BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

PENDAHULUAN Latar Belakang

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. yang mendasar atau bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang penyelenggaraannya

I. PENDAHULUAN. bagi setiap manusia untuk tercukupi kebutuhannya. Pangan merupakan bahan

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung)

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijamin dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk pemenuhan aspirasi

JIIA, VOLUME 5 No. 2, MEI 2017

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Untuk mencapai SDM

BAB II LANDASAN TEORI. bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN:

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. tahun 2004, konsumsi protein sudah lebih besar dari yang dianjurkan yaitu

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Jumlah sampel dalam kecamatan (KK) Nama Desa. KK tidak

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

GUBERNUR SUMATERA BARAT

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ketahanan Pangan Masyarakat

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah

METODE. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan b. Data NBM tahun (sekunder)

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar yang permintaannya terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup. Pangan sangat berkaitan dengan pemenuhan gizi sehingga memiliki peran yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pangan menurut Undang-Undang Pangan No 7 tahun 1996, merupakan salah satu kebutuhan pokok yang pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Menurut Soekirman (1996), ketahanan pangan diartikan sebagai adanya jaminan bahwa setiap penduduk di suatu negara, selalu tercukupi kebutuhanpangan dan gizinya sebagai syarat utama untuk mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan. Permasalahan pangan masih menjadi isu global yang menarik dari waktu ke waktu. Berdasarkan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) tahun 2010-2014, tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan baik di tingkat makro (nasional) maupun ditingkat mikro (rumahtangga/individu). Sejalan dengan hal tersebut, RPJMN 2010-2014 menjadikan pembangunan ketahanan pangan menjadi prioritas ke-5 (BKP, 2014). Selain itu, hasil KTT Pangan 2009 adalah untuk mendorong terealisasinya target SDG s (Suistainable Development Goals) nomor 2 yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong pertanian yang berkelanjutan. Sebagai salah satu negara yang memiliki komitmen untuk menurunkan kemiskinan, Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung tercapainya kesepakatan tersebut. Di sisi lain, ketahanan pangan dan gizi sangat terkait dengan kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian, mengabaikan masalah ketahanan pangan dan gizi berarti mengabaikan kualitas sumber daya manusia. 1

Kemampuan penduduk untuk memperoleh pangan yang selanjutnya disebut akses pangan, erat hubungannya dengan kemiskinan (Arijal, 2013). Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang jumlah penduduk miskinnya terbanyak yaitu sebesar 4.375.2000 jiwa pada tahun 2013 (BPS, 2013). Berdasarkan wilayahnya, Jawa Barat terdiri atas 17 kabupaten dan 9 kota, dimana Kabupaten Bogor merupakan kabupaten yang paling banyak menyumbang jumlah penduduk miskin di Jawa Barat pada tahun 2013 yaitu sebesar 4.991.000 jiwa sementara Kota Banjar memiliki jumlah penduduk miskin terendah di Jawa Barat yaitu 128.000 jiwa. Kemiskinan adalah penyebab utama terjadinya kelaparan dan menyebabkan rendahnya daya beli terhadap bahan makanan rendah sehingga status kecukupan gizi masyarakat tidak terpenuhi (Arijal, 2013). Daya beli pangan yang rendah membuat sebagian rumahtangga terfokus mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat. Kabupaten Bogor merupakan produsen pangan sumber karbohidrat yang cukup dominan (BKP, 2014). Di satu sisi, Kota Banjar merupakan daerah pengembangan yang memiliki potensi daerah pertanian yang cukup tinggi. Meskipun berstatus daerah perkotaan, hampir 60 persen penduduk kota Banjar bermatapencaharian sebagai petani. Sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar 21 persen dari total kegiatan ekonomi (BPS, 2014). Kondisi pertanian yang cukupbesar, idealnya mampu memenuhi kebutuhan akan pangan bagi penduduk. Hal ini akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan, kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dan status gizi penduduknya. Proses sebab akibat dari kemiskinan adalah kelaparan atau kekurangan pangan (Arijal, 2013). Berdasarkan data BPS mengenai garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2014 tercatat sebanyak 9,61 % penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan dan lebih rendah dari angka kemiskinan nasional sebesar 11,47 %. Garis Kemiskinan Kabupaten Bogor mengalami peningkatan di tahun 2014 yaitu sebesar Rp 280.312 per kapita/bulan dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp. 271.970. Walaupun garis kemisikinan di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan setiap tahunnya tetapi garis kemisikinan tersebut masih lebih rendah daripada rata-rata garis 2

kemiskinan Jawa Barat yaitu sebesar Rp 276.825 per kapita/bulan (BPS, 2013). Garis kemiskinan Kota Banjar juga mengalami peningkatan pada tahun 2014 yaitu sebesar Rp. 260.724 yang sebelumnya pada tahun 2013 sebesar 250.311 per kapita/bulan. Walaupun begitu, garis kemiskinan Kota Banjar tetap jauh lebih rendah dari Kabupaten Bogor dan Provinsi Jawa Barat (BPS, 2012-2013). Tingkat pendapatan akan mempengaruhi daya beli masyarakat dan dapat menentukan jenis-jenis pangan yang dapat di konsumsinya (Cahyaningsih, 2008). Tingkat pendapatan dapat mengukur kesejahteraan penduduk, dimana semakin meningkatnya pendapatan akan terjadi pergeseran pola konsumsi yaitu penurunan porsi pengeluaran makanan dan peningkatan porsi pengeluaran non makanan (BPS, 2014). Rata-rata pengeluaran perkapita di Kabupaten Bogor mengalami penurunan dari Rp 738.744 di tahun 2012 menjadi Rp 714.298 pada tahun 2013. Nilai tersebut juga lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran per kapita Jawa Barat pada tahun 2013 yang sebesar 729.315. Berbeda dengan Kota Banjar, walaupun nilai rata-rata pengeluarannya lebih rendah dari Kabupaten Bogor dan Jawa Barat selama periode 2013-2014, tingkat kesejahteraan penduduk Kota Banjar mengalami sedikit peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh semakin meningkatnya tingkat pengeluaran perkapita sebagai proksi pendapatan. Pengeluaran nominal per kapita penduduk meningkat dari Rp 620.978 pada tahun 2013 menjadi Rp 651.018 pada tahun 2014 (Statistik Daerah Kabupaten Bogor dan Kota Banjar, 2015). Sejalan dengan perkembangan perekonomian dan meningkatnya kesejahteraan penduduk di Kabupaten Bogor dan Kota Banjar, pola konsumsi masyarakat perlahan-lahan mengalami perubahan. Terlebih saat terjadi peningkatan harga-harga barang selama tahun 2014 yang berpotensi terhadap inflasi. Hampir dari semua jenis barang kebutuhan pokok harganya naik pada pertengahan tahun 2014, hal tersebut dipengaruhi oleh harga yang naik di tingkat produsen dengan adanya perayaan hari besar agama pada awal triwulan tiga (BPS, 2014). Sehingga porsi pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan makanan pada tahun 2014 di Kota Banjar menurun, yaitu 54,29 persen, dibandingkan porsi pengeluaran makanan pada tahun 3

2013 yang sebesar 55,75 persen. Sedangkan persentase pengeluaran untuk makanan di Kabupaten Bogor di tahun 2013 sebesar 50,93 % hampir sama dibandingkan non makanan yaitu 49,07 %. Pengeluaran untuk makanan dan non makanan saling terkait satu sama lain. Rumahtangga yang memiliki pendapatan terbatas akan menggunakan pengeluarannya untuk pangan yang lebih besar jika dibandingkan dengan pengeluaran non pangannya. Sehingga kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah sebagian besar pendapatannya ditujukan untuk membeli makanan dan hal ini akan mempengaruhi pola konsumsi pangannya (BPS, 2014). Kebutuhan pangan untuk konsumsi rumah tangga merupakan hal pokok dalam kelangsungan hidup. Ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu wilayah belum menjamin terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi (BKP,2010). Untuk itu, selain ketersediaannya juga perlu diperhatikan pola konsumsi rumah tangga atau keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi standar gizi yang dianjurkan. Pola konsumsi pangan rumah tangga dipengaruhi oleh pola makan sebagian besar penduduk, ketersediaan bahan pangan, dan tingkat pendapatan (Suhardjo 1989). Sasaran pembangunan bidang pangan saat ini adalah mewujudkan ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional dan rumah tangga (DKP,2009). Sebagai upaya mencapai sasaran tersebut pemerintah menetapkan program peningkatan ketahanan pangan dengan salah satunya memperbaiki pola konsumsi pangan. Upaya pengkajian fenomena geosfer yang berupa pola konsumsi pangan rumahtangga dalam penelitian ini penting untuk diteliti karena tingkat konsumsi pangan dapat memberikan gambaran kondisi kesehatan penduduk di suatu wilayah yang ditinjau dari aspek keadaan gizinya. Pola konsumsi pangan dapat di ukur berdasarkan kuantitas dan kualitas. Pengukuran secara kuantitas dapat dikaji berdasarkan tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP), sedangkan pengukuran secara kualitas menggunakan indikator pola pangan harapan (PPH) yang dikenal dengan pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan. 4

1.2 Perumusan Masalah Wilayah Kabupaten Bogor masih tergolong perdesaan yang menitikberatkan pada sektor pertanian terutama komoditas padi. Selain itu, Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah penyangga Ibukota Negara Republik Indonesia. Hal ini menyebabkan lahan pertanian khususnya lahan sawah semakin sedikit karena banyak beralih fungsi menjadi permukiman dan industri. Padahal, sektor pertanian di Kabupaten Bogor memegang peranan penting dalam PDRB. Luas lahan sawah di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 46.589 Ha dibandingkan dengan tahun sebelumnya seluas 47.663 Ha (BPS, 2014). Menurut BPS pada tahun 2014, Kota Banjar merupakan daerah pengembangan di Jawa Barat dan salah satu kota di Jawa Barat yang luas lahan pertaniannya masih cukup luas yaitu kurang lebih duaperlima wilayahnya adalah pesawahan, perkebunan, dan hutan rakyat (BPS, 2014). Daerah perkotaan identik dengan lemahnya potensi pertanian,namun berbeda dengan Kota Banjar. Meskipun berstatus wilayah perkotaan sebagian penduduk Kota Banjar masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencahariannya. Sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar 21 persen dari total kegiatan ekonomi sehingga untuk saat ini ketersediaan pangannya masih terbilang mencukupi (BPS, 2014). Melihat dari latar belakang tersebut, meskipun Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak di Jawa Barat, tetapi wilayah pertaniannya sangat mendukung. BKP Jawa Barat tahun 2014 menerangkan bahwa Kabupaten Bogor memiliki luas lahan pertanian terluas peringkat 8 di Jawa Barat. Meskipun Kabupaten Bogor berstatus desa, letak administrasinya yang dekat dengan Ibukota mengakibatkan sering terjadinya konservasi lahan (Bapeda, 2013). Tentunya hal tersebut akan mempengaruhi pola konsumsi pangannya terutama karbohidrat, karena Kabupaten Bogor merupakan produsen pangan sumber karbohidrat yang cukup dominan. Sehingga gambaran mengenai pola konsumsi pangan rumahtangga penting untuk diteliti. 5

Menurut Ariani (1993), daerah perkotaan identik mengkonsumsi pangan berenergi lebih sedikit dan mengkonsumsi protein lebih besar dibandingkan pedesaan. Tetapi, justru pola konsumsi energi di Kota Banjar relatif mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat (BKP,2014). Padahal, jumlah penduduk miskin di Kota Banjar paling rendah di Jawa Barat. Kota Banjar meskipun berstatus daerah perkotaan, sebagian penduduknya masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencahariannya sehingga ketersediaan pangannya tercukupi. Tercukupinya ketersediaan pangan di tingkat wilayah belum tentu dapat mencukupi ketersediaan pangan di tingkat rumahtangga (Arijal,2013). Antara satu daerah dengan daerah lain memiliki perbedaan dalam memperoleh pangan yang di konsumsi, perbedaan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi (Cahyaningsih,2008). Dalam hal ini penting untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi pangan rumahtangga beserta faktor apa saja yang paling mempengaruhinya. Sehingga masalah tersebut sangat penting di teliti. Oleh karena itu, beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini antara lain : 1. Bagaimana pola konsumsi pangan rumahtangga di Kabupaten Bogor dan Kota Banjar? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi tingkat konsumsi energi dan protein di Kabupaten Bogor dan Kota Banjar? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola konsumsi pangan rumahtangga di Kabupaten Bogor dan Kota Banjar. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tingkat konsumsi energi dan protein di Kabupaten Bogor dan Kota Banjar. 1.4 Manfaat Penelitian Secara teoritis penelitian Pola Konsumsi Pangan di Kabupaten Bogor dan Kota Banjar dapat berguna dalam perkembangan ilmu geografi khususnya dalam bidang geografi pertanian yang mengkaji aspek ketahanan pangan. Secara praktis 6

penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengembangan kajian pola konsumsi pangan untuk ketahanan pangan dan gizi di kabupaten-kabupaten lain. Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan untuk memberikan gambaran informasi yang berkaitan dengan polakonsumsi pangan rumahtangga kepada pemerintah dan instansi terkait. Dengan demikian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan kebijakan dalam program peningkatan kesejahteraan mayarakat dan perbaikan gizi serta sebagai bahan evaluasi terhadap program yang telah dilakukan berkaitan dengan pangan dan gizi. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang pernah ada, diantaranya dalam aspek keruangan yaitu perbandingan dua wilayah akan menggambarkan keberagaman pola konsumi pangan dengan menganalisis tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP). Ada beberapa kajian serupa yang telah dikemukakan atau diteliti oleh peneliti-peneliti terdahulu yang mendukung keaslian penelitian ini disajikan pada Tabel 1.1 Penelitian Ariani (1993) menggunakan data Susenas 1990 dan metode analisis deskriptif untuk melihat gambaran pola konsumsi dan analisis model Almost Ideal Demand System (AIDS). Hasil penelitian tersebut menunjukkan beras menjadi pola pangan pokok tunggal di Sumatera Barat, sedangkan dari Sulawesi Selatan dan Jawa Timur mempunyai pola konsumsi pangan pokok yang lebih dari satu. Penelitian Nurnaningsih (2003) tentang pengembangan pola konsumsi pangan penduduk dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Penelitian tersebut menggunakan data Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) tahun 2001 yang dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian Nurnaningsih (2003) berdasarkan data PKG tahun 2001 menunjukkan beras merupakan bahan makanan yang paling banyak dikonsumsi dari berbagai jenis bahan makanan sumber karbohidrat. Beras merupakan pangan pokok yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten Tasikmalaya. 7

Penelitian Cahyaningsih (2008) tentang Analisis Pola Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat dengan data Susenas tahun 2005 dan 2007 Data yang diolah dengan menggunakan software Program Aplikasi Perencanaan Pangan dan Gizi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa umumnya konsumsi beras terlihat masih mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat, baik di pedesaan, perkotaan maupun wilayah Jawa Barat. Apabila dilihat dari tipe daerah terlihat bahwa rata-rata konsumsi beras di rumah tangga di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, baik pada tahun 2005 maupun 2007. Selain itu, terigu jugamenjadi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat di pedesaan, perkotaan maupun wilayah Jawa Barat, baik pada tahun 2005 maupun 2007. Penelitian oleh Lusia (2005) tentang Tingkat Kemampuan Swadaya Pangan (Beras) Daerah Pedesaan Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode yang digunakan yaitu metode survey dengan analisa deskriptif kuantitatif dengan menggunakan data sekunder yaitu produksi beras serta kualitatif mengenai distribusi beras di desa-desa DIY. Hasil dari penelitian tersebut yaitu di Propinsi DIY terdapat dua kelompok daerah dengan kemampuan swadaya pangan yang berupa produksi, daya beli dan distribusi ke desa-desa di DIY. Penelitian oleh Ebinar (2005) tentang Pengembangan Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Metode yang digunakan adalah statistik deskriptif dengan data sekunder meliputi data untuk menghitung kecukupan energi rata-rata penduduk, data untuk mengetahui pola konsumsi pangan penduduk dan data untuk memperkirakan konsumsi pangan penduduk dengan pendekatan PPH. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi penduduk Kabupaten Karo adalah 1.848,39 kkal atau 80,85 % dari kecukupan energi yang dianjurkan untuk Kabupaten Karo dan termasuk golongan defisit energi ringan dengan TKE diantara 80-90%. Konsumsi pangan penduduknya masih belum memenuhi kecukupan gizi dan mutunya relatif rendah. Mutu yang rendah ditunjukkan oleh skor PPH 63,21 termasuk kategori segitiga perunggu karena skor pphnya kurangn dari 78 (Suhardjo, 1998). 8

Penelitian oleh Agung Anggoro (2010) tentang Analisis Konsumsi Pangan Penduduk Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dalam bentuk electronic file berupa entri data dan hasil pengolahan Riskesdas 2010. Metode yang digunakanan untuk analisis adalah analisis deskriptif, uji normalitas, serta korelasi Spearman. Hasil penelitiannya menunjukkan rata-rata konsumsi protein rumah tangga 50.82 ± 27.1 g/kap/hari. Tingkat konsumsi energi (TKE) sebagian besar rumah tangga masuk ke dalam kategori defisit tingkat berat (53.1%), tingkat konsumsi protein (TKP) sebagian besar rumah tangga masuk kategori normal dan lebih (47.2%) dan skor pola pangan harapan (PPH) sebesar 76.6. Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (P>0.05) antarapendidikan ibu, besar keluarga dan pengeluaran pangan rumah tangga dengan TKE dan TKP rumah tangga. Penelitian oleh Indy Fitria Adicita (2007) tentang Studi Perumusan Kebijakan Perencanaan Pangan dan Gizi Berdasarkan Pola Pangan Harapan di Kota Banjar Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang meliputi : status gizi dankonsumsi pangan rumah tangga Kota Banjar, jumlah penduduk dan lajupertumbuhan penduduk, komposisi penduduk menurut umur, dan jenis kelamin, jumlah produksi pangan, kesehatan penduduk dan status gizi serta keadaangeografis. Data yang digunakan dalam penelitian bersumber dari DinasKesehatan, Dinas pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Banjar, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Satistik Kota Banjar. Data status gizi dan konsumsi pangan yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan program microsoft excell dan software Aplikasi Komputer Analisis kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Kabupaten/Kota dan Provinsi yang dikembangkan oleh Heryatno, Baliwati, Martianto, & Herawati (2005). Metode yang digunakanan untuk analisis adalah analisis deskriptif. Hasil penelitiannya menunjukkan tingkat konsumsi energi penduduk KotaBanjar yaitu sebesar 62.2 persen (1210 kkal/kapita/hari) dari AKE Kota Banjar 1944 kkal/kapita/hari. Apabila dibedakan berdasarkan status ekonomi yaitu rumah tangga 9

miskin dan tidak miskin, maka dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi energi penduduk rumah tangga tidak miskin Kota Banjar masih kurang jika dibandingkan dengan AKE yang dianjurkan yaitu 64.4 persen (1252 kkal/kapita/hari) dari AKE Kota Banjar. Tingkat konsumsi energi untuk penduduk rumah tangga miskin juga masih di bawah AKE yang dianjurkan yaitu 60.2 persen (1 170 kkal/kapita/hari) dari AKE Kota Banjar.Kota Banjar mempunyai skor PPH sebesar 65.0, dengan kata lain skor PPH Kota Banjar masih jauh di bawah kondisi ideal (100). akan dicapai yaitu peningkatan kualitas konsumsi dengan skor PPH minimal 80. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa skor PPH Kota Banjar masih belum mencapai sasaran dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Apabila PPH Kota Banjar ingin mencapai kondisi ideal (100) pada tahun 2020, maka bila dilakukan proyeksi perlu dilakukan peningkatan skor PPH 10

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No Nama Peneliti Tahun Judul Metode Hasil/Kesimpulan 1. Ariani 1993 Kajian pola konsumsi dan permintaan pangan serta proyeksi kebutuhan pangan pada Repelita VI di tiga Provinsi di Indonesia 2 Nurnaningsih 2003 Pengembangan Pola Konsumsi Pangan Penduduk dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. 3 Cahyaningsih 2008 Analisis Pola Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat Metode analisis deskriptif Hasil penelitian tersebut menunjukkan untuk melihat gambaran pola beras menjadi pola pangan pokok tunggal konsumsi dan analisis model di Sumatera Barat, sedangkan dari Almost Ideal Demand System Sulawesi Selatan dan Jawa Timur (AIDS) untuk melihat mempunyai pola konsumsi pangan pokok permintaan pangan. yang lebih dari satu. Penelitian tersebut Hasil penelitian Nurnaningsih (2003) menggunakan metode analisis berdasarkan data PKG tahun 2001, beras deskriptif dengan data merupakan bahan makanan yang paling sekunder yaitu data banyak dikonsumsi dari berbagai jenis Pemantauan Konsumsi Gizi bahan makanan sumber karbohidrat. (PKG) tahun 2001 Beras merupakan pangan pokok yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian tersebut Umumnya konsumsi beras terlihat masih menggunakan metode analisis mendominasi pola konsumsi pangan deskriptif dengan data sumber karbohidrat, baik di pedesaan, sekunder (Susenas) tahun 2005 perkotaan maupun wilayah Jawa Barat. dan 2007 Data yang diolah Apabila dilihat dari tipe daerah terlihat 11

Lanjutan Tabel 1.1 Keaslian Penelitian 4. Wawan 2004 Interaksi Kemiskinan Dan Setiawan Ketahanan Pangan Analisis Ketersediaan Pangan Dan Akses PendudukTerhadap Pangan di DAS Progo. 5 Lusia 2005 Tingkat Kemampuan Swadaya Pangan (Beras) Daerah Pedesaan dengan menggunakan software Program Aplikasi Perencanaan Pangan dan Gizi Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu deskriptif kuantitatif yaitu dengan menggunakan data sekunder jumlah produksi padi dan jumlah penduduk. Metode yang digunakan yaitu metode survey dengan analisa bahwa rata-rata konsumsi beras di rumah tangga di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, baik pada tahun 2005 maupun 2007. Selain itu, terigu juga menjadi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat di pedesaan, perkotaan maupun wilayah Jawa Barat, baik pada tahun 2005 maupun 2007. Hasil dari penelitian tersebut yaitu bahwa ketersediaan pangan secara makro di Kabupaten Kulonprogo relatif lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Magelang,kemudian aspek-aspek yang mempengaruhi ketersediaan pangan antara lainjumlah produksi padi dan jumlah penduduk, hasil berikutnya yaitu mengenaiinteraksi antara kemiskinan dengan ketersediaan pangan di kedua daerahmenunjukan arah hubungan yang negatif. Hasil dari penelitian tersebut yaitu di Propinsi DIY terdapat dua kelompok 12

Lanjutan Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 6. Ebinar Tanta 2005 Pengembangan Pola Pangan Sembiring Harapan (PPH) di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara 7. Agung Anggoro 2010 Analisis Konsumsi Pangan Penduduk Provinsi DKI Jakarta deskriptif kuantitatif dengan menggunakan data sekunder yaitu produksi beras serta kualitatif mengenai distribusi beras di desa-desa DIY. Metode yang digunakan adalah statistik deskriptif dengan data sekunder meliputi data untuk menghitung kecukupan energi rata-rata penduduk, data untuk mengetahui pola konsumsi pangan penduduk dan data untuk memperkirakan konsumsi pangan penduduk dengan pendekatan PPH. Metode yang digunakanan untuk analisis adalah analisis deskriptif, uji normalitas, serta korelasi Spearman. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh daerah dengan kemampuan swadaya pangan yang berupa produksi, daya beli, dan distribusi di desa.desa DIY, Rata-rata konsumsi energi penduduk Kabupaten Karo adalah 1.848,39 kkal atau 80,85 % dari kecukupan energi yang dianjurkan untuk Kabupaten Karo dan termasuk golongan deficit energi ringan dengan TKE diantara 80-90%. Skor PPH 63,21 termasuk kategori segitiga perunggu karena skor pphnya kurangn dari 78 (Suhardjo, 1998) Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataratakonsumsi energi rumah tangga sebesar 1500 ± 711.48 kkal/kap/hari dan rataratakonsumsi protein rumah tangga 50.82 ± 27.1 g/kap/hari. Tingkat konsumsi energi (TKE) sebagian besar rumah 13

Lanjutan Tabel 1.1 Keaslian Penelitian dalam bentuk electronic file tangga masuk ke dalam kategori defisit berupa entri data dan hasil tingkat berat (53.1%), tingkat konsumsi pengolahan Riskesdas 2010. protein (TKP) sebagian besar rumah tangga masukkategori normal dan lebih (47.2%) dan skor pola pangan harapan (PPH) sebesar 76.6. Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (P>0.05) antara pendidikan ibu, besar keluarga dan pengeluaran pangan rumah tangga dengan TKEdan TKP rumah tangga. 8 Indy Fitria Adicita 2007 Studi Perumusan Kebijakan Perencanaan Pangan dan Gizi Berdasarkan Pola Pangan Metode yang digunakanan untuk analisis adalah analisis deskriptif. Hasil penelitiannya menunjukkan tingkat konsumsi energi penduduk KotaBanjar yaitu sebesar 62.2 persen Harapan di Kota Banjar Jawa (1210 kkal/kapita/hari) dari AKE Kota Barat. Banjar 1944 kkal/kapita/hari. Kota Banjar mempunyai skor PPH sebesar 65.0 dan masih jauh di bawah kondisi ideal (100) 14

Tabel 1.1 menunjukkanbahwa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan tema penelitian ini belum dikaji secara mendalam. Merujuk dari variasi hasil tentang pola konsumsi pangan penelitian sebelumnya, penelitian ini akan lebih berbeda dengan penelitian sebelumnya dan terutama Cahyaningsih (2008) walaupun mempunyai kesamaan lokasi yakni di Jawa Barat, hanya saja penelitian oleh Cahyaningsih (2008) hanya dilakukan di satu Kabupaten Bogor Jawa Barat, sedangkan penelitian ini akan membandingkan dua kabupaten/kota di Jawa Barat berdasarkan jumlah penduduk miskin. Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk misikin tertinggi dengan urutan pertama di Jawa Barat yaitu 4.991.000 jiwadan jumlah penduduk miskin terendah berada di Kota Banjar yaitu 128.000 jiwa (BPS,2013). 1.6 Tinjauan Pustaka Ketahanan pangan merupakan sebuah keadaan dimana semua orang, pada setiap waktu memiliki akses fisik dan ekonomi yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan sesuai dengan preferensinya sehingga memiliki kualitas hidup yang sehat dan produktif (FAO, 1996). Konsumsi pangan merupakan subsistem dalam sistem ketahanan pangan, yang bersama dengan subsistem ketersediaan pangan dan distribusi pangan serta subsistem penunjang akan membangun ketahanan pangan nasional (BBKP-Deptan, 2001) Pola konsumsi pangan merupakan salah satu sub sistem ketahanan pangan yang harus diperhatikan dalam suatu wilayah. Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman dan keseimbangan gizi, keamanan dan halal serta efisiensi untuk mencegah pemborosan.konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan gizi yang cukup dan 15

berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif (Thaha, dkk, 2000). Berbasis pada kebijakan pembangunan pertanian dan ketahanan pangan menurut FAO 1996, pemerintah menetapkan program peningkatan ketahanan pangan yang bertujuan antara lain meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan. Pelaksanaan pengembangan konsumsi pangan yang ditempuh dilakukan melalui pengembangan konsumsi pangan lokal dan penganekaragaman konsumsi pangan baik nabati maupun hewani yang ditujukan untuk meningkatkan kulitas konsums pangan masyarakat menuju keseimbangan gizi serta mengurangi ketergantungan terhadap beras dan pangan impor. Sasaran utama yaitu meningkatnya skor mutu pola pangan harapan. Kegiatan utama yang dilaksanakan adalah (1) peningkatan kesadaran masyrakat tentang perlunya konsumsi pangan dan gizi seimbang; (2) peningkatan penyediaan keragaman pangan dalam rangka diversifikasi konsumsi pangan melalui kegiatan pengembangan produk dn konsumsi pangan lokal dan olahan yang sesuai dengan cita rasa dan (3) peningkatan perlindungan konsumen atas mutu dan keamanan pangan (Dewan Bimas Ketahanan Pangan-Deptan, 2001) Pengembangan konsumsi pangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan zat gizi yang seimbang ditingkat rumah tangga. Dengan terpenuhinya konsumsi pangan beragam dari waktu ke waktu, dapat mengarah pada perbaikan konsumsi pangan penduduk baik jumlah maupun mutu termasuk keragaman dalam mewujudkan konsumsi pangan dengan gizi yang seimbang, maka penduduk dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatannya secara produktif (Ebinar, 2002). Menurut Hoang yang dikutip oleh Aminah (2005) pola konsumsi adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan mempunyai ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan adalah cara seseorang atau sekelompok orang (keluarga) dalam memilih makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologis, kebudayaan dan sosial. 16

Ariani (1993) dalam penelitiannya yang berjudul Kajian pola konsumsi dan permintaan pangan serta proyeksi kebutuhan pangan pada Repelita VI di tiga Provinsi di Indonesiamendefinisikan pola konsumsi sebagai jenis pangan dan jumlah energi yang dikonsumsi penduduk. Nurnaningsih (2003) tentang pengembangan pola konsumsi pangan penduduk dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat mendefinisikan pola konsumsi adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi penduduk. Dianarafah (1999) dalam penelitiannya menggunakan data Susenas tahun 1996 untuk Provinsi Jawa Timur mendefinisikan pola konsumsi sebagai jenispangan dan jumlah energi yang dikonsumsi penduduk. Penelitian tersebut menggunakan metode analisis deskriptif untuk melihat pola konsumsi panganyang diartikan sebagai banyaknya pangan yang dikonsumsi rumah tanggaselama seminggu yang lalu. Sedangkan Fachrina (2005) dengan menggunakan data Susenas tahun 2002 mendefinisikan pola konsumsi sebagai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dalam waktu tertentu, yang dinyatakan dalam gram perkapita per hari. Mengacu pada definisi pola konsumsi menurut Hoang yang dikutip oleh Aminah (2005) dan beberapa jenis penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ariani (1993), Nurnaningsih (2003), Dianarafah (1999), dan Fachrina (2005) dapat disimpulkan bahwa penelitian ini mengenai Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga di Kabupaten Bogor dan Kota Banjar (Analisis Data Susenas 2014) menerangkan bahwa pola konsumsi merupakan kebutuhan gizi bagi manusia mengenai apa yang di makan berdasarkan jenis pangan dari jumlah energi dan protein yang dikonsumsi rumahtangga akan menentukan kuantitas konsumsi rumahtangga. Sedangkan keanekaragaman jenis pangan yang di konsumsi dapat dilihat dari kelompok bahan makanan yang telah di kelompokan oleh pola pangan harapan (PPH) akan menentukan kualitas konsumsi rumahtangga. Pola konsumsi pangan yang beragam dapat memberikan asupan zat gizi yang seimbang karena konsumsi pangan yang beragam dapat saling melengkapi 17

kekurangan zat gizi diantara jenis makanan yang dikonsumsi (Hardinsyah dkk, 2002). Keberagaman (diversifikasi) konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah dapat ditunjukkan melalui skor Pola Pangan Harapan (PPH), sehingga semakin tinggi skor mutu pangan hal ini menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisinya. PPH adalah jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. PPH tidak hanya memenuhi kecukupan gizi, akan tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli (Hardinsyah dkk, 2001). Pola konsumsi pangan dalam penelitian ini di dasari atas pemanfaatan atau penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan kalori, gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumahtangga atau individu, sanitasi, ketersediaan air, fasilitas layanan kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita (Nuhfil, 2008). Akses terhadap pangan (food access) yaitu kemampuan semuarumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperolehdari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial.akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan (Nuhfil, 2008). Faktor yang mempengaruhi perbedaan pola konsumsi adalah tingkat kesejahteraan msyarakat. Salah satu indikatornya adalah pendapatan per kapita, dimana peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan adanya perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat dengan asumsi bahwa peningkatan pendapatan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, 18

pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat dan perubahan pada berbagai faktor sosial ekonomi dan kependudukan tersebut juga mempengaruhi pola konsumsi pangan (Ebinar, 2002) Menurut Suharjo (1989) pola konsumsi pangan ditentukan oleh tiga faktor yang paling dominan, yaitu: 1) kondisi ekosistem yang mencakup penyediaan bahan makanan alami, 2) kondisi ekonomi yang menentukan daya beli, dan 3) pemahaman konsep kesehatan dan gizi. Tingkat pendapatan keluarga mempunyai hubungan yang erat terhadap perubahan konsumsi pangan, walaupun terdapat kenaikan pendapatan, namun tidak selalu diikuti oleh perubahan konsumsi pangannya (Sanjur 1982). Widyanto (2007) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga dan pendapatan keluarga mempengaruhi pengeluaran konsumsi rumah tangga. Hamid dkk (2013) menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan rumahtangga baik kuantitas dan kualitasnya adalah pendidikan ibu rumah tangga. Hardinsyah (2007) menyatakan terdapatlima faktor yang diduga merupakan determinanpenting keragaman konsumsi pangan yaitu, daya beli, pengetahuan gizi, waktuyang tersedia untuk pengelolaan pangan, kesukaan pangan dan ketersediaanpangan. Hasil analisis Asmar dkk (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pangan adalah pendidikan ibu rumah tangga dan jumlah anggota rumah tangga. Ada dua variabel yang juga memberikan pengaruh dominan terhadap pola konsumsi pangan rumahtangga yaitu pendidikan kepala rumhtangga dan pendapatan (Cahyani 2008). Keynes mengemukan bahwa konsumsi adalah fungsi positif dari pendapatan dan rumah tangga yang berpendapatan tinggi mengkonsumsi bagian yang lebih sedikit dari pendapatan mereka dibandingkan rumah tangga yang berpendapatan rendah. Teori Konsumsi Siklus Hidup merupakan perluasan dari teori Keynes. Teori Konsumsi Siklus Hidup menunjukkan bahwa rumah tangga mengambil keputusan konsumsi sepanjang hidup yang didasarkan pada harapan mereka atas pendapatan seumur hidup ( Case dan Fair, 2002). 19

Case dan Fair (2002) menyatakan bahwa perilaku rumah tangga dalam perekonomian makro, konsumsi rumah tangga tidak sekedar tergantung pada pendapatan. Rumah tangga menentukan konsumsi dan penawaran tenaga kerja secara serempak, dan melihat ke depan dalam mengambil keputusan mereka. Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Semakin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, maka semakin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga dapat digunakan untuk melihat pola konsumsi dan tingkat kesejahteraan dari rumah tangga yang bersangkutan. Direktori Badan ketahanan Pangan (2009) melihat bahwa rumahtangga yang tingkat pendapatannya di atas Rp 100.000/kapita/bulan, pola konsumsi pangan pokoknya terdiri dari beras dan terigu. 1.7 Landasan Teori 1.7.1 Pengertian Pangan Menurut Food and Agricultural Organization (FAO) tahun 1996 yang dikeluarkan oleh badan dunia untuk urusan pangan, definisi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air,baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk di dalam pengertian pangan adalah bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan minuman. 20

Suhardjo (1998) menyebutkan bahwa pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi pangan. Lebih lanjut Suharjo (1998) menyatakan bahwa pangan adalah bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja, penggantian jaringan dan mengatur proses-proses di dalam tubuh. Selain itu ada pula pengertian yang dimaksud pangan pokok, yaitu bahan pangan yang dimakan secara teratur oleh sekelompok penduduk dalam jumlah cukup besar, untuk menghasilkan sebagian besar sumber energi. Pangan di konsumsi manusia untuk mendapatkan energi yang berupa tenaga untuk melakukan aktivitas hidup (antara lain bernapas, bekerja, membangun, dan mengganti jaringan yang rusak). Pangan merupakan bahan bakar yang berfungsi sebagai sumber energi. 1.7.2 Pola Konsumsi Pangan Menurut Hoang yang dikutip oleh Aminah (2005) pola konsumsi pangan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan mempunyai ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pengembangan konsumsi pangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan zat gizi yang seimbang ditingkat rumah tangga. Dengan terpenuhinya konsumsi pangan beragam dari waktu ke waktu, dapat mengarah pada perbaikan konsumsi pangan penduduk baik jumlah maupun mutu termasuk keragaman dalam mewujudkan konsumsi pangan dengan gizi yang seimbang, maka penduduk dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatannya secara produktif (Ebinar, 2002). Pola konsumsi masyarakat dapat tercermin dari pola konsumsi pangannya di tingkat rumah tangga yang diindikasikan dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG) masyarakat. Menurut rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) Tahun 2004, rata rata untuk kalori sebesar 2.000 kilo kalori/kapita/hari dan untuk protein 52 gr/kap/hari. 21

Pengukuran pola konsumsi pangan di ukur berdasarkan segi kuantitas dan kualitasnya. Secara kuantitas di ukur dengan tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP). Sedangkan secara kualitas berdasarkan pola pangan harapan (PPH). Konsumsi pangan yang baik berdasarkan pola konsumsi pangan bertujuan untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Harper dkk (1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis pangan, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Tingkat konsumsi, lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Pola konsumsi masyarakat di desa dan di kota berbeda karena masyarakat di kota lebih mementingkan kandungan zat gizi makanan dari bahan makananyang dikonsumsi (Cahyaningsih 2008). Dilihat dari keadaan sosial ekonomi, penduduk kota memilik tingkat pendapatan lebih tinggi serta akses, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan lebih baik, tersedianya tenaga kesehatan, serta lapangan usaha mayoritas penduduk pegawai dan wiraswasta, sedangkan di desa, pola konsumsi masyarakat kurang memenuhi syarat dilihat dari keadaan sosial ekonomi yang tidak mampu, fasilitas kesehatan yang terbatas, fasilitas pendidikan kurang, tersedianya tenaga kesehatan serta lapangan kerja penduduk mayoritas petani dan buruh (Windarsih, 2008). 1.7.3 Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan (Desirable Dietary Pattern) adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan (Baliwati, 2004). Tujuan PPH adalah untuk menghasilkan suatu komposisi normalatau (standart) pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (Nutricional Balance) didukung oleh cita 22

rasa (Porlability), daya cerna (digestability), daya terima masyarakat (Acceptability), kualitas dan kemampuan daya beli (Affadability) (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Jombang, 2003:2). Kegunaan PPH adalah : (1) sebagai instrumen menilai ketersediaan dan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan (2) disamping itu juga berguna sebagai basis untuk perhitungan skor PPH yang digunakan sebagai indikator mutu gizi pangan dan keragaman konsumsi pangan baik pada tingkat ketersediaan maupuntingkat konsumsi (3) untuk perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan 2006:2). Menurut (Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI. Jakarta : 1999) langkah-langkah perhitungan skor PPH dilakukan dengan: 1) Menghitung jumlah energi masing-masing kelompok bahan makanan dengan menggunakan daftar komposisi bahan makanan. 2) Menghitung prosentase energi masing-masing kelompok bahan makanan tersebut terhadap total energi (kalori) per hari dengan rumus% terhadap total kalori = Energimasing masingkelompokbahanmakanan Jumlahtotalenergi x 100 % 3) Menghitung skor PPH tiap kelompok bahan makanan dengan rumus:skor PPH kelompok bahan makanan = % terhadap energi x bobot 4) Menjumlahkan skor PPH semua kelompok bahan makanan sehingga diperoleh skor PPH. Bobot untuk masing-masing kelompok bahan makanan dapat dilihat dalam Tabel 1.2 23

Tabel 1.2 Bobot kelompok bahan makanan untuk perhitungan PPH No Kelompok Bahan Makanan Bobot 1 Padi-padian 0,5 2 Umbi-umbian 0,5 3 Hewani 2,0 4 Minyak atau lemak 1,0 5 Kacang-kacangan 2,0 6 Buah/biji berminyak 0,5 7 Gula 0,5 8 Sayur-sayuran dan buah 2,0 Sumber : Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI. Jakarta : 1999 Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) tahun 1998 telah menetapkan 2200 Kkal perkapita perhari di tingkat konsumsi dan 2500 Kkal perkapita perhari untuk tingkat ketersediaan sebagai Angka Kecukupan Energi (AKE) Tingkat Nasional. Sedangkan rekomendasi WKNPG ke-viii tahun 2004, dalam satuan rata-rata perkapita perhari untuk energi 2000 Kkal dan protein 52 gram. Untuk mengetahui pola konsumsi masyarakat baik Nasional maupun Regional, AKE tersebut perlu di terjemahkan ke dalam satuan yang lebih dikenal oleh para perencana pengadaan pangan atau kelompok bahan pangan. Selain mengacu pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, acuan untuk menilai tingkat keragaman ketersediaan pangan, yaitu Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor 100 sebagai PPH ideal. Semakin tinggi skor mutu gizi pangan menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya (Baliwati, 2004) Sejak diperkenalkan pada awal dekade sembilan puluhan, PPH kemudian digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro, dan skor PPH dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan pangan dari dimensi ketahanan dan konsumsi pangan. Hal ini merupakan kekuatan dari pendekatan PPH. Namun, selain kekuatannya tersebut terdapat juga kelemahan yakni bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu di adaptasi 24

sesuai kondisi dan pola pangan dimasing-masing negara (PSKPG-IPB dan BBKP- Deptan, 2001) Suhardjo (1998) melakukan penilaian untuk keberhasilan penganekaragaman konsumsi pangan berdasarkan skor mutu PPH yang dicapai dengan kategori sebagai berikut : a. Segitiga Perunggu Skor mutu pangan kurang dari 78, dengan ciri-ciri antara lain : - Energi dari padi-padian dan umbi-umbian masih tinggi di atas norma PPH. - Energi dari pangan hewani, sayur dan buah serta kacangan-kacangan masih rendah di bawah norma PPH. - Energi dari minyak dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH. b. Segitiga Perak Skor mutu pangan 78-87, dengan ciri-ciri antara lain : - energi dari padi-padian dan umbi-umbian semakin menurun, namun masih di atas norma PPH. - Energi dari pangan hewani, sayur dan buah masih rendah di bawah norma masing-masing antara 8-12% dan 4-5% - Energi dari minyak, kacang-kacangan dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH c. Segitiga Emas Skor mutu pangan 88 ke atas, dengan cirri-ciri antara lain : - Energi dari padi-padian sedikit di atas norma PPH atau relatif sama. - Energi dari pangan hewani di atas 12 % atau relatif sama dengan norma PPH. - Energi dari kelompok pangan lain sudah relatif memenuhi norma PPH. 1.7.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Secara teoritis, secara umum pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, budaya, ketersediaan pangan dan produksi pangan. Menurut Ritche (1967) diacu dalam Nurfarma (2005), faktor ekonomi merupakan faktor penting yang mempengaruhi konsumsi pangan. Salah satu ukuran keadaan ekonomi rumah tangga 25

adalah pendapatan atau pengeluaran rumah tangga. Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Semakin baik tingkat pendapatan, tingkat konsumsi semakin tinggi. Kenaikan tingkat pendapatan memudahkan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar dan peningkatan kehidupan juga menjadi berubah (Suyanto, 2004). Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Tingkat pengeluaran terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Tingkat kebutuhan/ permintaan (demand) terhadap kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda- beda. Dalam kondisi pendapatan terbatas, kebutuhan makanan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan, maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan (BKP, 2010). Jenis pekerjaan kepala rumahtangga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan. Jenis pekerjaan tersebut yang akan menentukan besar kecilnya suatu tingkatan pendapatan. Kepala rumahtangga yang bekerja akan lebih mudah mengakses pangan dibandingkan kepala rumahtangga yang tidak bekerja. Kepala rumahtangga yang tidak bekerja atau tidak memiliki pekerjaan tetap akan menyulitkan rumahtangga dalam memenuhi kebutuhan pangannya (Mardiana,2010) Menurut Syarief dan Martianto (1991) jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh produksi, ketersediaan pangan nasional ataupun ketersediaan di pasar, tetapi juga daya beli masyarakat, kesukaan, pendidikan, nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat dan sebagainya. Ketersediaan pangan suatu rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rumah tangga tersebut. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam (Sayogyo 1983). Pendapatan dan harga pangan merupakan faktor penentu daya beli rumah tangga. Suatu rumah tangga akan memilih pangan 26

untuk dikonsumsi sesuai dengan tingkat daya beli rumah tangga tersebut. Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberi peluang yang lebih besar bagi rumah tangga untuk memilih pangan yang lebih baik dalam jumlah maupun gizinya. Budaya menentukan apa yang akan digunakan sebagai makanan, dalamkeadaan bagaimana, kapan seseorang boleh atau tidak memakannya, apa sajayang dianggap pantangan dan sebagainya. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip gizi. Berbagai budaya memberikan peran dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan/makanan, misalnya bahan-bahan makanan tertentu karena alasanalasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi ekonomi maupun sosial (Suhardjo 1989). Tingkat pendidikan kepala rumah tangga dapat dijadikan cerminan keadaan sosial ekonomi didalam masyarakat. Semakin tinggi pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang, semakin tinggi investasi yang diperlukan. Tingkat pendidikan kepala rumahtangga, disamping merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian keluarga, juga berperan dalam pengambilan keputusan (Hidayat, 2005). Dalam memilih menu makanan yang mempunyai kandungan energi dan protein yang memadai serta pemilihan komposisi jenis makanan yang tepat diperlukan tingkat pengetahuan yang relatif tinggi, terutama tingkat pengetahuan kepala keluarga dan istri yang berperan sangat penting dalam menentukan keputusan konsumsi rumah tangga (Djauhari dan Friyanto 1993). Jumlah anggota rumah tangga akan mempengaruhi konsumsi. Rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga yang lebih besar cenderung mempunyai tingkat konsumsi yang tinggi. jumlah anggota rumah tangga biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan makan dan distribusi pangan antara anggota keluarga. Biasanya pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas (Djauhari & Friyanto 1993). Jumlah anggota rumah tangga menentukan sampai batas tertentu jumlah pangan yang dikonsumsi, ukuran ruang rumah tempat 27

tinggal, pengeluaran untuk pakaian, pendidikan, kesehatan dan rekreasi (Sicat dan Arndt, H., 1991). Menurut Sinaga dkk (2002) proporsi pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga. Perhitungan proporsi pengeluaran pangan pada tingkat rumah tangga menggunakan formula sebagai berikut : PF = PP X 100 % TP Dimana : PF = Proporsi pengeluaran pangan (%) PP = Pengeluaran untuk pangan rumah tangga (Rp/Bulan) TP = Total pengeluaran rumah tangga (Rp/Bulan). Tingkat ketahanan pangan rumah tangga diukur dengan indikator klasifikasi proporsi pengeluaran pangan dan kecukupan energi. Proporsi pengeluaran pangan mengukur ketahanan pangan dari aspek ekonomi, sedangkan pemenuhan kecukupan konsumsi pangan dalam satuan energi mengukur ketahanan pangan dari aspek gizi (Purwaningsih, 2010). Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang mempunyai proporsi pengeluaran rendah dan cukup mengkonsumsi energi. Proporsi pengeluaran pangan rendah yaitu kurang dari 60 % bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan. Hal ini mengindikasikan bahwa rumah tangga tahan pangan memiliki kemampuan untuk mencukupi konsumsi energi karena mempunyai akses yang tinggi secara ekonomi juga memiliki akses yang tinggi secara fisik. Rumah tangga rawan pangan adalah rumah tangga yang mempunyai proporsi pengeluaran tinggi dan kurang mengkonsumsi energi. Proporsi pengeluaran pangan tinggi yaitu lebih dari 60 % bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan. Ini mengindikasikan rendahnya pendapatan yang diterima oleh kelompok rumah tangga tersebut. Dengan rendahnya pendapatan yang dimiliki, rumah tangga rawan pangan dalam mengalokasikan pengeluaran pangannya tidak dapat memenuhi kecukupan energi (Purwaningsih, 2010). 28

1.7.5 Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan sebuah keadaan dimana semua orang, pada setiap waktu memiliki akses fisik dan ekonomi yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan sesuai dengan preferensinya sehingga memiliki kualitas hidup yang sehat dan produktif (FAO, 1996). Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yangterdiri atas berbagai subsistem (Maleha dan Adi Sutanto, 2006). Sub sistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsipangan. Menurut Maleha (2006) terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksiketiga subsistem tersebut terdiri dari : 1. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan sertakeseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga, walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan dapat dilihat dari jumlah stok-stok pangan yang dapat disimpan setiap tahun, dalam hal ini pangan bisa lebih dispesifikkan sebagai beras. Selain itu bisa juga dilihat dari jumlah produksi pangan misalnya beras, serta hal lain yang dapat mempengaruhi produksi pangan, seperti luas lahan serta produktivitas lahan. 2. Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk. 3. Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan,gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. 29

Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Pemerintah harus bisa mengontrol agar harga pangan masih terjangkau untuk setiap individu dalam mengaksesnya, karena kecukupan ketersediaan pangan akan dirasa percuma jika masyarakat tidak punya daya beli yang cukup untuk mengakses pangan. Oleh karena itu faktor harga pangan menjadi sangat vital perannya dalam upaya mencukupi kebutuhan konsumsi pangan. 1.7.5 Akses Pangan Akses pangan (food access)yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumahtangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan. Akses terhadap pangan dapat dilihat pada Gambar 1.1 melalui diagram yang mengacu pada (Webb and Beatrice dalam Nuhfil, 2008). 30

Gambar 1.1. Bagan Akses Pangan Sumber : Webb and Beatrice dalam Nuhfil, 2008 Penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumahtangga atau individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita (Riely dkk, 1999). 1.8 Kerangka Teori Ketahanan pangan diantaranya mencakup berbagai aspek ketersediaan pangan, konsumsi pangan hingga status gizi tingkat rumah tangga dan individu. Keadaan ketahanan pangan sangatlah penting diperhatikan karena dampaknya tidak hanya terjadinya rawan pangan saja tetapi dalam jangka panjang akan berpengaruh negatif pada kualitas sumberdaya manusia. Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi, namun dinilai belum mencukupi dalam konteks ketahanan pangan karena masih banyak variabel lain yang berpengaruh untuk mencapai ketahanan pangan tingkat daerah dan rumah tangga. 31