MEMBANGUN E-LEGISLASI DI INDONESIA Oleh: Arfan Faiz Muhlizi*

dokumen-dokumen yang mirip
PERKEMBANGAN E-GOVERNMENT INDONESIA

OPTIMALISASI PENEMPATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN ELEKTRONIK GOVERNMENT

Motivasi Kebijakan E-Government

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

9/8/2012 SISTEM SOSIAL & HUKUM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT

Kerangka Kebijakan Pengembangan Dan Pendayagunaan Telematika Di Indonesia

b. bahwa pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dalam

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

RPSEP-11 KENDALA DAN STRATEGI PELAKSANAAN E-GOVERNMENT DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN EGOVERNMEN PEMERINTAH KOTA BALIKPAPAN TAHUN

LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG KERANGKA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN TELEMATIKA DI INDONESIA

Good Governance. Etika Bisnis

BAB I PENDAHULUAN. membuat isu-isu semacam demokratisasi, transparansi, civil society, good

PENDAHULUAN Latar Belakang

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT

URGENSI PENGATURAN E-GOVERNMENT DALAM UNDANG-UNDANG

PROVINSI JAWA TENGAH

Tugas Teknologi Komunikasi Informasi PENGEMBANGAN KAPASITAS SUMBER DAYA MANUSIA DALAM MENUNJANG IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT DI BAGIAN

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN TELEMATIKA DI INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar belakang

BUPATI MOJOKERTO PERATURAN BUPATI MOJOKERTO NOMOR4ATAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAN E-GOVERNMENT DI KABUPATEN MOJOKERTO

Komputer Dan Pemerintahan. Universitas Gunadarma Sistem Informasi 2013/2014

BAB 1 PENDAHULUAN. informasi. Kedua istilah yang sering dipertukarkan penggunaannya ini pada

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGANTAR HUKUM PERBURUHAN. copyright by Elok Hikmawati

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan jaringan informasi berbasis teknologi. pemerintah pusat dan daerah secara terpadu telah menjadi prasyarat yang penting

Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan: Negara Indonesia adalah negara hukum.

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi saat ini begitu pesat dan telah semakin luas.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Pengantar

OPTIMALISASI PENEMPATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN ELEKTRONIK GOVERNMENT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

PELAKSANAAN e-government DI KEMENTERIAN AGAMA OLEH : MASYHURI, AM

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya

Kebijakan dan Rencana ke Depan Indonesia ICT Whitepaper

Laporan Layanan Informasi Publik Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi

b. Meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan public Konsep E-Government (Electronic Government) dalam Pelayanan

PENELITIAN PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT PEMERINTAH KOTA SEMARANG

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH

PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI E-GOVERNMENTE

PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di Asia Tenggara

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN TENTANG PELAKSANAAN E-GOVERNMENT DI INSTANSI PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH. Jakarta, 11 Februari 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RechtsVinding Online. manusiawi selama masa penampungan;

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM INFORMASI KESEHATAN

PENGADUAN PELAYANAN SALAH SATU BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAYANAN PUBLIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

KONSEP E-GOVERNMENT DALAM PENINGKATAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT DI PEKON BLITAREJO KABUPATEN PRINGSEWU

BAB I PENDAHULUAN. paradigma baru yang berkembang di Indonesia saat ini. Menurut Tascherau dan

E-Government: Strategi Meraba Gajah

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN E-GOVERNMENT DI INSTANSI PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

PUSANEV_BPHN DALAM RANGKA PENYUSUNAN DOKUMEN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL (DPHN) PROF. DR. ENNY NURBANINGSIH, SH., M.Hum.

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN

Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance melalui Penerapan E-Government di Indonesia *

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, masyarakat kita telah memasuki era masyarakat informasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini merupakan era globalisasi dimana zaman menjadi modern yang

BAB V. ARAH PENGEMBANGAN e-government PROVINSI RIAU

MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Kebijakan. RPJMD (1 of 3) Arah Kebijakan (tahun)

LD NO.2 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

I. PENDAHULUAN. Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator aparatur didalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERANAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM E-GOVERNMENT SERTA P E N T I N G N Y A K O M I T M E N.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

No Pengaturan Partisipasi Masyarakat dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi Partisipasi Masyarakat dalam penyusunan Peraturan Daerah dan kebi

Penguatan Kerangka Hukum Efek Syariah Melalui Revisi Undang-Undang Pasar Modal Oleh: Muhammad Faiz Aziz *

Presiden No. 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional. Pengembangan Pemerintahan Secara Elektronik. INPRES ini

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan reformasi birokrasi

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN TELEMATIKA DI INDONESIA

RANCAANPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945)

Evolusi Vol. I No.1 September 2013

Rencana Induk Pengembangan E-Government Provinsi Riau

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

I. PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang pesat serta potensi

SISTEM INFORMASI DAN ORGANISASI PUBLIK

BAB 1 BISNIS PROSES DALAM REFORMASI BIROKRASI. A. Pendahuluan

ARAH KEBIJAKAN PENYUSUNAN PROLEGNAS Oleh : FX Soekarno, SH. 2

BAB VII PENUTUP. A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang mengkaji perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi yang pesat membawa perubahan dalam

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

MEMBANGUN E-LEGISLASI DI INDONESIA Oleh: Arfan Faiz Muhlizi* Naskah diterima: 20 Juli 2017; disetujui: 1 Agustus 2017 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat telah membawa dampak kepada tingkat peradaban manusia yang membawa suatu perubahan besar dalam membentuk pola dan perilaku masyarakat (Dimitri Mahayana, 1999: 11). Perubahan ini semakin menguat dengan berkembangnya teknologi informasi sebagai suatu teknologi yang berhubungan dengan pengolahan data menjadi informasi dan proses penyaluran data/informasi tersebut dalam batas-batas ruang dan waktu (Richardus Eko Indrajit, 2000: 12.). Hal ini perlu direspon secara positif termasuk dalam wilayah hukum. Pengelolaan hukum dengan memanfaatkan teknologi informasi diharapkan dapat memaksimalkan peran hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara filosofis hukum bertujuan untuk keadilan; kemanfaatan; dan untuk memberi kepastian (Roscue Pond, 1996: 35-41). Sayangnya ketiga tujuan ini masih berada pada tataran das sollen di Indonesia, karena dalam kenyataannya hukum masih tampil mengecewakan ketika hadir di tengah masyarakat. Bahkan, hukum saat ini berada pada taraf yang memprihatinkan, yaitu ketika hukum bukan saja tidak efektif, melainkan juga sering menimbulkan masalah baru (Achmad Ali, 1987: 234) Ada banyak faktor yang menyebabkan kondisi yang demikian, diantaranya adalah masih buruknya substansi hukum positif yang ada. Pembentukan hukum positif yang ada terkesan tidak tersistem dan kurang transparan sehingga kurang bisa dikontrol oleh publik dan tidak responsif. Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan oleh rakyat. Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyakbanyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum 1

tersebut bukan sekedar kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalanpersoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial. Untuk itu, proses pembentukan hukum perlu dibuat secara lebih terbuka agar nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat dapat lebih mudah masuk dan mempengaruhi hukum. Dengan penggunaan teknologi informasi maka perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan dapat lebih mudah dilaksanakan. Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapantahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapantahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Hukum responsif berorientasi pada hasil atau tujuan-tujuan yang akan dicapai. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel. Dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam proses legislasi mulai dari proses awal (pra legislasi) maka nilai-nilai tersirat ini bisa 2

dimasukkan sebagai ruh atau semangat Pasal-Pasal yang akan dimasukkan dalam suatu undang-undang. Hukum sebagai sarana yang penting untuk memelihara ketertiban dan sekaligus pembaharuan masyarakat dan Negara harus dikembangkan sedemikian rupa, sehingga dapat memberi ruang gerak bagi perubahan, dan bukan sebaliknya, menghambat usaha-usaha pembaruan karena semata-mata ingin mempertahankan nilai-nilai ortodoks (Mochtar Kusumaatmadja, 2002: 74). Pembaharuan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang, sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditunjukkan ke arah peningkatan terwujudnya kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang kemajuan dan reformasi yang menyeluruh. Teknologi informasi mempunyai potensi besar untuk memperlancar jalan bagi upaya pembaharuan hukum yang responsif, terutama pada proses legislasi. Sayangnya belum ada pedoman ataupun dasar hukum tentang urgensi dimanfaatkannya teknologi informasi untuk membangun legal system ini dalam proses legislasi, meski telah ada pedoman dan dasar hukum mengenai prosedur atau proses untuk membuat Rancangan Undang Undang maupun Rancangan Peraturan Pemerintah yang mengacu pada Undang- Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan sebagai pengganti UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di lingkungan Pemerintahan penggunaan teknologi informasi (e- Government) mulai didorong dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 3 tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi nasional pengembangan E-government adalah respon yang baik bagi penerapan teknologi komunikasi dan informasi di lingkungan pemerintahan. Kebijakan Pemerintah ini semakin diperkuat dengan lahirnya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang memberikan landasan dan perintah yang lebih tegas kepala pemerintah untuk menyediakan berbagai informasi dengan dukungan teknologi informasi. 3

Terdapat beberapa konsep yang lain mengenai e-government, seperti Bank Dunia (World Bank) dan United Nation Development Programme (UNDB) yang mendefinisikan e-government sebagai sarana untuk penggunakan TI oleh semua agen pemerintahaan (seperti WAN, internet, mobile computing) yang mempunyai kemampuan untuk mengubah hubungan dengan masyarakat, bisnis, dan pihak yang terkait dengan pemerintahan. Sementara UNDP dalam suatu kesempatan mendefinisikannya secara lebih sederhana, yaitu penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT- Information and Communicat-ion Technology) oleh pihak pemerintahan.dalam tulisan ini, konsep e- government adalah aplikasi teknologi informasi yang berbasis internet dan perangkat digital lainnya yang dikelola pemerintah untuk keperluan penyampaian informasi dan komunikasi dari pemerintah ke masyarakat atau sebaliknya, dan lembaga-lembaga lainnya secara online. Dalam lampiran Instruksi Presiden mengenai kebijakan dan strategi nasional pengembangan e-government, dipaparkan enam strategi yang disusun pemerintah dalam mencapai tujuan strategis e- government. Strategi tersebut adalah: pertama, mengembangkan sistem pelayanan yang andal, terpercaya serta terjangkau masyarakat luas. Sasarannya antara lain, perluasan dan peningkatan kualitas jaringan komunikasi ke seluruh wilayah negara dengan tarif terjangkau. Sasaran lain adalah pembentukan portal informasi dan pelayanan publik yang dapat mengintegrasikan sistem manajemen dan proses kerja instansi pemerintah. Kedua, menata sistem dan proses kerja pemerintah dan pemerintah daerah otonom secara holistik. Dengan strategi ini, pemerintah ingin menata sistem manajemen dan prosedur kerja pemerintah agar dapat mengadopsi kemajuan teknologi informasi secara cepat. Ketiga, memanfaatkan teknologi informasi secara optimal. Sasaran yang ingin dicapai adalah standardisasi yang berkaitan dengan interoperabilitas pertukaran dan transaksi informasi antarportal pemerintah. Standardisasi dan prosedur yang berkaitan dengan manajemen dokumen dan informasi elektronik. Keempat, meningkatkan peran serta dunia usaha dan mengembangkan industri telekomunikasi dan teknologi informasi. Sasaran yang ingin dicapai adalah adanya partisipasi dunia usaha dalam mempercepat pencapaian tujuan strategis e-government. Itu berarti, 4

pengembangan pelayanan publik tidak perlu sepenuhnya dilayani oleh pemerintah. Kelima, mengembangkan kapasitas sumber daya manusia, baik pada pemerintah maupun pemerintah daerah otonom disertai dengan meningkatkan e- literacy masyarakat. Keenam, melaksanakan pengembangan secara sistematik melalui tahapan yang realistik dan terukur Dalam pengembangan e- government, dapat dilaksanakan dengan empat tingkatan yaitu, persiapan, pematangan, pemantapan dan pemanfaatan. Dalam proses legislasi, pemanfaatan teknologi informasi dapat dilakukan mulai dari tahap pra legislasi hingga pasca legislasi sebagaimana gambar berikut: Dengan pola di atas maka informasi publik terbuka semakin lebar sehingga masyarakat dapat mengontrol setiap langkah dan kebijakan pemerintah, terutama dalam proses legislasi. Pemanfaatan teknologi informasi menjadi pilihan strategis untuk menguatkan pengawasan publik agar tidak terjadi penyimpangan. Keterbukaan informasi merupakan salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan Negara yang terbuka dan tranparan untuk memberikan informasi kepada publik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian maka masyarakat dapat ikut serta dalam melakukan pengawasan dalam proses legislasi. Pengawasan dan penilaian yang diberikan pada masyarakat tersebut merupakan perwujudan dari kebebasan menyatakan pendapat sebagai salah satu ciri negara hukum Pancasila. Selama ini, kesulitan terbesar dalam melakukan pengawasan oleh masyarakat terhadap kinerja pemerintah adalah mengumpulkan informasi yang selengkap-lengkapnya. Proses ini paling sulit dilakukan tanpa dibantu oleh teknologi informasi dan dukungan regulasi bagi akses publik. Oleh karena itu maka dukungan kebijakan yang mewajibkan adanya penggunaan teknologi informasi dalam menjalankan fungsi pemerintahan, terutama dalam proses legislasi menjadi faktor determinan keberhasilan 5

pengawasan dan penilaian yang dilakukan oleh masyarakat. Meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai proses legislasi dapat meningkatkan minat dan keinginan masyarakat untuk berperan serta dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan kapasitas masing-masing. *Penulis adalah seorang Analis Hukum di Badan Pembinaan Hukum Nasional. 6