BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

Resiliensi Seorang Wanita Dalam Menghentikan Perilaku Merokok dan Minum Alkohol HELEN YOHANA SIRAIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. dalam kehidupan, mampu bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Deskripsi Tingkat Kebersyukuran Orang Tua yang Memiliki

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Shatte dan Reivich (2002) mneyebutkan bahwa resilience adalah kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB I PENDAHULUAN. Indera penglihatan merupakan salah satu potensi vital yang dimiliki manusia

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

LAMPIRAN A SKALA PENELITIAN SEBELUM UJI COBA. 1. Skala Tawakal ( I ) 2. Skala Adversity Quotient ( II )

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Remaja. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gambaran dari tujuh keterampilan yang ada dalam teori yaitu: emotion regulation,

SURVEI RASA SYUKUR MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

RESILIENSI PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI YANG TERLAMBAT MENYELESAIKAN SKRIPSI DI UNIVERSITAS X

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

BAB II KAJIANPUSTAKA. (penderitaan) lainnya (Smet, 1990 dalam Desmita, 2009).

BAB III METODE PENELITIAN. hubungan antara variabel Hubungan Resiliensi dengan Stres Kerja Anggota. Gambar 3.1. Hubungan antar Variabel

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

BAB I PENDAHULUAN. laku serta keadaan hidup pada umumnya (Daradjat, 1989). Pendapat tersebut

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

RESILIENSI PENGUNGSI KONFLIK SAMPANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II KERANGKA TEORI

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

DAFTAR PUSTAKA. Arasiana, Fenty. (2008). Resiliensi Pada TKW yang Mengalami Kekerasan Fisik dan Seksual. Retrivied From

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan anak merupakan salah satu bagian dari tujuan mencerdaskan

PEDOMAN WAWANCARA. b. Pengendalian Impuls 1. apa yang responden lakukan jika teringat pada kenikmatan melakukan ritual-ritual penggunaan narkoba

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PERTENGAHAN PASCA PUTUS CINTA DI SMAN 20 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KEBERSYUKURAN DENGAN EFIKASI DIRI PADA GURU TIDAK TETAP DI SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI. Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi kedua terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah telah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

STUDI MENGENAI RESILIENSI REMAJA DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL. Disusun Oleh. Dian Sartika Sari

BAB I PENDAHULUAN. suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas

Profil Resiliensi Kepala Keluarga yang Menjadi Korban Banjir di Desa Dayeuhkolot Kabupaten Bandung. Dyah Titi S; Detri Sefianmi; Angeria Mentari

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) (WHO), Setiap tahun jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar tujuh

BAB I PENDAHULUAN. pembeda. Berguna untuk mengatur, mengurus dan memakmurkan bumi. sebagai pribadi yang lebih dewasa dan lebih baik lagi.

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya)

BAB II KAJIAN TEORI. kurang dari 40% dari tingkat tinggi mengalami kelelahan. Didunia kerja,

MENGEMBANGKAN PRIBADI YANG TANGGUH MELALUI PENGEMBANGAN KETERAMPILAN RESILIENCE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama Program Kelas Karyawan

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA

Bab I Pendahuluan. adalah memiliki keturunan. Namun tidak semua pasangan suami istri dengan mudah

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

PROGRAM INTERVENSI BIBLIOCOUNSELING (MEMBACA BUKU, MENONTON FILM, MENDENGARKAN CERITA) UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha

HUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menerima bahwa anaknya didiagnosa mengalami autisme.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

3. METODE PENELITIAN

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tahun

Menurut Benard (1991), resiliensi memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

RESILIENSI PADA PENDERITA KANKER SERVIKS STADIUM LANJUT NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB II LANDASAN TEORI

juga kelebihan yang dimiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebahagiaan dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama, subjective wellbeing

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia memberikan dampak yang

BAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II LANDASAN TEORI. trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich &

SELF CONTROL Dr D a r. R a R ha h y a u u G i G ni n nt n asa s si s, M. M Si

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Resiliensi 2.1.1. Definisi resiliensi Definisi resiliensi masih menjadi perdebatan oleh para ahli. Banyak ahli yang memandang definisi resiliensi sebagai suatu proses, atau sebagai sifat individu, atau sebagai dinamika proses perkembangan, atau suatu hasil atau kumpulan dari semua yang telah dikemukakan (Reich, Zautra, & Hall, 2010). Secara umum resiliensi merupakan suatu proses yang dinamis dalam beradaptasi saat menghadapi kemalangan (Luthar, Cicchetti, Becker, 2000 ; Resnick, Gwyther, & Roberto 2011). Reich dkk (2010) memandang resiliensi sebagai suatu hasil dari penyesuian yang baik terhadap kemalangan. Resiliensi bersifat universal namun setiap manusia memiliki kapasitas resiliensi yang berbeda-beda. Situasi lingkungan juga mempengaruhi untuk meningkatkan atau justru memperlemah resiliensi untuk menghadapi tekanan (Gallo, Bogart, Vranceanu & Matthews, 2005 ; Reich dkk 2010). Menurut Ong (2006) resiliensi adalah keberhasilan menyesuaikan diri terhadap tekanan yang terjadi. Penyesuaian diri menggambarkan kapasitas untuk membangun hasil positif dalam peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.

Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi ketika keadaan menjadi tidak pasti. Setiap orang membutuhkan resiliensi karena kemalangan termasuk dalam proses kehidupan. Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk memberikan respon dengan cara yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan penderitaan atau trauma, yang mana kemampuan tersebut sangat penting untuk mengelola tekanan dalam kehidupan sehari-hari. Resiliensi merupakan hal yang penting saat harus mengambil keputusan yang cepat meskipun berada dalam keadaan yang kacau. Dengan resiliensi akan memberikan perubahan dalam kehidupan, kesulitan akan menjadi tantangan, kegagalan menjadi keberhasilan, keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat mengubah korban menjadi survivor dan membuatnya menjadi lebih baik. Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, menjadi kuat ketika menghadapi rintangan dan hambatan. Selanjutnya Grotberg menjelaskan bahwa resiliensi bukan merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan pada sebagian manusia dan bukan merupakan sesuatu yang berasal dari sumber yang tidak jelas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resilien dan setiap orang mampu untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan dan hambatan dalam

hidupnya. Resiliensi bukan sifat bawaan atau faktor genetis sehingga dapat ditingkatkan melalui pelatihan (Reivich & Shatte, 2002) Masten & Gabrielle (dalam Snyder & Lopez, 2002) mengatakan bahwa resiliensi merupakan sebuah fenomena yang ditandai dengan pola penyesuian yang positif saat menghadapi kemalangan atau suasana yang penuh resiko. Berdasarkan uraian diatas maka resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat menghadapi dan mengatasi penderitaan yang terjadi dan menyesuaikan diri secara positif dengan keadaan yang penuh tekanan. 2. 1.2. Sifat dasar resiliensi Menurut Reivich & Shatte (2002) ada 4 hal yang mendasari manusia untuk menggunakan resiliensi, yaitu : a. Overcoming ( menanggulangi) Resiliensi digunakan untuk menanggulangi hambatan pada masa kanak-kanak. b. Steer through Resiliensi digunakan untuk melewati penderitaan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. c. Bounce back Penderitaan dan trauma termasuk dalam bagian kehidupan. Individu akan merasa helpless dan merasa tidak mampu untuk melanjutkan hidupnya namun dengan menggunakan resiliensi

individu justru dapat bangkit kembali dan menemukan jalan untuk melanjutkan kehidupan. d. Reaching out Reaching out digunakan ketika individu menemukan makna baru dan tujuan hidup serta membuka diri terhadap pengalaman dan tantangan yang dihadapi. 2.1.3. Kunci utama resiliensi Berbagai penelitian telah menunjukkan bagaimana cara seseorang menganalisa kejadian-kejadian yang dialaminya memberikan efek yang sangat besar terhadap resiliensinya. Bagaimana seseorang merespon suatu situasi dinamakan thinking style. Hal ini terlihat seperti bagaimana seseorang melihat dunianya dan menginterpretasi kejadian dalam hidupnya yang akan menentukan respon secara emosional terhadap kejadian yang dialaminya. Sebab itu thinking style akan menentukan resiliensi yang dimiliki oleh individu (Reivich & Shatte, 2002). Kunci resiliensi adalah kemampuan mengenali pikiran sendiri dan struktur keyakinan, memanfaatkan kekuatan untuk meningkatkan keakuratan dan fleksibilitas berpikir sehingga mampu mengatur konsekuensi emosional dan behavioral secara lebih baik. Kemampuan ini dapat diukur, diajarkan dan ditingkatkan ( Jackson & Watkin dalam Mulyani 2011).

Menurut Reivich & Shatte hambatan utama untuk berdamai dengan penderitaan adalah cognitive style individu. Dengan kata lain tergantung pada keyakinan seseorang tentang penderitaan dan keyakinan akan kesempatan untuk berdamai dengan penderitaan tersebut. Thinking style menentukan resiliensi seseorang karena menentukan bagaimana seseorang menginterpretasi penderitaan yang dialami, serta keyakinan akan kemampuannya untuk berdamai dengan penderitaan secara sukses. 2.1.4. Prinsip Dasar Keterampilan Resiliensi Reivich & Shatte (2002) mengemukakan ada 4 prinsip yang menjadi dasar bagi keterampilan resiliensi, yaitu : a. Manusia dapat berubah Setiap orang bebas untuk merubah hidupnya kapan saja bila memiliki keinginan dan dorongan. Setiap orang dilengkapi dengan keterampilan yang sesuai dan merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri. b. Pikiran adalah kunci untuk meningkatkan resiliensi Aaron Beck mengatakan bahwa kognisi mempengaruhi emosi dan emosi akan menentukan siapa yang akan resilien dan siapa yang tidak. c. Ketepatan berpikir merupakan kunci Penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki optimisme yang tidak realistis cenderung menyepelekan resiko

yang terjadi pada kesehatan sehingga justru menjadi tidak tertolong. Optimisme realistis tidak mengasumsikan bahwa hal-hal baik akan datang dengan sendirinya namun melalui usaha, pemecahan masalah dan perencanaan. d. Fokus pada kekuatan manusia Psikologi positif memiliki 2 tujuan utama, pertama meningkatkan pemahaman tentang kekuatan manusia (human streghts) melalui perkembangan sistem dan metode klasifikasi untuk mengukur kekuatan tersebut. kedua menanamkan pengetahuan ini ke dalam program dan intervensi efektif yang terutama dirancang untuk membangun kekuatan individu daripada untuk memperbaiki kelemahan. Resiliensi merupakan kekuatan utama yang mendasari semua karakteristik positif pada kondisi emosional dan psikologis manusia. Kurangnya resiliensi menjadi penyebab keberfungsian yang negatif, tidak adanya keberanian, rasionalitas dan insight. 2.1.5 Keterampilan resiliensi Menurut Reivich & Shatte (2002) ada 7 keterampilan yang diperlukan oleh individu untuk bisa menjadi resilien, yaitu : a. Learning your ABCS Keterampilan ini mengajarkan individu untuk mendengarkan apa yang ada dalam pikirannya, mengindentifikasi apa yang akan dikatakan kepada diri sendiri ketika berhadapan dengan suatu permasalahan dan

juga harus memahami bagaimana pemikiran mempengaruhi perasaan dan perilaku. b. Avoiding thinking traps Keterampilan ini mengajarkan individu untuk mengidentifikasi kebiasaan dalam memberikan respon terhadap permasalahan yang dialami dan mengoreksi kebiasaan tersebut c. Detecting ice berg Keterampilan ini mengajarkan individu untuk mengidentifikasi deep belief yang ada pada dirinya. Kemudian menentukan kapan deep belief yang ada tersebut membantu atau malah memperburuk keadaannya d. Challenging beliefs Keterampilan ini mengajarkan individu untuk menguji akurasi dari keyakinannya mengenai permasalahan yang dialami dan bagaimana menemukan solusi atas masalah yang sedang dihadapi dengan tepat. e. Putting in perspective Keterampilan ini mengajarkan individu untuk menghentikan pemikiran what-if dan mempersiapkan diri untuk menghadapi permasalahan tersebut. f. Calming and focusing Keterampilan ini mengajarkan individu untuk tetap tenang dan fokus pada permasalahan yang terjadi.

g. Real time resilience Keterampilan ini mengajarkan individu untuk bisa dengan cepat mengubah counterproductive thoughts menjadi resilience thought. Dengan 7 keterampilan tersebut individu akan memiliki hubungan yang lebih bermakna, lebih produktif dan individu akan merasa bahwa hidupnya menyenangkan dan penuh semangat. Keseluruhan keterampilan tersebut tidak harus dikuasi namun individu harus bisa fokus terhadap beberapa keterampilan yang dianggap penting untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi saat ini. 2.1.6 Faktor-faktor resiliensi Reivich & Shatte (2002) mengemukakan ada 7 kemampuan yang membangun resiliensi dan tidak ada orang yang bisa menguasai semua kemampuan tersebut dengan baik. Adapun 7 kemampuan tersebut yaitu : a. Regulasi emosi Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang walaupun berada dalam situasi yang menekan. Individu yang resilien mengembangkan keterampilan dengan baik untuk membantu mengontrol emosi, perhatian dan perilaku. b. Impuls control Individu yang mampu mengontrol dorongan, menunda pemuasan kebutuhan akan lebih sukses secara sosial dan akademis. Regulasi emosi dan impuls control memiliki hubungan yang erat.

Kemampuan yang baik dalam mengontrol dorongan yang ada menunjukkan kecenderungan seseorang untuk memiliki kemampuan yang baik dalam hal regulasi emosi. c. Empathy Empati menunjukkan bagaimana seseorang mampu membaca sinyal-sinyal dari orang lain mengenai kondisi psikologis dan emosional mereka melalui isyarat nonverbal seperti ekspresi wajah, intonasi suara atau gerak tubuh dan kemudian menentukan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. seseorang yang memiliki empati yang kurang baik walaupun memiliki tujuan yang baik akan cenderung mengulangi pola perilaku yang tidak resilien. d. Optimisme Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu yang resilien yakin bahwa kondisi kehidupan dapat menjadi lebih baik, memiliki harapan pada masa depan dan memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mengatur bagian dari kehidupannya. individu yang optimis memiliki kesehatan yang baik, dan memiliki kemungkinan yang kecil mengalami depresi, memiliki prestasi yang lebih baik dan lebih produktif. Optimisme berarti seseorang memiliki keyakinan akan kemampuan untuk mengatasi penderitaan (adversity) yang mungkin muncul di masa yang akan datang. Hal ini menunjukkan adanya sense of

efficacy, yakin akan kemampuan untuk memecahkan masalah dan mengarahkan diri sendiri. e. Causal analysis Causal analysis menunjukkan kemampuan individu untuk mengidentifikasi penyebab dari masalah yang dialami. Individu yang mampu mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat tidak akan mengulangi masalah yang sama. f. Self efikasi Self efikasi merupakan perasaan individu sejauh mana ia mampu berfungsi secara efektif dalam kehidupan. Hal ini menggambarkan keyakinan untuk dapat memecahkan masalah, bagaimana menilai pengalaman yang dilalui dan kemampuan untuk berhasil. g. Reaching out Resiliensi merupakan kemampuan mencapai aspek positif dalam kehidupan dan juga merupakan sumber daya untuk dapat keluar dari kondisi sulit. Individu yang memiliki kemampuan ini tidak menetapkan batas yang kaku terhadap kemampuan yang dimiliki. Individu yang reacing out tidak terpaku dalam rutinitas, memiliki rasa ingin tahu dan mencoba hal-hal baru, mampu menjalin hubungan dengan orang-orang baru dalam lingkungan mereka.

2.2 Pelatihan bersyukur 2.2.1 Definisi bersyukur Bersyukur berasal dari bahasa Latin gracia yang berarti anggun, luwes atau terima kasih. Hal ini menyiratkan bersyukur merupakan melakukan sesuatu dengan penuh kebaikan, murah hati, karunia, keindahan dari memberi dan menerima atau memperoleh sesuatu yang tidak terlihat (Pruyser, 1976 ; Peterson & Seligman, 2004). Banyak filsuf dan ahli psikologi yang telah menjelaskan mengenai definisi bersyukur. Menurut Kant,1964 (dalam Emmon & Mc. Cullough, 2004) bersyukur dapat diartikan sebagai penghormatan kepada orang lain karena kebaikan yang telah dilakukan. Bersyukur merupakan sikap terhadap orang yang memberi, dan sikap terhadap apa yang telah diberikan, tekad untuk menggunakannya dengan baik, untuk menggunakannya secara imajinatif dan bermanfaat sesuai dengan niat yang memberikan ( Harned, 1997 ; Emmon & Mc. Cullough, 2004). Dalam sudut pandang psikologi, bersyukur merupakan perasaan takjub, terima kasih, dan penghargaan terhadap kehidupan. Bersyukur dapat diekspresikan kepada orang lain atau hal yang lain. Adanya rasa bersyukur dinyatakan dengan cara yang berbeda oleh hampir semua budaya dan masyarakat (Emmon & Mc. Cullough, 2004). Bersyukur dapat dianggap sebagai perasaan menyenangkan

yang dapat terjadi ketika individu menerima kebaikan atau manfaat dari orang lain. Target dari bersyukur tidak hanya orang lain. kita dapat bersyukur kepada Tuhan, nasib, atau alam semesta (Tsang, Rowatt & Buechsel dalam Lopez, 2008). Orang yang bersyukur adalah orang yang menerima sebuah karunia dan sebuah penghargaan serta mengenali nilai dari karunia tersebut. Bersyukur bisa diasumsikan sebagai kekuatan dan keutamaan yang mengarahkan kehidupan yang lebih baik. Bersyukur merupakan rasa terimakasih dan bahagia sebagai respon telah menerima suatu pemberian, entah pemberian tersebut merupakan keuntungan yang terlihat dari orang lain ataupun momen kedamaian yang ditimbulkan oleh keindahan alam (Peterson dan Seligman. 2004). Menurut Goodenough (dalam Emmon & Mc. Cullough, 2004) pengalaman bersyukur secara religi didasari dengan perasaan takjub terhadap alam semesta. Bentuk dari bersyukur dapat dilihat dari berbagai tradisi agama yang ada di dunia. Bersyukur terhadap kehidupan dapat menciptakan kedamaian pikiran, kebahagiaan, kesehatan fisik, dan kepuasan dalam hubungan personal ((Emmon & Shelton dalam Emmon & Mc. Doughlas, 2004). Berdasarkan penjabaran tersebut maka bersyukur merupakan perasaan untuk berterima kasih terhadap segala hal yang terjadi dalam kehidupan baik secara ucapan ataupun perbuatan.

2.2.2 Komponen bersyukur Menurut Fitzgerald (dalam Peterson dan Seligman. 2004 ; Emmon & Mc. Cullough, 2004 ) ada tiga komponen dari bersyukur, yaitu : a. rasa apresiasi yang hangat untuk seseorang atau sesuatu, meliputi perasaan cinta dan kasih sayang. b. niat baik (goodwill) yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu, meliputi keinginan untuk membantu orang lain yang kesusahan, keinginan untuk berbagi, dan lain-lain. c. Kecenderungan untuk bertindak positif berdasarkan rasa apresiasi dan kehendak baik, meliputi intensi menolong orang lain, membalas kebaikan orang lain, beribadah, dan lain-lain. Selain itu bersyukur terbagi menjadi dua jenis, yaitu personal dan transpersonal (Peterson dan Seligman, 2004). Bersyukur personal adalah rasa berterimakasih yang ditujukan kepada orang lain yang khusus telah memberikan kebaikan atau sebagai adanya diri mereka. Sementara bersyukur transpersonal adalah ungkapan terima kasih terhadap Tuhan, kepada kekuatan yang lebih tinggi, atau kepada alam semesta.

2.2.3 Aspek bersyukur Menurut Mc. Collough dkk ( dalam Linley & Joseph, 2004; Peterson dan Seligman, 2004) ada 4 aspek dalam bersyukur yaitu : a. Gratitude Intensity Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat ketika mengalami kejadian yang positif akan merasa lebih bersyukur dibandingkan dengan orang yang memiliki rasa bersyukur yang lemah walaupun sama-sama mengalami kejadian yang positif. b. Gratitude Frequency Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat akan lebih sering bersyukur dalam kehidupannya sehari-hari. Perasaan bersyukur muncul dari hal yang sederhana dalam kehidupannya. c. Gratitude Span Gratitude span mengacu kepada hal-hal apa saja yang ada dalam kehidupannya. Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat akan merasa bersyukur dengan adanya keluarga, pekerjaan, kesehatan, dan kehidupannya sendiri bersama dengan manfaat yang lainnya. Orang yang memiliki rasa syukur yang rendah hanya akan bersyukur terhadap beberapa aspek dalam hidupnya. d. Gratitude Density Gratitude density mengacu pada jumlah orang untuk siapa individu merasa bersyukur. Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat

akan bersyukur kepada semua orang yang ada dalam kehidupannya. 2.2.4 Pelatihan bersyukur Menurut Willis (dalam Bannet 1993) pelatihan merupakan kegiatan pemberian pengetahuan atau keterampilan yang telah ditentukan dan terukur. Hadjana (2003) menjelaskan bahwa pelatihan adalah kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan performa seseorang yang dilakukan secara sistematis menurut prosedur serta metode yang telah dirancang sesuai tujuan. Pelatihan mencakup pengembangan berbagai informasi kepada individu atau kelompok sehingga memperoleh informasi yang baru. Pelatihan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan dan kemampuan individu dengan berdasarakan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari (Ridha 2006). Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda sehingga mereka juga berbeda dalam keterampilan yang dapat diperolehnya dari pelatihan (Jewell & Siegall, 1998). Berdasarkan uraian diatas maka pelatihan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada orang lain. Dengan demikian pelatihan bersyukur merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk mensyukuri segala sesuatu yang terjadi dalam hidup baik dalam bentuk ucapan dan perbuatan.

Dalam penelitian ini pelatihan bersyukur merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan aspek bersyukur yang dijelaskan oleh Mc. Collough dkk ( dalam Linley & Joseph, 2004; Peterson dan Seligman, 2004) yaitu intensity, frequency, span dan density. Menurut Miler ( dalam Emmons dan Mc. Collough, 2004) melalui pendekatan behavioural-cognitive ada empat langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk melatih rasa bersyukur yaitu : a. Mengidentifikasi pemikiran akan hal-hal yang tidak disyukuri b. Memformulasikan pemikiran akan hal-hal yang mendukung untuk disyukuri c. Mengganti pemikiran akan hal-hal yang tidak disyukuri dengan hal-hal yang disyukuri d. Segera mengerahkan apa yang sedang dirasakan dalam diri menjadi sebuah tindakan. 2.3 Pelatihan Bersyukur Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Sinabung Pasca erupsi gunung Sinabung para penduduk harus tinggal di posko pengungsian yang telah disediakan oleh pemerintah. Kehidupan di posko pengungsian tentu saja tidak sama dengan kondisi tempat tinggal sebelumnya dan suasana di posko pengungsian akan menjadi stressor bagi para penyintas. Ketika berada di posko pengungsian, penyintas merasa sedih,

khawatir, gelisah, merasa pesimis pada hidup, putus asa, mudah marah, lebih sering berdiam diri karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Menurut Hikmawati dan Rusmiyati (2012) bencana juga berdampak pada hilangnya harga diri dan rasa percaya diri, sehingga terkesan pasrah, putus asa, tidak berdaya dalam menghadapi masa depan, cenderung menyalahkan orang/pihak lain yang dianggap menambah beban hidup mereka. Keadaan yang serba terbatas juga menjadi stressor bagi para penyintas. Kondisi tersebut akan mempengaruhi resiliensi penyintas. Gallo dkk ( dalam Rich dkk, 2010) menyatakan bahwa situasi lingkungan mempengaruhi untuk meningkatkan atau justru memperlemah resiliensi untuk menghadapi tekanan. Grotberg (1999) mengemukakan bahwa resiliensi bukan merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan pada sebagian manusia dan bukan merupakan sesuatu yang berasal dari sumber yang tidak jelas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resilien dan setiap orang mampu untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan dan hambatan dalam hidupnya. Resiliensi bukan sifat bawaan atau faktor genetis sehingga dapat ditingkatkan melalui pelatihan (Reivich & Shatte, 2002). Hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan resiliensi adalah dengan meningkatkan rasa bersyukur terhadap apa yang telah diperoleh dalam kehidupan. Sebagai masyarakat yang beragama, masyarakat Karo memiliki nilai bersyukur terhadap apa yang telah diperoleh dalam kehidupan dan nilai bersyukur merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat Karo. Pada masyarakat tradisional suku Karo ada suatu kepercayaan untuk

melakukan upacara tertentu sebagai bentuk syukur kepada debata atau Tuhan yang disebut dengan erpanger (Prinst, 2004). Bentuk dari bersyukur dapat dilihat dari berbagai tradisi agama yang ada di dunia. Bersyukur terhadap kehidupan dapat menciptakan kedamaian pikiran, kebahagiaan, kesehatan fisik, dan kepuasan dalam hubungan personal ((Emmon & Shelton dalam Emmon & Mc. Doughlas, 2004). Fredrickson dkk (dalam Ruini & Vescovelli, 2012) mengemukakan bersyukur merupakan kunci utama pada resiliensi saat terjadi kemalangan. Oleh karena itu maka pelatihan bersyukur dapat meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi Sinabung, sehingga para penyintas dapat bertahan dan bangkit dari keadaannya saat ini. 2.4 Hipotes penelitian Hipotesa dari penelitian ini adalah pelatihan bersyukur efektif untuk meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi gunung Sinabung