Dari Kuli Bangunan Jadi Mahasiswa STAN Di awal tahun 2014 sedih dan bimbang bercampur menghantui setiap nafasku ketika dipenghujung putih abu-abu harus segera menentukan masa depanku. Terlahir sebagai anak pertama dari keluarga kurang mampu menghadapkanku kepada dua pilihan apakah aku harus melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah atau harus bekerja dengan Bapak sebagai kuli bangunan. Aku tersadar sebagai anak pertama dari dua bersaudara aku memegang tanggung jawab besar untuk membesarkan adikku nantinya dan akan menggantikan Bapak sebagai tulang punggung keluarga. Setiap malam tak lupa aku selalu mendekatkan diri kepada Allah swt., sujud dan berdoa mengharap ridho dan petunjuk-nya. Setelah sekian waktu, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Akupun bercerita kepada orang tuaku mengenai keinginan dan tekadku untuk melanjutkan kuliah dan mereka mengatakan bahwa menyerahkan masa depanku kepada diriku sendiri, Bapak dan Ibu hanya bisa membantuku berusaha. Merasa sangat lega dan termotivasi akan jawaban kedua orangtuaku, akupun bergegas untuk mencari informasi melalui media sekolah. Aku hanya berpikir, bagaimana seorang anak kuli bisa kuliah tanpa harus membebani orang tua dengan biaya kuliah yang sangat mahal. Akhirnya aku mendaftarkan diri pada program beasiswa miskin dan berprestasi yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan. Meskipun aku anak kurang mampu, tetapi aku mampu membuktikan bahwa aku memiliki prestasi pada saat itu. Lulus dari SMP dengan ranking 1 paralel, masuk ke SMA favorit, beasiswa sekolah, hingga kejuaran seni dan olahraga. Saat itu juga aku mendaftarkan diri untuk masuk ke jenjang perkuliahan melalui jalur SNMPTN, karena aku memiliki kemampuan di bidang seni lukis, aku memberanikan diri untuk mendaftarkan diri di sebuah universitas favorit di Depok jurusan Teknik Arsitektur. Di pertengahan tahun 2014, bahagia menghampiri karena aku dinyatakan lulus dari SMA namun sedih dan bimbang kembali menyelimuti karena aku gagal dalam jalur SNMPTN. Tidak menyerah sampai disana, aku memohon izin kepada orangtua untuk mengikuti ujian SBMPTN dan USM STAN 2014. Saat itu orientasiku adalah program beasiswa pemerintah yang aku ikuti ini adalah gratis untuk jalur SNMPTN dan SBMPTN maka dari itu tanpa ragu aku mengikuti jalur SBMPTN dengan jurusan yang sama namun univeritas yang berbeda yakni salah satu universitas favorit di Solo, sedangkan berbekal uang celengan sebesar Rp150.000 aku mendaftarkan diri untuk ikut USM STAN karena pada waktu itu aku hanya berpikir bahwa temanku yang nilainya jauh dibawahku dia berani
mendaftar kenapa aku tidak?. USM STAN dilaksanakan seminggu setelah SBMPTN, tepatnya hari pertama di bulan Ramadhon. Pada saati itu aku hanya terfokus pada ujian SBMPTN, yang pada akhirnya aku dihadapkan kembali dengan kesedihan dan kebimbangan karena aku tidak lolos kembali melalui jalur tes. Kembali aku berpikir keras karena hanya tersisa satu jalur yang dapat aku ikuti itupun dikenakan biaya sebesar 50%. Aku tetap memotivasi diri dan izin kepada orangtua. Aku bercerita panjang lebar kepada Ibu berharap mendapatkan izin dan semangat dari beliau, namun beliau hanya memberikan satu jawaban yang seketika itu membuatku berada pada titik terendah dan putus asa Mas, apa kamu punya uang buat kuliah?. Akupun terdiam, kosong, ingin menangis tetapi tidak sanggup, ingin meyakinkan ibu kembali tetapi terbungkam. Di titik terendah itu aku hanya mampu pasrah dan memohon petunjuk kepada Allah swt. Saat itu aku sudah pasrah dan mau tidak mau harus mengambil keputusan bahwa aku harus bekerja sebagai kuli bangunan bersama Bapak. Tes USM STAN yang sebelumnya aku ikuti pun tidak terpikirkan lagi bahkan aku sudah lupa kalau aku ikut USM, akupun menutup diri dari dunia luar, komunikasi dengan teman dan sosial media karena iri ketika melihat teman-teman mem-posting keberhasilan mereka diterima kuliah di universitas favorit mereka. Sejak itu aku merasa buta akan kebahagiaan dunia, tuli akan informasi dunia dan bisu akan perasaan yang aku alami. Sampai pada suatu hari pukul 03.30 selepas sholat Tahajud, ada SMS masuk dari teman dekatku yang ikut USM juga bernama Desy Selamat ya kamu lolos tahap satu. Membaca pesan tersebut aku sempat bingung, tahap satu apa? aku sempat membalas pesan darinya lolos tahap satu apa? engga kok, aku ngga lolos SBMPTN dan dari balasan pesannya selanjutnya aku baru teringat kalau aku ikut USM STAN. Entah apa yang aku rasakan saat itu, aku sedikit bahagia mendapatkan kabar itu tetapi sedih juga karena Desy sendiri tidak lolos. Aku bergegas membuka internet dan memastikan bahwa aku memang lolos, dan ternyata benar. Kesedihan dan kebimbangan selalu kembali menyelimuti, tes tahap kedua dan ketiga akan diselenggarakan di Jogja, bagaimana aku bisa mengikuti tes itu? Dengan berbagai alasan aku tidak bisa meminta uang kepada orang tua untuk ke Jogja walaupun sebenarnya jarak Purworejo-Jogja hanya 1 sampai 1,5 jam dengan bus, namun aku tidak dapat mengandalkan kendaraan umum, bagaimana ini? Padahal ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk kuliah. Aku kembali berada dalam titik terendah dan benar-benar bimbang menentukan pilihan bagaimana aku harus ke Jogja sedangkan saat itu tidak memiliki motor dan kalaupun ada motor, aku tidak memiliki SIM walaupun usiaku memenuhi syarat.
Sampai aku mendapatkan sebuah omongan yang seketika membuatku geram dan menahan gigi yang bergemeretak saling beradu. Orang miskin kok mau kuliah?! Nggaya!! ya, bagiku kalimat itu sangat kasar dan meremehkan keluargaku. Cibiran itu aku dapat dari tetanggaku, istri dari seorang kepala sekolah SMK Swasta di kecamatanku. Berawal dari cibiran itulah aku mulai berpikir keras dan berkeyakinan Aku harus mengembalikan nama baik Bapak dan Ibu!. Tiba-tiba aku teringat sebelumnya temanku pernah memintaku untuk melukis dirinya dan saat itu aku di beri uang Rp25.000 sebagai upah melukisnya, padahal aku tidak memintanya dan hanya sekedar menyalurkan hobi saja. Dari pengalaman itulah terlintas ide di kepalaku Kenapa ngga dijadiin bisnis saja ya. Ujian tahap wawancara dan tes kebugaran jasmani berselang sekitar 1,5 bulan waktu itu, dan aku pikir sembari mempersiapkan diri cukuplah untukku mencari uang untuk ke Jogja. Akhirnya sejak saat itu hari-hariku disibukkan di depan meja dan secarik kertas untuk memenuhi pesanan dari teman-temanku. Hingga setelah berjalan selama satu bulan aku berhasil mengumpulkan uang sebesar Rp600.000. Uang Rp450.000 saat itu terpaksa aku gunakan untuk membuat SIM melalui calo karena saat itu aku membutuhkan SIM dalam waktu satu minggu, tindakan ini tidak boleh dilakukan dan dicontoh oleh teman-teman ya. Sedangkan sisanya sebesar Rp150.000 aku gunakan untuk menyewa motor, aku tidak ingin menggunakan kendaraan umum karena pada waktu itu aku mendapat saran dari pengalaman kakak tingkat kalau kamu mau lolos tes kebugaran, kamu jangan laju dari rumah karena akan memperburuk kondisi tensi kamu dan kamu bisa dipastikan tidak lolos hal itu aku sadari karena aku juga seorang atlit lari saat SMA. Karena jadwal tes kebugaranku hari kedua dan di hari pertama aku mendapat jadwal wawancara pagi maka aku harus mandiri dan mensiasatinya dengan menyewa motor tidak menggunakan kendaraan umum. Sampailah pada saat hari ujian wawancara berlangsung, sampai di Jogja pukul 06.00, di lokasi BDK Jogja ternyata sudah sangat ramai antrian teman-teman lain yang akan ikut tes wawancara saat itu bahkan sudah ada yang antri sejak pukul 02.00 dini hari. Aku mendapat gelombang pertama wawancara, untungnya masih awal jadi mood para pewawancara juga masih bagus. Aku mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya justru mengenai pribadiku bukan mengenai STAN. Aku diberikan pertanyaan mengenai perjuanganku untuk ikut tes, keseharianku, kesibukanku, hingga bagaimana aku mendapatkan SIM, bagaimana aku bisa ke Jogja, bahkan sampai pertanyaan berapa perbandingan bahan adukan untuk cor-coran pondasi? pertanyaan itu muncul karena aku bercerita bahwa selain sibuk belajar dan berdoa, setiap waktu luang aku gunakan untuk membantu Bapak bekerja
sebagai kuli bangunan jadi aku mengetahui seluk beluk dalam dunia teknik sipil dan bangunan dan kebiasaan itu aku lakukan hingga sampai saat ini aku masih kuliah di STAN, saat libur aku tidak liburan tetapi membantu Bapak sebagai kuli dan aku bangga akan hal itu, aku menjadi dekat dengan Bapak dan mengerti bagaimana menjadi tulang punggung keluarga serta membuatku sadar bahwa sebagai anak pertama saya harus dididik dengan keras. Di hari kedua, aku mengikuti tes kesehatan dan kebugaran jasmani, di tahap ketiga ini aku merasa sangat yakin lolos dan mudah melaluinya karena pada dasarnya aku seorang atlit lari saat SMA, dan terbukti aku mampu melalui tes kebugaran dengan hasil memuaskan bagiku sendiri yakni 9 putaran lebih 60m mengitari lapangan sepak bola yang digunakan untuk tes kebugaran di dekat BDK Jogja. Dan pada akhirnya aku mampu melalui semua tahapan USM STAN tersebut, setelah itu aku pulang ke Purworejo. Setelah pulang, malam hari nya aku menderita demam tinggi karena saat di Jogja, aku menginap di tempat teman yang pada saat itu dia juga mengikuti tes tahap kedua dan ketiga di Jogja tetapi dia sudah kuliah di salah satu universitas favorit di Jogja jadi aku menumpang semalam dikos nya, namanya adalah Agus Setiaji mahasiswa PKN STAN Diploma III Pajak 2014. Saat di Jogja itu, pola makanku tidak terkontrol, karena mungkin kebahagiaan dan semangat yang membuatku lupa akan kondisi badan, dan juga karena saat itu aku harus menggunakan sisa uangku dengan bijak untuk makan dan membeli bensin. Selain itu tenagaku terforsir tanpa asupan energi yang baik. Akhirnya aku dibawa ke klinik terdekat oleh Bapak, lucunya selang 3 hari saya di beri obat oleh klinik tersebut aku mengeluh tidak dapat buang air besar dan buang angin serta kondisiku tidak membaik. Akhirnya aku di bawa ke puskesmas untuk di periksa kembali dan tidak lupa Ibu membawa sampel obat dari klinik. Dokter menyatakan bahwa aku positif gejala typhus bukan karena demam dan aku menjadi korban mal praktek dokter baru. Setelah beberapa hari, aku mendapatkan pesan dari teman bahwa aku diterima sebagai mahasiswa Diploma III Kebendaharaan Negara STAN 2014 hingga saat ini sebagai mahasiswa tingkat akhir. Jadi, semua informasi bahwa aku lolos tahap satu dan diterima sebagai mahasiswa karena diberitahukan oleh teman-temanku sedangkan aku sendiri sebenarnya tidak tahu. Rasa bangga bagiku karena pada akhirnya aku dapat membuktikan kepada orang-orang yang telah meremehkanku dan keluargaku serta dapat membahagiakan kedua orangtuaku pada saat ini, dan juga dapat menjadi bagian dari Kementerian Keuangan. Namun tidak cukup sampai disini saja karena masih banyak pencapaian-pencapaian yang harus aku torehkan untuk kebahagiaan dan masa depan Ibu, Bapak, Adik, Kementerian
Keuangan, dan Indonesia. Memang tidak ada yang lebih baik daripada kehendak dan petunjuk Allah swt. Kunci keberhasilan adalah Mau, mau untuk berusaha, mau untuk bersusah payah, mau untuk bekerja keras, dan mau untuk meluangkan waktu untuk-nya.