2 TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Lingkup Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
3 METODOLOGI PENELITIAN

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

2 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Langkah-langkah deteksi cluster dengan algoritme DDBC. Performansi Hasil Cluster

Modifikasi DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering With Noise) pada Objek 3 Dimensi

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Konservasi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

Spatio-Temporal Clustering Hotspot di Sumatera Selatan Tahun Menggunakan Algoritme ST-DBSCAN dan Bahasa Pemrograman R

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

Implementasi Metode Clustering DBSCAN pada Proses Pengambilan Keputusan

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan dan mempunyai luas daratan

MODUL VISUALISASI CLUSTERING BERBASIS DENSITAS UNTUK PERSEBARAN TITIK PANAS DI INDONESIA MENGGUNAKAN MAPSERVER YENNI PUSPITASARI

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

BENNY PASARIBU, Ph.D KEBIJAKAN INDUSTRIALISASI PERKEBUNAN SAWIT BERKELANJUTAN DI INDONESIA. Ketua Pokja Pangan, Industri Pertanian dan Kehutanan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

III. BAHAN DAN METODE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

(M.3) CLUSTERING PENGGUNA WEBSITE BPS MENGGUNAKAN ALGORITMA SEQUENCE DBSCAN (SEQDBSCAN) DENGAN JARAK SIMILARITAS S 3 M

Pengelolaan lahan gambut

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rendy, 2013

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

Topik A1 - Lahan gambut di Indonesia di Indonesia (istilah/definisi, klasifikasi, luasan, penyebaran dan pemutakhiran data spasial lahan gambut

PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

SINTESIS RPI 5 : PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II LANDASAN TEORI

PENGELOMPOKAN DAMPAK GEMPA BUMI DARI SEGI KERUSAKAN FASILITAS PADA PROVINSI YANG BERPOTENSI GEMPA DI INDONESIA MENGGUNAKAN K-MEANS-CLUSTERING

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III PROBLEM LINGKUNGAN DI SUMATERA SELATAN. penjelasan mengenai keterlibatan INGO World Agroforestry Centre (ICRAF) di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH

Setitik Harapan dari Ajamu

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan lingkungan luar (Baker,1979). Di dalam hutan terdapat flora

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PE DAHULUA. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) 1.1. UMUM

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

Transkripsi:

3 Ruang Lingkup Penelitian 1. Teknik yang digunakan dalam membentuk clustering titik panas adalah DBSCAN. 2. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data titik panas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2002 dan 2013 yang bersumber dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan peta digital sebaran gambut di pulau Sumatera yang bersumber dari Wetlands International Program Indonesia. 3. Karakteristik fisikal lahan gambut mencakup tipe, kedalaman dan tutupan lahan gambut. 2 TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut di Sumatera Lahan gambut merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai fungsi hidrologi dan fungsi lingkungan lain yang penting bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta mahluk hidup lainnya (Wahyunto et al. 2005). Gambut terbentuk dari bahan-bahan organik, seperti dedaunan, batang dan cabang serta akar tumbuhan, yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, sangat sedikit oksigen, keasaman tinggi dan terbentuk di suatu lokasi dalam jangka waktu geologis yang lama serta tersusun berlapis membentuk susunan hingga ketebalan belasan meter (CKPP 2008). Lahan gambut memiliki manfaat diantaranya sebagai penyimpan air, penyangga lingkungan, lahan pertanian, habitat flora dan fauna, bahan baku briket arang maupun media tumbuh tanaman, dan memiliki kemampuan untuk menyimpan dan menyerap karbon dalam jumlah cukup besar sehingga dapat membatasi lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer (Adinugroho et al. 2005). Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 20.6 juta ha atau 10.8 % dari luas daratan Indonesia dan sebagian besar terdapat di tiga pulau besar, yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, dan Papua 30% (Wahyunto et al. 2005). Penyebaran lahan gambut di Sumatera pada umumnya terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, yaitu propinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara dan Lampung. Penyebarannya ke arah pedalaman/hilir sungai mencapai sekitar 50-300 km dari garis pantai. Dalam wilayah yang lebih sempit, lahan gambut juga ditemukan di dataran pantai barat, khususnya di propinsi Bengkulu, Sumatera Barat dan Aceh. Penyebarannya ke arah hilir sungai umumnya mencapai sekitar 10-50 km dari garis pantai (Wahyunto et al. 2005). Pada tahun 1990, luas total lahan gambut di pulau Sumatera mencapai 7.2 juta ha, namun pada tahun 2002 telah menyusut sekitar 9.5% atau sekitar 683 ribu ha. Berdasarkan penghitungan kandungan karbon tanah gambut yang dilakukan di seluruh pulau Sumatera, pada tahun 1990 diperoleh sekitar 22.283 juta ton, sedangkan pada tahun 2002, kandungan karbon berkurang sebesar 3.470 juta ton (15.5%) sehingga tersisa sekitar 18.813 juta ton (Wahyunto et al. 2005). Lahan gambut di pulau Sumatera mempunyai tingkat kematangan Fibrists (belum melapuk), Hemists (setengah melapuk), Saprists (sudah melapuk) dan campuran dari ketiganya. Fibrists merupakan jenis lahan gambut dimana terdiri

4 dari 1/3 bahan asal yang sudah terdekomposisi dan 2/3 lainnya terdiri dari bahan asli yang bisa dilihat, saprists merupakan jenis lahan gambut dimana terdapat 2/3 bagian dalam keadaan terdekomposisi dan sisanya masih bisa diamati, hemists merupakan jenis lahan gambut dimana komposisinya diantara fibrik dan saprik (Syaufina 2008). Ketebalan gambut di Sumatera bervariasi mulai dari sangat dangkal (< 50 cm) seluas 682 ribu ha, dangkal (50-100 cm) seluas 1.24 juta ha sedang (100-200 cm) seluas 2,327 juta ha, dalam (200-400 cm) seluas 1.246 juta ha, dan sangat dalam (400-800 cm) seluas 1.705 juta ha (Wahyunto et al. 2005). Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut Kebakaran hutan merupakan suatu kejadian dimana api menjalar secara bebas dan tidak terkendali melahap bahan bakar bervegetasi pada kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan (Syaufina 2008). Kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya kondisi cuaca, kondisi fisik dan kondisi sosial ekonomi (Sitanggang et al. 2013). Salah satu kondisi fisik yang berpengaruh pada kebakaran hutan dan lahan adalah lahan gambut, dimana terdapat beberapa hal yang bisa digunakan sebagai indikator terjadinya kebakaran seperti jenis, ketebalan lahan gambut. Pembukaan lahan gambut berskala besar dengan membuat saluran drainase telah mengakibatkan resiko terjadinya kebakaran. Pembuatan saluran telah menyebabkan hilangnya air tanah dalam gambut sehingga gambut mengalami kekeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar. Kebakaran di lahan gambut secara perlahan menggerogoti materi organik di bawahnya dan gasgas yang diemisikan dari hasil pembakaran dapat memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim global (Adinugroho et al. 2005). Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut pada tahun 1997 di Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar 156.3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu, namun pada tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepaskan selama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2.6 milyar ton (Adinugroho et al. 2005). Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Data titik panas dapat dijadikan sebagai salah satu indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan sehingga perlu dilakukan analisa dan pemantauan untuk mengetahui apakah diperlukan tindakan penanggulangan dini khususnya pada saat musim kemarau dimana penyebaran api berlangsung sangat cepat (Adinugroho et al. 2005). Menurut Albar (2002) secara terminologi titik panas merupakan satu piksel daerah yang memiliki suhu lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Data lokasi titik panas diperoleh melalui pemantauan titik panas dengan memanfaatkan bantuan citra satelit, teknologi komputer dan perangkat sistem informasi geografis. Prediksi kebakaran hutan dapat dibuat berdasarkan pola penyebaran titik panas, perubahan koordinat titik panas dan jangka waktu adanya titik panas.

5 Spatial Data Mining Spatial data mining mengacu pada ekstraksi pengetahuan, hubungan spasial, atau yang lain, merupakan proses untuk menemukan suatu pola non trivia yang menarik dan berguna dari data set spasial yang besar, hubungan datanya tidak secara eksplisit yang disimpan dalam ruang basis data (Han et al. 2012). Spatial data mining juga merupakan proses menemukan sesuatu yang menarik yang sebelumnya tidak diketahui, tetapi memiliki potensi yang besar dan bermanfaat dari data spasial yang besar (Shekhar & Chawla 2003). Tujuan dari spatial data mining adalah menemukan pola atau informasi yang tersembunyi dan berguna dari basis data spasial (Leung 2010). Perbedaan utama antara data mining dalam bisnis data relasional dengan data mining dalam basis data spasial adalah bahwa atribut dari beberapa objek yang menarik dari tetangga mungkin memiliki pengaruh yang signifikan pada objek dan area disekitarnya juga harus diperhatikan. Lokasi yang eksplisit dan perluasan objek spasial juga mendefinisikan hubungan implisit dari lingkungan spasial, seperti topologi, hubungan jarak dan arah yang digunakan oleh algoritme Spatial Data Mining (Ester, et al. 1999). Spatial Clustering Clustering merupakan proses pengelompokkan kumpulan objek ke dalam kelas-kelas atau cluster sehingga objek-objek dalam satu cluster memiliki kemiripan yang tinggi tetapi tidak mirip terhadap objek dari cluster lain (Han et al. 2012). Spatial clustering dapat diterapkan pada sekelompok objek spasial yang serupa secara bersama-sama, dengan asumsi implisit bahwa pola cenderung dikelompokkan dalam ruang dibandingkan dengan pola acak. Sebagai salah satu fungsi dari data mining, spatial clustering dapat digunakan sebagai alat yang berdiri sendiri untuk mendapatkan wawasan tentang distribusi data, mengamati karakteristik setiap clustering, dan fokus pada kelompok clustering tertentu untuk analisis lebih lanjut (Han et al. 2012). Clustering melibatkan partisi satu kumpulan data yang dipilih ke dalam kelompok yang bermakna atau kelas. Sebelum melakukan clustering dibutuhkan praproses dalam satu kumpulan data. Gambar 1 mengilustrasikan langkah-langkah dasar untuk proses clustering (Fayyad et al. 1996). Gambar 1 Tahapan proses clustering (Fayyad et al. 1996)

6 Berdasarkan Gambar 1, tahapan awal dalam clustering adalah feature selection. Feature selection berarti mengidentifikasi subset dari features yang ada yang paling bermakna atau berguna. Tujuan feature selection adalah untuk meningkatkan performa dari proses clustering dan meningkatkan efisiensi komputasi proses clustering. Tahapan selanjutnya adalah melakukan pemilihan algoritme yang sesuai dan kemudian menggunakan algoritme tersebut untuk menghasilkan cluster dari data yang diproses. Setelah hasil clustering diperoleh, maka tahapan berikutnya adalah dengan melakukan evaluasi hasil clustering yang dihasilkan. Agar hasil dari proses clustering berguna, maka hasil clustering harus diinterpretasikan agar bermanfaat bagi pengguna dan ilmu pengetahuan. Algoritme DBSCAN Konsep DBSCAN adalah sebagai berikut (Ester et al. 1996): 1) Neighborhood yang terletak di dalam radius Eps disebut Eps-neigborhood dari obyek data, 2) Jika Eps-neighorhood dari suatu objek berisi paling sedikit suatu angka yang minimum, maka MinPts dari suatu objek disebut core object, 3) Suatu titik p dikatakan directly density-reachable dari titik q, jika titik p berada di dalam ketetanggaan titik q dengan jarak tertentu (ɛ) dan titik q merupakan titik pusat, 4) Objek p adalah density reachable dari objek q terhadap Eps dan MinPts dalam suatu set objek D jika terdapat rantai objek p 1, p 2,,p n, dimana p 1 = q dan p n = p, di mana pi+1 density reachable dari pi terhadap Eps dan MinPts, untuk 1 i n, pi anggota D, 5) Objek p adalah density-connected ke objek q terhadap Eps dan MinPts dalam set objek D jika terdapat suatu objek o anggota D di mana p dan q adalah density reachable dari o terhadap Eps dan MinPts. Gambar 2 menunjukkan ilustrasi konsep Eps-neigborhood, density reachable, dan density-connected (Tan et al. 2006) (a) Eps-neigborhood (b) density reachable (c) density-connected Gambar 2 Ilustrasi konsep Eps-neigborhood, density reachable, dan density-connected (Tan et al. 2006) Gambar 2 (a) menunjukkan bahwa data q menjadi inti. Pada gambar tersebut digunakan MinPts = 5 karena jumlah tetangga dan dirinya sendiri lebih dari 5 sehingga data q menjadi inti. Gambar 2 (b) menunjukkan hubungan q sebagai core point dan p sebagai border point. Titik p directly density reachable dari q sedangkan q tidak directly density reachable dari p. Gambar 2 (c) menunjukkan bahwa q dan p adalah density reachable dari o dan o adalah density reachable dari q sehingga dengan demikian o, q dan p adalah semuanya densityconnected.

Algoritme DBSCAN mengharuskan pembacaan setiap data untuk mencari tetangganya. Secara rinci algoritme DBSCAN ditunjukkan dalam bentuk pseudocode berikut (Ester et al. 1996): Algoritme 1 Algoritme DBSCAN DBSCAN(D, eps, MinPts) C = 0 for each unvisited point P in dataset D mark P as visited NeighborPts = regionquery(p, eps) if sizeof(neighborpts) < MinPts mark P as NOISE else C = next cluster expandcluster(p, NeighborPts, C, eps, MinPts) expandcluster(p, NeighborPts, C, eps, MinPts) add P to cluster C for each point P' in NeighborPts if P' is not visited mark P' as visited NeighborPts' = regionquery(p', eps) if sizeof(neighborpts') >= MinPts NeighborPts = NeighborPts joined with NeighborPts' if P' is not yet member of any cluster add P' to cluster C regionquery(p, eps) return all points within P's eps-neighborhood (including P) Berdasarkan pseudocode di atas, algoritme DBSCAN membutuhkan dua parameter penting, yaitu Eps (ɛ) dan jumlah data tetangga minimal untuk membentuk kelompok (MinPts). Algoritme dimulai dari sembarang data yang belum dikunjungi. Data ini kemudian dibaca jumlah tetangganya pada radius ɛ. Jika jumlah datanya lebih dari atau sama dengan ɛ, data akan ditandai sebagai inti dan tetangganya sebagai batas (selain dari yang sudah ditandai sebagai inti), kemudian akan terbentuk sebuah kelompok baru. Jika data tidak mencukupi, maka akan ditandai sebagai noise. Data tersebut ditandai sebagai data yang sudah dikunjungi. Langkah tersebut dilakukan secara rekursif pada setiap data yang menjadi tetangganya dan belum dikunjungi (Prasetyo 2012). Kompleksitas algoritme DBSCAN Dalam Han et al. (2012) kompleksitas dari algoritme DBSCAN adalah O(n log n), dimana n adalah jumlah data. Tanpa modifikasi apapun, kompleksitasnya menjadi O(n 2 ). Untuk mengurangi waktu komputasi, biasanya jarak antar data juga disimpan dalam matriks berukuran n(n-1)/2. 7