IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. bagaimana karaterisik dan faktor-faktor yang secara nyata menyebabkan. A. Karateristik Permukiman di Daerah Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODE PENELITIAN. kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan,

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA BANDAR LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki beragam masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Banjir merupakan salah satu contoh bencana yang paling sering terjadi. Banjir dapat

1. Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung, - Kelurahan/Desa Kedaton. - Kelurahan/Desa Perumnas Way Halim. - Kelurahan/Desa Labuhan Ratu

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH TEPIAN SUNGAI KECAMATAN KOLAKA, SULAWESI TENGGARA

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung, selain

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian memerlukan suatu metode untuk memudahkan penulisan untuk

Analisis skalogram merupakan analisis yang digunakan untuk menentukan. hierarki wilayah terhadap jenis dan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia.

BAB 3 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. bumi ini. Selama ini air seperti halnya udara telah dianggap oleh manusia sebagai

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM. terletak pada 5o 20-5o 30 LS dan 105o o 37 BT. Letak tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. masyarakat yang bermukim di pedesaan, sehingga mereka termotivasi untuk

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. prasarana lingkungan di kawasan Kelurahan Tegalpanggung Kota Yogyakarta ini

BAB I PENDAHULUAN. yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Lingkungan yang diharapkan adalah yang

KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Konsep Penelitian

I. PENDAHULUAN. Padatnya penduduk di wilayah perkotaan berdampak terhadap daerah perkotaan

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju

BAB IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu,

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kecamatan Teluk Betung Timur. Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 04 Tahun 2012, tentang

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

Faktor Prioritas Penyebab Kumuh Kawasan Permukiman Kumuh Di Kelurahan Belitung Selatan, Kota Banjarmasin

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

I. PENDAHULUAN. untuk menyajikan data suatu wilayah. Dengan salah satu fungsi peta tersebut sebagai

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung yang merupakan

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung yang merupakan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Kota Bandar

Kata kunci : sanitasi lingkungan, pemukiman nelayan, peran serta masyarakat

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

IV GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. sebagai pusat kegiatan pemerintahan, politik, pendidikan, kebudayaan,

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan(PLP2K-BK) 1 Buku Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis

1 Halaman 1. Kabupaten Banyuwangi

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

I. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling

I. PENDAHULUAN. Bencana merupakan kejadian yang tidak dapat diprediksi kapan dan dimana akan

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Tabel 2.1 : Visi Misi Sanitasi Kabupaten Aceh Jaya. Visi Sanitasi Kabupaten

BAB II RANCANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN PLPBK

PENDAHULUAN. waktu terjadi pasang. Daerah genangan pasang biasanya terdapat di daerah dataran

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kota Bandar Lampung merupakan ibukota Provinsi Lampung. Selain merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Fisik dan Topografi Kota Bandarlampung

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Identifikasi Karakteristik Lingkungan Permukiman Kumuh Berdasarkan Persepsi Masyarakat Di Kelurahan Tlogopojok

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Lampung. Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada sampai

BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN

PENATAAN PERMUKIMAN KAWASAN PESISIR DI KECAMATAN LEKOK KABUPATEN PASURUAN

I. PENDAHULUAN. dan sandang demi kesejahteraan manusia. Untuk mewujudkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Selain

GAMBARAN UMUM KOTA BANDAR LAMPUNG. kebudayaan, kota ini merupakan pusat kegiatan perekonomian daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

Untuk Pemerintah Kota/Kabupaten BANTUAN STIMULAN PENINGKATAN KUALITAS PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH (BSPK) TAHUN ANGGARAN...

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup semua pengertian yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan publik merupakan satu aspek yang penting dalam kehidupan. negara serta wujud dari upaya negara dalam memenuhi kepentingan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. kota Bandar Lampung. Kecamatan kemiling merupakan kecamatan hasil

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

I. PENDAHULUAN. Definisi industri dalam istilah ekonomi dikategorikan dalam lingkup mikro dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG PERUBAHAN BATAS WILAYAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II TANJUNGKARANG-TELUKBETUNG

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota merupakan sebuah tempat permukiman yang sifatnya permanen

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. karantina, para penderita penyakit tersebut berangsur angsur sembuh. Mengingat banyaknya

Sabua Vol.7, No.2: Oktober 2015 ISSN HASIL PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. itu, selain merupakan pusat kegiatan pemerintah, sosial, politik, pendidikan

Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan

PROFIL KAWASAN PERMUKIMAN PRIORITAS

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM

III. METODE PENELITIAN. masyarakat di kelurahan yang berada di kota Bandar Lampung, dan untuk

Kondisi Kekumuhan Kampung Nelayan Sejahtera Kota Bengkulu dalam Upaya Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN INTISARI ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENGARUH PEMBANGUNAN KAMPUNG PERKOTAAN TERHADAP KONDISI FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

PRASARANA DAN SARANA PERMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bhabinkamtibmas sambang warga dan kantor Kelurahan,Bandar Lampung

BAB IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kota Bandarlampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung dengan luas total

I. PENDAHULUAN. dalam bentuk barang publik maupun jasa publik pada prinsipnya menjadi

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya sebagaimana. diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab hasil dan pembahasan ini, dapat diungkapkan kondisi kota Bandar Lampung secara makro, dimana dari 30 kelurahan yang diteliti terungkap bagaimana karaterisik dan faktor-faktor yang secara nyata menyebabkan terciptanya kekumuhan di Kota Bandar Lampung pada umumnya dan di daerah penelitian pada khususnya. A. Karateristik Permukiman di Daerah Penelitian 1. Karateristik Hunian Daerah Penelitian a. Kualitas Bangunan dan kelayakan bangunan Hasil analisis data pada penelitian diperoleh hasil bahwa kualitas dan kelayakan bangunan di wilayah pesisir hampir seluruhnya bangunan yang tidak permanen, yaitu sebesar 90 % katagori 4 ( 51-70 %), sisanya 10 % katagori 3 ( 31-50 % ). Sementara di wilayah non pesisir hanya sebesar 60 % katagori 4, 35 % katagori 3 dan ada yang masuk katagori 2 sebesar 5 %. Untuk Kelayakan bangunan di wilayah pesisir hampir seluruhnya katagori 2 ( 11-30 %) yaitu sebesar 80%, sementara di wilayah non pesisir didominasi oleh katagori 3 (31-50%) sebesar 65 %. Kondisi ini dimungkinkan karena di wilayah pesisir sering terjadi genangan air sehingga mereka 51

cenderung untuk memakai material bangunan seperti dinding, plafon dan lantai yang lebih kuat dibandingkan dengan yang ada di wilayah non pesisir. b. Tingkat Kepadatan Bangunan Bangunan-bangunan di daerah penelitian menunjukan variasi tiap-tiap kelurahan, untuk daerah padat penduduk dan pusat kota seperti teluk betung memiliki kepadatan bangunan katagori 4 yaitu antara 151 200 unit/ ha, namun untuk daerah yang kepadatan penduduknya kecil dan tidak masuk dalam kawasan ataupun perdagangan dan industri seperti kelurahan panjang utara, maka kepadatan bangunan dikatagorikan 1 sampai 2 dengan kepadatan kurang dari 50 unit/ha atau paling padat 100 unit/ Ha. c. Kesesuaian Lahan dan Status Kepemilikan Penggunaan Bangunan Kesesuaian Lahan dan status kepemilikan ini akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan permukiman, pada umumnya untuk yang tidak sesuai dengan RUTR terjadi di sekitar bantaran sungai, tepi rel kereta api seperti di kelurahan Gunung Sari dan Srengsem. Di bawah ini dapat diilustrasikan kondisi kesesuaian lahan dan status kepemilikan di daerah penelitian. Kesesuaian Lahan Pesisir 0 0 10 30 60 > 70 % 51-70 % 31-50 % 11-30 % < 10 % Kesesuaian Lahan Non Pesisir 50 5 90 > 70 % 51-70 % 31-50 % 11-30 % < 10 % Gambar 4.1 Kesesuaian Lahan Daerah Penelitian 52

a. Frekuensi Kebakaran dan Frekuensi Kebanjiran Frekuensi kebakaran dan frekuensi kebanjiran juga merupakan indikator suatu kawasan diakatorikan kumuh atau tidak. Pada umumnya jika kepadatan bangunan suatu wilayah cukup padat, kemungkinan terjadinya kebakaran lebih besar dibandingkan dengan kawasan yang tidak memiliki kepadatan bangunan yang padat, demikian juga sering tidaknya suatu kawasan banjir dapat menunjukan bahwa kawasan yang sering banjir di daerah itu banyak saluran yang tersumbat diakibatkan banyak sampah yang menumpuk dan menyebabkan meluapnya air ke permukiman apabila musih hujan tiba. Dari Hasil penelitian ini, yang mempunyai frekuensi banjir sering di antaranya Kelurahan Way Lunik, Teluk Betung dan daerah dataran rendah lainnya. Sedangkan untuk daerah yang masuk ke dataran yang agak tinggi seperti Kelurahan Gunung Sari banjir tidak terjadi karena air limpasan hujan pasti turun ke daerah yang lebih rendah. Frekuensi Kebakaran Pesisir 0 0 0 20 80 > 7 kali/th 5-6 kali/th 3-4 kali/th 1-2 kali/th 0 kali/th 10 Frekuensi Kebakaran Non Pesisir 0 65 0 25 > 7 kali/ th 5-6 kali/ th 3-4 kali/ th 1-2 kali/ th 0 kali/ th Gambar 4.2. Frekuensi Kebakaran di daerah penelitian 53

2. Karateristik Penghuni Daerah Penelitian a. Kondisi Ekonomi (1) Tingkat Pendapatan Menurut hasil survei dan pengamatan yang dilakukan di daerah penelitian tingkat pendapatan rata-rata di daerah penelitian, diperoleh hasil ternyata wilayah non pesisir lebih variatif dibandingkan wilayah pesisir, di wilayah pesisir ada 3 katagori di wilayah non pesisir ada 4 katagori, namun ada kesamaan di kedua wilayah, dimana tingkat pendapatan sebagian besar katagori 3 (16 25 %). Untuk lebih jelasnya tingkat pendapatan untuk masing-masing katagori di kedua wilayah dapat dilihat pada tabel 4.1. sebagai berikut: Tabel 4.1. Prosentase Tingkat Pendapatan Di Daerah Penelitian Tingkat Pendapatan Wilayah Pesisir Wilayah Non Pesisir Lebih besar 35 % 0,00 5,00 26 35 % 30,00 15,00 16 25 % 50,00 65,00 6 15 % 20,00 15,00 Kurang dari 6 % 0,00 5,00 Sumber : Analisis Data,2015 (2) Tingkat Kemiskinan Dari hasil penelitian yang diperoleh di daerah penelitian ternyata sangat memprihatinkan, karena hampir seluruh kelurahan memiliki tingkat kemiskinan lebih dari 35 %, hanya ada 2 kelurahan yang tingkat kemiskinannya dibawah 35 %, yaitu kelurahan Tanjung Seneng dan kelurahan Way Kandis. Hal ini mengidentifikasi bahwa sebagian besar Rumah Tangga di Kota Bandar Lampung masih dikatagorikan keluarga pra sejahtera atau keluarga sejahtera I. Lebih Jelasnya Tingkat Kemiskinan di Daerah Penelitian dapat dilihat pada tabel 4.2. 54

Tabel 4.2 Tingkat Kemiskinan di Daerah Penelitian Nama Kelurahan Wilayah Tingkat Kemiskinan Panjang Selatan Pesisir 56,65 Panjang Utara Pesisir 47,78 Srengsem Pesisir 64,72 Way Lunik Pesisir 76,49 Karang Maritim Pesisir 52,92 Kota Karang Pesisir 53,79 Keteguhan Pesisir 49,44 Sukamaju Pesisir 54,67 Teluk Betung Pesisir 58,36 Pesawahan Pesisir 69,71 Labuhan Ratu Non Pesisir 46,61 Kampung Baru Non Pesisir 63,75 Kedaton Non Pesisir 40,06 Surabaya Non Pesisir 56,36 Panengahan Non Pesisir 45,05 Kemiling Permai Non Pesisir 44,31 Gedong Air Non Pesisir 50,08 Gunung Sari Non Pesisir 53,95 Tanjung Seneng Non Pesisir 28,77 Way Kandis Non Pesisir 34,56 Pasir Gintung Non Pesisir 60,41 Kaliawi Non Pesisir 55,93 Gotong Royong Non Pesisir 55,66 Palapa Non Pesisir 62,14 Kelapa Tiga Non Pesisir 57,72 Durian Payung Non Pesisir 76,77 Rajabasa Non Pesisir 55,51 Rajabasa Jaya Non Pesisir 53,97 Gedong Meneng Non Pesisir 48,40 Rajabasa Raya Non Pesisir 52,00 Sumber: Analisis Data, 2015 b. Kondisi Sosial (1) Tingkat Kerawanan Keamanan Umumnya tingkat kerawanan berada pada katagori 3 (3-4 kali/th) di wilayah pesisir, dan katagori 2 (1-2 kali/th) di wilayah non pesisir. Kondisi lingkungan seperti ini dapat dikatakan relatif aman, dan menunjukan bahwa di wilayah pesisir lebih rawan dibandingkan wilayah non pesisir. Pada umumnya kejahatan yang ada adalah pencurian, sedangkan konflik antar warga cenderung 55

tidak terjadi, karena adanya hubungan kekerabatan yang erat antar warga atau berasal dari daerah yang sama. Hal ini juga disebabkan oleh persamaan latar belakang sosial budaya dan ekonomi antar penduduk, sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial di masyarakat. (2) Tingkat Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan penduduk wilayah non pesisir yang dikatagorikan tamat pendidikan dasar 9 tahun sangat kecil yaitu katagori 2 (1-5 %) saja, sedangkan di wilayah pesisir ternyata cukup besar yaitu sebagian besar katagori 3 (6 10 %), berarti masih ada 6-10% penduduk wilayah pesisir belum dapat pendidikan dasar 9 tahun. Rendahnya tingkat pendapatan, menyebabkan faktor pendidikan tidak menjadi prioritas utama dalam keluarga. Dengan demikian penilaian dari aspek pendidikan terhadap masyarakat di daerah penelitian terdapat lebih dari 5% penduduk tidak menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. c. Kondisi Kependudukan (1) Tingkat Kepadatan Penduduk Secara tingkat kepadatan, menunjukan bahwa Kota Bandar Lampung secara menyeluruh masih memiliki cukup lahan untuk dapat menampung jumlah penduduk yang ada. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang memiliki kepadatan penduduk lebih dari 250 jiwa/ Ha hanya kelurahan Kota Karang, Gotong Royong dan kelurahan Teluk Betung. Sedangkan Kelurahan lain memiliki kepadatan penduduk kurang dari 150 jiwa/ha. 56

(2) Jumlah Anggota Rumah Tangga Rumah umumnya dihuni oleh 4 6 orang (63,6%) dan lebih dari 6 orang (27,3%) yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anaknya. Jumlah Rumah Tangga yang terdapat di daerah penelitian, umumnya tiap rumah di huni oleh satu keluarga dengan jumlah anak rata-rata 2 4 orang, sehingga jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 10 orang. Sedangkan jumlah Kepala keluarga dalam satu rumah umumnya hanya terdapat 1 keluarga dalam satu rumah. Adapun warga pendatang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penduduk setempat, umumnya membangun sendiri rumah mereka di sekitar perumahan yang ada. Hal ini menyebabkan ketidakteraturan lingkungan, rumah yang tidak tertata, berupa lorong tikus, tanpa jalan, dan tanpa garis sempadan bangunan. (3) Laju Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan data jumlah penduduk pada Tahun 2011 dan tahun 2012 diketahui bahwa kecenderungan pertambahan penduduk bertambah rata-rata 2,5% per tahun. Hal ini nampak dari semakin padatnya permukiman di sekitar tepian sungai dan area sungai. Kecenderungan ini menyebabkan semakin tidak tertatanya lingkungan permukiman dan perumahan di sebagian besar daerah penelitian, sehingga diperlukan penataan permukiman dan ketersediaan sarana dan prasarana permukiman yang layak. Antisipasi Pemda setempat diharapkan dapat dilakukan sebagai upaya untuk memberikan permukiman yang layak bagi masyarakat di daerah penelitian khususnya dan di Kota Bandar Lampung pada umumnya. (4) Angka Status Gizi Balita Keterbatasan ekonomi, kondisi lingkungan dan bangunan yang tidak layak, menyebabkan rendahnya status gizi balita pada lokasi. Berdasarkan 57

penilaian status gizi balita, terdapat 10 30% balita berada di bawah garis merah dengan kondisi sosial ekonomi rendah. Kondisi tersebut hingga saat ini belum mengalami perubahan signifikan, masalah ekonomi masih menjadi penyebab rendahnya status gizi balita. (5) Angka Kesakitan dan Kematian Penyakit yang banyak diderita oleh penduduk di daerah penelitian adalah diare yang sebagian besar diderita oleh anak-anak. Salah satu penyebab dari penyakit tersebut adalah kondisi lingkungan; kondisi sarana dan prasarana lingkungan yang tidak layak, antara lain pelayanan air bersih, sanitasi lingkungan, persampahan dan saluran air. Upaya perbaikan sarana & prasana lingkungan yang telah dilaksanakan belum efektif akibat kurangnya kesadaran masyarakat untuk memelihara dan menjaga kebersihan lingkungan, serta sarana & prasarana lingkungan menjadi kendala utama dalam perbaikan lingkungan. 3. Karateristik Sarana Prasarana a. Tingkat Pelayanan Air Bersih Berdasarkan data dari BPS, pelayanan air bersih sebagian besar penduduk tidak terlayani PDAM, mereka ada yang menggunakan sumur gali ataupun dengan pelayanan air bersih umum, seperti yang terjadi di Desa Srengsem Kecamatan Panjang. Di daerah penelitian sebagian besar penduduk belum memperoleh air bersih dari saluran PAM sebesar 60 % katagori 5 ( > 70 % ) terutama yang bermukim di wilayah pesisir, namun bagi penduduk yang bermukim di wilayah non pesisir 50 % katagori 5. Hal ini menunjukkan pelayanan air bersih di wilayah non pesisir masih lebih baik dibandingkan wilayah pesisir. 58

b. Kondisi Sanitasi Lingkungan Dari kondisi sanitasi lingkungan, penelitian ini hanya melihat dari segi pemakaian jamban keluarga. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa wilayah pesisir sanitasi lingkungannya lebih buruk daripada wilayah non pesisir, tidak ada katagori 1 ( < 10 % ) yang belum memakai jamban, sedangkan di wilayah non pesisir ada sebesar 15 % masuk katagori 1. Hal ini kemungkinan disebabkan juga adanya kebiasaan penduduk di wilayah pesisir yang membuang kotoran di air laut. c. Kondisi Persampahan Kondisi pelayanan persampahan di wilayah pesisir cenderung lebih buruk, karena dari hasil penelitian terlihat bahwa ada sebesar 60 % yang masuk katagori 3 (31-50 %), di wilayah non pesisir hanya 25 %, sementara wilayah pesisir juga tidak ada yang masuk katagori 1, di wilayah non pesisir ada sebesar 15% yang termasuk katagori 1. Tidak adanya armada angkutan sampah dan tempat pembuangan sampah sementara yang memadai menyebabkan penduduk lebih memilih cara yang mudah dilakukan dan tempat yang mudah dijangkau. Dari cara membuang sampah penduduk, dapat dikatakan bahwa sebagian besar ( 51-70 % ) penduduk membuang sampah di tempat yang bukan peruntukannya. d. Kondisi Saluran Air Hujan / drainase Umumnya kualitas drainase lingkungan di daerah penelitian kurang baik, yaitu sekitar 11 s.d 30 persen drainase buruk, namun secara keseluruhan wilayah pesisir lebih buruk dari wilayah non pesisir, dimana wilayah non pesisir masih 59

memiliki drainase buruk kurang dari 10 persen sebesar 15 %, sedangkan wilayah pesisir tidak ada Kelurahan yang drainase buruknya lebih kecil dari 10 persen. Hal ini tampak dari visualisasi yang dilakukan di lapangan. ( Gambar 4.3. ). Gambar 4.3. Kondisi sanitasi/ wc yang memanfaatkan laut, drainase yang kotor dan pembuangan sampah di lokasi permukiman. e. Kondisi Jalan Terdapat kesamaan antara wilayah pesisir dan wilayah non pesisir 90% jalan lingkungan dan jalan setapak yang memiliki kondisi yang baik dan hanya 10% lahan yang belum terlayani jalan, dengan pola letak jalan dan perumahan yang belum tertata dengan baik. Dengan demikian dapat dikatakan hanya sebagian kecil kelurahan di daerah penelitian yang belum terlayani jalan. f. Kondisi Ruang Terbuka Tapak ruang terbuka di daerah penelitian, umumnya merupakan lahan tidak terurus yang ditumbuhi tanaman liar, yang juga dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Untuk permukiman wilayah pesisir setengah ( 50 % ) hanya terdapat 5-7,5 % ruang terbuka, sehingga penduduk tidak dapat memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk menanam tanaman. Di kawasan tepian sungai hanya nampak tanah kosong yang dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah dan 60

menambatkan perahu, Sedangkan di daerah non pesisir ternyata lebih kecil persentase ruang terbukanya yaitu 2,5-5,0 % sebesar 60 persen. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukan bahwa di daerah penelitian tingkat kekumuhan dikatagorikan sebagian agak kumuh ( 2,40 TK 2,70 ) sebesar 10 kelurahan dan kumuh ( TK > 2,70 ) sebesar 10 kelurahan, sedangkan yang dikatagorikan tidak kumuh ( TK < 2,40 ) sebesar 10 kelurahan. Di daerah pesisir seluruh kelurahan di daerah penelitian dikatagorikan kumuh dan agak kumuh, sementara di daerah non pesisir ada beberapa variasi, hal ini menunjukan bahwa secara deskriptif anggapan sebagian besar masyarakat yang mengatakan bahwa wilayah pesisir cenderung lebih kumuh dibandingkan wilayah non pesisir terbukti pada hasil penelitian ini. Untuk lebih jelasnya persebaran tingkat kekumuhan di daerah penelitian dapat dilihat pada tabel 4.2. Persebaran Tingkat Kekumuhan di Daerah Penelitian. 61

Tabel 4.2 Persebaran Tingkat Kekumuhan miskinan di Daerah Penelitian Nama Kelurahan Wilayah Tingkat Kekumuhan Panjang Selatan Pesisir Kumuh (2,84) Panjang Utara Pesisir Kumuh (2,93) Srengsem Pesisir Agak Kumuh (2,56) Way Lunik Pesisir Kumuh (2,74) Karang Maritim Pesisir Agak Kumuh (2,63) Kota Karang Pesisir Kumuh (3,06) Keteguhan Pesisir Kumuh (2,72) Sukamaju Pesisir Kumuh (2,71) Teluk Betung Pesisir Kumuh (3,17) Pesawahan Pesisir Agak Kumuh (2,60) Labuhan Ratu Non Pesisir Agak Kumuh (2,54) Kampung Baru Non Pesisir Tidak Kumuh (2,12) Kedaton Non Pesisir Tidak Kumuh (2,20) Surabaya Non Pesisir Tidak Kumuh (2,13) Panengahan Non Pesisir Tidak Kumuh (2,13) Kemiling Permai Non Pesisir Agak Kumuh (2,40) Gedong Air Non Pesisir Tidak Kumuh (2,25) Gunung Sari Non Pesisir Kumuh (2,94) Tanjung Seneng Non Pesisir Tidak Kumuh (1,44) Way Kandis Non Pesisir Tidak Kumuh (2,19) Pasir Gintung Non Pesisir Agak Kumuh (2,55) Kaliawi Non Pesisir Kumuh (2,89) Gotong Royong Non Pesisir Kumuh (2,77) Palapa Non Pesisir Agak Kumuh (2,65) Kelapa Tiga Non Pesisir Agak Kumuh (2,70) Durian Payung Non Pesisir Agak Kumuh (2,60) Raja Basa Non Pesisir Agak Kumuh (2,46) Rajabasa Jaya Non Pesisir Tidak Kumuh (2,22) Gedong Meneng Non Pesisir Tidak Kumuh (2,37) Rajabasa Raya Non Pesisir Tidak Kumuh (2,20) Sumber: Analisis Data, 2015 62

B. Faktor-faktor yang menyebabkan permukiman kumuh di daerah penelitian Berdasarkan hasil analisis Regresi Logistik Ordinal, dapat ditabulasikan sebagai berikut: Tabel 4.4. Kesimpulan Hasil Analisis Regresi Logistik Ordinal Predictor Coef SE Coef Z P Odds lower upper Keterangan Ratio Const (1) -39,3247 13,9336-2,82 0,005 Const (2) -35,0000 13,1668-2,66 0,008 Kependudukan Kepadatan Penduduk 2,54223 1,07197 2,37 0,018 12,71 1,55 103,88 berpengaruh [PDTP] Jumlah Anggota Rumah Tangga [RART] Sosial Ekonomi Tingkat Pendidikan [TPDIK] Tingkat Kerawanan Keamanan [TKMAN] Tingkat Kemiskinan [TKIN] Sarana dan Prasarana Pelayanan Air Bersih [PYSIH] Kondisi Jalan [JLN] Ruang Terbuka [RT] Fisik Keseuaian Lahan [KL] Sumber: Analisis Data, 2015 0,28616 0,75815 0,38 0,706 1,33 0,30 5,88 Tdak berpengaruh -0,46355 2,00459-0,23 0,817 0,63 0,01 31,99 Tidak Berpengaruh 0,90441 1,00653 0,90 0,369 2,47 0,34 17,76 Tidak Berpengaruh 5,33320 2,79171 1,91 0,056 207,10 0,87 49258,93 Berpengaruh 3,99117 1,63526 2,44 0,015 54,12 2,19 1334,38 Berpengaruh -0,20411 1,29543-0,16 0,875 0,82 0,06 10,33 Tidak Berpengaruh 4,08552 2,48619 1,64 0,100 59,47 0,46 7772,70 Berpengaruh 3,22812 1,55503 2,08 0,038 25,23 1,20 531,62 Berpengaruh Dari tabel hasil regresi logistik ordinal menunjukkan bahwa Ho ditolak apabila nilai signifikansi semua parameter variabel independen yang masuk model lebih kecil dari α = 10 %, artinya paling tidak ada satu parameter variabel independen tidak sama dengan nol. Variabel yang signifikan secara bersama-sama 63

mempengaruhi tingkat kekumuhan adalah kepadatan penduduk [PDTP], Tingkat Kemiskinan [TKIN], pelayanan air bersih [PYSIH], ruang terbuka [RT], dan Keseuaian Lahan [LT]. Berdasarkan hasil analisis tersebut, Coef β 2 = 1,07197 odds ratio = 12,7, P value = 0,018, makna dari hasil tersebut adalah bahwa tingkat kepadatan penduduk berpengaruh positif ( P = 0,018 ). Dalam hal ini jika nanti kelurahan yang kepadatan penduduknya Jarang (katagori 1) berkembang menjadi berkepadatan sedang (katagori 2) atau yang sekarang berkepadatan sedang berkembang menjadi padat (katagori 3), maka tingkat kekumuhan mengalami peningkatan sebesar 12,71 kali semula. Berdasarkan teori pertumbuhan penduduk, hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena jika penduduk semakin bertambah, maka kebutuhan hidup baik papan, sandang maupun kebutuhan fasilitas lain semakin meningkat juga, dan jika daya dukung lingkungan sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk maka tentu kondisi ketidakkumuhan akan terjadi, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan permukiman-permukiman kumuh, seperti terlihat di kelurahan teluk betung sebagai berikut. Contoh kondisi permukiman di Kelurahan Teluk Betung Gambar 4.4. Contoh kondisi perumahan di kelurahan teluk betung 64

Untuk variabel tingkat kemiskinan [TKIN] nilai coef = 2,79171, odds ratio = 207,10 dan P value = 0,056, ini bermakna bahwa tingkat kemiskinan berpengaruh secara positif (P = 0,056). Dalam hal ini jika kelurahan yang mempunyai tingkat kemiskinan pada katagori 1 berkembang menjadi katagori 2, maka tingkat kekumuhan meningkat menjadi 207,10 kali semula. Hal ini sesuai dengan teori kemiskinan Abraham Maslow dengan piramida kebutuhan manusia. Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kelompok kebutuhan. Kelima kelompok kebutuhan tersebut disusunnya berbentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki kebutuhan. Susunannya mulai dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Oleh sebab itu motivasi manusia kata Maslow sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu terlebih dahulu dipenuhi. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya. Maka teori ini sering juga disebut sebagai Piramida Maslow. Adapun urutan kelima kelompok kebutuhan itu seperti berikut: 1. Kebutuhan Fisiologis. Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya. 2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan. Contoh seperti bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya 3. Kebutuhan Sosial. Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain. 65

4. Kebutuhan Penghargaan. Contoh pujian, piagam, tanda jasa, hadiah dan banyak lagi yang lainnya. 5. Kebutuhan Aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya. Meskipun banyak kritik tentang teori ini, namun secara umum mengandung fakta dalam kebanyakan kehidupan manusia. Dan Maslow sendiri dalam tahun-tahun terakhirnya merevisi teorinya tersebut (Stephen R.Covey dalam bukunya First Things First). Katanya, Maslow mengakui bahwa aktualisasi diri bukanlah kebutuhan tertinggi namun masih ada lagi yang lebih tinggi yaitu self transcendence yaitu hidup itu mempunyai suatu tujuan yang lebih tinggi dari dirinya. Mungkin yang dimaksud Maslow adalah kebutuhan mencapai tujuan hidup beragama. Sekarang lebih dikenal sebagai kebutuhan spiritual. Variabel Pelayanan Air Bersih [PYSIH] ( β 3 ) coef = 1, 63526, Odds Ratio = 54,12 dan P value = 0,015 bermakna bahwa jika suatu kelurahan persentase pelayanan air bersih tidak terlayani meningkat dari katagori 1 menjadi katagori 2, dan dari katagori 2 menjadi katagori 3, maka tingkat kekumuhan kelurahan tersebut akan meningkat sebesar 54, 12 kali semula. Kondisi ini sangat wajar karena air bersih merupakan kebutuhan vital untuk memenuhi kebutuhan manusia, jika kondisi air bersih di suatu tempat sangat minim maka tentu permukiman tersebut sangat jauh dari harapan untuk tidak menjadi permukiman kumuh. Hal ini menunjukan betapa pentingnya program pelayanan sarana air bersih harus senantiasa ditingkatkan oleh pemerintah agar masyarakat dapat hidup sehat dan tidak kumuh. 66

Contoh kondisi Pelayanan air bersih di kelurahan srengsem Gambar 4.5. Contoh kondisi pelayanan air bersih di kelurahan Srengsem Variabel Ruang Terbuka [RT] meskipun dengan tingkatsignifikansi 90 % ( P value = 0,100 ), namun dengan odd ratio sebesar 59,47 menunjukan pengaruh yang berarti besar, karena jika ruang terbuka dari katagori 1 menjadi katagori 2, atau dari katagori 2 menjadi 3, maka tingkat kekumuhan akan meningkat 59,47 kali semula. Hal ini menunjukkan pentingnya penghijuan di wilayah kota, sehingga tidak semua lahan menjadi bangunan-bangunan seluruhnya. Meskipun kadang terlihat ruang terbuka yang ada menjadi pembuangan sampah bagi orangorang yang berprilaku buruk. Hal ini terlihat lebih jelas pada visualisasi sebagai berikut. 67

Ruang terbuka sering untuk membuang sampah sembarangan Gambar 4.6. Ruang terbuka yang kadang salahgunakan untuk membuang sampah Odd ratio Kesesuaian Lahan [LT] sebesar 25, 23 artinya jika kesesuaian lahan berkembang dari katagori 1 menjadi katagori 2, dari katagori 2 menjadi katagori 3, maka tingkat kekumuhan akan meningkat 25,23 kali dari semula. Pada umumnya lahan untuk permukiman yang tidak sesuai dengan RUTR adalah di tepi rel kereta api, di bantaran sungai dan di dekat tegangan tinggi. Perumahan yang ada di tepi rel kereta api Gambar 4.7. Perumahan yang ada di tepi rel kereta api 68

Sedangkan untuk variabel tingkat pendidikan, kondisi jalan, rata-rata anggota rumah tangga, dan tingkat kerawanan keamanan ternyata dari hasil analisis regresi ordinal nilai P ( P value ) lebih besar dari 10 persen sehingga dapat dikatakan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kekumuhan di daerah penelitian. Hal ini dimungkinkan karena tingkat pendidikan di wilayah pada umumnya seragam tidak ada perbedaan yang mencolok. Demikian juga ketiga variabel yang lain, meskipun memiliki pengaruh tetapi tidak nyata, karena baik kondisi jalan, tingkat kerawanan dan rata-rata anggota rumah tangga juga kebanyakan tidak mempunyai variasi antara masing-masing wilayah di daerah penelitian. C. Analisis Uji Hipotesis 1. Uji Hipotesis pertama Pengujian untuk melihat apakah ada perbedaan yang nyata antara wilayah non pesisir dengan wilayah pesisir digunakan Uji T-Test, dari hasil Uji T- Test ( Lampiran IV ), dapat dianalisis sebagai berikut: Out Put hasil uji T-test dengan minitab 16.0 menunjukan bahwa mean wilayah pesisir sebesar 2,798 dengan standart 0,202, sedangkan wilayah non pesisir mean sebesar 2,421 dengan standart deviasi 0,342, maka mean wilayah pesisir lebih tinggi dari mean wilayah non pesisir dengan selisih 0,377. Apakah besarnya selisih ini dapat membuktikan secara statistik bahwa ada perbedaan tingkat kekumuhan antara wilayah pesisir dan non pesisir, maka dipergunakan uji independent t test. Hasilnya nilai t hitung sebesar 3,20 pada degree of freedom (df) 28 dengan P value sebesar 0,003 dimana lebih kecil dari batas kritis 0,05 69

sehingga hipotesis yang menyatakan ada perbedaan nyata tingkat kekumuhan antara wilayah pesisir dan non pesisir terbukti dengan taraf signigikansi 95%. 2. Uji Hipotesis kedua Untuk melihat adanya variasi tingkat kekumuhan, dilihat dari hasil perhitungan tingkat kekumuhan, dimana dari 30 kelurahan yang diteliti ada 10 kelurahan yang dikatagorikan kumuh, 10 kelurahan agak kumuh, dan 10 kelurahan lagi dikatagorikan tidak kumuh. 3. Uji Hipotesis ketiga Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi secara nyata terhadap tingkat kekumuhan dengan menggunakan analisis regresi logistik ordinal (hasil terlampir), maka yang mempengaruhi secara nyata terhadap tingkat kekumuhan dengan taraf kepercayaan 90% ada lima variabel yaitu: kepadatan penduduk ( nilai koefisien sebesar 2,54, dengan P value = 0,018), tingkat kemiskinan ( nilai koefisien sebesar 5,33, P value = 0,056), Pelayanan air bersih (nilai koefisien sebesar 3,99, P value = 0,015), Ruang Terbuka (nilai koefisien sebesar 4,08, P value = 0,100), dan Kesesuaian Lahan ( nilai koefisien sebesar 3,22, P value = 0,038). Sedangkan variabel jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan, tingkat kerawanan keamanan, dan kondisi jalan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kekumuhan dengan nilai P masing-masing sebesar 0,706,0,817, 0,369, dan 0,875. 70