BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak. Penyebabnya adalah karena over eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan hutan menjadi lahan non-hutan, timber extraction, illegal loging, penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah dalam proses pengusahaan dan pengelolaan hutan. Laju degradasi hutan di Indonesia mencapai rataan 1-1,5 juta hektar sekaligus mengancam seluruh tipe habitat, dan menyebabkan penyusutan luas kawasan hutan sebanyak 20 persen sampai 70 persen. Akibat lanjutannya adalah fungsi lingkungan hutan yang mendukung kehidupan manusia terabaikan, beragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia menjadi rusak dan hilang. Semua ini mengakibatkan timbulnya ketidakadilan dan kesenjangan mengakses manfaat pembangunan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan (Vitalaya, 2005). Permasalahan dalam pengelolaan hutan lestari selain masalah fisik seperti konversi lahan hutan menjadi lahan non-hutan, timber extraction, illegal loging, terdapat pula masalah sosial. Masalah sosial timbul dalam berbagai bentuk, seperti masalah kepemilikan lahan, tidak terdapatnya kepastian lahan menyebabkan terjadinya konflik yang mengakibatkan terganggunya upaya menjaga kelestarian hutan. Selain masalah tersebut masalah kebijakan Pembinaan Masyarakat Desa 1
Hutan (PMDH) yang seharusnya dijalankan tidak berjalan dengan baik. Kebutuhan dan hak masyarakat tidak benar-benar digali melalui peran serta dalam perencanaan. Hak masyarakat yang berkaitan dengan akses terhadap lahan tidak diakui. Masyarakat lokal tidak mempunyai akses untuk memanen kayu secara komersial. Disisi lain perusahaan hutan merasa tidak mendapat keuntungan apapun terhadap program tersebut. Kegagalan melibatkan masyarakat lokal sekitar hutan dalam pengelolaan hutan dan mengintegrasikan hak serta kebutuhan mereka bisa mendorong terjadinya penebangan liar dan konflik lainnya yang pada akhirnya akan menyebabkan pengelolaan hutan tidak lestari ( Natural Resources Development Center, 2013). Dalam perspektif pengelolaan hutan yang terjadi selama ini, hubungan hutan dan masyarakat selama ini hanya dilihat sebagai faktor ekonomi belaka, yang kemudian secara sadar memarjinalkan kehadiran masyarakat didalam membangun hutan tersebut. Sebagian masyarakat dijadikan musuh oleh pemerintah karena di stigmatisasi sebagai perusak Sumber Daya Alam Hutan (SDHA). Selama ini masyarakat dianggap pesaing dalam pemanfaatan SDHA oleh pengusaha dan pemerintah bukannya masyarakat tidak bersahabat dengan hutan akan tetapi selama ini masyarakat memang dijauhkan secara politik dan ekonomi oleh pemerintah (Suporaharjo, 2005). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hutan yang masih tersisa dituntut untuk memenuhi kebutuhan manusia. Seiring dengan hal tersebut masyarakat kota yang terdidik menuntut hutan yang ada dijaga kelestariannya agar dapat berfungsi sebagai penyangga kehidupan, menstabilkan 2
kebersihan dan suhu udara. Masyarakat di sekitar hutan pun menuntut untuk dibukanya akses pemanfaatan untuk mereka, baik terhadap sumber daya maupun lahan yang ada tanpa mengihlangkan identitas kebudayaan masyarakat. Berlatar belakang dari berbagai masalah tersebut, saat ini salah satu hal yang harus dilakukan oleh pengelola hutan produksi lestari (HPH & HTI) adalah menerapkan sistem sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Sistem sertifikasi PHPL dinilai dapat mendorong pengelolaan hutan menjadi lebih baik, melakukan pemanfaatan hutan dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya yang ada. Sistem sertifikasi PHPL merupakan penilaian kinerja bagi pemegang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) (Qomar dan Oktavian, 2005). Sejak tahun 1993 berbagai diskusi multi pihak tentang pengelolaaan hutan sumber daya alam berkelanjutan telah bergulir. Dimulai dari mengenali suatu konsep pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Sampai dengan membangun kerangka pikir implementasinya untuk perbaikan kinerja pengelolaan hutan di Indonesia. Diskusi-diskusi tersebut diinisiasi oleh suatu kelompok yang pada saat itu menamakan dirinya (Pokja) Ekolabel. Pada tahun 1998 dari diskusi yang terus berkelanjutan dihasilkan instrument sertifikasi hutan yang kemudian disebut dengan nama Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Sesuai dengan peraturan menteri kehutanan P.95/Menhut-II/2014 yang merupakan perubahan atas P.43/Menhut-II/2014 tentang penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) adalah sebuah sistem yang dibentuk dan wajib diterapkan oleh pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan. Penilaian kinerja Pengelolaan Hutan 3
Produksi Lestari (PHPL) meliputi 4 kriteria yaitu kriteria prasyarat, produksi, ekologi, dan sosial. Penelitian tugas akhir ini khusus meneliti tentang kriteria sosial. Kriteria sosial mengatur mengenai standar tanggung jawab sosial perusahaan terhadap semua yang berhubungan dengan perusahaan. Tanggung jawab sosial tersebut adalah 1) Kejelasan deliniasi operasional perusahaan pemegang izin dengan kawasan masyarakat adat dan atau masyarakat; 2) Implementasi tanggung jawab sosial perusahaan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; 3) Ketersediaan mekanisme dan implementasi distribusi manfaat yang adil antara para pihak; 4) Keberadaan mekanisme resolusi konflik; 5) Perlindungan, pengembangan dan peningkatan kesejahteraan tenaga kerja. 1.2 Perumusan Masalah Terdapat berbagai tantangan dan masalah dalam penerapan kriteria sosial PHPL. Dalam penerapan sistem sertifikasi PHPL terjadi banyak ketidaksesuaian antara standar PHPL yang berdasarkan peraturan menteri kehutanan No. P.95/Menhut-II/2014 dengan keadaan nyata dilapangan. Masyarakat sekitar hutan dengan keadaan ekonomi yang relatif rendah, dengan berbagai budaya dan keadaan sosialnya sesuai dengan sistem PHPL masyarakat harus mendapatkan hak-hak nya dari perusahaan hutan. Namun sebagian kalangan menilai bahwa selama ini sertifikasi hanya dinilai sebagai perangkat perdagangan ( market instrument) daripada sebagai mekanisme penyeimbang dalam pemanfaatan sumber daya alam. Hal tersebut banyak menyebabkan hak-hak masyarakat menjadi tidak terpenuhi. Hal tersebut dapat menjadi pemicu konflik antara masyarakat dan perusahaan yang 4
dapat mengganggu sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Hal ini menjadi tantangan dalam penerapan Sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui implementasi sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada kriteria sosial di PT. Belantara Subur. 2. Mengetahui kendala dalam penerapan sertifikasi pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada kriteria sosial di PT. Belantara Subur. 1.4 Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan bermanfaat : 1. Bagi peneliti dapat mengetahui mekanisme dan kendala dalam penerapan sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada kriteria sosial. 2. Bagi perusahaan dapat memberikan informasi mengenai progres penerapan sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada kriteria sosial. 3. Bagi pemerintah dapat mengetahui kendala penerapan sistem sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada kriteria sosial. 4. Bagi masyarakat dapat mengetahui kewajiban dan hak masyarakat di sekitar hutan sesuai dengan peraturan yang ada. 5