FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA BANDAR LAMPUNG"

Transkripsi

1 FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA BANDAR LAMPUNG Siti Nursyamsiyah 1, M. Thoha B Sampurna Jaya 2, Samsul Bakri 2 1 Mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Lampung 2 Dosen Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Lampung Abstract: Identification of slum areas needs to be carried out not only in municipality or metropoitan city, but also in all regencies (municipal city/ regency). Identification is intended to detect the exact location of slum areas which is then used to formulate solution programs. In identifying the slum areas, a set of criteria are used to determine if a particular area can be labelled as slum or not. The criteria are broadly categorized into physical components and some additional components. The method of slum area labelling was undertaken by applying comprehensive analysis method where assessment was carried out by scoring the aforementioned criteria.through research carried out in Bandar Lampung, the result showed that among 30 villages, consisting of 20 non-coastal area villages and 10 in coastal areas, the highest degree of slum areas was found in Teluk Betung Village (3,17) and the lowest one was found in Tanjung Senang (1,44). Coastal areas are generally slummier than non-coastal ones. Through quantitatif (analysis ordinal regression), with minitab 16.0 it was found that there were five variables which have caused high degree of slums ( α= 10 %) i.e; population density, land suitability, clean water public, green open space, and poor rate, with P value for i.e: 0,018, 0,038, 0,100, and 0,056. While variables education rate, road condition, number of family members, and criminality rate haven t caused degrre of slums with P value i.e : 0,817, 0,875, 0,706, and Keywords: criteria of slum, degree, slum areas, identification PENDAHULUAN Latar Belakang Kota secara umum adalah tempat bermukimnya warga kota, tempat bekerja, tempat kegiatan dalam bidang ekonomi, pemerintahan dan lain-lain. Kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan yang tinggi, dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistik atau dapat diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsure-unsur alami dan nonalami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materalistik dibandingkan dengan daerah belakangnya (Bintarto, 1983). Perkembangan kota yang dinamis membawa berbagai macam dampak bagi pola kehidupan masyarakat kota itu sendiri. Perkembangan pusat kota yang merupakan sentra dari kegiatan ekonomi menjadi daya tarik bagi masyarakat yang dapat membawa pengaruh bagi tingginya arus tenaga kerja baik dari dalam kota itu sendiri maupun dari luar wilayah kota, sehingga menyebabkan pula tingginya arus urbanisasi. Kepadatan penduduk akan meningkat dan tentu akan menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun dampak negatif. Salah satu dampak yang terjadi adalah timbulnya permukiman kumuh di kawasan perkotaan. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan pedesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/ hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan kumuh menurut kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kotor atau tercemar. Predikat kota dengan nilai terjelek menurut hasil penilaian kementrian Lingkungan Hidup pada tahun 2012, tentu membuat Pemerintah Kota Bandar Lampung harus mencari akar permasalahan kenapa mendapatkan predikat tersebut. Salah satu penyebab penilaian tersebut tentunya disebabkan adanya beberapa kawasan permukiman kumuh di kota Bandar Lampung. Menurut Dinas Bina Marga dan Permukiman Kota Bandarlampung Tahun 2007 kawasan permukiman kumuh ada di 24 Kelurahan, yang tersebar di 8 Kecamatan. Oleh karena perkembangan kota yang semakin pesat tentu permukiman kumuh semakin meningkat, 25

2 menurut Danisworo dalam Khomarudin, bahwa tumbuhnya permukiman-permukiman spontan dan permukiman kumuh merupakan bagian yang terpisahkan dari proses urbanisasi. Sehingga Penelitian tentang Permukiman Kumuh di Kota Bandar Lampung sangat penting, sehingga perencanaan wilayah dan penataan ruang Kota Bandar Lampung dapat lebih terarah, terutama dalam hal mengantisipasi permasalahan permukiman kumuh. Sebaran Kawasan Kumuh yang pada tahun 2007 mencapai 24 Kelurahan (Dinas Permukiman dan Bina Marga,2007), tentunya aktivitas permukiman kumuh tersebut akan semakin meningkat dan meluas di Kota Bandar Lampung, menimbulkan berbagai permasalahan bagi penataan ruang di wilayah ini dan penataan ruang kota Bandar Lampung secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan dikemukakan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut : 1) Kekumuhan wilayah permukiman ditinjau dari aspek fisik, yang terlihat dari a. Pemanfaatan daerah sungai oleh masyarakat untuk kegiatan ekonomi, yang menjadikan terganggunya fungsi sungai secara maksimal. b. Tidak adanya jarak antar bangunan yang mengakibatkan rumah tidak sehat. c. Kumuhnya permukiman akibat aktivitas wilayah yang berlebihan, sehingga menyebabkan lingkungan hunian menjadi tidak sehat dan tidak nyaman untuk ditinggali d. Tidak berfungsinya saluran drainase kota di wilayah tersebut secara optimal. e. Sampah dan limbah akibat aktivitas warga yang tidak dikelola dengan baik, menyebabkan pemandangan yang kotor. f. Kurangnya sarana prasarana juga kurang terpeliharanya sarana dan prasarana ( jalan lingkungan, tempat sampah, MCK umum ). 2) Terlalu padatnya jumlah penduduk, yang kurang seimbang dengan daya tampung ruang hunian dan penataan ruang yang kurang tepat. Dengan memperhatikan kondisi permasalahan di atas, maka perlu diadakan suatu penelitian untuk mengetahui : faktor apa saja yang menyebabkan kekumuhan di wilayah Kota Bandar Lampung? Tujuan Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui perbedaan Tingkat Kekumuhan di wilayah penelitian. (2) Untuk Mengetahui persebaran kondisi permukiman kumuh di wilayah penelitian (3) Untuk mengetahui Faktor - Faktor yang secara nyata menyebabkan kekumuhan di Daerah Penelitian METODE PENELITIAN Dalam pelaksanaan studi terdiri dari beberapa tahapan proses penelitian antara lain tahap persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahap analisis. Tahapan kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, pelaksanaan analisis yang digunakan, hingga akhirnya mendapatkan hasil atau output yang diinginkan sesuai tujuan studi. Tahap Persiapan Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan data-data yang lengkap guna mendukung penyusunan studi ini dan masih bersifat data sekunder. Untuk menghasilkan data yang lengkap dan akurat, aspek yang perlu diperhatikan adalah dengan melihat/mengamati permasalahan yang terjadi di daerah studi. Untuk mendapatkan data-data yang akurat tersebut dilakukan persiapan, antara lain: 1. Perumusan masalah, tujuan, dan sasaran studi Program studi diangkat berdasarkan kondisi lingkungan dan aktivitas kawasan permukiman yang berada di wilayah Kota Bandar Lampung. Berkaitan dengan kondisi kawasan tersebut maka dalam studi ini diharapkan mampu menemukan faktor penyebab kekumuhan lingkungan kawasan permukiman kumuh yang berada di Kota Bandar Lampung. 2. Penentuan Lokasi Studi Lokasi studi yang diangkat dalam studi ini adalah Kota Bandar Lampung yang memiliki 126 Kelurahan (BPS, 2013) dengan pengambilan sampel 30 Kelurahan, 10 Kelurahan mewakili wilayah pesisir dan 20 Kelurahan mewakili non pesisir. 3. Inventarisasi data-data yang ada, yaitu berupa data studi yang pernah dilakukan. Tahap ini berguna sebagai gambaran tentang studi yang akan dilaksanakan sekaligus juga untuk menyusun strategi pengumpulan data dan informasi untuk tujuan studi ini. 4. Pengumpulan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini untuk mempermudah dalam pembuatan metodologi serta pemahaman terhadap permasalahan yang diambil. 5. Penyusunan teknis pelaksanaan survai Kegiatan ini meliputi perumusan teknis pengumpulan data, teknik sampling, jumlah 26

3 dan sasaran penyebaran kuesioner, rancangan pelaksanaan observasi serta format kuesioner. Penentuan Jumlah Sampel Studi ini menggunakan teknik penarikan sampel untuk bahan studi dengan alasan bahwa peneliti tidak mungkin untuk mengamati seluruh anggota populasi. Menurut Sumaatmaja (1988:54) mengatakan bahwa sampel merupakan bagian dari populasi yang bersifat mewakili populasi yang bersangkutan. Dan menurut Suharsimi Arikunto (1987) mengemukakan bahwa penarikan sampel tergantung pada: 1) Kemampuan penelitian dilihat dari segi waktu, tenaga dan biaya. 2) Sempit dan Luasnya pengamatan dari setiap subjek karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data. 3) Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti. Mengenai besarnya sampel menurut Tika (2005 : 25) mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada ketentuan yang jelas tentang besaran minimal sampel yang dapat diambil dan dapat mewakili suatu populasi yang akan diteliti. Kendati demikian, dalam teori sampling dikatakan bahwa sampel terkecil dan dapat mewakili distribusi normal adalah 30. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan teknik Purposive Sampling sehingga diambil 30 kelurahan dari 126 kelurahan yang ada di Kota Bandar Lampung. Adapun rincian karateristik kelurahan yang terpilih sebagai sampel adalah 10 kelurahan pesisir dan 20 kelurahan non pesisir. 1. Tahap Pengumpulan Data Data merupakan gambaran tentang suatu keadaan atau persoalan yang dikaitkan dengan tempat dan waktu, yang merupakan dasar suatu perencanaan dan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Masalah, tujuan, dan hipotesa penelitian, untuk sampai pada suatu kesimpulan harus didukung oleh data-data yang relevan. Relevansi data dengan variabel-variabel penelitian didasari oleh metode pendekatan masalah yang relevan (Sumaatmaja, 1998:104). Pada suatu proses penelitian, tahapan pengumpulan data merupakan tahapan yang harus direncanakan untuk mendapatkan suatu hasil yang optimal yang sesuai dengan tujuan dan sasaran penelitian pada proses-proses selanjutnya. Sumber-sumber data yang dibutuhkan guna penyusunan studi ini adalah: a. Data Sekunder Sumber sekunder merupakan sumber data yang berasal dari instansi yang terkait dengan studi untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan untuk kegiatan analisis. Di samping itu, data sekunder lainnya adalah studi literatur untuk mendapatkan literatur yang berkaitan dengan studi. Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan melalui survei ke beberapa instansi pemerintah yang diharapkan dapat menjadi sumber data, yaitu: 1) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bandar Lampung 2) Kantor Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung 3) Badan Pertanahan Nasional Kota Bandar Lampung 4) Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung 5) Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung Waktu pengumpulan data sekunder disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan. b. Data Primer Data primer dikumpulkan melalui survai primer yang dilakukan melalui pengamatan langsung (observasi) di wilayah studi dan wawancara atau pertanyaan kepada para masyarakat. Teknik Pengumpulan Data Primer : 1) Pengamatan Visual Pengamatan ini dilakukan dalam identifikasi tingkat kepustakaan dan kebutuhan pengembangan kawasan studi 2) Rekaman Visual Rekaman kondisi eksisting dengan foto atau sketsa-sketsa dalam upaya merekam data-data kondisi lapangan. 3) Penyerapan Aspirasi Melalui Kuisioner Langsung Penyerapan aspirasi dilakukan untuk memperoleh informasi permasalahan dan potensi kawasan saat ini serta untuk menggali kawasan kondisi lingkungan di lapangan. Dengan demikian diharapkan bahwa studi ini dapat dilakukan dengan menggunakan kompilasi data yang didapatkan dari instansi terkait dan masukan dari kondisi sebenarnya di lapangan sehingga data yang diperoleh secara keseluruhan menjadi lebih akurat. 2. Tahap Pengolahan dan Penyajian Data Apabila pengumpulan data sudah dilakukan, maka data yang sudah terkumpul harus diolah dan dianalisis. Prosedur pengolahan data yang akan dilakukan dalam analisis kegiatan studi adalah sebagai berikut (Soehartono, 1995). a. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data sekunder selesai. Teknik pengumpulan data ini dapat digunakan 27

4 sebagai penunjang studi dalam tahap analisis sesuai kebutuhan data. Dalam pengolahan data ada beberapa hal yang harus dikerjakan yaitu: 1) Editing, yaitu meneliti/memilih kembali kelengkapan dan kebenaran atas data yang dibutuhkan. 2) Koding, yaitu dengan mengklasifikasikan frekuensi data dalam masing-masing kelompok/kategori sesuai dengan kebutuhan dalam analisis yaitu dengan pengkodean data agar data lebih mudah dicari. 3) Tabulasi, yaitu dengan mengelompokkan data untuk mempermudah proses analisis. 4) Klasifikasi, yaitu data yang dipilah berdasarkan berdasarkan kebutuhan analisis yang akan dikerjakan. 5) Analisis, yaitu perhitungan data berdasarkan data yang ada dan model analisis yang sudah dikembangkan berdasarkan maksud dan tujuan studi yang sudah disusun. b. Teknik Penyajian Data Setelah data diolah dan diklasifikasi, kemudian disajikan dalam bentuk-bentuk tertentu seperti berupa tabel diagram, gambar, dll, untuk mempermudah dalam pembacaan dan pemahaman. 3. Tahap Analisis Pada tahap analisis ini akan dijelaskan mengenai prinsip dasar analisis yang akan digunakan. Teknik analisis yang dipakai sebagai upaya dalam pencapaian tujuan studi adalah Analisis Deskriptif Kualitatif, dengan melihat tingkat kekumuhan dan analisis kuantitatif dengan analisis Regresi ordinal. Metode ini dapat diartikan sebagai usaha untuk mengukur tingkat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Kemudian dicari makna hubungan variabel independen terhadap variabel dependen dengan uji signifikansi. a. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif ( Sugiyono 2006: 21) yaitu untuk menganalisis gejala atau fakta dengan mengolah dan menginterpretasikan data berupa pendapat serta data-data yang bersifat non angka yang terdapat pada masa sekarang di daerah penelitian. Hasilnya berupa pengkatagorian dengan presentase. P = f/n X 100 % P = nilai presentase n = jumlah data keseluruhan F = Frekuensi munculnya data Untuk mempermudah dalam penafsiran dan penyimpulan, maka digunakan parameter yang dikemukakan oleh Arikunto (1996:57) dimana : 0 % ditafsirkan tidak ada 1-24 % sebagian kecil % hampir setengahnya 50 % setengah sebagian besar 75 99% hampir seluruhnya 100 % seluruhnya Untuk menghitung nilai tingkat kekumuhan digunakan rumus berikut (Dirjen Perumahan dan Pemukiman 2002, dengan modifikasi pengkatagorian): TK = ( nk X bobot) Keterangan TK = Tingkat Kekumuhan nk = Nilai Kekumuhan diperoleh dari nilai masing-masing indikator bobot = persentase untuk masing masing indikator yang telah ditetapkan Nilai TK adalah 1 tk 5 dengan kriteria di daerah penelitian sebagai berikut: TK < 2,40 = Tidak Kumuh 2,40 TK 2,70 = Agak Kumuh TK > 2,70 = Kumuh Berikut adalah indikator indikator dan pembobotan dari dirjen Perumahan dan pemukiman yang digunakan dalam penentuan tingkat kekumuhan yaitu: a. Kondisi Bangunan 1) Tingkat kualitas bangunan yaitu persentase banyaknya bangunan rumah yang tidak permanen dalam suatu lingkungan kawasan 2) Tingkat Kepadatan bangunan yaitu jumlah unit bangunan persatuan luas (Ha) dalam suatu lingkungan kawasan 3) Tingkat kelayakan bangunan yaitu persentase banyaknya bangunan rumah yang tidak layak atau sehat dalam penggunaan material seperti dinding, plafon dan lantai. 4) Tingkat penggunaan luas bangunan yaitu rata-rata luas ruangan yang dipergunakan oleh penduduk 5) Kesesuaian Lahan yaitu persentase perbandingan antara jumlah rumah yang dibangun di atas tanah yang bukan sebagai perumahan dengan jumlah rumuh yang dibangun pada tanah yang diperuntukan bagi perumahan yang sesuai RUTR. 6) Status penguasaan bangunan yaitu persentase status kepemilikan dan penggunaan bangunan. 7) Frekuensi bencana kebakaran yaitu banyaknya kejadian kebakaran pada suatu kawasan tiap tahunnya 8) Frekuensi bencana banjir yaitu banyaknya bencana banjir pada suatu kawasan dalam satu tahun b. Kondisi Sarana dan Prasarana 28

5 1) Tingkat Pelayanan air bersih yaitu persentase jumlah Kepala Keluarga (KK) yang tidak mendapat pelayanan PDAM baik yang berasal dari kran Rumah Tangga maupun Kran Umum dalam suatu wilayah 2) Kondisi sanitasi lingkungan yaitu persentase jumlah KK yang tidak menggunakan fasilitas jamban keluarga atau jamban umum 3) Kondisi persampahan yaitu jumlah KK yang tidak mendapat pelayanan pengangkutan sampah oleh Pemda, Swasta atau Swadaya. 4) Kondisi saluran air hujan atau drainase yang tidak layak dalam suatu wilayah 5) Kondisi jalan yaitu persentase jalan yang rusak dibandingkan dengan panjang jalan seluruhnya dalam suatu wilayah 6) Ruang Terbuka yaitu persentase luas ruang terbuka dalam satu wilayah c. Kondisi Sosial Ekonomi 1) Tingkat Kemiskinan yaitu Persentase jumlah keluarga miskin dalam katagori pra sejahtera dan keluarga sejahtera I dalam suatu wilayah 2) Tingkat Pendapatan yaitu persentase jumlah penduduk usia produktif dengan pendapatan 3) Tingkat Pendidikan yaitu persentase jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan dasar 9 tahun 4) Tingkat Kerawanan Keamanan yaitu jumlah kejadian tindak kriminal dalam suatu wilayah yang terjadi dalam kurun satu tahun d. Kependudukan 1) Tingkat Kepadatan Penduduk yaitu perbandingan jumlah penduduk dengan luas wilayah dalam satuan hektar 2) Rata-rata anggota Rumah Tangga yaitu rata-rata banyaknya anggota keluarga dalam tiap-tiap KK 3) Jumlah KK per rumah yaitu jumlah KK tiap satu rumah 4) Tingkat pertumbuhan penduduk yaitu pertambahan penduduk tiap tahun pada satu wilayah yang dilihat dari jumlah penduduk awal tahun dan akhir tahun tiap 100 penduduk 5) Angka Kematian Kasar yaitu jumlah kematian pada tahun tertentu tiap 1000 penduduk 6) Status gizi yaitu jumlah balita yang berada dibawah garis merah akibat menderita kekurangan gizi 7) Angka Kesakitan Malaria yaitu jumlah penduduk yang menderita penyakit malaria dalam satu tahun 8) Angka Kesakitan diare yaitu jumlah penduduk yang menderita penyakit diare dalam satu tahun 9) Angka Kesakitan demam berdarah yaitu jumlah penduduk yang menderita penyakit demam berdarah dalam satu tahun. Analisis ini dilakukan untuk menentukan tingkat kekumuhan dengan ketentuan sebagai berikut : Tabel 1. Kriteria Penilaian Tingkat Kekumuhan NILAI KRITERIA 0 Tidak Kumuh 1 Agak Kumuh 2 Kumuh Sumber: diadaptasi dari dirjen perumahan dan pemukiman dengan modifikasi Sedangkan tabel parameter dari penilaian mengenai tingkat kekumuhan pada permukiman kumuh terdapat dalam lampiran. b. Analisis Kuantitatif (Uji Hipotesis) Uji Hipotesis menggunakan Analisis Regresi, dengan pemodelan regresi ordinal. Adapun variabel yang digunakan, simbol dalam pemodelan adalah sebagai berikut: Variabel Respon Variabel respon dalam penelitian ini adalah tingkat kekumuhan dalam wilayah kelurahan. Variabel respon sering juga disebut variabel terikat, sesuai dengan tujuan penelitian ini variabel respon ( Y ) dalam penelitian ini adalah status kekumuhan yang dikatagorikan dalam tiga katagori sebagai berikut: - tidak kumuh = 0, dengan kriteria TK < 2,40 - agak kumuh = 1, dengan kriteria 2,40 TK 2,70 - kumuh = 2, dengan kriteria TK > 2,70 Variabel Prediktor Variabel prediktor ( X ) yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari variabel yang berkaitan dengan kependudukan, sosial ekonomi, sarana prasarana dan Fisik wilayah Tabel 2. Variabel yang berkaitan dengan Kependudukan, Sosial Ekonomi, Sarana Prasarana, dan Fisik 29

6 wilayah Variabel Katagori Kependudukan Kepadatan Penduduk [PDTP] Jumlah Anggota Rumah Tangga [RART] =1, jika kepadatan < 100 jiwa/ha =2, jika kepadatan jiwa/ha =3, jika kepadatan > 200 jiwa/ha =1, jika jml anggota RT < 5 org =2, jika jml anggota RT 5-6 org =3, jika jml anggota RT > 6 org Sosial Ekonomi Tingkat Pendidikan [TPDIK] =1, jika jml tamat pendidikan dasar < 5 % =2, jika jml tamat pendidikan dasar 5-10% =3, jika jml tamat pendidikan dasar > 10 % Tingkat Kerawanan Keamanan [TKMAN] =1, jika 0 kali kejahatan/th =2, jika 1-3 kali kejahatan/th =3, jika 4-6 kali kejahatan/ th =4, jika > 6 kali kejahatan/th Tingkat Kemiskinan [TKIN] =1, jika tingkat kemiskinan < 35 % =2, jika tingkat kemiskinan > 35 % Sarana dan Prasarana Pelayanan Air Bersih [PYSIH] =1, jika jml kk tdk terlayani air bersih < 30 % =2, jika jml kk tdk terlayani air bersih % =3, jika jml kk tdk terlayani air bersih > 50 % Kondisi Jalan [JLN] =1, jika jln rusak < 10 % =2, jika jln rusak % =3, jika jln rusak > 50 % Ruang Terbuka [RT] =1, jika ruang terbuka > 10 %luas wilayah =2, jika ruang terbuka 5-10% luas wilayah =3, jika ruang terbuka < 5% luas wilayah Fisik Kesesuaian Lahan [LT] =1, jika tanah tdk sesuai RUTR < 10 % =2, jika tanah tdk sesuai RUTR % =3, jika tanah tdk sesuai RUTR > 30 % HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab hasil dan pembahasan ini, dapat diungkapkan kondisi kota Bandar Lampung secara makro, dimana dari 30 kelurahan yang diteliti terungkap bagaimana karaterisik dan faktor-faktor yang secara nyata menyebabkan terciptanya kekumuhan di Kota Bandar Lampung pada umumnya dan di daerah penelitian pada khususnya. Karateristik Permukiman di Daerah Penelitian 1. Karateristik Hunian Daerah Penelitian a. Kualitas Bangunan dan kelayakan bangunan Hasil analisis data pada penelitian diperoleh hasil bahwa kualitas dan kelayakan bangunan di wilayah pesisir hampir seluruhnya bangunan yang tidak permanen, yaitu sebesar 90 % katagori 4 ( %), sisanya 10 % katagori 3 ( % ). Sementara di wilayah non pesisir hanya sebesar 60 % katagori 4, 35 % katagori 3 dan ada yang masuk katagori 2 sebesar 5 %. Untuk Kelayakan bangunan di wilayah pesisir hampir seluruhnya katagori 2 ( % ) yaitu sebesar 80%, sementara di wilayah non pesisir didominasi oleh katagori 3 (31-50%) sebesar 65 %. Kondisi ini dimungkinkan karena di wilayah pesisir sering terjadi genangan air sehingga mereka cenderung untuk memakai material bangunan seperti dinding, plafon dan lantai yang lebih kuat dibandingkan dengan yang ada di wilayah non pesisir. b. Tingkat Kepadatan Bangunan Bangunan-bangunan di daerah penelitian menunjukan variasi tiap-tiap kelurahan, untuk daerah padat penduduk dan pusat kota seperti teluk betung memiliki kepadatan bangunan katagori 4 yaitu antara unit/ ha, namun untuk daerah yang kepadatan penduduknya kecil dan tidak masuk dalam kawasan ataupun perdagangan dan industri seperti kelurahan panjang utara, maka kepadatan bangunan dikatagorikan 1 sampai 2 dengan kepadatan kurang dari 50 unit/ha atau paling padat 100 unit/ Ha. 30

7 c. Kesesuaian Lahan dan Status Kepemilikan Penggunaan Bangunan Legalitas dan status kepemilikan ini akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan permukiman, pada umumnya untuk legalitas biasanya yang illegal terjadi di sekitar bantaran sungai, tepi rel kereta api seperti di kelurahan Gunung Sari dan Srengsem. Di bawah ini dapat diilustrasikan kondisi legalitas dan status kepemilikan di daerah penelitian. Frekuensi Kebakaran dan Frekuensi Kebanjiran Frekuensi kebakaran dan frekuensi kebanjiran juga merupakan indikator suatu kawasan diakatorikan kumuh atau tidak. Pada umumnya jika kepadatan bangunan suatu wilayah cukup padat, kemungkinan terjadinya kebakaran lebih besar dibandingkan dengan kawasan yang tidak memiliki kepadatan bangunan yang padat, demikian juga sering tidaknya suatu kawasan banjir dapat menunjukan bahwa kawasan yang sering banjir di daerah itu banyak saluran yang tersumbat diakibatkan banyak sampah yang menumpuk dan menyebabkan meluapnya air ke permukiman apabila musih hujan tiba. Dari Hasil penelitian ini, yang mempunyai frekuensi banjir sering di antaranya Kelurahan Way Lunik, Teluk Betung dan daerah dataran rendah lainnya. Sedangkan untuk daerah yang masuk ke dataran yang agak tinggi seperti Kelurahan Gunung Sari banjir tidak terjadi karena air limpasan hujan pasti turun ke daerah yang lebih rendah. 2. Karateristik Penghuni Daerah Penelitian a. Kondisi Ekonomi (1) Tingkat Pendapatan Menurut hasil survei dan pengamatan yang dilakukan di daerah penelitian tingkat pendapatan rata-rata di daerah penelitian, diperoleh hasil ternyata wilayah non pesisir lebih variatif dibandingkan wilayah pesisir, di wilayah pesisir ada 3 katagori di wilayah non pesisir ada 4 katagori, namun ada kesamaan di kedua wilayah, dimana tingkat pendapatan sebagian besar katagori 3 (16 25 %), Untuk lebih jelasnya tingkat pendapatan untuk masingmasing katagori di kedua wilayah dapat dilihat pada tabel 2. sebagai berikut: Tabel 3. Prosentase Tingkat Pendapatan Di Daerah Penelitian Tingkat Pendapatan Wilayah Pesisir Wilayah Non Pesisir Lebih besar 35 % 0,00 5, % 30,00 15, % 50,00 65, % 20,00 15,00 Kurang dari 6 % 0,00 5,00 Sumber : Analisis Data,2015 (2) Tingkat Kemiskinan Dari hasil penelitian yang diperoleh di daerah penelitian ternyata sangat memprihatinkan, karena hampir seluruh kelurahan memiliki tingkat kemiskinan lebih dari 35 %, hanya ada 2 kelurahan yang tingkat kemiskinannya dibawah 35 %, yaitu kelurahan Tanjung Seneng dan kelurahan Way Kandis. Hal ini mengidentifikasi bahwa sebagian besar Rumah Tangga di Kota Bandar Lampung masih dikatagorikan keluarga pra sejahtera atau keluarga sejahtera I. Lebih Jelasnya Tingkat Kemiskinan di Daerah Penelitian dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Tingkat Kemiskinan di Daerah Penelitian No. Nama Kelurahan Wilayah Tingkat Kemiskinan (%) 1 Panjang Selatan Pesisir 56,65 2 Panjang Utara Pesisir 47,78 3 Srengsem Pesisir 64,72 4 Way Lunik Pesisir 76,49 5 Karang Maritim Pesisir 52,92 6 Kota Karang Pesisir 53,79 7 Keteguhan Pesisir 49,44 8 Sukamaju Pesisir 54,67 31

8 9 Teluk Betung Pesisir 58,36 10 Pesawahan Pesisir 69,71 11 Labuhan Ratu Non Pesisir 46,61 12 Kampung Baru Non Pesisir 63,75 13 Kedaton Non Pesisir 40,06 14 Surabaya Non Pesisir 56,36 15 Panengahan Non Pesisir 45,05 16 Kemiling Permai Non Pesisir 44,31 17 Gedong Air Non Pesisir 50,08 18 Gunung Sari Non Pesisir 53,95 19 Tanjung Seneng Non Pesisir 28,77 20 Way Kandis Non Pesisir 34,56 21 Pasir Gintung Non Pesisir 60,41 22 Kaliawi Non Pesisir 55,93 23 Gotong Royong Non Pesisir 55,66 24 Palapa Non Pesisir 62,14 25 Kelapa Tiga Non Pesisir 57,72 26 Durian Payung Non Pesisir 76,77 27 Rajabasa Non Pesisir 55,51 28 Rajabasa Jaya Non Pesisir 53,97 29 Gedong Meneng Non Pesisir 48,40 30 Rajabasa Raya Non Pesisir 52,00 Sumber : Analisis Data 2015 b. Kondisi Sosial (1) Tingkat Kerawanan Keamanan Umumnya tingkat kerawanan berada pada katagori 3 (3-4 kali/th) di wilayah pesisir, dan katagori 2 (1-2 kali/th) di wilayah non pesisir. Kondisi lingkungan seperti ini dapat dikatakan relatif aman, dan menunjukan bahwa di wilayah pesisir lebih rawan dibandingkan wilayah non pesisir. Pada umumnya kejahatan yang ada adalah pencurian, sedangkan konflik antar warga cenderung tidak terjadi, karena adanya hubungan kekerabatan yang erat antar warga atau berasal dari daerah yang sama. Hal ini juga disebabkan oleh persamaan latar belakang sosial budaya dan ekonomi antar penduduk, sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial di masyarakat. (2) Tingkat Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan penduduk wilayah non pesisir yang dikatagorikan tamat pendidikan dasar 9 tahun sangat kecil yaitu katagori 2 (1-5 %) saja, sedangkan di wilayah pesisir ternyata cukup besar yaitu sebagian besar katagori 3 (6 10 %), berarti masih ada 6-10% penduduk wilayah pesisir belum dapat pendidikan dasar 9 tahun. Rendahnya tingkat pendapatan, menyebabkan faktor pendidikan tidak menjadi prioritas utama dalam keluarga. Dengan demikian penilaian dari aspek pendidikan terhadap masyarakat di daerah penelitian terdapat lebih dari 5% penduduk tidak menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. c. Kondisi Kependudukan (1) Tingkat Kepadatan Penduduk Secara tingkat kepadatan, menunjukan bahwa Kota Bandar Lampung secara menyeluruh masih memiliki cukup lahan untuk dapat menampung jumlah penduduk yang ada. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang memiliki kepadatan penduduk lebih dari 250 jiwa/ Ha hanya kelurahan Kota Karang, Gotong Royong dan kelurahan Teluk Betung. Sedangkan Kelurahan lain memiliki kepadatan penduduk kurang dari 150 jiwa/ha. (2) Jumlah Anggota Rumah Tangga Rumah umumnya dihuni oleh 4 6 orang (63,6%) dan lebih dari 6 orang (27,3%) yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anaknya. Jumlah Rumah Tangga yang terdapat di daerah penelitian, umumnya tiap rumah di huni oleh satu keluarga dengan jumlah anak rata-rata 2 4 orang, sehingga jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 10 orang. Sedangkan jumlah Kepala keluarga dalam satu rumah umumnya hanya terdapat 1 keluarga dalam satu rumah. Adapun warga pendatang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penduduk setempat, umumnya membangun sendiri rumah mereka di sekitar perumahan yang ada. Hal ini menyebabkan ketidakteraturan lingkungan, rumah yang tidak tertata, berupa lorong tikus, tanpa jalan, dan tanpa garis sempadan bangunan. (3) Laju Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan data jumlah penduduk pada Tahun 2011 dan tahun 2012 diketahui bahwa kecenderungan pertambahan penduduk bertambah rata-rata 2,5% per tahun. Hal ini nampak dari semakin padatnya permukiman di sekitar tepian sungai dan area sungai. Kecenderungan ini menyebabkan semakin tidak tertatanya lingkungan permukiman dan 32

9 perumahan di sebagian besar daerah penelitian, sehingga diperlukan penataan permukiman dan ketersediaan sarana dan prasarana permukiman yang layak. Antisipasi Pemda setempat diharapkan dapat dilakukan sebagai upaya untuk memberikan permukiman yang layak bagi masyarakat di daerah penelitian khususnya dan di Kota Bandar Lampung pada umumnya. (4) Angka Status Gizi Balita Keterbatasan ekonomi, kondisi lingkungan dan bangunan yang tidak layak, menyebabkan rendahnya status gizi balita pada lokasi. Berdasarkan penilaian status gizi balita, terdapat 10 30% balita berada di bawah garis merah dengan kondisi sosial ekonomi rendah. Kondisi tersebut hingga saat ini belum mengalami perubahan signifikan, masalah ekonomi masih menjadi penyebab rendahnya status gizi balita. (5) Angka Kesakitan dan Kematian Penyakit yang banyak diderita oleh penduduk di daerah penelitian adalah diare yang sebagian besar diderita oleh anak-anak. Salah satu penyebab dari penyakit tersebut adalah kondisi lingkungan; kondisi sarana dan prasarana lingkungan yang tidak layak, antara lain b. Kondisi Sanitasi Lingkungan Dari kondisi sanitasi lingkungan, penelitian ini hanya melihat dari segi pemakaian jamban keluarga. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa wilayah pesisir sanitasi lingkungannya lebih buruk daripada wilayah non pesisir, tidak ada katagori 1 ( < 10 % ) yang belum memakai jamban, sedangkan di wilayah non pesisir ada sebesar 15 % masuk katagori 1. Hal ini kemungkinan disebabkan juga adanya kebiasaan penduduk di wilayah pesisir yang membuang kotoran di air laut. c. Kondisi Persampahan Kondisi pelayanan persampahan di wilayah pesisir cenderung lebih buruk, karena dari hasil penelitian terlihat bahwa ada sebesar 60 % yang masuk katagori 3 (31-50 %), di wilayah non pesisir hanya 25 %, sementara wilayah pesisir juga tidak ada yang masuk katagori 1, di wilayah non pesisir ada sebesar 15% yang termasuk katagori 1. Tidak adanya armada angkutan sampah dan tempat pembuangan sampah sementara yang memadai menyebabkan penduduk lebih memilih cara yang mudah dilakukan dan tempat yang mudah dijangkau. Dari cara membuang sampah penduduk, dapat dikatakan bahwa sebagaian besar (51-70 %) penduduk membuang sampah di tempat yang bukan peruntukannya. d. Kondisi Saluran Air Hujan / drainase Umumnya kualitas drainase lingkungan di daerah penelitian kurang baik, yaitu sekitar 11 pelayanan air bersih, sanitasi lingkungan, persampahan dan saluran air. Upaya perbaikan sarana & prasana lingkungan yang telah dilaksanakan belum efektif akibat kurangnya kesadaran masyarakat untuk memelihara dan menjaga kebersihan lingkungan, serta sarana & prasarana lingkungan menjadi kendala utama dalam perbaikan lingkungan. 3. Karateristik Sarana Prasarana a. Tingkat Pelayanan Air Bersih Berdasarkan data dari BPS, pelayanan air bersih sebagian besar penduduk tidak terlayani PDAM, mereka ada yang menggunakan sumur gali ataupun dengan pelayanan air bersih umum, seperti yang terjadi di Desa Srengsem Kecamatan Panjang. Di daerah penelitian sebagian besar penduduk belum memperoleh air bersih dari saluran PAM sebesar 60 % katagori 5 ( > 70 % ) terutama yang bermukim di wilayah pesisir, namun bagi penduduk yang bermukim di wilayah non pesisir 50 % katagori 5. Hal ini menunjukkan pelayanan air bersih di wilayah non pesisir masih lebih baik dibandingkan wilayah pesisir. s.d 30 persen drainase buruk, namun secara keseluruhan wilayah pesisir lebih buruk dari wilayah non pesisir, dimana wilayah non pesisir masih memiliki drainase buruk kurang dari 10 persen sebesar 15 %, sedangkan wilayah pesisir tidak ada Kelurahan yang drainase buruknya lebih kecil dari 10 persen. Hal ini tampak dari visualisasi yang dilakukan di lapangan. ( Gambar 1). Gambar 1. Kondisi sanitasi/ wc buruk e. Kondisi Jalan Terdapat kesamaan antara wilayah pesisir dan wilayah non pesisir 90% jalan lingkungan dan jalan setapak yang memiliki kondisi yang baik dan hanya 10% lahan yang belum terlayani jalan, dengan pola letak jalan dan perumahan yang belum tertata dengan baik. Dengan demikian dapat dikatakankan hanya sebagian 33

10 kecil kelurahan di daerah peneltian yang belum terlayani jalan. f. Kondisi Ruang Terbuka Tapak ruang terbuka di daerah penelitian, umumnya merupakan lahan tidak terurus yang ditumbuhi tanaman liar, yang juga dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Untuk permukiman wilayah pesisir setengah ( 50 % ) hanya terdapat 5-7,5 % ruang terbuka, sehingga penduduk tidak dapat memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk menanam tanaman. Di kawasan tepian sungai hanya nampak tanah kosong yang dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah dan menambatkan perahu, Sedangkan di daerah non pesisir ternyata lebih kecil persentase ruang terbukanya yaitu 2,5-5,0 % sebesar 60 persen. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukan bahwa di daerah penelitian tingkat kekumuhan dikatagorikan sebagian agak kumuh sebesar 10 kelurahan dan kumuh sebesar 10 kelurahan, sedangkan yang dikatagorikan tidak kumuh sebesar 10 kelurahan. Di daerah pesisir seluruh kelurahan di daerah penelitian dikatagorikan kumuh dan agak kumuh, sementara di daerah non pesisir ada beberapa variasi, hal ini menunjukan bahwa secara deskriptif anggapan sebagian besar masyarakat yang mengatakan bahwa wilayah pesisir cenderung lebih kumuh dibandingkan wilayah non pesisir terbukti pada hasil penelitian ini. Untuk lebih jelasnya persebaran tingkat kekumuhan di daerah penelitian dapat dilihat pada tabel 4. Persebaran Tingkat Kekumuhan di Daerah Penelitian. Tabel 5. Persebaran Tingkat Kekumuhan di Daerah Penelitian No. Nama Kelurahan Wilayah Tingkat Kekumuhan 1 Panjang Selatan Pesisir Kumuh (2,84) 2 Panjang Utara Pesisir Kumuh (2,93) 3 Srengsem Pesisir Agak Kumuh (2,56) 4 Way Lunik Pesisir Kumuh (2,74) 5 Karang Maritim Pesisir Agak Kumuh (2,63) 6 Kota Karang Pesisir Kumuh (3,06) 7 Keteguhan Pesisir Kumuh (2,72) 8 Sukamaju Pesisir Kumuh (2,71) 9 Teluk Betung Pesisir Kumuh (3,17) 10 Pesawahan Pesisir Agak Kumuh (2,60) 11 Labuhan Ratu Non Pesisir Agak Kumuh (2,54) 12 Kampung Baru Non Pesisir Tidak Kumuh (2,12) 13 Kedaton Non Pesisir Tidak Kumuh (2,20) 14 Surabaya Non Pesisir Tidak Kumuh (2,13) 15 Panengahan Non Pesisir Tidak Kumuh (2,13) 16 Kemiling Permai Non Pesisir Agak Kumuh (2,40) 17 Gedong Air Non Pesisir Tidak Kumuh (2,25) 18 Gunung Sari Non Pesisir Kumuh (2,94) 19 Tanjung Seneng Non Pesisir Tidak Kumuh (1,44) 20 Way Kandis Non Pesisir Tidak Kumuh (2,19) 21 Pasir Gintung Non Pesisir Agak Kumuh (2,55) 22 Kaliawi Non Pesisir Kumuh (2,89) 23 Gotong Royong Non Pesisir Kumuh (2,77) 24 Palapa Non Pesisir Agak Kumuh (2,65) 25 Kelapa Tiga Non Pesisir Agak Kumuh (2,70) 26 Durian Payung Non Pesisir Agak Kumuh (2,60) 27 Rajabasa Non Pesisir Agak Kumuh (2,46) 28 Rajabasa Jaya Non Pesisir Tidak Kumuh (2,22) 29 Gedong Meneng Non Pesisir Tidak Kumuh (2,37) 30 Rajabasa Raya Non Pesisir Tidak Kumuh (2,20) Sumber: Analisis Data,

11 Faktor-faktor yang menyebabkan permukiman kumuh di daerah penelitian Berdasarkan hasil analisis Regresi Logistik Ordinal, dapat ditabulasikan sebagai berikut: Tabel 6. Kesimpulan Hasil Analisis Regresi Logistik Ordinal Predictor Coef SE Coef Z P Odds lower upper Keterangan Ratio Const (1) -39, ,9336-2,82 0,005 Const (2) -35, ,1668-2,66 0,008 Kependudukan Kepadatan 2, , ,37 0,018 12,71 1,55 103,88 berpengaruh Penduduk [PDTP] Jumlah Anggota Rumah Tangga [RART] Sosial Ekonomi Tingkat Pendidikan [TPDIK] Tingkat Kerawanan Keamanan [TKMAN] Tingkat Kemiskinan [TKIN] Sarana dan Prasarana Pelayanan Air Bersih [PYSIH] Kondisi Jalan [JLN] Ruang Terbuka [RT] Fisik Keseuaian Lahan [LT] Sumber: Analisis Data, , , ,38 0,706 1,33 0,30 5,88 Tdak berpengaruh -0, , ,23 0,817 0,63 0,01 31,99 Tidak Berpengaruh 0, , ,90 0,369 2,47 0,34 17,76 Tidak Berpengaruh 5, , ,91 0, ,10 0, ,93 Berpengaruh 3, , ,44 0,015 54,12 2, ,38 Berpengaruh -0, , ,16 0,875 0,82 0,06 10,33 Tidak Berpengaruh 4, , ,64 0,100 59,47 0, ,70 Berpengaruh 3, , ,08 0,038 25,23 1,20 531,62 Berpengaruh Dari tabel hasil regresi logistik ordinal menunjukkan bahwa Ho ditolak apabila nilai signifikansi semua parameter variabel independen yang masuk model lebih kecil dari α = 10 %, artinya paling tidak ada satu parameter variabel independen tidak sama dengan nol. Variabel yang signifikan secara bersama-sama mempengaruhi tingkat kekumuhan adalah ada kepadatan penduduk [PDTP], Tingkat Kemiskinan [TKIN], pelayanan air bersih [PYSIH], ruang terbuka [RT], dan Keseuaian Lahan [LT]. Berdasarkan hasil analisis tersebut, Coef β 2 = 1,07197 odds ratio = 12,7, P value = 0,018, makna dari hasil tersebut adalah bahwa tingkat kepadatan penduduk berpengaruh positif 3), maka tingkat kekumuhan mengalami peningkatan sebesar 12,71 kali semula. Berdasarkan teori pertumbuhan penduduk, hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena jika penduduk semakin bertambah, maka kebutuhan hidup baik papan, sandang maupun kebutuhan fasilitas lain semakin meningkat juga, dan jika daya dukung lingkungan sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk maka tentu kondisi ketidakkumuhan akan terjadi, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan permukimanpermukiman kumuh, seperti terlihat di kelurahan teluk betung sebagai berikut. ( P = 0,018 ). Dalam hal ini jika nanti kelurahan yang kepadatan penduduknya Jarang (katagori 1) berkembang menjadi berkepadatan sedang (katagori 2) atau yang sekarang berkepadatan sedang berkembang menjadi padat ( katagori 35

12 kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lainlain. 4. Kebutuhan Penghargaan. Contoh pujian, piagam, tanda jasa, hadiah dan banyak lagi yang lainnya. 5. Kebutuhan Aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya. Gambar 2. Contoh kondisi perumahan di kelurahan teluk betung Untuk variabel tingkat kemiskinan [TKIN] nilai coef = 2,79171, odds ratio = 207,10 dan P value = 0,056, ini bermakna bahwa tingkat kemiskinan berpengaruh secara positif (P = 0,056). Dalam hal ini jika kelurahan yang mempunyai tingkat kemiskinan pada katagori 1 berkembang menjadi katagori 2, maka tingkat kekumuhan meningkat menjadi 207,10 kali semula. Hal ini sesuai dengan teori kemiskinan Abraham Maslow dengan piramida kebutuhan manusia. Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kelompok kebutuhan. Kelima kelompok kebutuhan tersebut disusunnya berbentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki kebutuhan. Susunannya mulai dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Oleh sebab itu motivasi manusia kata Malow sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu terlebih dahulu dipenuhi. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya. Maka teori ini sering juga disebut sebagai Piramida Maslow. Adapun urutan kelima kelompok kebutuhan itu seperti berikut: Meskipun banyak kritik tentang teori ini, namun secara umum mengandung fakta dalam kebanyakan kehidupan manusia. Dan Maslow sendiri dalam tahuntahun terakhirnya merevisi teorinya tersebut (Stephen R.Covey dalam bukunya First Things First). Katanya, Maslow mengakui bahwa aktualisasi diri bukanlah kebutuhan tertinggi namun masih ada lagi yang lebih tinggi yaitu self transcendence yaitu hidup itu mempunyai suatu tujuan yang lebih tinggi dari dirinya. Mungkin yang dimaksud Maslow adalah kebutuhan mencapai tujuan hidup beragama. Sekarang lebih dikenal sebagai kebutuhan spiritual. Variabel Pelayanan Air Bersih [PYSIH] ( β 3 coef = 1, 63526), Odds Ratio = 54,12 dan P value = 0,015 bermakna bahwa jika suatu kelurahan persentase pelayanan air bersih tidak terlayani meningkat dari katagori 1 menjadi katagori 2, dan dari katagori 2 menjadi katagori 3, maka tingkat kekumuhan kelurahan tersebut akan meningkat sebesar 54, 12 kali semula. Kondisi ini sangat wajar karena air bersih merupakan kebutuhan vital untuk memenuhi kebutuhan manusia, jika kondisi air bersih di suatu tempat sangat minim maka tentu permukiman tersebut sangat jauh dari harapan untuk tidak menjadi permukiman kumuh. Hal ini menunjukan betapa pentingnya program pelayanan sarana air bersih harus senantiasa ditingkatkan oleh pemerintah agar masyarakat dapat hidup sehat dan tidak kumuh. 1. Kebutuhan Fisiologis. Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya. 2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan. Contoh seperti bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya 3. Kebutuhan Sosial. Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, 36

13 Odd ratio Kesesuaian Lahan [LT] sebesar 25, 23 artinya jika legalitas tanah berkembang dari katagori 1 menjadi katagori 2, dari katagori 2 menjadi katagori 3, maka tingkat kekumuhan akan meningkat 25,23 kali dari semula. Pada umumnya tanah untuk permukiman yang tidak sesuai dengan RUTR adalah di tepi rel kereta api, di bantaran sungai dan di dekat tegangan tinggi. Gambar 3. Contoh kondisi pelayanan air bersih di kelurahan Srengsem Variabel Ruang Terbuka [RT] meskipun dengan tingkatsignifikansi 90 % ( P value = 0,100 ), namun dengan odd ratio sebesar 25, 23 menunjukan pengaruh yang berarti besar, karena jika ruang terbuka dari katagori 1 menjadi katagori 2, atau dari katagori 2 menjadi 3, maka tingkat kekumuhan akan meningkat 59,47 kali semula. Hal ini menunjukkan pentingnya penghijuan di wilayah kota, sehingga tidak semua lahan menjadi bangunanbangunan seluruhnya. Meskipun kadang terlihat ruang terbuka yang ada menjadi pembuangan sampah bagi orang-orang yang berprilaku buruk. Hal ini terlihat lebih jelas pada visualisasi sebagai berikut. Gambar 4. Ruang terbuka yang kadang disalahgunakan untuk membuang sampah Gambar 5. Perumahan yang ada di tepi rel kereta api Sedangkan untuk variabel tingkat pendidikan, kondisi jalan, rata-rata anggota rumah tangga, dan tingkat kerawanan keamanan ternyata dari hasil analisis regresi ordinal nilai P ( P value ) lebih besar dari 10 persen sehingga dapat dikatakan tidak berpengaruh secara sifnifikan terhadap tingkat kekumuhan di daerah penelitian. Hal ini dimungkinkan karena tingkat pendidikan di wilayah pada umumnya seragam tidak ada perbedaan yang mencolok. Demikian juga ketiga variabel yang lain, meskipun memiliki pengaruh tetapi tidak nyata, karena baik kondisi jalan, tingkat kerawanan dan ratarata anggota rumah tangga juga kebanyakan tidak mempunyai variasi antara masing-masing wilyah di daerah penelitian. SIMPULAN DAN REKOMENDASI Simpulan 1. Ada perbedaan yang nyata tingkat kekumuhan antara wilayah pesisir dan wilayah non pesisir, dimana wilayah pesisir rata-rata tingkat kekumuhannya lebih tinggi daripada wilayah non pesisir. 2. Persebaran tingkat kekumuhan di wilayah non pesisir lebih bervariasi, ada yang di katagorikan tidak kumuh, agak kumuh, dan ada yang dikatagorikan kumuh, Sedangkan di wilayah pesisir hanya ada dua katagori yaitu kumuh dan agak kumuh. 37

14 3. Sembilan faktor prediktor yang diuji pengaruhnya terhadap tingkat kekumuhan di daerah penelitian, ternyata yang secara signifikan berpengaruh besar meningkatkan tingkat kekumuhan adalah tingkat kepadatan penduduk, tingkat kemiskinan, legalitas tanah dan pelayanan air bersih, serta ruang terbuka. Adapun faktor tingkat pendidikan, tingkat kerawanan keamanan, kondisi jalan, dan rata-rata anggota rumah tangga tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kekumuhan. Rekomendasi 1. Bagi Pemerintah a. Perlu dilakukan program pemberdayaan mayarakat untuk peningkatan kualitas permukiman di seluruh wilayah kota Bandar Lampung, baik di wilayah pesisir maupun non pesisir. b. Penyediaan sarana prasarana, terutama pelayanan air bersih perlu ditingkatkan di seluruh wilayah kota baik di wilayah pesisir maupun di wilayah non pesisir. c. Kebijakan tata ruang wilayah harus memiliki ketegasan dan perencanaan yang matang, sehingga legalitas tanah, benar-benar membuat warga aman dan nyaman bertempat tinggal. Hal ini akan dapat meningkatkan penataan permukiman kota yang lebih baik. d. Peningkatan Pemberdayaan masyarakat dalam pengerahan kebersihan lingkungan. 2. Bagi Masyarakat a. Pemuka/tokoh masyarakat setempat perlu mendorong masyarakatnya untuk melakukan program swadaya masyarakat dalam hal kebersihan lingkungan permukiman di masing-masing wilayah tempat tinggalnya. b. Mendukung program pemerintah yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Agustina, Ina H., 2013, Kajian tentang Konsep Keberlanjutan pada Beberapa Kota Baru dan Permukiman Berskala Besar, Jurnal PWK Unisba Amri,Nurmaida, 2013, Karateristik Lingkungan Permukiman Kumuh Tepian Sungai Kecamatan Lolaka, Sulawesi Tenggara, Jurnal Jupiter Volume XII No.1 Bintarto, 1983, Urbanisasi dan Permasalahannya, Ghalia, Yogyakarta Burhanuddin, 2010, Karateristik Teritorialitas Ruang pada Permukiman Padat di Perkotaan, Jurnal ruang Volume 2 Nomor 1 Deputi Pengembangan Kawasan, 2012, Buku Panduan Penanganan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh berbasis kawasan TA 2013, Kementrian Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta Departemen Pekerjaan Umum, 2008, Penataan ruang wilayah, DPU, Jakarta Ekaputra, Yohanes D., Pengaruh Aktivitas Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pada Sistem Permukiman Nelayan (Kajian Kawasan Nelayan TasikAgung Kabupaten Rembang) Haryanto, Asep, 2013, Strategi Penanganan Kawasan Kumuh sebagai Upaya Menciptakan Lingkungan Perumahan dan Permukiman yang sehat, Jurnal PWK Unisba Iskandar, Johan, 2014, Manusia dan Lingkungan dengan berbagai permasalahan, Graha Ilmu, Yogyakarta Khomarudin M.1997, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Yayasan Real Estate Indonesia, PT. Rakasindo, Jakarta Lestari, Forina, 2006, Identifikasi Tingkat Kerentanan Masyarakat Permukiman Kumuh Perkotaan melalui Pendekatan Suistanable Urban Livelihood (SUL) (Studi Kasus : Kelurahan Taman Sari, Bandung ). Lestari Indah D. dan Sugiri, Agus, 2013, Peran Badan Keswadayaan Masyarakat dalam Penanganan Permukiman Kumuh di Podosugih, Kota Pekalongan. Jurnal Teknik PWK Volume 2 Nomor I Makarao, M.T., 2011, Aspek-aspek Hukum Lingkungan, Indeks, Jakarta Muchsin dan koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang, PT Sinar Grafika, Jakarta Priyatno, Duwi, 2010, Teknik Mudah dan Cepat melakukan analisis data penelitian dengan SPSS, Penerbit Gaya Media, Yogyakarta Rohadi, Tasdiyanto Dr., 2011, Budaya Lingkungan Akar Masalah dan Solusi Krisis Lingkungan, Ecologia Press, Yogyakarta Small, Christopher, Global Analysis of Urban Population Distribution and The 38

15 Physical Environment, Columbia University, Columbia Soemirat, Juli, 2011 (edisi revisi), Kesehatan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Soemarwoto, Otto, 1997 (edisi revisi), Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta. Supriyatno.Budi, Manajemen Tata Ruang, 2009, CV Media Berlian, Jakarta Surtiani, E.E, 2006, Faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya kawasan permukiman kumuh di kawasan pusat Kota ( Studi Kasus: Kawasan Pancuran, Salatiga ), Tesis Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro, Semarang. 39

III. METODE PENELITIAN. kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan,

III. METODE PENELITIAN. kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, III. METODE PENELITIAN Dalam pelaksanaan studi terdiri dari beberapa tahapan proses penelitian antara lain tahap persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahap analisis. Tahapan kegiatan ini dimaksudkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. bagaimana karaterisik dan faktor-faktor yang secara nyata menyebabkan. A. Karateristik Permukiman di Daerah Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. bagaimana karaterisik dan faktor-faktor yang secara nyata menyebabkan. A. Karateristik Permukiman di Daerah Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab hasil dan pembahasan ini, dapat diungkapkan kondisi kota Bandar Lampung secara makro, dimana dari 30 kelurahan yang diteliti terungkap bagaimana karaterisik dan faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian memerlukan suatu metode untuk memudahkan penulisan untuk

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian memerlukan suatu metode untuk memudahkan penulisan untuk BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian. Penelitian memerlukan suatu metode untuk memudahkan penulisan untuk proses pengumpulan dan menampilkan data hasil penelitian yang dilakukan. memperoleh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 45 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif dan survei. Menurut Tika (2005: 4) metode deskriptif adalah penelitian yang lebih

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Tambora yang merupakan salah satu dari dari 8 kecamatan yang berada di Wilayah Kotamadya Jakarta Barat. Dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

TINGKAT KEKUMUHAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT

TINGKAT KEKUMUHAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT Antologi Pendidikan Geografi, Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016 1 TINGKAT KEKUMUHAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT Oleh Ambarwati, D. Sugandi *), D. Sungkawa **) Departemen Pendidikan Geografi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingginya laju pertumbuhan penduduk di suatu daerah diikuti pula dengan laju pertumbuhan permukiman. Jumlah pertumbuhan permukiman yang baru terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki beragam masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki beragam masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki beragam masalah termasuk permasalahan lingkungan seperti kebersihan lingkungan. Hal ini disebabkan meningkatnya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH TEPIAN SUNGAI KECAMATAN KOLAKA, SULAWESI TENGGARA

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH TEPIAN SUNGAI KECAMATAN KOLAKA, SULAWESI TENGGARA KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH TEPIAN SUNGAI KECAMATAN KOLAKA, SULAWESI TENGGARA Nurmaida Amri Fak. Teknik Jur. Arsitektur Universitas Hasanuddin email: Nurmaida@gmail.com Abstrak Tumbuhnya

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR Oleh: EVA SHOKHIFATUN NISA L2D 304 153 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBANGUNAN KAMPUNG PERKOTAAN TERHADAP KONDISI FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

PENGARUH PEMBANGUNAN KAMPUNG PERKOTAAN TERHADAP KONDISI FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PENGARUH PEMBANGUNAN KAMPUNG PERKOTAAN TERHADAP KONDISI FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Studi Kasus: Kampung Kanalsari Semarang) Tugas Akhir Oleh : Sari Widyastuti L2D

Lebih terperinci

Sabua Vol.7, No.2: Oktober 2015 ISSN HASIL PENELITIAN

Sabua Vol.7, No.2: Oktober 2015 ISSN HASIL PENELITIAN Sabua Vol.7, No.2: 429-435 Oktober 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS TINGKAT KEKUMUHAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DI KELURAHAN TANJUNG MERAH KOTA BITUNG Gerald Mingki 1, Veronica Kumurur 2 & Esli

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Konsep Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Konsep Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini dirumuskan dengan menentukan tingkat bahaya banjir kemudian menentukan kerentanan wilayah terhadap banjir. Penentuan kelas kerentanan maupun

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. masyarakat yang bermukim di pedesaan, sehingga mereka termotivasi untuk

BAB I. PENDAHULUAN. masyarakat yang bermukim di pedesaan, sehingga mereka termotivasi untuk BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota sebagai pusat aktivitas manusia memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang bermukim di pedesaan, sehingga mereka termotivasi untuk datang ke kota. Hal

Lebih terperinci

Untuk Pemerintah Kota/Kabupaten BANTUAN STIMULAN PENINGKATAN KUALITAS PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH (BSPK) TAHUN ANGGARAN...

Untuk Pemerintah Kota/Kabupaten BANTUAN STIMULAN PENINGKATAN KUALITAS PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH (BSPK) TAHUN ANGGARAN... 17 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN BANTUAN STIMULAN PENINGKATAN KUALITAS PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH Untuk Pemerintah Kota/Kabupaten

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK )

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK ) IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK ) Bagus Ahmad Zulfikar 1) ; Lilis Sri Mulyawati 2), Umar Mansyur 2). ABSTRAK Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya sebagian besar bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah menjadi persoalan serius terutama di kota-kota besar, tidak hanya di Indonesia saja, tapi di seluruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Banjir merupakan salah satu contoh bencana yang paling sering terjadi. Banjir dapat

I. PENDAHULUAN. Banjir merupakan salah satu contoh bencana yang paling sering terjadi. Banjir dapat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banjir merupakan salah satu contoh bencana yang paling sering terjadi. Banjir dapat dikategorikan sebagai bencana yang paling banyak menimpa negara maju maupun

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR ISI PERNYATAAN... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMAKASIH... iii ABSTRAK... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah dan memiliki jumlah penduduk nomor empat di dunia. Saat ini penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan(PLP2K-BK) 1 Buku Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan(PLP2K-BK) 1 Buku Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis BAB I PENDAHULUAN 1.4. Latar Belakang Permukiman kumuh merupakan permasalahan klasik yang sejak lama telah berkembang di kota-kota besar. Walaupun demikian, permasalahan permukiman kumuh tetap menjadi

Lebih terperinci

Faktor Prioritas Penyebab Kumuh Kawasan Permukiman Kumuh Di Kelurahan Belitung Selatan, Kota Banjarmasin

Faktor Prioritas Penyebab Kumuh Kawasan Permukiman Kumuh Di Kelurahan Belitung Selatan, Kota Banjarmasin C166 Faktor Prioritas Penyebab Kumuh Kawasan Permukiman Kumuh Di Kelurahan Belitung Selatan, Kota Banjarmasin Abi Syarwan Wimardana, dan Rulli Pratiwi Setiawan Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai

METODE PENELITIAN. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai 32 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data primer Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Andir Kota Bandung yang merupakan salah satu kecamatan dari 30 kecamatan di wilayah Kota Bandung dengan letak astronomis

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. prasarana lingkungan di kawasan Kelurahan Tegalpanggung Kota Yogyakarta ini

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. prasarana lingkungan di kawasan Kelurahan Tegalpanggung Kota Yogyakarta ini BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Kesimpulan dari evaluasi pelaksanaan program Penataan dan peremajaan prasarana lingkungan di kawasan Kelurahan Tegalpanggung Kota Yogyakarta ini antara lain:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota di Indonesia merupakan sumber pengembangan manusia atau merupakan sumber konflik sosial yang mampu mengubah kehidupan dalam pola hubungan antara lapisan

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERCIPTANYA KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI KAWASAN PUSAT KOTA (STUDI KASUS: KAWASAN PANCURAN, SALATIGA)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERCIPTANYA KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI KAWASAN PUSAT KOTA (STUDI KASUS: KAWASAN PANCURAN, SALATIGA) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERCIPTANYA KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI KAWASAN PUSAT KOTA (STUDI KASUS: KAWASAN PANCURAN, SALATIGA) Tesis Disusun Oleh: Eny Endang Surtiani L4D 003 059 MAGISTER TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang menyangkut kelayakan dan taraf kesejahteraan hidup masyarakat. Rumah bukan hanya berfungsi sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padatnya penduduk di wilayah perkotaan berdampak terhadap daerah perkotaan

I. PENDAHULUAN. Padatnya penduduk di wilayah perkotaan berdampak terhadap daerah perkotaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Padatnya penduduk di wilayah perkotaan berdampak terhadap daerah perkotaan yakni mengakibatkan kebutuhan sarana dan prasarana perkotaan semakin meningkat. Jika

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini termasuk metode deskriptif kuantitatif dan

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini termasuk metode deskriptif kuantitatif dan 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini termasuk metode deskriptif kuantitatif dan teknik pengumpulan datanya menggunakan kuesioner. Data yang telah

Lebih terperinci

Kata kunci : sanitasi lingkungan, pemukiman nelayan, peran serta masyarakat

Kata kunci : sanitasi lingkungan, pemukiman nelayan, peran serta masyarakat ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan lingkungan di pemukiman nelayan Bandengan Kabupaten Kendal terkait dengan kondisi sanitasi yang tidak sesuai untuk kondisi standar layak suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk berdasarkan proyeksi sensus penduduk tahun 2012 yaitu 2,455,517 juta jiwa, dengan kepadatan

Lebih terperinci

Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya

Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya C389 Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya Elpidia Agatha Crysta dan Yanto Budisusanto Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran dan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan perkotaan yang begitu cepat, memberikan dampak terhadap pemanfaatan ruang kota oleh masyarakat yang tidak mengacu pada tata ruang kota yang

Lebih terperinci

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA. Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA. Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara September 2011 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1 DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana dapat datang secara tiba-tiba, dan mengakibatkan kerugian materiil dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan menanggulangi dan memulihkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk menyajikan data suatu wilayah. Dengan salah satu fungsi peta tersebut sebagai

I. PENDAHULUAN. untuk menyajikan data suatu wilayah. Dengan salah satu fungsi peta tersebut sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peta merupakan gambaran penyederhanaan dari permukaan bumi yang dituangkan melalui bidang datar dengan skala tertentu serta dilengkapi dengan simbol-simbol atau keterangan.

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 43 BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Umum Kelurahan Depok Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (3) Peraturan Daerah Kota Depok Nomor : 8 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Lurah bertanggung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah mencapai 40,7% (Maran, 2003). Di Indonesia, persentase penduduk kota mencapai 42,4% pada tahun

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pendekatan Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa meningkatnya persepsi masyarakat yang melihat adanya hubungan tidak searah antara keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Respon risiko..., Juanto Sitorus, FT UI., Sumber data : BPS DKI Jakarta, September 2000

BAB I PENDAHULUAN. Respon risiko..., Juanto Sitorus, FT UI., Sumber data : BPS DKI Jakarta, September 2000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan Kota Jakarta dengan visi dan misi mewujudkan Ibu kota negara sejajar dengan kota-kota dinegara maju dan dihuni oleh masyarakat yang sejahtera. Permasalahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kota Jakarta Timur, dengan fokus pada Kecamatan Jatinegara. Kecamatan ini memiliki 8 Kelurahan yaitu Cipinang Cempedak, Cipinang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini dirumuskan dengan menentukan tingkat bahaya banjir kemudian menentukan kerentanan wilayah terhadap bencana banjir. Penentuan kelas kerentanan

Lebih terperinci

PROFIL KAWASAN PERMUKIMAN PRIORITAS

PROFIL KAWASAN PERMUKIMAN PRIORITAS BAB 4 PROFIL KAWASAN PERMUKIMAN PRIORITAS Kawasan prioritas yang terpilih selanju Permukiman Kumuh Bandar Kidul yang kawasan sentra industri Bandar Kidul (C Kawasan Prioritas Pakalan-Jagalan (Kaw Kawasan

Lebih terperinci

INFO TEKNIK Volume 9 No. 1, Juli 2008 (43-50)

INFO TEKNIK Volume 9 No. 1, Juli 2008 (43-50) INFO TEKNIK Volume 9 No. 1, Juli 2008 (43-50) MUTU PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI DI BANJARMASIN Kurnia Widiastuti Jurusan Arsitektur Univ. Lambung Mangkurat Banjarmasin Abstrak Secara empiris daerah bantaran

Lebih terperinci

Identifikasi Karakteristik Lingkungan Permukiman Kumuh Berdasarkan Persepsi Masyarakat Di Kelurahan Tlogopojok

Identifikasi Karakteristik Lingkungan Permukiman Kumuh Berdasarkan Persepsi Masyarakat Di Kelurahan Tlogopojok 1 Identifikasi Karakteristik Lingkungan Permukiman Kumuh Berdasarkan Persepsi Masyarakat Di Kelurahan Tlogopojok Fachrul Irawan Ali dan Ema Umilia Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

PRASARANA DAN SARANA PERMUKIMAN

PRASARANA DAN SARANA PERMUKIMAN PRASARANA DAN SARANA PERMUKIMAN Kelayakan kawasan hunian salah satunya adalah tersedianya kebutuhan prasarana dan sarana permukiman yang mampu memenuhi kebutuhan penghuni didalamnya untuk melakukan aktivitas,

Lebih terperinci

Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Permukiman Kumuh Kelurahan Ploso

Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Permukiman Kumuh Kelurahan Ploso JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) C-191 Partisipasi Masyarakat pada Permukiman Kumuh Kelurahan Ploso Sekar Ayu Advianty dan Ketut Dewi Martha Erli Handayeni Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Lingkungan yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Lingkungan yang diharapkan adalah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Indonesia Sehat 2010 yang dicanangkan Departemen Kesehatan pada tahun 1998 yang lalu memiliki tujuan-tujuan mulia, salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN PALU SELATAN KOTA PALU

IDENTIFIKASI PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN PALU SELATAN KOTA PALU IDENTIFIKASI PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN PALU SELATAN KOTA PALU Abdul Gani Akhmad* * Abstract This study aims at identifying the condition of housing and settlement. This is due to obtaining

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di wilayah perkotaan. Salah satu aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota kota besar di Indonesia bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo Felicia Putri Surya Atmadja 1, Sri Utami 2, dan Triandriani Mustikawati 2 1 Mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. terletak pada 5o 20-5o 30 LS dan 105o o 37 BT. Letak tersebut

BAB IV GAMBARAN UMUM. terletak pada 5o 20-5o 30 LS dan 105o o 37 BT. Letak tersebut 49 BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Bandar Lampung adalah ibu kota Propinsi Lampung dan secara geografis terletak pada 5o 20-5o 30 LS dan 105o 28-105o 37 BT. Letak tersebut berada di teluk lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bumi ini. Selama ini air seperti halnya udara telah dianggap oleh manusia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. bumi ini. Selama ini air seperti halnya udara telah dianggap oleh manusia sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang sangat vital bagi semua manusia dan setiap mahluk hidup. Tanpa air, maka tidak akan ada suatu kehidupan di muka bumi ini. Selama

Lebih terperinci

L a p o r a n S t u d i E H R A K a b. T T U Hal. 1

L a p o r a n S t u d i E H R A K a b. T T U Hal. 1 Bab I PENDAHULUAN Studi Environmental Health Risk Assessment (EHRA) atau Studi Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan adalah sebuah survey partisipatif di tingkat Kabupaten/kota yang bertujuan untuk memahami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepadatan penduduk di DKI Jakarta bertambah tiap tahunnya. Dari data yang didapat dari Badan Pusat Statistik (BPS) angka kepadatan penduduk DKI Jakarta pada tahun 2010

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Perencanaan pengembangan drainase di wilayah Kota Batam khususnya di Kecamatan Batam Kota sangatlah kompleks. Banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan 34.623,80 km², kota Bandar Lampung merupakan Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung yang memiliki

Lebih terperinci

1. Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung, - Kelurahan/Desa Kedaton. - Kelurahan/Desa Perumnas Way Halim. - Kelurahan/Desa Labuhan Ratu

1. Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung, - Kelurahan/Desa Kedaton. - Kelurahan/Desa Perumnas Way Halim. - Kelurahan/Desa Labuhan Ratu www.jasacleaningservice.id Jasa Sewa Toilet Portable sebagaimana kita ketahui Toilet Portable adalah peralatan praktis yang dapat di gunakan oleh sebagian orang khususnya yang menyelenggarakan acara besar

Lebih terperinci

Analisis skalogram merupakan analisis yang digunakan untuk menentukan. hierarki wilayah terhadap jenis dan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia.

Analisis skalogram merupakan analisis yang digunakan untuk menentukan. hierarki wilayah terhadap jenis dan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia. 5.3 Keragaan Relatif Tingkat Perkembangan Desa-desa Pesisir Dibanding Desa/kelurahan pada Umumnya di Kota Bandar Lampung Berdasarkan Hasil Analisis Tipologi Wilayah 5.3.1 Hasil Tipologi Desa Menurut Analisis

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa

BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa Desa Dramaga merupakan salah satu dari sepuluh desa yang termasuk wilayah administratif Kecamatan Dramaga. Desa ini bukan termasuk desa pesisir karena memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh:

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh: JurnalSangkareangMataram 9 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH Oleh: Indah Arry Pratama Dosen Fakultas Teknik Universitas Nusa Tenggara Barat Abstrak: Perkembangan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Tabel 2.1 : Visi Misi Sanitasi Kabupaten Aceh Jaya. Visi Sanitasi Kabupaten

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Tabel 2.1 : Visi Misi Sanitasi Kabupaten Aceh Jaya. Visi Sanitasi Kabupaten BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI 2.1 Visi Misi Sanitasi Tabel 2.1 : Visi Misi Sanitasi Kabupaten Aceh Jaya Visi Kabupaten Misi Kabupaten Visi Sanitasi Kabupaten Misi Sanitasi Kabupaten Kabupaten Aceh

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan Kapuk, Kelurahan Kamal dan Kelurahan Tegal Alur, dengan luas wilayah 1 053 Ha. Terdiri dari 4 Rukun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

5.1. Area Beresiko Sanitasi

5.1. Area Beresiko Sanitasi 5.1. Area Beresiko Sanitasi Risiko sanitasi adalah terjadinya penurunan kualitas hidup, kesehatan, bangunan dan atau lingkungan akibat rendahnya akses terhadap layanan sektor sanitasi dan perilaku hidup

Lebih terperinci

Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Permukiman Kumuh Kelurahan Ploso

Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Permukiman Kumuh Kelurahan Ploso JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Partisipasi Masyarakat pada Permukiman Kumuh Kelurahan Ploso Sekar Ayu Advianty 1, dan Ketut Dewi Martha Erli Handayeni 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan

Lebih terperinci

PENATAAN PERMUKIMAN KAWASAN PESISIR DI KECAMATAN LEKOK KABUPATEN PASURUAN

PENATAAN PERMUKIMAN KAWASAN PESISIR DI KECAMATAN LEKOK KABUPATEN PASURUAN PENATAAN PERMUKIMAN KAWASAN PESISIR DI KECAMATAN LEKOK KABUPATEN PASURUAN Oleh : Akhmad Nasikhudin 3606100004 PRODI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA Rumusan Masalah

Lebih terperinci

KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH

KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH - 1 - LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 02/PRT/M/2016 TENTANG PENINGKATAN KUALITAS TERHADAP PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi, Populasi, dan Sampel 1. Lokasi Lokasi Penelitian berada di Kawasan Perkotaan Cianjur yang terdiri dari 6 Kelurahan dan 14 Desa yang tersebar di 3 Kecamatan yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan timbulnya masalah permukiman. Masalah permukiman lebih terasa di daerah perkotaan daripada di daerah perdesaan. Masalah perumukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penduduk dapat ditampung dalam ruang-ruang sarana sosial dan ekonomi, tetapi tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh pelayanan infrastruktur yang

Lebih terperinci

BAB II RANCANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN PLPBK

BAB II RANCANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN PLPBK BAB II RANCANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN PLPBK 2.1 KONDISI AWAL KAWASAN PRIORITAS 2.1.1 Delineasi Kawasan Prioritas Berdasarkan 4 (empat) indikator yang telah ditetapkan selanjutnya dilakukan kembali rembug

Lebih terperinci

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 1 PENDAHULUAN

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah susun ini dirancang di Kelurahan Lebak Siliwangi atau Jalan Tamansari (lihat Gambar 1 dan 2) karena menurut tahapan pengembangan prasarana perumahan dan permukiman

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penyusunan penelitian ini dilakukan dengan menentukan tingkat bahaya banjir yang kemudian dilanjutkan dengan menentukan tingkat kerentanan wilayah terhadap

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu,

BAB IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu, BAB IV. GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Kota Bandar Lampung 1. Profil Wilayah Kota Bandar Lampung Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu, selain merupakan pusat kegiatan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada sampai dengan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada sampai dengan 58 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis Kota Bandar Lampung Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada 5 0 20 sampai dengan 5 0 30 lintang selatan dan 105 0 28 sampai dengan 105

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan jumlah penduduk dan urbanisasi merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan jumlah penduduk dan urbanisasi merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk dan urbanisasi merupakan salah satu permasalahan yang umumnya terjadi di daerah perkotaan. Dampak langsung yang dihadapi oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya sebagaimana. diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

BAB I PENDAHULUAN. negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya sebagaimana. diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk watak serta kepribadian bangsa. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

LAMPIRAN II HASIL ANALISIS SWOT

LAMPIRAN II HASIL ANALISIS SWOT LAMPIRAN II HASIL ANALISIS SWOT AIR LIMBAH Analisa SWOT sub sektor air limbah domestik Lingkungan Mendukung (+), O Internal Lemah (-) W Internal Kuat (+) S Diversifikasi Terpusat (+2, -5) Lingkungan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG I.1.1. Latar Belakang Eksistensi Proyek Pemukiman dan perumahan adalah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Perumahan dan pemukiman tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan akan dipaparkan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan infrastruktur permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar

Lebih terperinci

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM BAB 6 TUJUAN DAN KEBIJAKAN No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM Mengembangkan moda angkutan Program Pengembangan Moda umum yang saling terintegrasi di Angkutan Umum Terintegrasi lingkungan kawasan permukiman Mengurangi

Lebih terperinci

`BAB I PENDAHULUAN. tertentu. Pada dasarnya pembangunan dalam sektor permukiman adalah

`BAB I PENDAHULUAN. tertentu. Pada dasarnya pembangunan dalam sektor permukiman adalah 1 `BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memperhatikan arti penting permukiman yang tidak dapat dipisahkan dari ruang yang harus dimanfaatkannya, maka lingkup permukiman meliputi masalah-masalah yang menyangkut

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

BAB 3 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI BAB 3 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI 3.1 VISI DAN MISI SANITASI Visi pembangunan sanitasi Kota Bandar Lampung ditetapkan berdasarkan kondisi, isu permasalahan serta harapan yang diinginkan di masa mendatang.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. waktu terjadi pasang. Daerah genangan pasang biasanya terdapat di daerah dataran

PENDAHULUAN. waktu terjadi pasang. Daerah genangan pasang biasanya terdapat di daerah dataran PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah genangan pasang adalah daerah yang selalu tergenang air laut pada waktu terjadi pasang. Daerah genangan pasang biasanya terdapat di daerah dataran rendah di dekat

Lebih terperinci

ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH.

ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH. ISSN No. 2355-9292 Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH Oleh: Indah Arry Pratama Dosen Fakultas Teknik Universitas Nusa Tenggara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyajian Data Survei Dari survei menggunakan metode wawancara yang telah dilakukan di Desa Karanganyar Kecamatan Karanganyar RT 01,02,03 yang disebutkan dalam data dari

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota 66 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Kota Bandarlampung 1. Letak Geografis Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota Bandarlampung memiliki luas wilayah

Lebih terperinci