IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Musim Hujan. Musim Kemarau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

MONITORING DINAMIKA ATMOSFER DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN SEPTEMBER 2016 FEBRUARI 2017

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

UPDATE DASARIAN III MARET 2018

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

PEMBAHASAN ... (3) RMSE =

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

Kementerian PPN/Bappenas

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Hasil dan Pembahasan

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

Gambar 4 Diagram alir penelitian

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

EVALUASI SKEMA KONVEKSI DALAM MODEL IKLIM REGIONAL REGCM4 UNTUK SIMULASI KERAGAMAN CURAH HUJAN MUSIMAN DAN INTRA MUSIMAN DI INDONESIA

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATE DASARIAN I MARET 2017

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. INFORMASI METEOROLOGI

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I JANUARI 2018

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

I. INFORMASI METEOROLOGI

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II JUNI 2017

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

PERUBAHAN KLIMATOLOGIS CURAH HU]AN DI DAERAH ACEH DAN SOLOK

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT; ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN DASARIAN I FEBRUARI 2018

Gambar 1. Diagram TS

I. INFORMASI METEOROLOGI

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

PERUBAHAN KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN DI YOGJAKARTA, SEMARANG, SURABAYA, PROBOLINGGO DAN MALANG

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN III DESEMBER 2017

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I FEBRUARI 2017

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

I. INFORMASI METEOROLOGI

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II SEPTEMBER 2017

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

PROSPEK IKLIM DASARIAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Update: 01 Februari 2016

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

PRESS RELEASE PERKEMBANGAN MUSIM KEMARAU 2011

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

Persamaan Regresi Prediksi Curah Hujan Bulanan Menggunakan Data Suhu dan Kelembapan Udara di Ternate

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II FEBRUARI 2017

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II OKTOBER 2017

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II AGUSTUS 2017

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Transkripsi:

8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool 2007). Penelitian ini menggunakan nilai PC 1 sampai 5 sebagai pembanding dengan indeks RMM dalam analisis kasus MJO. b. Normalisasi data RMM,, MIT, dan Grell, c. Memfilter data normalisasi, MIT, dan Grell. Memfilter data menggunakan metode band-pass filter dengan menghilangkan frekuensi siklus selain MJO, yaitu 30 sampai 80 hari, dan merata-rata data dalam selang 120 hari. Penggunaan band-pas filter ini disesuaikan dengan pemfilteran dalam pembuatan indeks RMM 1 dan 2 oleh Wheeler (Wheeler dan Hendon 2004). Penyesuaian metode pemfilteran ini bertujuan untuk memudahkan dalam melihat kecocokan respon (curah hujan, MIT, dan Grell) terhadap sinyal MJO (membandingkan dengan indeks RMM). Metode band-pass filter digunakan untuk menahan frekuensi data pada selang yang dibutuhkan dan menghilangkan frekuensi di bawah maupun di atas selang. Ilustrasi band-pass filter dapat dilihat pada Gambar 5. Nilai koefisien korelasi Pearson (r) berkisar antara -1 sampai 1. Nilai - 1 (1) menunjukkan keeratan sempurna negatif (positif). Semakin tinggi nilai korelasi menunjukkan kemampuan model yang semakin baik (Wilks 2006). b. RMSE (Root Mean Square Error) RMSE atau disebut juga residual adalah error dari hasil prediksi terhadap nilai yang sebenarnya. RMSE dihitung menggunakan persamaan berikut, Keterangan : x oi = Nilai yang sebenarnya (observasi) x pi = Nilai dugaan Semakin kecil nilai RMSE menunjukkan model yang menghasilkan prediksi yang semakin baik (Wilks 2006). c. Standar deviasi Analisis kesesuain PCA dengan PCA MIT dan Grell. Hasil PC yang paling sesuai dengan indeks RMM kemudian digunakan sebagai referensi untuk melihat kesesuaian hasil MIT dan Grell terhadap fase MJO. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 5 Ilustrasi Metode Band-pass Filter (http://zone.ni.com) 8. Analisis kesesuaian indeks MJO dan PCA menggunakan analisis korelasi, RMSE, dan standar deviasi, a. Korelasi Korelasi menunjukkan nilai keeratan diantara dua variabel. Analisis korelasi dihitung dengan metode korelasi Pearson dengan persamaan sebagai berikut, 4.1. Analisis Pola Musiman Curah Hujan Hasil Model terhadap Observasi Keragaman curah hujan musiman di Indonesia, dibagi ke dalam 4 musim, yaitu DJF (Desember-Januari-Februari) yang merupakan musim basah, kemudian MAM (Maret-April- Mei) musim peralihan basah ke kering, JJA (Juni-Juli-Agustus) yang merupakan musim kering, dan musim peralihan dari kering ke basah, SON (September-Oktober-November). Sebaran curah hujan berbeda-beda untuk keempat musim tersebut. Fluktuasi musiman curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sirkulasi monsun.

Gambar 6 Peta Sebaran Curah Hujan Musiman DJF, MIT, dan Grell 9

10 Sebaran curah hujan observasi pada musim DJF berkisar antara 500-1000 mm. Daerah dengan curah hujan melebihi rata-rata, yaitu 1000-1500 mm tersebar di daerah tipe monsunal seperti Papua, Jawa Tengah, Sumatra Selatan, sebagian kecil Kalimantan, dan Sulawesi (Gambar 6). Pola sebaran curah hujan hasil model MIT berbeda dari observasi pada musim DJF. MIT menghasilkan curah hujan dengan rentang yang sangat tinggi, 0 sampai lebih dari 2000 mm. Curah hujan musiman yang tinggi (>2000 mm) tersebar di wilayah datran tinggi seperti di bagian Barat Pulau Sumatra, Sulawesi, daerah pegunungan es di Papua, dan sebagian kecil di Kalimantan dan Jawa. Variasi curah hujan antar wilayah pada MITjuga sangat tinggi, terlihat di wilayah Pulau Jawa dan Sulawesi. Terdapat beberapa wilayah yang mempunyai curah hujan sangat tinggi yaitu di sekitar puncak gunung dan wilayah dengan curah hujan sangat rendah di sepanjang pantai. Hasil skema Grell musim DJF juga menunjukkan sebaran curah hujan yang berbeda dari observasi. Curah hujan Grell ratarata berkisar antara 0 sampai 500 mm. Sebaran curah hujan yang lebih tinggi berada di wilayah pantai, sedangkan curah hujan yang rendah berada pada daratan yang jauh dari laut, seperti yang terlihat di wilayah Pulau Sumatra. Rentang nilai curah hujan musiman untuk hasil skema Grell juga sangat tinggi. Terdapat beberapa data pencilan dengan nilai curah hujan melebihi 1500 mm di ujung Timur Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara. Berdasarkan pola persebarannya, skema MIT terlihat lebih sensitif terhadap topografi. Hal ini ditunjukkan oleh curah hujan yang rendah pada daerah pantai dan meningkat menuju daerah dataran tinggi, sesuai dengan pendekatan yang digunakan pada skema MIT di dalam menentukan curah hujan. Gambar 7 Peta Sebaran Selisih Curah Hujan Musiman DJF MIT- dan Grell-

11 Tabel 1 Persentase Jumlah Piksel Per Rentang Selisih Curah Hujan Musiman Rentang MIT - (%) Grell - (%) Selisih DJF MAM JJA SON DJF MAM JJA SON <-1000 1.6 2.2 1.9 1.6 1.4 4.2 3.7 7.6-1000 s/d -250 24.0 25.6 24.7 25.0 61.1 65.9 63.0 72.0-250 s/d 250 32.2 38.7 43.0 39.4 32.7 26.7 28.4 17.1 250 s/d 1000 32.6 24.7 23.0 26.7 4.5 2.8 4.4 2.8 >1000 9.7 8.9 6.5 7.3 0.4 0.3 0.5 0.4 Pada skema MIT, Cloud water dapat dikonversi langsung menjadi presipitasi pada awan-awan kumulus, sehingga lebih banyak curah hujan yang terjadi, terutama pada daerah dataran tinggi yang merupakan daerah pemusatan awan kumulus oleh efek orografis. Pada asumsi skema MIT, awan yang terbentuk bercampur dengan lingkungan dan mengikuti pergerakannya yang meningkat maupun menurun. Oleh karena itu, curah hujan cenderung rendah pada daerah pantai. Sebaliknya, Grell tidak terlalu dipengaruhi oleh topografi dalam pendugaan curah hujan. Skema Grell adalah default di dalam model iklim regional RegCM4 untuk daerah lintang tengah yang berupa daratan luas dan topografi yang lebih homogen, sehingga kurang sesuai untuk daratan maritim tropis seperti Indonesia. Walaupun mempunyai sebaran curah hujan yang berbeda dengan observasi, mempunyai rentang curah hujan yang sangat tinggi, dan sensitif terhadap topografi, skema MIT lebih mampu menggambarkan keragaman curah hujan musiman di Indonesia dibandingkan skema Grell. Pola sebaran curah hujan MIT lebih mendekati pola observasi daripada Grell terhadap observasi. Peta musiman curah hujan MAM, JJA, dan SON (Lampiran 6) juga memperlihatkan hasil yang hampir sama dengan musim DJF. Sebaran curah hujan MIT dan Grell berbeda dengan curah hujan hasil observasi (). MIT sangat sensitif terhadap topografi dan mempunyai rentang curah hujan yang tinggi. Grell menghasilkan curah hujan yang rendah, walaupun terdapat variasi curah hujan yang tinggi pada beberapa wilayah. Perbandingan hasil pendugaan curah hujan model dengan data observasi dapat dilihat pada peta sebaran selisih curah hujan musiman (Gambar 7). Pendugaan yang mendekati data observasi atau mempunyai bias yang kecil berada pada selang selisih -250 sampai 250 mm (ditunjukkan oleh warna hijau). Nilai selang ini mempunyai tingkat kesalahan 25% (diasumsikan curah hujan musiman di Indonesia rata-rata 1000 mm). Untuk musim DJF, skema MIT cenderung menghasilkan pendugaan curah hujan yang lebih tinggi dari curah hujan observasi pada beberapa wilayah seperti dataran tinggi dan pegunungan. Tetapi hasil pendugaan juga lebih rendah pada beberapa wilayah lain seperti pada pesisir pantai. Selisih yang sangat besar ditemukan pada beberapa data pencilan. Lebih banyak terdapat warna biru pada peta MIT-. Warna biru pada peta sebaran selisih curah hujan menunjukkan pendugaan curah hujan yang lebih tinggi (250 mm sampai 1000 mm), misalnya pada daerah dataran tinggi maupun jajaran pegunungan di Indonesia, seperti di sebelah Barat Sumatra, Kalimantan, beberapa daerah di Jawa, Sulawesi, dan tengah Papua. Warna kuning yang menunjukkan pendugaan curah hujan lebih rendah (-1000 mm sampai -250 mm) tersebar di daerah-daerah pesisir pulau. Skema Grell berkebalikan dengan MIT, menghasilkan pendugaan curah hujan yang lebih rendah dari curah hujan observasi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari lebih banyaknya daerah berwarna kuning pada peta sebaran selisih curah hujan. Namun, pada beberapa daerah, Grell menghasilkan pendugaan curah hujan yang lebih tinggi, seperti pada kepulauan Nusa Tenggara. Peta sebaran selisih untuk musim MAM, JJA, dan SON (Lampiran 7) juga memperlihatkan hasil yang tidak berbeda dengan musim DJF. Sebaran jumlah piksel untuk MIT memusat pada selisih -1000 mm sampai 1000 mm dengan persentase terbesar berada pada selang -250 mm sampai 250 mm (Tabel 1). Skema Grell menduga curah hujan lebih rendah di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini dibukti-kan dengan persentase jumlah piksel yang memusat pada selisih -1000 mm sampai 250 mm, tetapi dengan persentase terbanyak pada selang -1000 mm sampai -250 mm (Tabel 1). Pada musim basah (DJF) persentase jumlah piksel dengan selisih terkecil (-250 mm sampai 250 mm) untuk skema MIT sebesar 32.2%, 0.5% lebih rendah dari Grell. MIT memiliki persentase selisih terbesar pada musim kering (JJA), yaitu 43%. Nilai tersebut lebih besar 14.6% dari Grell pada musim

12 kering. Pada musim peralihan, MIT juga memiliki persentase selisih terkecil yang lebih besar dari Grell. Berdasarkan sebaran selisih curah hujan kedua model terhadap observasi, skema MIT memiliki hasil pendugaan yang lebih baik karena luasan wilayah dengan tingkat keakuratan tinggi (-250 sampai 250) lebih besar dari skema Grell, yaitu 38% dari 2125 piksel untuk rata-rata keempat musim. Jumlah piksel dengan selang selisih terkecil pada hasil curah hujan musiman Grell untuk rata-rata keempat musim adalah 26% dari 2125 piksel. Daerah pendugaan yang mempunyai keakuratan tertinggi pada MIT antara lain, bagian Barat Kalimantan, pantai Barat dan Timur Sumatra, bagian tengah Papua, dan beberapa daerah di Jawa. Sedangkan pada Grell, tersebar di daerah pesisir Sumatra, Kalimantan, bagian Utara Sulawesi, bagian Selatan Papua, dan beberapa daerah di Jawa dan Maluku. Skema MIT model iklim regional RegCM4 menduga curah hujan dengan lebih baik pada musim kering (JJA) dibandingkan musim lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh persentase piksel dengan keakuratan tertinggi yaitu selang -250 mm sampai 250 mm mempunyai nilai yang paling besar diantara musim lainnya, yaitu 43%. Sedangkan untuk skema Grell, persentase terbesar untuk keakuratan tertinggi pada musim basah (DJF), diikuti oleh musim kering (JJA). 4.1.1 Analisis Pola Curah Hujan Bulanan Pada Tiga Tipe Hujan Pola musiman curah hujan memperlihatkan fluktuasi curah hujan dari bulan ke bulan. Fluktuasi tersebut berbeda-beda antar wilayah berdasarkan tinggi rendahnya curah hujan pada bulan-bulan tertentu. Indonesia mempunyai 3 jenis pola curah hujan, yaitu pola monsunal, ekuatorial, dan lokal. Wilayah yang memiliki pola curah hujan monsunal adalah wilayah yang fluktuasi curah hujan bulanannya sangat dipengaruhi oleh monsun, misalnya daerah-daerah di Jawa, Kalimantan bagian Selatan, pantai Timur Sumatra, dan Nusa Tenggara (daerah berwarna kuning pada Gambar 8). Wilayah ekuatorial misalnya pada Kalimantan bagian Utara, pantai Barat Sumatra, Sulawesi, dan sebagian besar Papua (daerah berwarna hijau pada Gambar 8). Sedangkan yang memiliki pola lokal adalah wilayah-wilayah dengan fluktuasi curah hujan yang unik, sangat berbeda dengan pola monsunal maupun ekuatorial. Wilayah tipe curah hujan lokal diantaranya Pulau-pulau Arafuru, Maluku, dan Sorong (daerah berwarna merah atau coklat pada Gambar 8). Analisis pola musiman curah hujan mengambil 3 stasiun yang mewakili masingmasing tipe curah hujan. Ketiga stasiun tersebut Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng (6 7 LS dan 106 39 BT) mewakili tipe monsunal, Stasiun Pontianak (3 5 LS dan 109 23 BT) mewakili tipe ekuatorial, dan stasiun Ternate (0 50 LS dan 127 25 BT) mewakili tipe lokal. Analisis dilakukan dengan membanding-kan pola curah hujan bulanan tahun 1998 dan 1999 hasil model (MIT dan Grell) dengan pola musiman curah hujan. Perbandingan pola musiman curah hujan, MIT, dan Grell disajikan pada Gambar 9 untuk stasiun Cengkareng, Gambar 10 untuk stasiun Bandara Pontianak, dan Gambar 11 untuk stasiun Ternate. Pola curah hujan bulanan stasiun Cengkareng tahun 1998 dan 1999 (Gambar 9), memperlihatkan curah hujan yang tinggi setiap tahun, tidak pernah berada di bawah 50 mm per bulan. Fluktuasi curah hujan menunjukkan bahwa, pada stasiun Cengkareng curah hujan cenderung tinggi pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Curah hujan rendah pada bulan April sampai Agustus, terlihat pada time series tahun 1999. Penurunan curah hujan [ada pertengahan tahun juga diperlihatkan pada time series tahun 1998, walaupun tidak sejelas pada tahun 1999. Pola curah hujan bulanan stasiun Cengkareng sesuai dengan pola monsunal yang diwakilinya, yaitu tinggi pada awal dan akhir tahun dan rendah pada pertengahan tahun. Tabel 2 Hasil Analisis Statistik Time Series Curah Hujan Bulanan Hasil Model terhadap pada Stasiun Cengkareng, Pontianak, dan Ternate Stasiun MIT- Grell- Cengkareng Pontianak Ternate Korelasi 0.14 0.22 0.09 P-Value 0.52 0.30 0.68 RMSE 165 163 172 St. Dev 27880 45703 48206 Korelasi 0.38 0.46 0.23 P-Value 0.07 0.03 0.28 RMSE 170 200 179 St. Dev 26677 40638 26849 Nilai curah hujan bulanan hasil model (MIT dan Grell) lebih rendah dari curah hujan di seluruh bulan pada tahun 1998 dan 1999 untuk stasiun Cengkareng. Fluktuasi nilai curah hujan hasil model juga tidak dapat mengikuti fluktuasi curah hujan.

13 Kedua hasil model memperlihatkan curah hujan yang rendah pada awal tahun 1998, kemudian meningkat. Kurva MIT mampu mengikuti sinyal curah hujan tinggi pada bulan Oktober 1998 dan fluktuasi curah hujan bulan Mei sampai September 1999. Sementara itu, kurva Grell mampu menangkap sinyal curah hujan tinggi pada bulan Januari 1999 dan mampu mengikuti fluktuasi curah hujan bulan Februari sampai Juni 1999. Hasil analisis statistik (Tabel 2) menujukkan bahwa pada stasiun Cengkareng, Grell memiliki korelasi terhadap yang lebih tinggi dibandingkan MIT dan mempunyai P- Value yang lebih rendah (lebih nyata). Grell lebih mampu menggambarkan karakteristik curah hujan monsunal dibandingkan MIT. MIT yang biasanya menduga curah hujan lebih tinggi, menghasilkan pendugaan curah hujan yang lebih rendah dari observasi pada stasiun Cengkareng. Hal ini disebabkan oleh topografi dari lokasi stasiun Cengkareng yang merupakan daerah pesisir. MIT yang sangat sensitif terhadap topografi, menghasilkan pendugaan curah hujan yang rendah pada daerah pesisir pantai dan dataran rendah. Gambar 8 Pola Curah Hujan di Indonesia (Sumber: http://www.bmkg.go.id) Gambar 9 Pola Curah Hujan Bulanan (mm), MIT, dan Grell Stasiun Cengkareng

14 Gambar 10 Pola Curah Hujan Bulanan (mm), MIT, dan Grell Stasiun Pontianak Gambar 11 Pola Curah Hujan Bulanan (mm), MIT, dan Grell Stasiun Ternate Pola curah hujan stasiun observasi Pontianak yang mewakili tipe curah hujan ekuatorial menunjukkan nilai curah hujan yang hampir sama tingginya sepanjang tahun, tidak terdapat fluktuasi yang signifikan. Nilai curah hujan tahun 1998 dan 1999 di atas 100 mm untuk setiap bulannya. Pola kurva tersebut sesuai dengan karakteristik curah hujan ekuatorial, yaitu hampir sama tingginya sepanjang tahun. Hasil curah hujan bulanan MIT dan Grell tidak memeperlihatkan pola yang seperti pola curah hujan. MIT menduga curah hujan jauh lebih tinggi pada bulan Oktober 1998 ketika kurva curah hujan mengalami penurunan. Hasil curah hujan MIT juga menunjukkan fluktuasi yang signifikan dengan rentang perbedaan curah hujan yang tinggi dari bulan ke bulan. Walaupun tidak terlalu mirip, kurva curah hujan Grell mampu mengikuti fluktuasi kurva curah hujan. Analisis statistik memperlihatkan bahwa, Grell mempunyai korelasi yang lebih tinggi terhadap dibandingkan MIT terhadap (Tabel 2)dap pada tipe curah hujan ekuatorial. Selain itu, P-Value Grell- lebih rendah. Pada stasiun Ternate yang mewakili tipe lokal, nilai curah hujan tertinggi yaitu pada bulan Januari 1999. Curah hujan hampir merata sepanjang tahun dan tidak terdapat perbedaan peningkatan dan penurunan yang signifikan, kecuali pada bulan Januari dan Februari 1999. Pola curah hujan yang ditunjukkan sesuai dengan pola curah hujan lokal, yaitu berbeda dari tipe monsunal maupun ekuatorial. Hasil analisis statistik untuk kesesuaian curah hujan bulanan hasil model MIT dan Grell terhadap memperlihatkan bahwa, kurva Grell lebih mampu mengikuti fluktuasi kurva, dibuktikan dengan nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan MIT terhadap (Tabel 2). Namun, keduanya mempunyai P- Value yang tidak nyata. Berdasarkan hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa baik MIT

15 maupun Grell tidak mampu menggambarkan karakteristik curah hujan lokal stasiun Ternate. Berdasarkan analisis ketiga daerah yang dibandingkan untuk mewakili masing-masing pola tipe curah hujan di Indonesia, skema Grell lebih mendekati pola observasi dibandingkan MIT pada 2 tipe curah hujan (monsunal dan ekuatorial). Analisis pola bulanan curah hujan selama 2 tahun (1998 dan 1999) menunjukkan bahwa, skema Grell lebih merepresentasikan pola curah hujan bulanan untuk masing-masing wilayah di Indonesia menurut tiga tipe curah hujan, ditunjukkan oleh nilai korelasi yang tinggi. Akan tetapi nilai RMSE Grell lebih tinggi yang memperlihatkan hasil simulasi Grell yang cenderung lebih rendah dibanding-kan data observasi dan hasil simulasi MIT. 4.2. Analisis Keragaman Intra-musiman Curah Hujan Hasil Model Analisis keragaman intra-musiman curah hujan dilihat melalui kasus MJO. MJO adalah osilasi atau siklus aliran massa udara yang berulang setiap 30 sampai 60 hari, bahkan mencapai 90 hari yang terjadi di wilayah tropis. Fenomena MJO mempengaruhi anomali curah hujan yang lebih tinggi dari normal. Uap air yang dibawa aliran massa udara MJO meningkatkan keawanan di wilayah yang dilaluinya. Terjadinya MJO dapat dilihat dari nilai indeks RMM 1 dan 2 yang tanggal kejadian dan wilayah fasenya dapat dijelaskan dengan roadmap MJO. Selama tahun 1998 dan 1999, MJO di Indonesia, yaitu pada fase 4 dan 5 kuat pada bulan Mei, September, Oktober, dan November tahun 1998, Januari, April, dan November tahun 1999 (Lampiran 3). Untuk mendeteksi adanya sinyal MJO pada time series curah hujan model, terlebih dahulu digunakan data curah hujan observasi sebagai pembanding untuk nilai indeks RMM 1. Indeks RMM yang digunakan sebagai pembanding pada analisis korelasi hanya RMM 1, karena MJO di Indonesia terjadi ketika RMM 1 bernilai positif, sedangkan RMM 2 menentukan wilayah kejadian MJO untuk fase 4 atau 5. Korelasi antara kejadian MJO dan peningkatan curah hujan diasumsikan sebagai korelasi spontan, artinya ketika terjadi MJO seketika itu terjadi peningkatan curah hujan. Tidak terdapat lag antara fenomena MJO dan anomali curah hujan, karena pengaruh dari MJO adalah adanya peningkatan keawanan pada wilayah yang dilaluinya. Time series diwakili oleh nilai komponen utama (PC). Komponen utama keempat (PC 4) dari 5 komponen utama yang dibuat memiliki nilai korelasi yang paling tinggi terhadap indeks RMM 1 (Tabel 3). Berdasarkan hasil analisis statistik tersebut, pola data RMM 1 dapat direpresentasikan oleh PC 4 yang mewakili 16.5% keragaman curah hujan di Indonesia (Gambar 12). RMM 1 positif digunakan untuk menjelaskan kemungkinan lokasi MJO pada fase 4 dan 5 yang meliputi wilayah Indonesia di bagian Barat dan Timur. Tabel 3 Hasil Analisis Statistik PC dengan Indeks RMM 1 Indeks MJO PC 1 PC 2 PC 3 PC 4 PC 5 Korelasi 0.12 0.14 0.00 0.37-0.30 RMM 1 P-Value 0.00 0.00 0.97 0.00 0.00 RMSE 1.32 1.31 1.41 1.12 1.61 Std.Dev 2.44 2.26 3.06 2.29 3.64 Gambar 12 Persentase Keragaman PCA Ilustrasi kurva perbandingan indeks RMM dengan PC4 dapat dilihat pada Gambar 13. Tanda lingkaran menunjukkan kecocokan antara kurva PC4 dengan indeks RMM 1 dan 2 yang menunjukkan adanya sinyal MJO. Nilai RMM 1 positif, dan RMM 2 positif atau negatif. Nilai curah hujan tinggi pada tanggal-tanggal tersebut dan kurva curah hujan dapat mengikuti naik turunnya siklus MJO. Tabel 4 Hasil Analisis Statistik PC MIT dan Grell dengan PC 4 PC4 PC 1 PC 2 MIT PC 3 PC 4 PC 5 Korelasi 0.44 0.30 0.37 0.37 0.35 P-Value 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 RMSE 1.06 1.19 1.12 1.12 1.14 Std.Dev 1.67 1.79 1.67 1.77 2.46 Grell PC 1 PC 2 PC 3 PC 4 PC 5 Korelasi 0.48 0.08 0.12 0.57 0.24 P-Value 0.00 0.06 0.00 0.00 0.00 RMSE 1.72 1.47 1.50 0.93 1.24 Std.Dev 3.41 4.17 3.19 1.36 2.06

16 Gambar 13 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 4 Gambar 14 Hasil Plot PC 4 dengan PC 1 MIT Gambar 15 Hasil Plot PC 4 dengan PC 4 Grell (a) (b) Gambar 16 Persentase Keragaman PCA MIT (a) dan Grell (b) Selanjutnya PC 4 digunakan sebagai pembanding PC MIT dan Grell untuk mendeteksi sinyal MJO. Pada skema MIT, MJO dapat dideteksi dengan baik oleh PC 1, sedangkan pada skema Grell pada PC 4 karena mempunyai korelasi yang tinggi terhadap PC 4 (Tabel 4). Oleh karena itu, PC 1 MIT dan PC 4 Grell yang digunakan di dalam analisis MJO.

17 Kurva perbandingan PC4 dengan PC 1 MIT dan PC 4 Grell dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15. Pola time series MIT mampu mengikuti fluktuasi kurva pada bulan-bulan peralihan dan bulan-bulan kering, tetapi tidak dapat menangkap curah hujan yang tinggi pada bulan basah (bulan November sampai Januari 1999), ditandai dengan lingkaran terputus. Sedangkan time series Grell mampu menangkap curah hujan tinggi pada bulan-bulan basah. Kedua kurva time series MIT dan Grell dapat mengikuti pola fluktuasi kurva dan dapat mendeteksi adanya sinyal MJO ditandai dengan nilai curah hujan yang tinggi pada saat kejadian MJO. Skema MIT lebih dominan dalam merepresentasikan keragaman curah hujan intramusiman dilihat dari besarnya nilai persentase keragaman PCA MIT yang lebih tinggi dibandingkan PCA Grell (Gambar 16). MIT pada PC 1 dapat merepresentasikan 29,8% keragaman intramusiman curah hujan, sedangkan Grell pada PC 5 dapat menggambarkan 10.7% keragaman curah hujan intramusiman. 4.2.1 Analisis MJO Fase 4 dan 5 Selain fase MJO untuk keseluruhan wilayah di Indonesia, juga dianalisis untuk masing-masing fase, yaitu fase 4 fase 5. Pembagian fase 4 dan 5 ini dengan membagi dua meridional wilayah Indonesia, bagian Barat (95 BT sampai 118 BT) dan Timur (118 BT sampai 141 BT). Komponen utama dibuat masing-masing untuk MJO fase 4, yaitu menggunakan data pada wilayah Indonesia Barat, kemudian untuk MJO fase 5 menggunakan data pada wilayah Indonesia Timur. Analisis dilakukan untuk masing-masing wilayah fase MJO 4 dan 5 secara terpisah. Pada analisis fase 4 dan 5 MJO, RMM 2 juga digunakan sebagai pembanding terhadap PC. RMM 2 menjelaskan kejadian MJO pada fase 4 atau 5. Fase 4 MJO terjadi apabila indeks RMM 1 bernilai positif dan indeks RMM 2 bernilai negatif. Hasil analisis statistik untuk MJO fase 4 menunjukkan bahwa PC 2 dapat merepresentasikan kejadian MJO, karena memiliki nilai korelasi yang cukup tinggi, terhadap indeks RMM 1 dan RMM 2 (Tabel 5). PC 2 dapat menjelaskan 21.3% keragaman curah hujan (Gambar 17). Plot indeks RMM 1, RMM 2 dan PC 2 dapat dilihat pada Gambar 19. Kejadian MJO fase 4 misalnya ditunjukkan oleh lingkaran terputus pada akhir bulan Juni 1998. Kurva memperlihatkan bahwa pada saat tersebut, indeks RMM 1 bernilai positif dan indeks RMM 2 bernilai negatif. Kurva curah hujan tinggi, menunjukkan adanya peningkatan jumlah curah hujan oleh pengaruh MJO pada bulan Juni yang seharusnya memiliki curah hujan rendah. Tabel 5 Hasil Analisis Statistik PC dengan Indeks RMM 1 Pada MJO Fase 4 Indeks MJO PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi -0.04 0.31-0.09-0.33-0.25 RMM1 P-Value 0.37 0.00 0.02 0.00 0.00 RMSE 1.44 1.17 1.48 1.63 1.58 St. Dev 2.44 2.47 3.35 2.93 3.03 Korelasi -0.47 0.18 0.17 0.01-0.16 RMM2 P-Value 0.00 0.00 0.00 0.75 0.00 RMSE 1.71 1.28 1.29 1.40 1.52 St. Dev 3.31 2.62 2.10 2.38 2.61 Gambar 17 Persentase Keragaman PCA Pada MJO Fase 4 Tabel 6 Hasil Analisis Statistik PC 2 dengan PC MIT dan Grell Pada MJO Fase 4 PC2 MIT PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi 0.47-0.16 0.18 0.35 0.08 P-Value 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 RMSE 1.03 1.52 1.28 1.14 1.36 St. Dev 1.54 2.46 1.97 1.62 2.65 Grell PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi -0.03 0.29-0.03 0.12-0.28 P-Value 0.40 0.00 0.50 0.00 0.00 RMSE 1.44 1.60 1.43 1.33 1.60 St. Dev 5.11 3.07 2.44 2.51 4.58 MJO fase 4 pada skema MIT dan Grell, dapat dideteksi dengan baik oleh PC 1 MIT dan PC 2 Grell, berdasarkan kesesuaiannya dengan PC 2 (Tabel 6). Plot kurva PC 1 MIT dan PC 2 Grell dengan PC 2 pada MJO fase 4 disajikan pada Lampiran 10. PC 1 MIT lebih dominan dalam menjelaskan keragaman curah hujan intra-musiman, karena dapat menjelaskan 36% keragaman curah hujan intramusiman pada time series PCA nya, sedangkan PC 2 Grell dapat menjelaskan 20.7% keragaman curah hujan intra musiman (Lampiran 11).

18 Tabel 7 Hasil Analisis Statistik PC dengan Indeks RMM 1 Pada MJO Fase 5 Indeks MJO PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi 0.16-0.28 0.21 0.33-0.07 RMM1 P-Value 0.00 0.00 0.00 0.00 0.10 RMSE 1.29 1.60 1.25 1.63 1.46 St. Dev 2.75 3.86 2.30 3.53 2.91 Korelasi -0.16 0.04 0.17 0.15 0.04 RMM2 P-Value 0.00 0.32 0.00 0.00 0.35 RMSE 1.52 1.38 1.29 1.52 1.39 St. Dev 2.73 3.02 2.45 3.01 2.83 Gambar 18 Persentase Keragaman PCA Pada MJO Fase 5 Tabel 8 Hasil Analisis Statistik PC 4 dengan PC MIT dan Grell Pada MJO Fase 5 PC4 MIT PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi 0.54-0.06 0.17 0.24 0.38 P-Value 0.00 0.16 0.00 0.00 0.00 RMSE 1.75 1.45 1.29 1.23 1.12 St. Dev 4.58 3.17 3.33 2.54 2.06 Grell PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi 0.09-0.14 0.47-0.01 0.21 P-Value 0.03 0.00 0.00 0.77 0.00 RMSE 1.35 1.51 1.03 1.42 1.26 St. Dev 2.94 5.36 1.75 3.17 2.61 MJO fase 5 ditunjukkan oleh nilai indeks RMM 1 positif dan indeks RMM 2 positif. Pada MJO fase 5 yaitu wilayah Indonesia bagian tengah sampai ujung Timur, MJO dapat direpresentasikan oleh PC 4 karena memiliki nilai korelasi yang tinggi terhadap indeks RMM 1 dan 2 (Tabel 7). PC 4 mampu menjelaskan 14.1% keragaman curah hujan intra-musiman pada fase 5 MJO (Gambar 18). Plot indeks RMM dan PC 4 dapat dilihat pada Gambar 20. PC 4 selanjutnya digunakan sebagai referensi untuk PC MIT dan Grell dalam kesesuaiannya menangkap sinyal MJO. PC 5 MIT dapat dengan baik menangkap sinyal MJO, dilihat dari nilai korelasinya yang tinggi terhadap PC 4 dibandingkan PC MIT lainnya. Sedangkan pada skema Grell, PC 3 yang paling sesuai dengan PC 4 (Tabel 8). Kejadian MJO fase 5 pada Gambar 20 ditunjukkan oleh lingkaran terputus. Nilai curah hujan observasi meningkat ketika terjadi MJO, yaitu indeks RMM 1 positif dan indeks RMM 2 positif, seperti pada bulan April tahun 1998, bulan Februari, dan bulan Agustus tahun 1999. Keawanan meningkat di bagian Timur Indonesia karena penambahan uap air yang dibawa oleh aliran massa udara MJO, sehingga meningkatkan jumlah presipitasi yang terjadi. Plot PC 4 dengan PC 1 MIT dan PC 3 Grell diperlihatkan pada Lampiran 12. Hasil curah hujan model MIT dan Grell mampu mengikuti fluktuasi curah hujan observasi. Namun, pada time series PC 4 tahun 1999 yang mempunyai simpangan tinggi-rendah curah hujan yang cukup besar, kurang dapat diikuti oleh MIT maupun Grell. Gambar 19 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 2 Pada MJO Fase 4

19 Gambar 20 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 4 Pada MJO Fase 5 PC 1 MIT yang mewakili MJO fase 5, mampu menjelaskan 35.2% keragaman curah hujan intra-musiman. Sementara itu, PC 3 Grell mampu menjelaskan 10% keragaman curah hujan intra-musiman pada fase 5 MJO (Lampiran 13). Berdasarkan hasil analisis fase 4 dan 5 MJO, MIT dianggap lebih dominan menggambarkan keragaman curah hujan intramusiman di Indonesia dibanding Grell dilihat dari persentase keragaman PC yang lebih tinggi. 4.2.2 Analisis Sebaran Komposit Curah Hujan Fase 4 dan 5 MJO Selain analisis kesesuaian time series curah hujan MIT dan Grell terhadap indeks RMM, untuk mengetahui kemampuan model menggambarkan keragaman curah hujan intramusiman, yaitu kasus MJO, juga dilakukan analisis sebaran komposit curah hujan. Analisis dilakukan menggunakan peta komposit yang dibuat dari rata-rata curah hujan harian pada fase kejadian MJO. seperti yang telah dilakukan oleh Hidayat dan Kizu (2010) mengenai pengaruh MJO di Indonesia pada musim hujan. Peta sebaran komposit curah hujan memperlihatkan sebaran curah hujan pada tiaptiap fase MJO. Nilai curah hujan tinggi dan terpusat pada wilayah fase MJO. Komposit curah hujan dibuat dengan merata-ratakan curah hujan pada saat terjadinya fase MJO yang dilihat dari roadmap MJO (Tabel 9). Ketika MJO berada pada fase 4, anomali angin zonal terpusat pada bagian Barat Indonesia, sehingga kewanan cenderung tinggi diikuti dengan curah hujan yang juga tinggi. Sementara itu, ketika terjadi fase 5 MJO, maka curah hujan cenderung tinggi dan terpusat di bagian Timur Indonesia. Tabel 9 Tanggal Kejadian Fase MJO di Indonesia Tahun 1998 dan 1999 Fase MJO di Indonesia 4 5 13-16 Apr 16-24 Mei 10-15 Mei 1-8 Okt 1998 6-10 Jun 9-15 Nov 20-30 Sep 10-12 Des 24-25 Jan 26-28 Jan 12-15 Apr 31 Okt 1999 21-22 Jul 1-5 Nov 27-30 Okt 10-16 Des 1-9 Des

Gambar 21 Sebaran Curah Hujan Komposit, MIT, dan Grell Pada MJO Fase 4 20