BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Banyak gejala gejala penyimpangan yang terjadi diusia sekolah dan bisa jadi akan terus bertahan hingga mereka dewasa. Siswa siswi usia sekolah memiliki perilaku yang beragam, salah satu perilakunya adalah tidak bisa diam dan sangat sulit diatur, seolah-olah tidak memperhatikan pelajaran di kelas dan tidak mendengarkan orang di sekitarnya. Bahkan dapat menjadi reaksi emosional sekunder yang tidak menguntungkan bagi anak dan keluarga seperti gangguan disruptif. Salah satu gangguan disruptif adalah hiperaktivitas. Anak anak tersebut biasanya mengalami gangguan dalam perkembangannya yang secara luas disebut dengan Gangguan Pemusatan Perhatian/ Hiperaktivitas (GPP/H). GPP/H merupakan salah satu gangguan perkembangan yang paling sering ditemui pada anak-anak dan gangguan perilaku ini mempengaruhi prestasi anak di sekolah, interaksi sosial dengan teman sebaya dan hubungan dengan keluarga (Sinn et al., 2007; APA, 2000). Sedangkan menurut Saputro (2009) mengatakan bahwa anak yang mengalami gangguan GPP/H tersebut memiliki tanda tanda; anak yang selalu bergerak, tidak pernah berhenti walaupun sudah ditegur oleh orang tuanya, tidak mau mendengar apa yang dikatakan orang tua, anggota tubuhnya tidak mau diam, selalu bergerak 1
kesana-kemari, naik turun kursi dan meja, tidak mempedulikan sekitarnya. Menurut para orang tua, gangguan yang dialami oleh anaknya dapat merusak hidup, menghabiskan banyak energi, menimbulkan rasa sakit secara emosional, menurunkan harga diri, dan secara serius merusak kekerabatan dan pertemanan (Baihaqi & Sugiarmin, 2008). Diperkirakan 3-15 persen dari populasi anak - anak di seluruh dunia mengidap hiperaktivitas. Di setiap sekolah dasar (SD) di Indonesia diperkirakan terdapat 2-5 persen anak-anak yang mengalami GPP/H. Dalam berbagai hasil penelitian disebutkan bahwa 25-70 persen anak - anak penyandang GPP/H tetap memiliki gejala tersebut hingga ia berusia dewasa (Apriadji, 2007). Angka prevalensi GPP/H di Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun, pada penelitian sebelumnya, prevalensi GPP/H pada murid kelas I Sekolah Dasar di kecamatan di Jakarta Timur 3,63%. Penelitian yang dilakukan terhadap murid - murid dengan kesulitan belajar di SD Negeri Sukagalih I dan VI Kotamadya Bandung, ditemukan 2,70%. Sebuah penelitian di Sekolah dasar di kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, DIY menunjukkan prevalensi GPP/H sebesar 9,5%. Penelitian terhadap anak Sekolah Dasar di DKI Jakarta didapatkan angka prevalensi GPP/H sebesar 26,2% yang diestimasi berdasar penapisan dengan instrument SPPAHI/G pada cut off score 29. Penelitian pada murid sekolah dasar di Kecamatan Bangutapan, Bantul, Yogyakarta pada tahun 2006 menggunakan instrument DSM-IV didapatkan prevalensi GPP/H sebesar 5,37% (Wihartono, 2007). 2
Menurut Lestari ( 2013 ), dari 34 juta kasus GPP/H di USA, Eropa dan Jepang, diperkirakan 31% menjadi kasus GPP/H dewasa ( usia > 19 tahun ) dan 69% kasus GPP/H pada usia 3-19 tahun. Setiap kelas di SD diperkirakan 2-3 anak dengan GPP/H atau 1-2 di antara 10 anak sekolah dasar mengalami GPP/H. Prevalensi GPP/H pada anak sekolah dasar di DKI Jakarta adalah 26.2%, pada rentang usia 6-13 tahun (Saputro, 2009 ; Wiguna, 2007). Menurut Apriadji (2007) didalam jurnal ilmiah Archives id Diseases in Childhood yang dilakukan dari tim Universitas of Southampon, AS yang meneliti lebih dari 1800 anak-anak penyandang GPP/H di AS yang berusia kira-kira 3 tahun mengatakan bahwa memberi makanan sehat saja tidak cukup membantu mengatasi hiperaktivitas. Jika anak-anak tidak diberi penyedap masakan, pewarna makanan dan zat pengawet justru akan memberi hasil yang lebih efektif dalam mengendalikan hiperaktivitas dari pada pemberian obat-obatan anti-hiperaktivitas seperti clonidine. Menurut Apriadji (2007), faktor penyebab pemicu hiperaktivitas adalah karena konsumsi makanan yang mengandung zat aditif makanan (food additives), seperti bahan pengawet, pemanis, pewarna, penyedap masakan (monosodium glutamat) dan terapi nutrisi, dengan memberikan suplemen zatzat gizi yang diperkirakan mengalami defisiensi, sesungguhnya bisa menjadi sarana pertolongan darurat jangka pendek untuk mengatasi hiperaktivitas. Dalam waktu bersamaan, juga dilakukan pembenahan pola makan. Monosodium glutamat (MSG) merupakan salah satu dari zat aditif pada makanan yang masih marak digunakan pada masakan di negara negara 3
berkembang. MSG biasa digunakan sebagai penyedap rasa. MSG itu sendiri merupakan garam sodium dari asam glutamat dengan nama dagang ajinomoto, vetcin, ac cent, tasting powder (Leung dan Foster, 2003). Standar konsentrasi penggunaan MSG yang diperbolehkan untuk konsumsi adalah 0-120 mg/kgbb/hr, sementara perkiraan penggunaan MSG bisa mencapai lebih dari 10 gr/hr secara mendunia (Collison et al., 2009) sedangkan di Indonesia pada anak usia pra sekolah mencapai 0.06 kg/hr bahkan lebih (Winarno, 2004). Penggunaan zat aditif makanan, penggunaan gula, alergi makanan dan defisiensi asam lemak esensial merupakan faktor yang berhubungan dengan GPP/H. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan masalah prilaku atau GPP/H akan menjadi lebih sensitif terhadap faktor faktor tersebut sehingga modifikasi diet menjadi salah satu hal penting dalam manajemen GPP/H dan menjadi hal yang harus dipertimbangkan dalam prosedur pengobatan (Schroll, 2003; Apriadji, 2007). Anak yang mengalami gangguan tersebut bukan berarti tidak dapat tumbuh sehat dan berprestasi seperti anak normal lainnya, hanya saja orang tua harus tepat dalam mengasuh dan memberikan nutrisi oleh karena itu harus ada penanganan seawal mungkin secara terpadu oleh dokter spesialis saraf, anak, psikiater, psikolog, orang tua dan guru (Richter, 1995; Saputro, 2001). Banyak anak-anak dengan GPP/H intelektual atau atristik berbakat (Santoso, 2012). 4
Pengaruh MSG terhadap organ telah banyak diteliti pada hewan coba dan diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan perubahan fungsi organ antara lain hepar, tymus, ovarium, usus halus, ginjal termasuk diberbagai area otak (Eweka dan Om Iniabohs, 2007; Farombi dan Onyema, 2006; Pavlovie et al., 2007). Menurut Singh et al., (2003) mengatakan, hal ini dikarenakan MSG memiliki sifat eksitatorik, sehingga jika dalam jumlah besar dapat menyebabkan depolarisasi yang mengakibatkan nekrosis sel dan apoptosis sel. Maka dapat dibayangkan jika hal ini terjadi pada manusia. 1.2 Perumusan masalah Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa permasalahan yang menjadi latar belakang penelitian seperti berikut: 1. Gangguan Pemusatan Perhatian/ Hiperaktivitas (GPP/H) merupakan gangguan neurobehavior yang paling sering terjadi pada anak sekolah dasar dan berdampak pada hubungan sosial dengan orang lain disekolah maupun dirumah dan prestasi akademik. 2. Faktor diet dari asupan makanan pada anak sekolah dasar yang hampir sebagian besar didapatkan dari jajanan di sekolah maupun disekitar sekolah menjadi perhatian yang penting bagi orang tua. 3. Monosodium Glutamat (MSG) merupakan salah satu zat aditif yang banyak digunakan pada produk makanan termasuk jajanan anak - anak di sekolah dasar. 5
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas timbul beberapa pertanyaan penelitian, antara lain : 1. Apakah makanan yang mengandung MSG berpengaruh pada anak yang mengalami GPP/H? 2. Berapa persen rata-rata tingkat asupan jajanan yang mengandung MSG pada anak GPP/H? 1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui gambaran konsumsi MSG makanan dalam jajanan terhadap anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian Hiperaktif (GPP/H) di Yogyakarta 1.3.2 Tujuan khusus Mengetahui gambaran pengaruh konsumsi jajanan mengandung MSG terutama pada anak GPP/H murid kelas I-V di 5 Sekolah Dasar di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 1.4 Manfaat penelitian 1. Sebagai bahan masukkan bagi masyarakat khususnya penderita GPP/H agar memiliki pemahaman tentang GPP/H. 6
2. Sebagai bahan masukkan bagi orangtua, guru dan produsen makanan jajanan untuk memperhatikkan faktor dietary yang berupa MSG pada makanan terhadap anak GPP/H. 3. Sebagai bahan pelengkap bagi penelitian terkait selanjutnya serta memberikan kontrinbusi dalam kemajuan ilmu kedokteran dan pangan khususnya yang terkait dengan GPP/H maupun MSG. 1.5 Keaslian penelitian Penelitian tentang GPP/H masih sangat sedikit jumlahnya di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan konsumsi jajanan mengandung MSG, bahkan belum ditemukan sehingga perlu dipertimbangkan suatu data yang dapat memberikan informasi mengenai GPP/H. Penelitian mengenai GPP/H di Indonesia untuk saat ini sudah mulai berkembang namun masih terbatas jumlahnya dan belum ada penelitian yang membahas mengenai konsumsi msg pada jajanan anak sekolah dasar terhadap GPP/H. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dibuatlah suatu studi yang membahas tentang hubungan konsumsi jajanan anak di sekolah dasar yang mengandung msg terhadap GPP/H di Yogyakarta dan di harapkan dapat membantu para orang tua maupun para pengajar dalam penanganan anak GPP/H. Penelitian yang pernah di lakukan dan berhubungan dengan GPP/H antara lain : 7
Tabel 1. Penelitian GPP/H dan MSG yang pernah dilakukan Peneliti Judul Hasil dan Alat Ukur Azadbakht (2012) Dietary Patterns and Prevalensi GPP/H Deficit Hyperactivity murid SD di Iran : 9.7% Disorde Among Iranian Children Damodoro (1989) Sekilas Studi Prevalensi GPP/H Epidemiologi disfungsi minimal otak murid SD di kec. Turi : 9.59% Alat Ukur : DSM-III R Kiswanjaru (1997) Prevalensi dan Faktor Prevalensi GPP/H Risiko Gangguan murid TK di Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas Yogyakarta : 0.40% Alat Ukur : DSM-IV pada murid taman kanakkanak di Kotamdya Yogyakarta Rowland et al (2001) Studying the Prevalensi GPP/H Epidemiology of Attention Deficit Hyperactivity Disorder anak sekolah dasar di North Carolina country : 16% Alat Ukur : DSM IV Wihartono (2007) Faktor Risiko Attention Prevalensi GPP/H Deficit Hyperactive Disorder pada murid sekolah dasar di Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta murid SD di Bangutapan 5.37% Alat Ukur : DSM-IV 8