BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kerja dengan alokasi anggaran yang tersedia. Kinerja merupakan. organisasi (Nugroho dan Rohman, 2012: 1). Kinerja menurut Peraturan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 telah menimbulkan tuntutan yang

BAB I PENDAHULUAN. melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru.

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung

BAB I PENDAHULUAN. prinsip keterbukaan, keadilan, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. pada potensi daerah dengan sumber daya yang berbeda-beda. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintah daerah sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah. Untuk

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara,

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang cakupannya lebih sempit. Pemerintahan Provinsi Jawa Barat adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anggaran merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu organisasi.

EVALUASI KINERJA PEMERINTAH DAERAH DALAM MENERAPKAN OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI ASPEK KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan ekonomi untuk daerah maupun kebijakan ekonomi untuk pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. satunya perbaikan terhadap pengelolaan keuangan pada instansi-instansi pemerintah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menegaskan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing. Tujuan

BAB III Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan

3.2. Kebijakan Pengelolalan Keuangan Periode

BAB 1 PENDAHULUAN. roda pemerintah yang sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. 2004, manajemen keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Badung mengalami

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan-tujuan. Kinerja terbagi dua jenis yaitu kinerja tugas merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya

BAB 5 BAB V SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan regulasi dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

I. PENDAHULUAN. Belanja Daerah (APBD). Dampak dari sistem Orde Baru menyebabkan. pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Transformasi sistem pemerintahan dari sentralisasi ke dalam desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan desentraliasasi fiskal, Indonesia menganut sistem pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. besarnya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dimana

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah otonom sesuai dengan

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan hasil kesimpulan dapat disimpulkan bahwa : 2. Pengeluaran (belanja) Kabupaten Manggarai tahun anggaran 2010-

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UMB DADAN ANUGRAH S.SOS, MSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh peran dan kinerja

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu proses yang memerlukan transformasi paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan mengelolah daerahnya dengan tetap memperhatikan aspirasi masyarakat di daerah. Untuk mendukung kesuksesan otonomi daerah, pemerintah telah mengeluarkan perangkat perundang-undangan yaitu Undang-Undang NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang NO. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut Sipahutar (2013) otonomi daerah mengatur kebijakan pengelolaan Keuangan Negara yang semula sentralistik menjadi desentralisasi. Desentralisasi Fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja daerah yang luas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat ke daerah. Amanat itu tertuang dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah. Desentralisasi fiskal diarahkan untuk mewujudkan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan dan akuntabel melalui

instrumen yang terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU) untuk mengurangi horizontal imbalance, Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dana Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Kebutuhan pendanaan daerah diukur secara berturut-turut dari jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, produk domestik regional bruto per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Akuntabilitas publik adalah kewajiban agen pemerintah untuk mengelolah sumber daya, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang berkaitan dengan pengguna sumber daya publik kepada pemberi mandat (Mahmudi, 2010:23). Peraturan Pemerintah No.58 tahun 2005 tentang Pengelola Keuangan Daerah, dimana kebijakan pengelolaan keuangan daerah mempunyai sasaran agar pengeluaran pemerintah dapat teridentifikasi dengan jelas dan terukur mengenai sesuatu yang ingin dicapai dalam satu tahun anggaran. Lahirnya Permendagri No.13 Tahun 2006 yang kemudian disempurnakan dengan Permendagri No.59 Tahun 2007, pasal 36 bahwa belanja menurut kelompok belanja terdiri atas belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan meliputi belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah,

belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada provinsi/kabupaten dan pemerintah desa, belanja bantuan keuangan kepada provinsi/kabupaten dan pemerintah desa, belanja tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal. Belanja menurut PP No.24 Tahun 2005, adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum negara/daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Menurut Widodo (2011) anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas, efisiensi, dan efektifitas pemerintah daerah. Anggaran daerah seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan, pengeluaran, dan pembiayaan, alat bantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, alat otoritas pengeluaran di masa yang akan datang, ukuran standar untuk evaluasi kinerja serta alat koordinasi bagi semua aktivitas di berbagai unit kerja. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Anggaran adalah alat bagi Pemerintah daerah untuk mengarahkan dan menjamin kesinambungan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Anggarini dan Puranta, 2010). Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan

karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade offs. Kinerja anggaran pemerintah daerah selalu dikaitkan dengan bagaimana sebuah unit kerja pemerintah daerah dapat mencapai tujuan kerja dengan alokasi anggaran yang tersedia. Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang telah direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi (Nugroho dan Rohman, 2012). Kinerja menurut Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungandengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manajer dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Akuntabilitas bukan sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan, akan tetapi meliputi kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efisien, dan efektif. Pengukuran kinerja suatu instansi pemerintah lebih ditekankan pada kemampuan instansi pemerintah dalam menyerap anggaran. Dengan kata lain, suatu instansi dinyatakan berhasil jika dapat menyerap 100% (seratus persen) anggaran pemerintah, meskipun hasil hasil serta dampak yang dicapai dari pelaksanaan program tersebut masih berada jauh di bawah standar (ukuran mutu) (Mahsun, 2006). Untuk menyusun anggaran daerah dengan pendekatan kinerja diperlukan tolak ukur kinerja setiap unit kinerja yang kemudian diterjemahkan melalui berbagai program dan kegiatan yang dapat ditentukan satuan ukur dan target kinerja serta analisis standar belanja (ASB). Analisa Standar Belanja (ASB) (Anggarini dan

Puranto, 2010) merupakan standar atau pedoman yang dipergunakan untuk menganalisis kewajaran beban kerja atau setiap program atau kegiatan yang akan dilaksanakan oleh setiap SKPD dalam satu tahun anggaran. ASB adalah pendekatan yang digunakan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang mempunyai tujuan untuk mengevaluasi usulan program, kegiatan dan anggaran setiap SKPD dengan cara menganalisis beban kerja dan biaya dari usulan program atau kegiatan yang bersangkutan dalam setiap SKPD. Beban kerja dan biaya merupakan dua komponen yang tidak terpisahkan dalam penilaian kewajaran pembebanan belanja. Upaya mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat yang merupakan cita-cita pembangunan nasional didasarkan pada kebutuhan masyarakat yang terus menerus mengalami perubahan. Untuk mencapainya tentu membutuhkan perencanaan pembangunan yang membutuhkan keterlibatan semua pihak dalam perencanaan, pelaksanaann, evaluasi hingga pengawasan dan pertanggungjawabannya. Dalam pelaksanaan pembangunan yang berkualitas dan bertanggungjawab diperlukan pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan seluruh stakeholder dalam masyarakat yang kini sedang dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif. Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottomup approach).

Nampaknya mudah dan indah kedengarannya, tetapi jelas tidak mudah implementasinya karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, termasuk bagaimana sosialisasi konsep itu di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian, perencanaan pembangunan yang melibatkan semua unsur / komponen yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan ras, golongan, agama, status sosial dan pendidikan tersebut paling tidak merupakan langkah positif yang patut untuk dicermati dan dikembangkan secara berkesinambungan baik dalam tataran wacana pemikiran maupun dalam tataran implementasinya di tengah-tengah masyarakat. Hal ini merupakan pendekatan baru dalam perencanaan pembangunan yang membedakan dengan pola-pola pendekatan perencanaan pembangunan sebelumnya yang cenderung sentralistik. Dengan otonomi daerah yang luas serta dengan kewenangan yang di miliki oleh masing-masing daerah otonom, maka diperlukan pemahaman untuk dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang nyata dan bertanggungjawab. Salah satu upaya nyata yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melalui intervensi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang mana di dalam APBD diharapkan dapat tercantum keseluruhan kebutuhan masyarakat yang dampaknya akan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Disamping pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut diharapkan bahwa dengan pendekatan anggaran yang ada di dalam APBD dapat pula meningkatkan pelayanan publik terutama yang berkaitan dengan peningkatan sumber-sumber pendapatan dan pemberdayaan masyarakat. Untuk itu

akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah sangat diperlukan untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang kuat, bersih dan bertanggungjawab. Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang ekonomis, efisien dan efektif, pemerintah daerah perlu menerapkan prinsip-prinsip manajemen belanja daerah secara cermat, konsisten dan berkelanjutan. Untuk itu optimalisasi pengelolaan keuangan daerah harus memperhatikan aspek pendapatan dan pengeluaran, tetapi tidak mengesampingkan tata kelola belanja daerah sebab mengeluarkan uang jauh lebih muda dibandingkan memperolehnya. Dalam kondisi tertentu seringkali menghemat anggaran lebih sulit dibandingkan mengejar target pendapatan. Disamping itu, pada umumnya korupsi lebih banyak terjadi pada aspek pengeluaran, seperti pada belanja pengadaan barang dan jasa dan belanja modal. Karena sifat pengeluaran yang mudah dilakukan dan rawan terhadap praktek korupsi, maka untuk mengurangi pemborosan anggaran, penyelewengan dan korupsi anggaran, pemerintah daerah perlu memperkuat manajemen belanja daerah. Hal ini penting karena manajemen belanja tidak sekedar terkait masalah teknis bagaimana menghemat pengeluaran tetapi juga terkait dengan strategi dan kebijakan mengalokasikan anggaran secara efisien, efektif, adil dan merata. Karena belanja memainkan posisi kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah serta dalam upaya mencapai efisiensi dan efektifitas pengeluaran, maka diperlukan perencanaan dan evaluasi serta pengawasan yang kontinu sehingga keseluruhan pelaksanaan anggaran belanja daerah dapat berjalan

sebagaimana mestinya yakni selain sesuai dengan amanat peraturan perundangundangan juga sejalan dengan standarisasi pengelolaan keuangan negara. Seperti kita ketahui bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan alat atau wadah untuk menampung berbagai kepentingan publik yang diwujudkan melalui berbagai program dan kegiatan yang ada pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah dan DPRD hendaknya selalu berupaya secara nyata dan terstruktur untuk menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat atas dasar potensi daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasikan pada akuntabilitas publik. Untuk mencapai efektifitas dan efisiensi pengelolaan keuangan daerah, maka diperlukan analisis yang mendalam dengan input data dan informasi yang akurat sehingga penyelenggaran kegiatan belanja menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Ende yang merupakan dinas teknis yang menyelenggarakan kegiatan di bidang pertanian dan peternakan dalam pelaksanaan fungsinya juga melaksanakan kegiatan belanja dalam bentuk program dan kegiatan. Sebagai dinas teknis yang menyelenggarakan sektor unggulan daerah tentunya melakukan tindakan belanja berkaitan dengan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Tindakan belanja yang dilakukan baik itu belanja langsung maupun tidak langsung selalu mengacu pada rencana kerja pembangunan daerah yang penyusunanya menggunakan indikator yang realisitis dan memanfaatkan segala sumber daya dan potensi yang ada di daerah.

Seperti diketahui bahwa terdapat jenis belanja langsung dan belanja tidak langsung. Jenis belanja langsung dapat diukur dengan hasil dari suatu program dan kegiatan yang dianggarkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian keluaran dan hasil seperti belanja pegawai untuk membayar honorarium/upah kerja, belanja barang dan jasa dan belanja modal. Jenis belanja tidak langsung dapat diukur dengan keluaran dan hasil yang diharapkan dari suatu program dan kegiatan seperti belanja pegawai untuk membayar gaji dan tunjangan PNS, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Belanja tidak langsung adalah belanja yang dianggarkan terkait secara tidak langsung dengan pelaksanaan progran dan kegiatan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Ende yang menyelenggarakan fungsi-fungsi dibidang pertanian, dan peternakan tentunya dalam pelaksanaan fungsinya juga melakukan tindakan belanja yang berimplikasi pada upaya meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan daerah. Karena dengan dilakukan analisis yang mendalam berkaitan dengan tindakan belanja, maka diharapkan upaya pemerintah daerah untuk mengembangkan produk unggulan daerah dengan mengedepankan akuntabilitas dalam pengelolaannya akan dapat dicapai secara cermat. Analisis belanja daerah sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi apakah pemerintah daerah telah menggunakan APBD secara ekonomis, efisien dan efektif (value for money), sejauh mana pemerintah daerah telah melakukan efisiensi anggaran, menghindari pengeluaran yang tidak perlu dan pengeluaran

yang tidak tepat sasaran. Dengan digunakannya sistem penganggaran berbasis kinerja, maka semangat untuk melakukan efisiensi atas setiap belanja mutlak harus tertanam dalam setiap dinas teknis yang menyelenggarakan urusan wajib pemerintahan. Pemerintah tidak perlu lagi berorientasi untuk menghabiskan anggaran yang berakibat terjadinya pemborosan anggaran, tetapi hendaknya berorientasi pada out put dan out come dari anggaran. Berikut merupakan tabel Laporan Realisasi Belanja Langsung Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende:

Tabel 1.1 Laporan Realisasi Belanja Langsung APBD Menurut Urusan Pemerintahan Daerah, Organisasi Dan Kegiatan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende Tahun Anggaran 2009-2014 Tahun Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Total Belanja Langsung Anggaran Realisasi Anggaran Realisasi Anggaran Realisasi Anggaran Realisasi 2009 Rp 447.860.000 Rp 438.750.000 Rp 1.280.790.000 Rp 1.086.959.175 Rp 3.346.050.000 Rp 3.136.082.500 Rp 5.074.700.000 Rp 4.661.791.675 2010 Rp 406.735.000 Rp 356.400.000 Rp 1.688.022.750 Rp 1.649.886.972 Rp 4.616.401.250 Rp 4.127.754.200 Rp 6.711.159.000 Rp 6.134.041.172 2011 Rp 319.940.000 Rp 317.927.500 Rp 1.061.143.953 Rp 1.035.484.249 Rp 558.100.000 Rp 452.174.000 Rp 1.939.183.953 Rp 1.805.585.749 2012 Rp 424.285.000 Rp 422.520.000 Rp 6.390.899.100 Rp 5.658.848.277 Rp 1.780.543.900 Rp 1.457.407.201 Rp 8.595.728.000 Rp 7.538.775.478 2013 Rp 327.046.000 Rp 325.830.000 Rp 6.981.904.000 Rp 6.223.080.764 Rp 1.354.350.000 Rp 1.346.046.000 Rp 8.663.300.000 Rp 7.894.956.764 2014 Rp 657.866.000 Rp 606.670.000 Rp 14.093.972.331 Rp 13.171.126.929 Rp 2.335.253.886 Rp 2.244.427.000 Rp 17.087.092.217 Rp 16.022.223.929 (dalam rupiah) Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende (data diolah)

Berdasarkan tabel 1.1 dapat dilihat bahwa besarnya total belanja langsung yang dianggarkan dari tahun 2009-2014 mengalami flutuaktif. Pada tahun 2009 dianggarkan sebesar Rp 5.074.700.000, tahun 2010 dianggarkan sebesar Rp 6.711.159.000, tahun 2011 total belanja langsung yang dianggarkan menurun sebesar Rp 1.939.183.953, kemudian tahun 2012 kembali meningkat dan dianggarkan sebesar Rp 8.595.728.000, tahun 2013 dianggarkan sebesar Rp 8.663.300.000 dan kemudian ke tahun 2014 dianggarkan sebesar Rp 17.087.092.217. Oleh karena itu perlu diketahui anggaran dari masing- masing belanja langsung dan menilai belanja langsung Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Grafik 1.1 Perkembangan Anggaran Belanja Langsung Tahun 2009-2014 18,000,000,000 16,000,000,000 14,000,000,000 12,000,000,000 10,000,000,000 8,000,000,000 Anggaran Realisasi 6,000,000,000 4,000,000,000 2,000,000,000 0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis Alokasi Anggaran Belanja Langsung Pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende Tahun Anggaran 2009-2014.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Seberapa besar proporsi alokasi anggaran per jenis belanja dalam belanja langsung pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende? 2. Seberapa besar efisiensi anggaran belanja langsung pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende? 3. Seberapa besar efektivitas anggaran belanja langsung pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende? 4. Seberapa besar pertumbuhan alokasi anggaran belanja langsung pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende? 1.3. Tujuan Penelitian. 1. Untuk mengetahui proporsi alokasi anggaran per jenis belanja dalam belanja langsung pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende. 2. Untuk mengetahui efisiensi anggaran belanja langsung pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende. 3. Untuk mengetahui efektivitas anggaran belanja langsung pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende. 4. Untuk mengetahui pertumbuhan alokasi anggaran belanja langsung pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan Kabupaten Ende.

1.4. Manfaat Penelitian. 1. Bagi Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Ende sebagai bahan input dalam penggunaan anggaran belanja langsung agar lebih efektif dan efisien bahan input informasi dalam merumuskan kebijakan anggaran belanja langsung sehingga mempermudah pencapaian visi dan misi organisasi serta dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. 2. Sebagai bahan untuk menambah wawasan berpikir penulis mengenai analisis efektifitas dan efisiensi anggaran belanja langsung. 3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang hendak mengkaji persoalan yang berkaitan dengan analisis efektifitas dan efisiensi anggaran belanja langsung.