PERDAGANGAN MASA PRASEJARAH DI PAPUA (TINJAUAN BERDASARKAN TINGGALAN ARKEOLOGI) Erlin Novita Idje Djami (Balai Arkeologi Jayapura) Abstract Prehistoric trade in Papua characterized by the existence of material culture beyond the diffusion of cultural products such as pottery, stone axes, bronze axes, nekara bronxe and beads of Indo-Pacifi c found in several sites in the territory of Papua. The existence of those cultural objects is indicated as a result of longdistance trade activities and is supported by progress in the fi eld of maritime. In addition to long-distance trade, there was also a local trade proved by the existence of shells of shellfi sh in inland areas and there was even one species of molluscs gastropods class family cypraea moneta that was used as currency (mege/ siwol/tinale) by rural communities, particularly Ekagi, Ngalum and Timorini ethnic in the central Papua. Related to trade, there was not only merchandise but also production and distribution of goods and trade processes which occurred with reference to the trade proces in traditional societies of Papua Keywords: Archaeological remains, Trade, Papua A. Latar Belakang Difusi kebudayaan dimuka bumi ini ditandai oleh adanya unsur-unsur kebudayaan yang sama pada daerah-daerah yang berjauhan, baik dalam bentuk maupun isinya. Persebaran unsur-unsur kebudayaan tersebut ternyata tidak harus disertai perpindahan kelompok manusia, tetapi terjadi karena kontak-kontak yang dilakukan (Poerwanto, 2000: 97), seperti kontak perdagangan. Perdagangan merupakan aktivitas ekonomi berupa transaksi jual beli barang atau pertukaran barang antara penjual dan pembeli di suatu tempat, dan ini terjadi akibat adanya masalah kebutuhan atau ketiadaan barang di lingkungannya sehingga mendorong mereka untuk melakukan kegiatan perdagangan. Perdagangan juga sebagai kegiatan spesifik, karena di dalamnya melibatkan rangkaian kegiatan produksi 23
dan distribusi barang (Heilbroner, 1968 dalam Nastiti, 2003). Umumnya barang yang diperdagangkan dapat berupa produk hasil bumi, hasil tambang, maupun hasil teknologi. Sebagai aktivitas ekonomi, perdagangan sudah terjadi sejak masa prasejarah. Hal ini terbukti dengan adanya sejumlah temuan arkeologi prasejarah sebagai produk budaya asing yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Produk-produk budaya tersebut adalah berupa hasil teknologi seperti alat batu, tembikar, manikmanik kaca Indo-Pasifik, benda perunggu, dan lainnya, yang berasal dari kawasan Asia Tenggara maupun dari wilayah Pasifik. Keberadaan tinggalan-tinggalan budaya tersebut diindikasikan sebagai akibat dari aktivitas perdagangan, dengan tidak mengesampingkan suatu proses migrasi atau ekspansi manusia pada masa lampau. Dengan melihat pada keragaman bentuk dan sebaran benda-benda budaya tersebut dapat memberikan gambaran tentang aktivitas perdagangan yang terjadi pada masa prasejarah, baik perdagangan lokal maupun perdagangan antarpulau atau jarak jauh. Berbicara tentang perdagangan pada masa prasejarah, penulis sangat tertarik untuk mengungkapkan bentuk aktivitas perdagangan yang terjadi pada masyarakat prasejarah di wilayah Papua. Papua merupakan salah satu wilayah Indonesia yang terletak di bagian Timur. Secara geografis, posisi wilayah Papua sangat strategis yaitu berada di jalur pelayaran Asia Tenggara dan Pasifik. Sebagai wilayah penghubung, di wilayah Papua telah ditemukan sejumlah benda budaya yang berasal dari kedua wilayah tersebut. Sehubungan hal tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan keberadaan tinggalan arkeologi produk budaya asing yang berada di wilayah Papua, dan juga produk lokal yang keberadaannya diindikasikan sebagai akibat dari ativitas perdagangan masa lampau, dengan tujuan untuk mengungkapkan tentang apa, darimana, dan bagaimana proses perdagangan itu terjadi. Sebagai data pembanding untuk mengungkapkan proses perdagangan masa lampau yaitu dengan mengacu pada bentuk perdagangan yang terjadi pada masyarakat tradisional Papua saat ini yang masih memanfaatkan bendabenda berciri prasejarah dalam aktivitas perdagangannya. 24
B. Tinggalan Arkeologi Sebagai Bukti Perdagangan Masa Prasejarah di Papua Salah satu produk barang perdagangan dari masa prasejarah di wilayah Papua yang dapat disaksikan hingga saat ini adalah berupa materi budaya hasil teknologi yang terawetkan dan terwariskan seperti kapak lonjong, tembikar, manik-manik kaca Indo-Pasifik, kapak perunggu, dan nekara (Soejono, 1994). Ragam bentuk temuan arkeologi tersebut sebagai bukti bahwa pada masa prasejarah telah terjadi perdagangan jarak jauh (Sedyawati, 2006: 67) dan juga perdagangan lokal. Bukti perdagangan jarak jauh ditunjang oleh beberapa materi budaya yang berasal dari luar Papua, seperti tembikar, kapak lonjong, manik-manik kaca Indo- Pasifik, kapak perunggu dan nekara. Misalnya temuan tembikar, tembikar merupakan salah satu bentuk peralatan hidup yang mulai dikenal manusia sejak masa prasejarah yaitu pada masa bercocok tanam sekitar 10.000 tahun yang lalu (Gardner, 1978; Weinhold,1983; dalam Soegondo, 1995). Terdapat beberapa jenis tembikar yang dihasilkan pada masa itu seperti periuk, mangkok, piring, tempat air dan tempayan. Jenis-jenis tembikar tersebut umumnya diperuntukkan untuk kehidupan sehari-hari seperti sebagai wadah penyimpanan makanan, wadah pengolahan makanan, wadah air dan wadah menyajikan serta wadah makan. Namun pada perkembangannya, tembikar tidak hanya difungsikan untuk keperluan hidup sehari-hari tetapi juga memiliki fungsi lain seperti untuk kebutuhan seremonial yaitu sebagai peralatan upacara, bekal kubur, dan bahkan difungsikan juga sebagai wadah kubur (Soegondo, 1995). Di wilayah Papua berdasarkan hasil penelitian arkeologi, telah ditemukan sejumlah besar fragmen tembikar yang terdapat dibeberapa situs seperti situs-situs di Danau Sentani, situs Skow, situs-situs di Manokwari, situs-situs di Biak dan situs di Pulau Batanta, temuan tembikar tersebut memiliki perbedaan dengan tembikar yang diproduksi oleh masyarakat tradisional Papua saat ini, tembikar-tembikar tersebut memiliki ciri yang sama dengan tembikar dari Papua New Guinea yang berciri budaya Lapita. Perlu diketahui bahwa tembikar budaya Lapita ditemukan mulai dari wilayah Polinesia hingga Philipina bagian Selatan (Solheim, 1975; dalam Nurani, 2008), sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan tembikar tersebut di wilayah Papua sebagai akibat dari aktivitas perdagangan masa lampau dengan tidak mengesampingkan adanya migrasi manusia. 25
Materi budaya hasil perdagangan lainnya adalah berupa kapak lonjong, kapak lonjong merupakan salah satu bentuk budaya neolitik yang diperkenalkan oleh para penutur Austronesia yang berasal dari daratan Cina Selatan. Kapak lonjong merupakan peralatan hidup sehari-hari yang berfungsi sebagai alat untuk memotong maupun untuk membelah. Keberadaan kapak lonjong di Papua juga diindikasikan sebagai akibat dari aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh para penutur Austronesia dengan orang asli Papua. Budaya kapak lonjong di Papua berkembang sangat pesat sehingga dikenal dengan nama neolotikum Papua (Soekmono, 1973), hal ini juga karena materi budaya ini masih terus bertahan dan bahkan masih diproduksi hingga saat ini. Kapak lonjong selain berfungsi praktis untuk kehidupan sehari-hari, juga berfungsi sosial sebagai mas kawin, alat bayar kepala bagi masyarakat Sentani dan sekitarnya dan berfungsi religi sebagai sarana upacara bagi masyarakat di wilayah pegunungan tengah Papua. Temuan arkeologi lainnya adalah berupa alat-alat perunggu seperti kapak perunggu di daerah Danau Sentani dan nekara perunggu sekitar Danau Ayamaru. Peralatan perunggu tersebut memiliki persebaran cukup luas yaitu meliputi wilayah Asia Tenggara. Kedua peralatan ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan jika ditinjau dari segi estetikanya, maka dalam pemanfaatannya lebih pada pemenuhan kabutuhan sosial dan religi. Keberadaan kapak dan nekara perunggu di wilayah Papua sebagai akibat dari perdagangan jarak jauh. Misalnya nekara tipe Heger I paling banyak ditemukan di berbagai wilayah yang persebarannya termasuk Papua, karena jenis nekara ini memiliki bentuk dan pola hias yang unik dan indah yang merupakan master peace hasil budaya logam di Asia Tenggara pada jamannya (Bintarti, 2008; Sojono, 1994) Materi budaya yang juga berindikasi perdagangan adalah manik-manik kaca Indo-Pasifik. Manik-manik ini merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi, keindahannya menjadi dayatarik tersendiri sehingga digunakan sebagai perhiasan. Manik-manik tersebut persebarannya di Indonesia sudah sejak akhir masa prasejarah dan menjelang masa sejarah, dan ini sebagai bukti ditribusi manusia di Asia Tenggara serta disebut juga sebagai indikasi hubungan awal antarkawasan melalui kontak dagang terutama manik-manik (Nasrudin, 2008). Manik-manik kaca Indo- Pasifik yang ditemukan di wilayah Papua, baik yang berasal dari situs-situs penguburan maupun sebagai benda pusaka yang dimiliki dan disimpan oleh masyarakat memiliki 26
variasi warna seperti biru, hijau, kuning, coklat muda, dan putih. Keberadaannya diperkirakan sebagai akibat dari aktivitas perdagangan, karena di wilayah Papua tidak memproduksi jenis manik-manik tersebut. Hingga kini manik-manik kaca yang ditemukan di wilayah Papua masih menjadi salah satu bentuk harta benda yang memiliki nilai sosial bagi beberapa etnik Papua, sehingga mereka menyimpannya sebagai salah satu harta yang digunakan untuk pembayaran mas kawin. Selain materi budaya yang berasal dari luar Papua, juga terdapat materi budaya lokal seperti cangkang kerang yang ditemukan di daerah pedalaman Papua. Kerang merupakan salah satu biota laut yang dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, selain sebagai sumber makanan juga untuk memenuhi kebutuhan lainnya yaitu sebagai perhiasan, peralatan dan juga sebagai mata uang. Keberadaan cangkang kerang di daerah pedalaman diindikasikan sebagai akibat dari aktivitas perdagangan antara orang pantai dan orang pedalaman, yang menarik dari cangkang kerang di daerah pedalaman adalah pemanfaatannya sebagai mata uang oleh suku Ekagi, suku Ngalum dan suku Timorini di daerah pegunungan tengah Papua. Cangkang kerang yang dijadikan sebagai mata uang disebut mege oleh orang Ekagi, siwol oleh orang Ngalum dan tinale oleh orang Timorini adalah moluska laut kelas gastropoda family cypraea moneta. Cangkang kerang ini biasanya dibuat dengan memotong bagian atasnya, kemudian disusun dan diikat dengan tali hingga membentuk untaian, dan untuk perhitungan nilainya didasarkan jumlah kerang pada setiap untaian, ukuran, kualitas warna kerang dan umurnya. Cangkang kerang ini selain sebagai mata uang juga dijadikan sebagai perhiasan dan alat pembayaran mas kawin. Selain benda-benda yang terawetkan tersebut, sumber barang perdagangan yang berasal dari Papua adalah berupa hasil bumi seperti kayu, alat berburu, kulit buaya, budak, burung cenderawasih, bahan makanan dan lain sebagainya, hal ini karena kondisi masyarakat Papua dengan tinggkat pengetahuan yang sangat rendah sehingga mereka belum mengekploitasi sumber daya alam lainnya yang berasal dari bahan abiotik. 27
C. Gambaran Proses Perdagangan dengan Data Banding pada Masyarakat Tradisional Papua Untuk dapat memberikan gambaran tentang proses perdagangan masa prasejarah dapat dilakukan dengan mangamati pada aktivitas perdagangan masyarakatmasyarakat tradisional. Perdagangan masa prasejarah tentunya berbeda dengan bentuk perdagangan masa kini yang sudah mengenal mata uang sebagai alat tukar yang sah. Perdagangan pada masa prasejarah lebih pada bentuk pertukaran barang dengan barang atau dikenal dengan istilah barter. Perdagangan dengan cara barter ini terjadi karena ketiadaan dan kebutuhan akan suatu barang yang tidak diproduksi sendiri, dan ukuran nilai dari suatu barang yang akan ditukar masih didasarkan pada tingkat kebutuhan dan nilai sosial barang dalam masyarakat. Aktivitas perdagangan terjadi, tidak hanya karena adanya transaksi penjual dan pembeli tetapi juga sangat dipengarhi oleh lokasi dimana transaksi itu dilakukan. Berdasarkan kondisi geografis Indonesia dapat memberikan gambaran bahwa transaksi perdagangan dapat terjadi pada masyarakat pedalaman dan juga pada masyarakat pantai atau antara masyarakat pedalaman dengan masyarakat pantai serta perdagangan yang terjadi antarpulau dengan beberapa pelabuhan strategis yang menjadi tempatnya. Misalnya perdagangan antarpulau, hal ini terbukti dengan adanya sejumlah materi budaya yang berasal dari luar wilayah Papua, materi-materi budaya tersebut bisa sampai ke Papua sebagai akibat dari aktivitas para pedangan yang mungkin pada saat itu datang dengan tujuan berdagang di wilayah Papua atau yang kebetulan lewat dalam suatu perniagaan, tetapi karena ada kebutuhan bahan makanan dan juga demi keamanan mereka melakukan pertukaran dengan masyarakat Papua. Jika ditinjau dari segi asal usul materi budaya yang ada dapat manggambarakan bahwa telah terjadi suatu aktivitas perdagangan yang sangat panjang, dan materi budaya tersebut sampai ke wilayah Papua mungkin bukan dibawa langsung oleh pendukung budaya tersebut tetapi oleh para pedagang lainnya, dan bahkan sampai ke wilayah Papua mungkin pada masa yang lebih kemudian. Bukti adanya perdagangan jarak jauh, selain dilihat dari jenis materi budaya yang ditinggalkannya yang dapat menggambarkan telah terjadi perdagangan 28
antarbangsa, tetapi juga lebih meningkat berkat adanya hubungan maritim yang dilakukan dengan menggunakan kano atau perahu sejenisnya (Bellwood, 2000), serta semakin berkembang lagi setelah ditemukannya layar (perahu layar). Sebagaimana diketahui bahwa, pada masa prasejarah dalam aktivitas perdagangannya belum mangenal mata uang, maka yang menjadi alat tukarnya cukup bervariasi seperti hasil teknologi, hasil kebun, binatang buruan, hasil laut, hasil hutan, dan bahkan juga manusia. Jika dilihat dari jenis barang yang diperdagangkan, diketahui bahwa produk-produk tersebut seperti hasil teknologi bukan merupakan barang hasil produksi lokal, sedangkan hasil bumi merupakan barang produksi lokal yang ditukar dengan hasil teknologi. Sebagaimana barang hasil teknologi merupakan barang yang unik dan khas, sehingga barang-barang tersebut mamiliki nilai tukar yang cukup tinggal bagi masyarakat Papua. Untuk mengetahui nilai tukar suatu barang, dapat kita ambil contoh pada bentuk perdagangan masyarakat tradisional di Papua yang masih mamperdagangkan barang-barang berciri prasejarah dengan cara barter seperti pada masyarakat Ormu dan Sentani di Kabupaten Jayapura. Misalnya, dalam perdagangan kapak batu pada masyarakat Ormu, nilai tukar suatu kapak batu terlihat pada ukuran kapak dan jenis batuannya, kapak batu yang berukuran besar dari jenis batuan terbaik dapat ditukar dengan babi, hasil kebun dan sagu, jika diukur dengan nilai rupiah dapat mencapai jutaan rupiah. Selain kapak batu, dapat juga kita lihat perdagangan manik-manik pada masyarakat di Danau Sentani, terdapat beberapa jenis manik-manik yang berada dan dimiliki oleh masyarakat Sentani, bagi mereka manik-manik merupakan salah satu alat pembayaran mas kawin, tetapi juga mereka perdagangkan diantara sesama orang Sentani jika mereka tidak memiliki bahan makanan di rumah, setiap manik-manik memiliki nilai tukar sendiri-sendiri didasarkan pada kualitas dan warnanya yaitu manik-manik berwarna biru lebih tinggi nilainya dari yang berwarna hijau, kuning maupun putih. Misalnya satu buah manik-manik berwarna putih yang nilai paling kecil dapat ditukarkan dengan satu karung beras yang berisi 25 Kg. Pertukaran seperti ini terjadi pada masyarakat yang memiliki kesamaan pandangan tentang kedudukan nilai sosial materi budaya tersebut. Adapun proses bertransaksinya dapat terjadi dengan si penjual mendatangi pembeli dan juga sebaliknya yaitu pembeli mendatangi penjual untuk melakukan pertukaran karena kebutuhan. 29
D. Kesimpulan Bukti perdagangan masa lampau di wilayah Papua yaitu berupa beberapa materi budaya yang terawetkan seperti tembikar, manik-manik kaca Indo-Pasifik, kapak lonjong, kapak perunggu, nekara perunggu dan kulit kerang. Materi-materi budaya tersebut seperti tembikar, manik-manik kaca Indo-Pasifik, kapak lonjong, kapak perunggu, nekara perunggu merupakan hasil budaya yang berasal dari wilayah Pasifik maupun Asia Tenggara yang sampai ke wilayah Papua sebagai akibat dari akstivitas perdagangan antarpulau atau jarak jauh yang didukung oleh kemajuan dalam bidang maritim. Selain perdagangan jarak jauh juga terjadi perdagangan lokal yang terlihat pada keberadaan jenis-jenis bahan makanan yang berasal dari biota laut di daerah pedalaman, dan juga terdapat salah satu jenis kerang laut kelas gastropoda family cypraea moneta yang dijadikan sebagai alat tukar (mata uang) oleh suku Ekagi, suku Ngalum, dan suku Timorini di daerah pegunungan tengah Papua. Adapun gambaran proses perdagangan masa prasejarah memiliki kesamaaan dengan perdagangan yang terjadi pada masyarakat tradisional Papua khususnya yang masih memperdagangkan peralatan berciri prasejarah dengan barter seperti pada masyarakat di Danau Sentani dan masyarakat Ormu di Kabupaten Jayapura. 30
DAFTAR PUSTAKA Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bintarti, D.D. 2008. Nekara Perunggu Dari Yunan Sampai Papua, dalam. Prasejarah Indonesia dalam Lintas Asia Tenggara Pasifi k. Asosiasi Prehistorisi Indonesia. Hlm. 143-149. Gardner, E. J. 1978. The Pottery Technology of the Neolithic Period in Southeastern Europe. Disertasi University of California. Nasruddin, 2008. Persebaran Manik-Manik Indo-Pasifik Di Indonesia, dalam, Prasejarah Indonesia dalam lintas Asia Tenggara Pasifi k. Asosiasi Prehistorisi Indonesia. Hlm. 150-155. Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar di Jawa pada Masa Mataram Kuna Abad VIII - IX Masehi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Nurani, Indah Asikin. 2008. Sulawesi Sebagai Migrasi Bangsa Austronesia, dalam, Prasejarah Indonesia dalam lintas Asia Tenggara Pasifi k. Asosiasi Prehistorisi Indonesia. Hlm. 157-165. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Poerwanto, Hari. 2006. Kebudayaan dan Lingkungan: Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ambary, H. Muarif. 1984. Further Notes On Classifi cation Of Ceramics From The Excavation Of Kota Cina, dalam Studies On Ceramics. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 63 72. Soegondo, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di Indonesia Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Kini. Jakarta: Dian Rakyat. Soejono, RP. 1994. Prasejarah Irian Jaya dalam Kontrjaraningrat dkk, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, seri Etnografi Indonesia 5. Jakarta: Djambatan. Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Solheim, W.G. 1975. The Nusantao and South China, JHKAS, No. 6, Hlm. 180-115. 31
Weinhold, R. 1988. Ekilibrium Budaya dan Lingkungan Hidup: Suatu Kajian Ekologi Budaya Pada Komunitas Nelayan Sederhana Abad ke 2-4 di Pulau Gilimanuk. Tesis Magister, Universitas Indonesia. Jakarta. 32
Mata uang tradisional dalam bahasa lokal disebut mege/siwol/tenale (dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura 2010) 33