukum untuk memastikan pemenuhan hak sang anak serta mengawal ketertiban prosedur dalam penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum termasuk dalam tingkatan post adjudication. II. Pentingnya Penekanan dalam Pendekatan Kewajiban dari para Pihak yang Terkait dalam Penanganan Perkara Anak yang Berhadapan dengan Hukum Baik Rancangan Naskah Akademik dan Rancangan UU Sistem Pemasyarakatan yang disosialisasikan masih menggunakan perspektif hak, dalam artian apa saja yang menjadi hak dari anak yang berhadapan dengan hukum. Jikapun ada penekanan terhadap kewajiban pihak lain maka, penekanan tersebut lebih diberikan kepada Balai Pemasyarakatan (Bapas), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS). Bertolak dari temuan ini maka penting kiranya penyusunan rancangan naskah Akademik dan UU tentang Sistem Pemasyarakatan, terutama yang terkait dengan penanganan perkara anak, memberikan penekanan pula kepada kewajiban dari para pihak lainnya yang terlibat. Penekanan kewajiban kepada institusi-institusi penegak hukum lainnya, termasuk advokat, juga diperlukan dalam pemenuhan hak-hak dari anak yang berhadapan dengan hukum di segala tingkatan proses hukum. Sebagai contoh, dalam rancangan yang telah disosialisasikan belum terlihat adanya penekanan akan kewajiban para penegak hukum untuk menginformasikan hak-hak sang anak serta kewajiban untuk mencarikan bantuan hukum khususnya pendampingan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Hal ini perlu diperhatikan sebagai bentuk pembelajaran dan penyadaran bagi institusi-institusi penegak hukum, termasuk advokat, akan kewajiban mereka terhadap generasi penerus bangsa.
III. Perumusan Secara Jelas Mekanisme dan Prosedur Tata Cara Pemenuhan Hak-Hak Anak dalam Rancangan Naskah Akademik dan RUU Sistem Pemasyarakatan Berdasarkan pengalaman, baik pencari keadilan maupun penegak hukum akan kesulitan dengan ketiadaan tata cara pemenuhan hak-hak dalam system pemasyarakatan di Indonesia dalam UU Pemasyarakatan yang saat ini berlaku. Jikapun terdapat amanat UU yang menyatakan persyaratan dan mekanisme pemenuhan hak akan diatur dalam PP, maka biasanya PP tersebut juga tidak akan menerangkan mengenai mekanisme tersebut secara detail dan mengamanatkan agar diterangkan lebih lanjut dalam bentuk peraturan perundang-undangan lainnya dan seterusnya. Tak jarang pula ditemukan keadaan di mana terdapat kekosongan hukum karena peraturan pelaksana yang diamanatkan belum disusun atau belum disahkan. Hal ini tentunya berdampak buruk bagi penegakkan hukum di Indonesia, kepastian hukum sulit untuk dicapai dan pada akhirnya menyebabkan pelanggaran hak bagi warga negara. Permasalahan semacam ini tentunya perlu untuk ditanggulangi, salah satunya dengan turut menyertakan tata cara pemenuhan hak-hak di dalam Rancangan Naskah Akademik dan RUU Sistem Pemasyarakatan. Dengan begini maka kepastian hukum akan lebih terjamin, proses hukum akan lebih lancar, serta dapat memperkecil kemungkinan pelanggaran hak.