BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Belanja Pemeliharaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belanja modal termasuk jenis belanja langsung dan digunakan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu tentang Pengaruh Fiscal Stress terhadap Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

AKUNTANSI PENDAPATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA INSPEKTORAT KABUPATEN N E R A C A PER 31 DESEMBER 2012 DAN 2011 (Dalam Rupiah)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Desentralisasi merupakan salah satu perwujudan dari pelaksanaan

PENGANTAR. Djoko Sartono, SH, M.Si Laporan Keuangan Kabupaten Sidoarjo

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN KEUANGAN POKOK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Anggaran dan Realisasi Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Utara Tahun Anggaran 2006

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam dua kelompok, kelompok pertama adalah belanja publik yaitu belanja yang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP, 2005), Anggaran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Rebulik Indonesia (UU RI) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas

RPJMD Kota Pekanbaru Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan. perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

Transkripsi:

digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Belanja Modal Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar mendefinisikan belanja modal sebagai pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi, serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah. Aset tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja. Belanja modal menurut Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan adalah pengeluaran anggaran yang digunakan untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya. Belanja modal mencakup belanja modal untuk pemerolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud. Belanja modal dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu belanja publik dan belanja aparatur. Belanja publik adalah belanja yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat sedangkan belanja aparatur adalah Hasil belanja pemerintah yang langsung dapat dirasakan langsung oleh aparatur pemerintahan. 12

digilib.uns.ac.id 13 Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, belanja modal adalah sebagai pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian atau pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan. Jadi dapat disimpulakan belanja dikategorikan sebagai belanja modal apabila: 1. pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang dengan demikian menambah aset pemerintah, 2. aset tetap atau aset lainnya tersebut mempunyai nilai manfaat jangka panjang (lebih dari satu tahun), dan 3. perolehan aset tetap tersebut dimaksudkan bukan untuk dijual. Belanja Modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah, yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut, yaitu dengan cara membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lain, dan membeli. Namun, di dalam pemerintahan biasanya diperoleh dengan cara membeli yang umumnya dilakukan dengan proses lelang atau tender yang cukup rumit (Abdullah dan Halim, 2006). Alokasi belanja modal didasarkan pada kebutuhan, hal ini mengandung arti bahwa tidak semua satuan kerja atau unit organisasi di pemerintahan daerah melaksanakan kegiatan atau proyek pengadaan aset tetap. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing satuan kerja, ada satuan kerja yang memberikan pelayanan kepada publik berupa

digilib.uns.ac.id 14 penyediaan sarana dan prasarana fisik, seperti fasilitas pendidikan (gedung sekolah, peralatan laboratorium, mobiler), kesehatan (rumah sakit, peralatan kedokteran, mobil ambulans), jalan raya, dan jembatan, sementara satuan kerja lain hanya memberikan pelayanan jasa langsung berupa pelayanan administrasi (catatan sipil, pembuatan kartu identitas kependudukan), pengamanan, pemberdayaan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan pendidikan. Berdasarkan Kepmendagri No. 29/2002; Permendagri No. 13/2006; PP No. 24/2005 Belanja modal mencakup jenis belanja sebagai berikut: 1. Belanja Tanah, 2. Belanja Peralatan dan Mesin, 3. Belanja Gedung dan Bangunan, 4. Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan, 5. Belanja Aset Tetap Lainnya, dan 6. Belanja Aset lainnya. Belanja ini masih diperinci lagi menjadi sebagai berikut: 1. Belanja Modal Tanah, 2. Belanja Modal Jalan dan Jembatan, 3. Belanja Modal Bangunan Air (Irigasi), 4. Belanja Modal Instalasi, 5. Belanja Modal Jaringan, 6. Belanja Modal Bangunan Gedung, 7. Belanja Modal Monumen, 8. Belanja Modal Alat-alat Besar,

digilib.uns.ac.id 15 9. Belanja Modal Alat-alat Angkutan, 10. Belanja Modal Alat-alat Bengkel, 11. Belanja Modal Alat-alat Pertanian, 12. Belanja Modal Alat-alat Kantor dan Rumah Tangga, 13. Belanja Modal Alat-alat Studio dan Alat-alat Komunikasi, 14. Belanja Modal Alat-alat Kedokteran, 15. Belanja Modal Alat-alat Laboratorium, 16. Belanja Modal Buku atau Perpustakaan, 17. Belanja Modal Barang Bercorak kesenian, kebudayaan, 18. Belanja Modal Hewan, ternak, serta Tanaman, dan 19. Belanja Modal Alat-alat Persenjataan/Keamanan. 2.1.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah disebutkan Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Halim (2004) mendifinisikan pendapatan asli daerah sebagai semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah tersebut. Pendapatan asli daerah ini merupakan salah satu modal dasar bagi pemerintah daerah dalam mendapatkan dana dalam memenuhi belanja daerah, selain itu merupakan usaha daerah guna memperkecil ketergantungan dalam

digilib.uns.ac.id 16 mendapatakan dana (subsidi) dari pemerintah pusat. Karena desentralisasi fiskal yang terjadi saat ini menuntut adanya kemandirian daerah dalam menggali potensi lokal dan mempergunakannya sesuai dengan kebijakan masing-masing daerah, oleh karena itu aparat pemerintah daerah cenderung melihat Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber utama keberhasilan otonomi, berbagai usaha pun dilakukan untuk meningkatkan PAD ini. Di dalam upaya untuk meningkatkan PAD, daerah dilarang menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan dilarang menetapkan perda tentang pendapatan yang menghambat mobilitas bagi penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor maupun ekspor (Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, 2005). Pendapatan asli daerah dikelompokkan menjadi empat menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu sebagai berikut. 1. Pajak daerah. 2. Retribusi daerah. 3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut objek pendapatannya, yaitu antara lain sebagai berikut: a. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/bumd, b. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/bumn, dan c. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

digilib.uns.ac.id 17 4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, dirinci menurut objek pendapatannya, yaitu: a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, b. jasa giro, c. pendapatan bunga, d. penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, e. penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah, f. penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, g. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, h. pendapatan denda pajak, i. pendapatan denda retribusi, j. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, k. pendapatan dari pengembalian, l. fasilitas sosial dan fasilitas umum, m. pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, dan n. pendapatan dari angsuran atau cicilan penjualan. 2.1.3. Kinerja Keuangan Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan apa yang direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila

digilib.uns.ac.id 18 pencapaian melebihi dengan yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat bagus. Dan apabila pencapaian tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau kurang dari yang direncakanan, maka kinerjanya jelek. Kinerja keuangan adalah suatu kinerja yang menggunakan indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Menurut Halim (2008) analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi cirri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Dalam organisasi pemerintah untuk mengukur kinerja keuangan ada beberapa ukuran kinerja yaitu, derajat desentralisasi, ketergantungan keuangan, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio keserasian, debt service coverage ratio, dan pertumbuhan. 2.1.4. Analisis Rasio Keuangan Pemerintah Daerah Analisis rasio keuangan adalah suatu proses yang mengidentifikasikan ciri-ciri yang penting tentang keadaan keuangan dan kegiatan perusahaan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Salah satu alat ukur kinerja adalah analisis rasio keuangan yang dapat digunakan sebagai konsep pengelolaan organisasi pemerintah untuk menjamin pertanggungjawaban publik oleh lembagalembaga pemerintah kepada masyarakat luas.

digilib.uns.ac.id 19 2.1.5. Kemandirian Keuangan Daerah Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian diidentikkan dengan PAD. Tingginya PAD dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan kemandirian suatu daerah. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah dan hal tersebut akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi (Halim, 2007). 2.1.6. Efektivitas PAD Rasio efektivitas yaitu rasio yang menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal satu atau 100%. Namun demikian, semakin tinggi rasio efektivitas maka kemampuan daerahpun semakin baik. Pengertian efektivitas berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai oengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Semakin

digilib.uns.ac.id 20 besar realisasi penerimaan PAD, maka dapat dikatakan semakin efektif, begitu pula sebaliknya. Apabila hasil prosentase efektivitas PAD di atas 100% maka dapat dikatakan kinerja keuangan tersebut sangat efektif. Bila hasilnya adalah 90%- 100% dikatakan efektif, 80%-90% cukup efektif, 60%-80% kurang efektif, dan <60% tidak efektif. 2.1.7. Luas Wilayah Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Luas wilayah dalam hal ini apakah besarannya berpengaruh terhadap jumlah realisasi belanja modal pemerintah yang erat kaitannya dengan peningkatan pelayanan publik. 2.1.8. Jumlah Penduduk Negara yang sedang berkembang yang mengalami ledakan jumlah penduduk, termasuk Indonesia, akan selalu mengkaitkan antara kependudukan dengan pembangunan ekonomi. Akan tetapi hubungan antar keduanya tergantung pada sifat dan masalah kependudukan yang dihadapi oleh setiap negara, dengan demikian tiap negara atau daerah akan mempunyai masalah kependudukan yang khas dan potensi serta tantangan yang khas pula (Wirosardjono, 1998). Jumlah penduduk yang besar di Indonesia oleh para perencana pembangunan dipandang sebagai aset modal dasar pembangunan tetapi sekaligus

digilib.uns.ac.id 21 juga sebagai beban pembangunan. Sebagai aset apabila dapat meningkatkan kualitas maupun keahlian atau keterampilan sehingga akan meningkatkan produksi nasional. Jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur persebaran dan mutunya sedemikian rupa sehingga hanya menuntut pelayanan sosial dan tingkat produksinya rendah, sehingga menjadi tanggungan penduduk yang bekerja secara efektif (Budihardjo, 2003). Adam Smith berpendapat bahwa dengan didukung bukti empiris bahwa pertumbuhan penduduk tinggi akan dapat menaikkan output melalui penambahan tingkat dan ekspansi pasar baik pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Penambahan penduduk merupakan satu hal yang dibutuhkan dan bukan suatu masalah, melainkan sebagai unsur penting yang dapat memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Besarnya pendapatan dapat mempengaruhi penduduk. Jika jumlah penduduk meningkat maka pendapat yang dapat ditarik juga meningkat. 2.2. Penelitian Terdahulu Penelitian terkait belanja modal yang diperoleh antara lain adalah penelitian oleh Sumarni (2008), yang meneliti pengaruh PAD, DAU, dan DAK terhadap alokasi belanja modal di Kabupaten Kota DIY Yogyakarta. Dalam penelitiannya diperoleh hasil pengujian terhadap hipotesis-hipotesis menunjukkan bahwa secara simultan variabel PAD, DAU, dan DAK berpengaruh secara signifikan terhadap variabel alokasi belanja modal. Putro (2011), dengan penelitiannya tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi, PAD dan DAU terhadap alokasi anggaran belanja modal pada studi di

digilib.uns.ac.id 22 Kabupaten Kota Provinsi Jawa tengah menarik kesimpulan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi dan PAD tidak memiliki pengaruh terhadap alokasi belanja modal. Sedangkan DAU memiliki pengaruh terhadap anggaran belanja modal. Kemudian Ardhini dan Handayani (2011) melakukan penelitian yang bertujuan bertujuan untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara rasio keuangan daerah dengan alokasi belanja modal untuk pelayanan publik dalam perspektif toeri keagenan. Kesimpulan yang berhasil diperoleh dalam penelitian ini ialah Rasio Kemandirian daerah berpengaruh positif tidak signifikan terhadap rasio belanja modal, Rasio Efektivitas dan Sisa Lebih Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA) keuangan daerah berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal, dan Rasio Efisiensi keuangan daerah berpengaruh negatif namun signifikan terhadap alokasi belanja modal. Kusnandar dan Siswantoro (2012) melakukan studi tentang pengaruh DAU, PAD, SILPA dan luas wilayah terhadal alokasi belanja modal. Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan yaitu secara emperis DAU, PAD, SILPA dan luas wilayah mempengaruhi alokasi belanja modal. Secara parsial DAU tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal, sedangkan PAD, SILPA, dan luas wilayah memiliki pengaruh terhadap alokasi belanja modal. Penelitian yang dilakukan oleh Menes (2012) mengenai pengaruh dari DAU, PAD, SiLPA, luas wilayah, dan jumlah penduduk terhadap alokasi belanja modal memilki hasil bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) memiliki hubungan negatif dan tidak signifikan dengan variabel alokasi belanja modal,pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) memiliki

digilib.uns.ac.id 23 hubungan positif dan signifikan terhadap variabel alokasi belanja modal, variabel luas wilayah memiliki hubungan positif dan tidak signifikan terhadap variabel alokasi belanja modal, dan untuk variabel jumlah penduduk terhadap variabel alokasi belanja modal adalah positif dan signifikan. Penelitian lain mengenai rasio keuangan daerah adalah penelitian Primaresti (2012). Penelitian ini mendapatkan kesimpulan bahwa rasio derajat desentralisasi dan rasio efektivitas PAD memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap variabel belanja modal. 2.3. Pengembangan Hipotesis 2.3.1. Pengaruh Luas Wilayah terhadap Belanja Modal Anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Daerah dengan wilayah yang lebih luas membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak begitu luas. Berdasarkan penelitian Siswantoro (2012), tentang pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal, disebutkan bahwa luas wilayah memiliki pengaruh terhadap alokasi belanja modal. Zega (2014) dalam penelitiannya Pengaruh PAD, DAU, Dana Bagi Hasil, SiLPA, dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal dengan DAK sebagai variabel moderating menjelaskan bahwa secara simultan luas wilayah berpengaruh

digilib.uns.ac.id 24 terhadap alokasi belanja modal dan secara parsial tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. Maka hipotesis luas wilayah terhadap belanja modal adalah sebagai berikut ini. H1: Luas Wilayah mempunyai pengaruh terhadap Belanja Modal. 2.3.2. Jumlah Penduduk terhadap Alokasi Belanja Modal Jumlah penduduk tiap daerah tidak sama, setiap daerah yang memiliki luas wilayah yang besar tidak selalu memiliki jumlah penduduk yang paling besar, begitu juga sebaliknya. Pengambilan variabel ini berdasarkan pada penjelasan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menyebutkan bahwa beberapa variabel yang menggambarkan kebutuhan dalam penyediaan layanan publik di setiap daerah dan salah satunya adalah jumlah penduduk. Pentingnya variabel jumlah penduduk dikaitkan dengan besar kecilnya pajak dan retribusi (Sriyana, 1999), besar kecilnya penerimaan pajak pusat maupun pajak daerah sangat ditentukan oleh jumlah penduduk, pendapatan, dan kebijakan pemerintah. Dari uraian tersebut maka disusunlah hipotesis seperti berikut. H2: Jumlah penduduk berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. 2.3.3. Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal Variabel ini menggambarkan tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah.

digilib.uns.ac.id 25 Ardhini dan Handayani (2011) dalam penelitiannya Pengaruh Rasio Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal untuk Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Keagenan, menyebutkan bahwa rasio kemandirian daerah berpengaruh positif tidak signifikan terhadap rasio belanja modal untuk pelayanan publik. Apabila rasio kemandirian daerah meningkat, maka hal ini tidak berpengaruh terhadap jumlah belanja modal untuk pelayanan publik. Sularso dan Restianto (2011) dalam penelitiannya Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi menyebutkan bahwa rasio kemandirian keuangan daerah memiliki pengaruh terhadap alokasi belanja modal. Maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut. H3: Kemandirian keuangan daerah berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. 2.3.4. Efektivitas PAD terhadap Alokasi Belanja Modal Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Dalam penelitiannya tentang Pengaruh Rasio Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal untuk Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Keagenan, Ardhani dan Handayani (2011) menyimpulkan bahwa rasio efektivitas berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal untuk pelayanan publik.

digilib.uns.ac.id 26 Sehingga apabila efektivitas keuangan daerah cenderung lebih efektif, hal ini berpengaruh terhadap jumlah belanja modal untuk pelayanan publik. Dalam penelitian Hidayat (2013), Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal, disebutkan bahwa kinerja keuangan yang dinilai salah satunya dengan efektivitas PAD memiliki pengaruh yang signifikan terhadap alokasi belanja modal. Sularso dan Restianto (2011) dalam penelitiannya tentang Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi, menyebutkan bahwa rasio efektivitas PAD memiliki memiliki pengaruh terhadap alokasi belanja modal. Efektivitas PAD menunjukkan keberhasilan operasional pemerintahan karena dapat mempengaruhi pengadaan pelayanan masyarakat sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan pemenuhan target oleh pemerintah dalam pelayanan publik, maka terpenuhi juga anggaran belanja modal yang merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang akan dirasakan oleh masyarakat. Besarnya efektivitas PAD akan mempengaruhi besarnya alokasi belanja modal. Maka disusunlah hipotesis sebagai berikut. H4: Efektivitas PAD berpengaruh terhadap alokasi belanja modal daerah. 2.4. Kerangka Teoritis Penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja modal. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen yaitu alokasi

digilib.uns.ac.id 27 belanja modal kabupaten dan kota di seluruh Indonesia pada tahun 2013. Variabel independen dilihat dari luas wilayah, jumlah penduduk, kemandirian keuangan daerah dan efektivitas PAD. Berdasarkan uraian tersebut, kerangka mengenai hubungan antar masing-masing variabel dapat dilihat dalam gambar berikut ini. Variabel Independen Variabel Dependen Luas Wilayah Jumlah Penduduk Kemandirian Keuangan Daerah Alokasi Belanja Modal Efektivitas PAD Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian