BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan unit sosial penting dalam bangunan masyarakat di belahan dunia manapun dengan berbagai budaya dan sistem sosial. Keluarga merupakan warisan umat manusia yang terus dipertahankan, berbagai corak faktor perkembangan zaman telah mempengaruhi corak dan karakteristik budaya namun tidak mengubah substansi keluarga. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan. Orang-orang yang termasuk keluarga adalah ibu, ayah dan anak-anaknya (Setiono, 2011). Menurut Murdok (1965) keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerjasama ekonomi dan terjadi proses reproduksi. Berdasarkan definisi tersebut dalam keluarga terjadi proses interaksi antar anggota, baik suami dengan istri, ibu dengan anak, ayah dengan anak dan anak dengan saudaranya, sedangkan dalam interaksi memungkinkan timbulnya stres dan konflik. Stres dan konflik dalam keluarga merupakan sesuatu yang umum terjadi, keberadaan konflik sendiri berfungsi untuk menguji kualitas hubungan dalam keluarga, melalui cara yang digunakan untuk menangani dan menyelesaikan konflik. Pada keluarga terjadi interaksi antara orang tua dan anak, interaksi tersebut merupakan sebuah proses penyampaian informasi, pengatahuan, dan budaya yang disebut pengasuhan. Peran orang tua dalam keluarga terhadap anak tidak dapat terlepas dari peran pengasuhan. Hoghughi dan Long (2004) mendefinisikan pengasuhan dengan beragam aktifitas yang bertujuan anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Kenyataannya pengasuhan anak bukanlah tugas yang mudah untuk dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa pengasuhan sendiri merupakan proses yang penuh dengan tekananan (Lestari, 2012). Tekanan tersebut dapat berupa permasalahan anak (meliputi permasalahan perilaku, gangguan perkembangan dan penyakit yang diderita anak) sehingga menambah tekanan dalam proses
pengasuhan dan memicu stres. Orang tua pada umumnya menghendaki anak berperilaku sesuai norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat sedangkan anak memiliki karakteristiknya sendiri yang kadang tidak dikehendaki. Karakteristik anak yang tidak dikehendaki adalah perilaku anak yang kadang sulit untuk diatur dan tidak sesuai dengan norma dan harapan orang tua, terutama anak yang memiliki permasalahan perilaku dan perkembangan. Permasalahan perilaku dan perkembangan pada anak menyebabkan pengasuhan yang lebih berat dan membutuhkan kesabaran lebih penyebab stresor pada orang tua. Berdasarkan hasil wawancara dengan dua orang ibu yang mengasuh anak ADHD pada bulan Oktober 2015 di Desa Sk (bukan nama Desa sebenarnya), didapatkan kesimpulan perilaku anak ADHD sangat sulit untuk dikendalikan, perilaku yang tidak terduga, dan mengganggu orang lain serta mempengaruhi hubungan sosial pada beberapa setting sosial. Perilaku anak ADHD yang menjadi permasalahan utama orang tua yaitu, anak yang sulit untuk diam, tidak mendengarkan dan sulit mengikuti aturan serta perilaku yang dilakukan sangat membahayakan, contohnya anak ADHD yang hiperaktif memiliki perilaku senang memanjat seperti almari bahkan atap rumah. Permasalahan lain yang menjadi perhatian orang tua yaitu, permasalahan akademis di sekolah yang terganggu karena perilaku anak, seperti sulit untuk diam di kelas, menganggu pelajaran, menjadi korban tindak bullying teman-temannya dan menghilang dari lingkungan sekolah ketika guru lengah mengawasi. Gangguan yang dimiliki anak tidak hanya berdampak merugikan anak itu sendiri. Gangguan pada anak berdampak langsung pada prang tua dengan menambah stresor dalam pengasuhan. Proses pengasuhan melibatkan interaksi antara orang tua-anak yang dapat memberikan pengalaman stres yang berhubungan dengan permasalahan mental dan kesehatan (Goodyer, dalam Deater-Deckard, 2004). Stres merupakan situasi yang biasa muncul dalam aspek kehidupan, termasuk dalam peran pengasuhan. Stres adalah sebuah penilaian kognitif, respon psikologis dan kecenderungan dalam berperilaku untuk merespon ketidakseimbangan antar tuntutan situasi dan kemampuan koping (Passer dan Smith, 2009).
Menurut Lestari (2012) ciri-ciri orang tua yang mengalami stres dapat dengan mudah melakukan tindak kekerasan pada anak, yang akhirnya berdampak buruk pada pembentukan kepribadian anak, munculnya perasaan gagal dan ketidakpuasan dalam menjalankan peran pengasuhan. Ciri-ciri lain yaitu buruknya hubungan orangtua-anak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Willinger (2005) stres pengasuhan berkorelasi dengan rendahnya kombinasi empati, kedekatan, kehangantan emosi, dan afeksi. Stres pada pengasuhan disebut stres pengasuhan. Deater-Deckard (2004) mendefinisikan stres pengasuhan sebagai serangkaian proses yang membawa pada kondisi psikologis yang tidak disukai dan reaksi psikologis yang muncul dalam upaya beradaptasi dengan tuntutan peran sebagai orang tua. Stres pengasuhan dapat dipahami sebagai stres atau situasi penuh tekanan yang terjadi pada pelaksanaan tugas pengasuhan (Lestari, 2012). Tuntutan dalam pengasuhan dapat menjadi stresor, seperti karakteristik unik yang dimiliki anak dan peran sosial orang tua. Stresor dapat muncul dari diri orang tua itu sendiri, persepsi orang tua terhadap perilaku anak (meliputi atribusi tentang bagaimana anak selayaknya berperilaku) dan persepsi tentang kompetensi diri sebagai orang tua (Mash and Joshnston dalam Deater-Deckard, 2004). Kesehatan mental dan jasmani orang tua, pengetahuan, perasaan berkompetensi dan dukungan sosial berkontribusi dalam faktor stres pengasuhan (Deater-Deckard dan Scarr, dalam Deater- Deckard, 2004). Faktor sosial yang menjadi stresor dalam pengasuhan muncul dari peran lain sebagai orang tua seperti tempat kerja, pekerjaan, mengalami peristiwa buruk dan masalah interpersonal dengan anggota keluarga lain (Deater-Deckard, 2004). Menurut Jakson (dalam Deater-Deckard, 2004) penyebab utama stres pengasuhan adalah perilaku dan perkembangan anak dibanding dengan faktor lain. Keluarga yang memiliki stres tinggi beresiko memiliki permasalahan kesehatan mental tinggi. Tingkat stres pengasuhan tinggi berhubungan dengan adanya anak dengan permasalahan perkembangan kognitif dan sosial (Deater-Deckard, 2004). Berdasarkan penelitian permasalahan perilaku dan perkembangan yang diderita oleh seorang anak dalam keluarga menimbulkan beban pada orang tua dan usaha lebih
dalam mengasuh anak. Perilaku anak mempengaruhi orang tua, sulitnya mengatur perilaku anak akan meningkatkan tingkatkan stres pengasuhan (Podolski dan Nigg, 2001). Permasalahan perilaku anak berhubungkan dengan peningkatan stres pengasuhan pada orang tua (Mash dan Johnson, dalam Harrison dan Sofronoff, 2002). Permasalahan perilaku yang umum dialami anak yaitu attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Penelitian menunjukkan permasalahan yang ditimbulkan oleh anak ADHD terjadi pada umumnya sangat berpengaruh pada setting sekolah dan rumah/keluarga, seperti kegagalan akademis, kesulitan dalam sosial, disstres pada keluarga, ketegangan antara hubungan suami istri yang saling menyalahkan atas gagalnya mengasuh anak, anak ADHD yang menganggu saudaranya dan hiperaktivitas anak ADHD yang kadang merusak barang (Hoza, Owen dan Pelham, dalam Smith, Hoza, Linnea, McQuade, Vaughn dan Shoulberg, 2013). Penelitian lain menyatakan anak dengan ADHD pada umumnya sulit menahan perilaku, dikatakan nakal dalam masyarakat, sulit untuk duduk, terlalu banyak bicara, bermain dengan gaduh, dan mengganggu lainnya serta menggelisahkan orang tua (Harrison dan Sofronoff, 2002). Tuntutan pengasuhan orang tua terhadap anak ADHD meningkat dengan adanya perilaku yang menganggu, sehingga orang tua dengan anak ADHD memiliki stres pengasuhan yang lebih tinggi dalam peran mengasuh jika dibanding mengasuh anak tanpa ADHD (Anastropoulos, dalam Harrison dan Sofronoff, 2002). Keluarga dengan adanya anak ADHD akan menjadi salah satu pemicu munculnya permasalahan dan stres, sulitnya anak ADHD dalam mengendalikan diri, akhirnya berdampak pada orang tua yang merasa gagal dalam mengasuh anaknya dan muncul kritikan bahwa orang tua tidak dapat mengendalikan anaknya (Baihaqi dan Sugiarmin, 2010). Ibu dengan anak ADHD melaporkan lebih stres dan merasa memiliki kompetensi pengasuhan yang rendah (Podolski dan Nigg, 2001). Berdasarkan DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder version V) ADHD merupakan sebuah gangguan perkembangan saraf yang bersifat kronis dengan tiga karekater simtom utama yaitu, rendahnya tingkat perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas, yang
mengakibatkan buruknya fungsional (American Psychiatric Association, 2013). Simtom meliputi sulitnya mempertahankan fokus, hiperaktif dan impulsif). Simtom ADHD pada umumnya terlihat ketika anak memasuki usia tiga tahun, namun penegakan diagnosis dilakukan ketika anak memasuki taman kanak-kanan dan situasi belajar formal yang memerlukan pola perlaku yang terstruktur, meliputi perkembangan rentang perhatian dan konsentrasi yang tepat. Impairment dari simtom setidaknya harus muncul dari dua setting yang berbeda, seperti rumah dan sekolah. Harus ada bukti yang mempengaruhi/menganggu perkembangan sosial, akademik, atau fungsi okupasi. Gejala-gejala tidak terjadi selama berlakunya pervasive developmental disorder, schizophrenia, atau gangguan psikotik dan tidak dapat dijelaskan dengan ganguan mental lainnya. Menurut American Psychiatric Associaton (2013) diperkirakan terdapat ADHD pada 5% populasi anak dan 2,5% populasi orang dewasa pada seluruh budaya. Prevalensi anak ADHD menurut Asherson (2012) di wilayah Asia timur sebesar 10%. Prevalensi anak ADHD di Indonesia berkisar antara 4-15% pada anak usia Sekolah Dasar (Ardiyati, 2015). Sebuah penelitian di Sekolah dasar di kecamatan Turi, kabupaten Sleman, DIY menunjukkan prevalensi ADHD sebesar 9,5%. Penelitian pada murid sekolah dasar di Kecamatan Bangutapan, Bantul, Yogyakarta pada tahun 2006 menggunakan instrumen DSM-IV didapatkan prevalensi ADHD sebesar 5,37% (Wihartono, 2007). Stres pengasuhan merupakan permasalahan orang tua dalam mengasuh anaknya, adanya tuntutan pengasuhan, peran lain sebagai orang tua dan karakteristik anak yang unik dapat menjadi stresor dalam pengasuhan. Perilaku anak ADHD yang memiliki permasalahan perilaku menjadikan beban tambahan bagi orang tua dalam mengasuh anak, sehingga orang tua anak ADHD lebih beresiko mengalami stres pengasuhan yang tinggi. Penelitian mengenai hubungan antara intensitas simtom anak ADHD pada anak dengan stres pengasuhan pada orang tua di Yogyakarta belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang pernah dilakukan berkenaan dengan ADHD di Yogyakarta dipaparkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Penelitian ADHD yang pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia Peneliti Instrumen Hasil Damodoro (1989) DSM-III R Prevalensi ADHD murid SD di kecamatan Turi: 9,59%. Kiswanjaru (1997) DSM-IV Prevalensi ADHD murid TK di Yogyakart: 0,40%. Wihartono (2007) DSM-IV Prevalensi ADHD murid SD di Banguntapan: 5,37%. Wityadarda (2014) DSM-IV Terdapat hubungan signifikan keparahan simtom ADHD dengan tingkat konsumsi perwarna makanan artificial pada jajanan di Yogyakarta. Berdasarkan tabel 1 masih sedikit penelitian ADHD yang dilakukan di Yogyakarta dan belum terdapat penelitian hubungan antara intensitas simtom anak ADHD pada anak dengan stres pengasuhan pada orang tua. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada hubungan antara intensitas simtom anak ADHD dengan stres pengasuhan pada orang tua. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, penelitian hendak menguji apakah terdapat hubungan antara intensitas simtom anak ADHD pada anak dengan stres pengasuhan pada orang tua. C. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan menguji secara empirik hubungan intensitas somtom ADHD pada anak terhadap stres pengasuhan pada orang tua.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu psikologi pada umumnya dan khususnya dalam bidang psikologi klinis. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi hubungan intensitas somtom ADHD pada anak terhadap stres pengasuhan pada orang tua. Informasi yang didapatkan dalam penelitian diharapkan mampu memberikan pengetahuan untuk keluarga yang memiliki anak ADHD dan juga pihak-pihak yang terkait misalnya sekolah, institusi-institusi layanan psikologi, agar menimbulkan kepekaan mengenai dampak permasalahan anak dengan simtom ADHD pada orang tua atau keluarga.