BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

BAB III TINJAUAN GEOLOGI

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAERAH BATUI DENGAN MENGGUNAKAN ANALISA SECOND HORIZONTAL DERIVATIVE DAN FORWARD MODELLING

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

INTERPRETASI ANOMALI GAYA BERAT DAERAH LUWUK, SULAWESI TENGAH

IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN DATA GAYABERAT DI DAERAH KOTO TANGAH, KOTA PADANG, SUMATERA BARAT

Gambar 4.1. Peta penyebaran pengukuran gaya berat daerah panas bumi tambu

Berdasarkan persamaan (2-27) tersebut, pada kajian laporan akhir ini. dilakukan kontinuasi ke atas dengan beberapa ketinggian (level surface) terhadap

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

SURVEI GAYA BERAT DAN AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT) DAERAH PANAS BUMI PERMIS, KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI BANGKA BELITUNG

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kegiatan eksplorasi perminyakan, batuan karbonat memiliki

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

TESIS PEMODELAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAERAH YAPEN DAN MAMBERAMO, PAPUA BERDASARKAN ANOMALI GRAVITASI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

STUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH

STUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH

2014 INTERPRETASI STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN DAERAH LEUWIDAMAR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRAL DATA GAYABERAT

BAB III. TEORI DASAR. benda adalah sebanding dengan massa kedua benda tersebut dan berbanding

BAB III TEORI DASAR (3.1-1) dimana F : Gaya antara dua partikel bermassa m 1 dan m 2. r : jarak antara dua partikel

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV PEMAPARAN DATA Ketersediaan Data Data Seismik Data Sumur Interpretasi

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

Bab II Geologi Regional

IV. METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

POLA ANOMALI GAYABERAT DAERAH TALIABU-MANGOLE DAN LAUT SEKITARNYA TERKAIT DENGAN PROSPEK MINYAK BUMI DAN GAS

BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. amat Olahan Data Gayaberat Terlampir, lih. Lampiran III) dengan ketinggian

Pola Anomali Geomagnet Daerah Pulau Taliabu dan Pulau Mangole, Maluku Utara

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

POTENSI BAHAN GALIAN GRANIT DAERAH KABUPATEN TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dengan batas koordinat UTM X dari m sampai m, sedangkan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II GEOLOGI REGIONAL

J.G.S.M. Vol. 16 No. 1 Februari 2015 hal

BAB I PENDAHULUAN. Gayaberat merupakan salah satu metode dalam geofisika. Nilai Gayaberat di

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

SURVEI GAYA BERAT DAN AUDIO MAGNETOTELLURIC (AMT) DI DAERAH PANAS BUMI SAJAU, KABUPATEN BULUNGAN, PROVINSI KALIMANTAN UTARA

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

memiliki hal ini bagian

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Metode Gayaberat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Identifikasi Sistem Panas Bumi Di Desa Masaingi Dengan Menggunakan Metode Geolistrik

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI UMUM

PENYELIDIKAN GAYA BERAT DI DAERAH PANAS BUMI TAMBU, KABUPATEN DONGGALA, PROPINSI SULAWESI TENGAH

Transkripsi:

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1. Anomali Bouguer U 4 3 mgal 4 3 Gambar 5.1 Peta anomali bouguer. Beberapa hal yang dapat kita tarik dari peta anomali Bouguer pada gambar 5.1 adalah : Harga anomalinya berkisar antara 100 mgal hingga -80 mgal dengan skala warna dari merah hingga warna putih. Nilai anomali tertinggi berada pada arah NW dan SW yang berkisar antara 70 mgal hingga 40 mgal. Sedangkan anomali terendah terdapat pada arah NE yang berkisar antara 10 mgal hingga -20 mgal. 33

Anomali tinggi pada daerah utara dan bagian barat daya berhubungan dengan Mendala Sulawesi Timur yang terdiri dari jalur Ofiolit. Sedangkan anomali rendah pada bagian timur berhubungan dengan Mendala Banggai-Sula yang terdiri dari batuan sedimen. Pola kontur anomali yang semakin tinggi ke arah utara menunjukkan pola batuan dasar yang semakin dangkal kearah utara. Gambar 5.2 Peta Geologi Sulawesi bagian timur (Surono,1994). 34

5.2. Second Horizontal Derivative Berikut merupakan hasil metoda SHD terhadap lintasan 3 dan 4 yang telah dipilih untuk dimodelkan : 1. Pada lintasan 3-3 Pada peta geologi daerah yang dilalui profil ini (gambar 5.2) terdapat indikasi sesar. Oleh karena itu dilakukan analisa SHD pada posisi tersebut yang ditandai dengan adanya suatu slope pada penampang CBA (gambar 5.3). CBA 37.00 35.00 33.00 mgal 31.00 29.00 27.00 25.00 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000 22000 meter CBA 31.50 31.00 30.50 mgal 30.00 29.50 29.00 28.50 12500 13000 13500 14000 14500 meter Second Horizontal Derivative mgal/m2 8.E-06 6.E-06 4.E-06 2.E-06 0.E+00-2.E-0613700 13800 13900 14000-4.E-06-6.E-06 meter Gambar 5.3 Grafik hasil analisa SHD pada profil 3-3. 35

Dari grafik diatas (gambar 5.3) maka kita dapatkan nilai turunan kedua maksimum dan minimum pada posisi 13800 dan 13900 meter yang bernilai (5.65x10-6 )> (-4.5x10-6 ) mgal/m 2 Sehingga berdasarkan kriteria SHD maka slope tersebut menandakan sesar naik. 2. Pada Lintasan 4-4 Pada peta geologi daerah yang dilalui profil ini (gambar 5.2), diindikasikan adanya sesar. Untuk itu dilakukan analisa SHD seperti pada gambar 5.4 CBA 50 45 mgal 40 35 30 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000 Jarak CBA mgal 37.50 37.00 36.50 36.00 35.50 35.00 34.50 34.00 33.50 10400 10500 10600 10700 10800 10900 11000 11100 meter Second Horizontal Derivative 2.E-04 2.E-04 mgal/m2 1.E-04 5.E-05 0.E+00 10580 10600 10620 10640 10660 10680 10700 10720-5.E-05 meter Gambar 5.4 Grafik hasil analisa SHD pada profil 4-4. 36

Dari grafik diatas maka kita dapatkan nilai turunan kedua maksimum dan minimum pada posisi 10600 dan 10700 meter yang bernilai (1.5x10-4 )> (-3.4x10-5 ) mgal/m 2 Sehingga berdasarkan kriteria SHD maka slope tersebut menandakan sesar naik. 5.3. Analisa Estimasi Rapatmassa Metoda Nettleton merupakan metoda yang dapat mengestimasi rapatmassa permukaan suatu daerah yang dilalui profil pengukuran metoda gayaberat. Metoda ini menggunakan seluruh topografi untuk menjadi sampelnya dan hasilnya berupa rapatmassa permukaan rata-rata daerah tersebut. Hasil metoda Nettleton untuk estimasi rapatmassa (gambar 4.2 dan 4.3) pada daerah Batui ini adalah rapatmassa dengan nilai 2.2 gr/cm 3. Rapatmassa ini akan digunakan sebagai referensi untuk menentukan kontras densitas tiap-tiap formasi. Rapatmassa tiap-tiap formasi ditentukan dengan cara merata-ratakan nilai rapatmassa penyusun dari tiap formasi dan juga menghitung persentasenya dalam formasi tersebut. Makin besar jumlah suatu batuan penyusun suatu formasi maka rapatmassa ratarata formasinya akan mendekati nilai rapatmassa batuan penyusun tersebut. Selain mencari nilai rapatmassa rata-rata tiap formasi, perlu juga diperhatikan sejarah geologi daerah tersebut, kedalaman formasinya serta umurnya. Sejarah geologi seperti deformasi akan mempengaruhi nilai densitas serta batuan penyusun yang ada. Kedalaman serta umur juga berpengaruh pada rapatmassa karena suatu massa yang terbebankan oleh massa lain dengan ukuran tertentu dan durasi tertentu akan terkompaksi sehingga makin dalam suatu formasi dan makin lama dihimpit akan mempunyai nilai densitas yang lebih besar daripada massa yang sama namun berada dipermukaan. Dengan berpegang pada pengetahuan diatas maka penulis mencari nilai densitas rata-rata untuk tiap formasi seperti berikut : Endapan Alluvium : 1.98 gr/cm 3 Endapan ini terdiri dari lumpur, pasir dan kerakal Formasi Luwuk : 2.02 gr/cm 3 Formasi ini terdiri dari batugamping koral dengan sisipan napal 37

Formasi Bongka : 2.1 gr/cm 3 Formasi ini termasuk kedalam endapan molasa yang terdiri dari konglomerat, batupasir, lempung, napal dan batugamping. Ketebalan formasi ini mencapai 600 m. Formasi Kintom : 2.25 gr/cm 3 Formasi ini termasuk kedalam endapan molasa yang terdiri dari napal pasiran dan batupasir. Ketebalannya mencapai 1000 meter. Formasi Salodik : 2.35 gr/cm 3 Formasi ini terdiri dari batugamping bersisipan napal. Ketebalannnya mencapai 1000 meter. Formasi Nambo : 2.4 gr/cm 3 Formasi ini terdiri dari napal pasiran dan napal dengan ketebalan mencapai 300 m. Formasi Nanaka : 2.5 gr/cm 3 Formasi ini terdiri dari konglomerat, batupasir, bersisipan serpih dengan ketebalan melebihi 800 meter. Formasi Tokala : 2.6 gr/cm 3 Formasi ini terdiri dari batuamping dan napal, bersisipan serpih dan batupasir dengan ketebalan melebihi 900 meter Basement : 2.75 gr/cm 3 Basement ini merupakan batuan malihan paleozoikum yang terdiri dari sekis mika dan genes. Nilai rapatmassa formasi-formasi diatas dicari kontrasnya terhadap nilai rapat massa rata-rata hasil metoda Nettleton Karena dalam metoda gayaberat yang diperhitungkan adalah kontras rapatmassanya (tabel 5.1). Nilai kontras tersebut akan digunakan dalam pemodelan kedepan. 38

Tabel 5.1 Kontras densitas formasi. Formasi Densitas (gr/cm 3 ) Kontras Densitas ( gr/cm 3 ) Endapan Alluvium 1.98-0.22 Formasi Luwuk 2.02-0.18 Formasi Bongka Formasi Kintom 2.1 2.25-0.1 0.05 Formasi Salodik 2.35 0.15 Formasi Nambo 2.4 0.2 Formasi Nanaka 2.5 0.3 Formasi Tokala 2.6 0.4 Basement 2.75 0.55 5.4. Hasil Forward Modelling Pemodelan dilakukan terhadap data anomali bouguer dari suatu pofile. profile yang dipih yaitu profile 3 dan 4 (gambar 5.5) karena profile ini mempunyai cakupan data yang cukup banyak bila dibandingkan dengan profile lain serta karena pada daerah yang dilalui profile ini terdapat rembesan oil sehingga menarik untuk dibahas. Gambar 5.5 Peta geologi serta lintasan untuk pemodelan. 39

Berikut merupakan hasil forward modelling beserta analisanya : Penampang 3-3 Total panjang lintasan penampang 3-3 (gambar 5.5) ini yaitu 20100 meter. Hasil pemodelan (gambar 5.6) menunjukkan adanya suatu cekungan pada penampang ini yang diisi oleh sedimen sehingga nilai anomalinya rendah. Dari informasi geologi diketahui adanya sebuah sesar pada posisi 13800 m dari selatan. Dengan menggunakan analisa SHD, diketahui bahwa sesar tersebut adalah sesar naik. Kolom stratigrafi Pulau Sulawesi yang dirumuskan oleh Rusmana dkk. (1983) serta peta geologi daerah Batui menunjukkan adanya 7 formasi pada daerah yang dilalui lintasan ini yaitu endapan aluvium, Formasi Kintom, Formasi Salodik, Formasi Nambo, Formasi Nanaka, Formasi Tokala dan Batuan dasar. Formasi Nanaka menindih Formasi Tokala secara tidak selaras. Diperkirakan telah terjadi erosi terhadap Formasi Tokala pada akhir umur Trias. Formasi Salodik juga diendapkan secara tidak selaras terhadap Formasi Nambo. Diperkirakan telah terjadi erosi terhadap Formasi Nambo pada rentang umur Kapur hingga Eosen. Perlapisan daerah ini makin naik kearah pantai (selatan) dan juga yang kearah daratan (utara). Hal itu akibat gaya kompresi oleh pergerakan kedua lempeng benua yang membentuk Collision Zone. Hasil analisa spektrum menunjukkan bahwa sumber anomali regionalnya berada pada kedalaman 3800 meter. Sumber anomali tersebut berasal dari struktur sesar pada kedalaman tersebut beserta batuan dasar. Hasil analisa spektrum untuk anomali residual yaitu pada kedalaman 309 meter yang berhubungan dengan endapan sulawesi dan Formasi Salodik serta struktur sesarnya. 40

Gambar 5.6 Hasil pemodelan penampang 3-3. Penampang 4-4 Total panjang lintasan penampang 4-4 (gambar 5.7) ini yaitu 20100 meter. Hasil pemodelan menunjukkan adanya suatu cekungan pada penampang ini yang diisi oleh sedimen sehingga nilai anomalinya rendah. Selain itu, terdapat juga antiklin kecil pada penampang ini akibat pengaruh antiklin pada arah utara penampang. Dari informasi geologi diketahui adanya kemungkinan sesar pada posisi 10700 m dari selatan. Dengan menggunakan analisa SHD, diketahui bahwa sesar tersebut adalah sesar naik. Diperkirakan sesar tersebut terjadi pada ahir Pliosen dan masih merupakan sesar yang sama dengan sesar pada model lintasan 3-3. 41

Kolom stratigrafi Pulau Sulawesi yang dirumuskan oleh Rusmana (1983) serta peta geologi daerah batui menunjukkan adanya 8 formasi pada daerah yang dilalui lintasan ini yaitu Formasi Luwuk, Formasu Bongka, Formasi Kintom, Formasi Salodik, Formasi Nambo, Formasi Nanaka, Formasi Tokala dan Batuan dasar. Formasi Nanaka menindih Formasi Tokala secara tidak selaras. Diperkirakan telah terjadi erosi terhadap Formasi Tokala pada akhir umur Trias. Formasi Salodik juga diendapkan secara tidak selaras terhadap Formasi Nambo. Diperkirakan telah terjadi erosi terhadap Formasi Nambo pada rentang umur Kapur hingga Eosen. Selain itu, Formasi Luwuk menindih tidak selaras Formasi Kinton dan Bongka. Perlapisan tersebut makin naik kearah pantai (selatan) dan juga yang kearah daratan (utara). Hal itu akibat gaya kompresi oleh pergerakan kedua lempeng benua yang membentuk Collision Zone. Hasil analisa spektrum menunjukkan bahwa sumber anomali regionalnya berada pada kedalaman 3581 meter. Sumber anomali tersebut berasal dari struktur sesarnya dan batuan dasar. Hasil analisa spektrum untuk anomali residual yaitu pada kedalaman 305 meter yang berhubungan dengan strukutur sesar, endapan sulawesi dan Formasi Salodik 42

Gambar 5.7 Hasil Pemodelan penampang 4-4. 5.5. Analisa Prospek Hidrokarbon Pada Bab 3 telah dibahas petroleum system daerah batui. Hidrokarbon yang telah terbentuk di batuan induk (Formasi Nambo) akan mengalami migrasi menuju batuan reservoir (Formasi Salodik). Batuan tudung (Formasi Kintom dan Formasi matindok) akan mencegah hidrokarbon tersebut ke permukaan. Proses migrasi akan terjadi akibat gaya Bouyancy dan perbedaan tekanan pori dimana fluida ataupun gas akan selalu mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Tekanan berbanding lurus dengan kedalaman karena overburden sehingga fluida atau gas akan berusaha menuju daerah yang tekanannya lebih rendah yaitu permukaan. Hidrokarbon akan bermigrasi dari Formasi Nambo menuju Formasi Salodik dan akan dihadang oleh Formasi Kintom dan Formasi Matindok. Batuan tudung dapat 43

menghalangi proses migrasi ke permukaan bila tekanan kapiler pada formasi ini lebih besar daripada tekanan pori. Berdasarkan pengetahuan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa daerah bagian selatan atau daerah di sekitar pesisir pantai dari model 3-4 memiliki prospek hidrokarbon yang baik karena memiliki perlapisan yang mirip antiklin sebagai tempat terakumulasinya hidrokarbon. Daerah bagian utara model perlu dilakukan penelitian lebih lanjut karena batuan reservoirnya tersingkap di permukaan sehingga prospeknya belum dapat diketahui secara baik. 44