III METODE PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove pesisir Desa Durian dan Desa Batu

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan

III. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

3. METODOLOGI PENELITAN

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB III METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan secara langsung dengan menggunakan metode eksploratif pada setiap

3. METODE PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian Bahan

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

3. METODE PENELITIAN

III. MATERI DAN METODE

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penentuan

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB 2 BAHAN DAN METODE

MATERI DAN METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

3. METODE PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

BAB III METODE PENELITIAN. Sistematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya.

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

IV. METODE PENELITIAN

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

PANTAI BAB III METODE PENELITIAN

METODOLOGI. Kerapatan jenis (K)

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Pb, Cd, dan Hg di Pantai perairan Lekok Kabupaten Pasuruan.

BAB III METODE PENELITIAN. adalah Indeks Keanekaragaman ( H) dari Shannon-Wiener dan Indeks Nilai Penting

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu:

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi mangrove

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Ratai Kabupaten Pesawaran,

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth)

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari April hingga September

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan selama lima bulan mulai bulan Maret hingga Juli

3. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

23 III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama satu tahun, dari bulan Januari 2010 sampai Desember 2010 di perairan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Penentuan stasiun penelitian ditetapkan dengan melakukan pengklasifikasian wilayah berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan (permukiman, pertambakan dan pertanian), serta karakteristik khusus yang terdapat pada setiap stasiun mulai dari kawasan estuari hingga perairan pantai (Gambar 5). Ditetapkan 6 stasiun dengan kriteria: Stasiun 1 berada di Paluh Kebun Sayur yang berdekatan dengan permukiman penduduk dan lahan pertanian, umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Nypa fruticans; Stasiun 2 berada di Paluh Ibus dan dijumpai lokasi pertambakan, umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Bruguiera gymnorrhiza; Stasiun 3 berada di Paluh Lenggadai dan vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis B. parviflora; Stasiun 4 berada di Paluh Tambi dan dijumpai lokasi pertambakan, umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Rhizophora mucronata; Stasiun 5 berada di Paluh Delapan Puluh yang merupakan kawasan alami dan umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Avicennia alba; Stasiun 6 berada di perairan pantai yang merupakan kawasan alami dan dan berjarak ± 120 m dari garis pantai. Vegetasi mangrove yang mendominasi umumnya adalah jenis Sonneratia alba. Pada tiap stasiun selanjutnya dibuat sub stasiun-sub stasiun pengamatan masingmasing sebanyak tiga buah. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian yang Digunakan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah belt transek, jaring ambai/ apong, plankton net, Eckman grab, litter-trap, litter-bag, kompas, counter, refraktometer, termometer Hg, ph meter, soil tester, sechi disk, sieve, sieve set, timbangan analitik, toven, tali penduga, cool box, botol niskin, jangka sorong, Global Positioning System (GPS), mikroskop binokuler, mikroskop stereo, sedgwick rafter counting, meteran gulung, dan buku identifikasi, sedangkan bahan yang digunakan adalah contoh vegetasi mangrove, serasah mangrove, contoh udang putih, contoh plankton dan makrozoobentos, contoh air dan substrat, bahan

24 pengawet (larutan lugol 10%, alkohol 96%, formalin 10%, dan es), serta tempat/wadah sampel, seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Parameter yang diukur, satuan, alat/bahan/metode yang digunakan, dan tempat pengukuran Parameter Satuan Alat/ Bahan dan Metode yang digunakan Tempat pengukuran I. FISIK-KIMIA AIR DAN FRAKSI SUBSTRAT Suhu perairan º C termometer Hg insitu Kecerahan air cm sechi disk insitu Kedalaman perairan cm tali penduga insitu Fraksi substrat % oven, sieve shaker laboratorium Oksigen terlarut (DO) mg/l botol Winkler, alat titrasi, NaOHKI, insitu MnSO4, Amilum, Natrium TioSulfat (Titrimetri Winkler) Salinitas air dan substrat refraktometer insitu ph air - ph meter insitu NO 3 dan PO 4 mg/l spektrofotometer laboratorium II. BIOLOGI Vegetasi mangrove Kerapatan jenis belt transek, buku identifikasi, meteran, (diidentifikasi, diukur diameter batang, dihitung jumlah individu perjenis, dan dianalisa) insitu dan laboratorium Ketersediaan pakan alami Plankton ind/l plankton net, lugol 10% (pencacahan) insitu dan laboratorium Makrozobentos ind/m 2 Eckman grab, sieve set, formalin 10% (pencacahan) Serasah mangrove Produksi serasah g/m 2 /th litter- trap, oven, timbangan analitik (serasah yang tertampung dalam litter-trap diambil setiap 30 hari selama 12 bulan, ditimbang menggunakan oven pada suhu 80ºC sampai beratnya konstan, ditimbang menggunakan timbangan analitik. Laju dekomposisi serasah litter-trap, litter-bag, timbangan analitk (serasah dalam litter-trap diambil sebanyak 10 gr dan dimasukkan dalam litter-bag, diikat pada pangkal batang mangrove, diambil setiap 15 hari sekali. Sisa serasah dalam litter bag ditimbang menggunakan timbangan analitik. Udang putih Distribusi spasio-temporal, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan, umur teoritis, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas, rekruitmen, dan aspek reproduksi. buku identifikasi, jaring ambai, alkohol 96% (dihitung jumlah individu perjenis kelamin, diukur panjang karapaks minimum dan maksimum, diamati TKG nya, dianalisa. insitu dan laboratorium insitu dan laboratorium insitu dan laboratorium insitu dan laboratorium

25 25 Gambar 5 Peta lokasi penelitian.

26 3.3 Aspek yang Dikaji Penelitian ini mengkaji aspek biologi dan ekologi udang putih pada tiap stasiun di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Aspek ekologi yang dikaji mencakup: karakteristik biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun, struktur populasi udang putih yang meliputi distribusi spasio-temporal, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan, umur teoritis, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas, serta rekruitmen. Aspek biologi yang dikaji mencakup aspek reproduksi (rasio kelamin, ukuran udang betina pertama kali matang gonad, dan pola pemijahan) (Tabel 3). Dilakukan juga analisa keterkaitan distribusi udang putih menurut jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad dengan karakteristik biofisik kimia lingkungan yang mempengaruhi pada tiap stasiun. Tabel 3 Aspek bioekologi udang putih P. merguiensis de Man yang dikaji No Aspek yang dikaji Uraian 1. Aspek ekologi a. Pengamatan karakteristik biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun meliputi : - Kerapatan mangrove. - Ketersediaan pakan alami (kelimpahan plankton dan makrozoobentos) - Produksi dan laju dekomposisi serasah - Parameter fisik kimia, mencakup: suhu perairan, kecerahan air, kecepatan arus, kedalaman perairan, fraksi substrat, oksigen terlarut, salinitas air dan substrat, ph air, NO 3, dan PO 4. b. Menganalisa struktur populasi udang putih, meliputi: distribusi spasio-temporal, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas alami, serta persentase rekruitmen pada tiap stasiun. c. Menganalisa hubungan distribusi spasial udang putih menurut jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad pada tiap stasiun, distribusi temporal betina matang gonad pada setiap bulan pengamatan dengan karakteristik biofisik kimia lingkungan yang mempengaruhinya. 2. Aspek biologi Menganalisa aspek reproduksi udang putih, dengan melihat rasio kelamin pada tiap stasiun, ukuran udang betina pertama kali matang gonad, dan pola pemijahan pada setiap bulan pengamatan.

27 Pola distribusi udang putih dianalisa berdasarkan Indeks distribusi Morisita, selanjutnya dilakukan analisa menggunakan correspondence analysis (CA) menurut Bengen (2002) untuk melihat distribusi spasial udang putih berdasarkan jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad pada tiap stasiun. Distribusi temporal udang putih betina matang gonad pada setiap bulan juga dianalisa menggunakan correspondence analysis. Pola pertumbuhan udang putih diketahui dengan melihat hubungan panjang karapaks dan bobot tubuh melalui analisa regresi linier sederhana menurut Sparre dan Venema (1999). Studi hubungan panjang bobot mempunyai nilai yang memungkinkan mengkonversi nilai panjang ke dalam bobot tubuh udang atau sebaliknya. Bobot tubuh udang dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya. Parameter pertumbuhan udang mencakup panjang karapaks infiniti (L ), koefisien pertumbuhan (K), dan umur teoritis pada saat udang berukuran panjang nol (t o ) dianalisa menggunakan program Elefan (electronic lengths frequency analysis) yang terakomodasi dalam program Fisat II berdasarkan data frekwensi panjang karapaks. Persamaan parameter pertumbuhan von Bertalanffy yang menggambarkan panjang karapaks udang sebagai fungsi dari umur dapat diketahui dari ketiga parameter tersebut. Persamaan pertumbuhan diplot dalam bentuk kurva pertumbuhan von Bertalanffy, dan dari persamaan tersebut dapat diduga umur teoritis udang putih. Ukuran minimum dan maksimum udang putih diketahui melalui ukuran panjang karapaks, bobot tubuh, dan panjang karapaks udang pertama kali tertangkap (L c ), yang dianalisa melalui kurva probabilitas dari program FISAT II. Laju mortalitas udang putih dapat diketahui dari data frekwensi panjang karapaks melalui analisa laju mortalitas model Beverton dan Holt dari FISAT II. Laju mortalitas alami udang putih dapat diduga menggunakan rumus empiris Pauly dengan persamaan: Log M = -0,0066 0,2790 log L + 0,6543 log K + 0,4634 log T. Rekruitmen udang putih dapat diketahui melalui analisa pola rekruitmen dari program FISAT II, dengan menginput data parameter pertumbuhan. Tingkat kematangan gonad udang putih betina dapat dilihat berdasarkan bentuk, ukuran, warna gonad, panjang karapaks, dan bobot tubuh. Rasio kelamin dapat diketahui dengan analisa perbandingan jumlah individu jantan terhadap individu betina yang tertangkap pada tiap stasiun, dan pola pemijahan dapat

28 diketahui dengan melihat tingkat kematangan gonad udang betina (kematangan gonad tingkat 4) pada setiap bulan. 3.4 Prosedur Pengumpulan Data 3.4.1 Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat Pengukuran parameter fisik-kimia air dan substrat dilakukan secara insitu pada tiap stasiun penelitian dengan pengulangan sesuai periode pengambilan sampel udang putih pada saat air pasang dan surut. Khusus untuk fraksi substrat, pengukuran dilakukan di laboratorium. Prosedur pengukuran parameter fisikkimia air dan substrat adalah sebagai berikut: - Suhu air dasar perairan diukur dengan mengambil sampel air menggunakan botol niskin, lalu diukur suhunya dengan termometer Hg. - Kecerahan air diukur menggunakan sechi disc. - Kedalaman perairan diukur menggunakan tali penduga pada saat pengambilan sampel makrozoobentos. - Fraksi substrat diukur dengan mengambil contoh substrat sebanyak 100 g menggunakan ekman grab, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80 C, lalu diayak dengan sieve shaker untuk dianalisa fraksi substratnya. - Oksigen terlarut diukur dengan titrasi winkler. - Salinitas air diukur menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan satu tetes air pada permukaan refraktometer, lalu ditutup dengan kaca penutup yang terdapat pada alat tersebut, selanjutnya dilakukan pembacaan melalui skala yang tertera pada alat tersebut untuk menggambarkan kadar salinitas perairan. Pengukuran salinitas susbstrat dilakukan dengan menyaring air substrat menggunakan kertas saring berukuran pori 0,45 μm (Hutagalung et al. 1997), selanjutnya air yang tersaring diteteskan sebanyak satu tetes pada permukaan refraktometer, lalu dibaca kadar salinitasnya. - ph air diukur menggunakan ph meter. - Pengukuran NO 3 dan PO 4 dilakukan dengan mengambil contoh air pada tiap stasiun. Pengambilan contoh air dilakukan pada air permukaan sedalam 30 cm menggunakan botol berwarna gelap/botol Winkler. Contoh air dimasukkan ke dalam cool box untuk mengurangi aktivitas mikroorganisme

29 (Hutagalung et al. 1997), dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisa kandungan unsur haranya. 3.4.2 Parameter Biologi 3.4.2.1 Pengukuran Vegetasi Mangrove Pengukuran vegetasi mangrove dilakukan mulai dari tingkat pohon dan permudaan pada tiap stasiun menggunakan metode transek garis (line transect) sepanjang 30 m, yang ditempatkan tegak lurus garis pantai menuju ke arah darat/belakang hutan mangrove (Kusmana 1997; Bengen 2002; Fachrul 2007). Pada tiap stasiun dipasang 3 buah transek garis dengan jarak antar transek 20 m. Data vegetasi mangrove diambil dari tiap transek menggunakan metode kuadrat dengan membuat 3 buah plot berukuran 10 m x 10 m untuk kategori pohon (diameter batang 10 cm) yang ditempatkan di sebelah kiri dan atau kanan transek. Pada setiap plot 10 m x 10 m selanjutnya dibuat plot berukuran 5 m x 5 m untuk mengukur kategori permudaan mangrove (tinggi tanaman 1,5 m, diameter batang < 10 cm) seperti disajikan pada Gambar 6. Vegetasi mangrove yang ditemukan pada tiap plot selanjutnya diidentifikasi menggunakan buku acuan menurut Bengen (2002) dan Kusmana et al. (2005), lalu dihitung jumlah individu perjenis untuk setiap kategori guna mengetahui kerapatan jenisnya. Dihitung juga indeks dominansi jenis mangrove pada tiap stasiun. Gambar 6 Disain metode transek garis dalam pengukuran vegetasi mangrove. 5 m x 5 m plot pengamatan permudaan mangrove, 10 m x 10 m plot pengamatan pohon, laut, lumpur.

30 3.4.2.2 Pengukuran Produksi Serasah Mangrove Pengukuran produksi serasah mangrove dilakukan dengan cara mengumpulkan guguran serasah pada tiap stasiun menggunakan litter-trap (jaring perangkap serasah) masing-masing sebanyak 45 buah per stasiun (Gambar 7). Gambar 7 Prosedur penempatan litter-trap pada tiap stasiun. lumpur.. laut, Litter-trap ditempatkan pada plot berukuran 10 m x 10 m secara acak, masing-masing sebanyak 5 buah (5 x 9 plot = 45 buah). Litter-trap yang digunakan berukuran 1 m x 1 m x 0.5 m dengan mesh size 1.5 mm x 1.5 mm, terbuat dari nilon yang setiap bagian tepinya dibingkai dengan kayu tipis (Brown 1984). Litter-trap dipasang dengan cara mengikat keempat sudutnya pada empat tegakan pohon, dengan posisi jaring berada di atas garis pasang tertinggi/bebas dari genangan air pasang. Serasah yang tertampung dalam litter-trap diambil setiap 30 hari selama 12 bulan, kemudian dipisahkan berdasarkan komponen daun, bunga/buah maupun ranting, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi label, dan dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, contoh serasah kemudian dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80 C sampai berat serasah konstan. Total nilai berat kering serasah pada tiap stasiun dalam selang waktu tertentu, akan menunjukkan produksi serasah di tiap stasiun penelitian (Proctor 1984). Prosedur pengukuran produksi serasah disajikan pada Gambar 8.

31 Guguran serasah mangrove (daun, bunga/buah, dan ranting) Litter-trap berukuran 1 m x 1 m x 0,5 m, mesh size 1,5 mm x 1,5 mm (dipasang dengan mengikat keempat sudutnya pada empat tegakan pohon) Serasah yang tertampung dalam litter-trap diambil setiap 30 hari selama 12 bulan Serasah dipisahkan berdasarkan komponen daun, bunga/buah maupun ranting, dibersihkan dengan air, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi label dan dibawa ke laboratorium Serasah dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80 C sampai berat serasah konstan Dihitung produksi serasah pada tiap stasiun dengan mengukur: 1. Produksi serasah dalam selang waktu 30 hari = Total berat kering serasah yang tertampung dalam 45 litter trap dalam selang waktu 30 hari, dengan satuan: g/m 2 /30 hari 2. Produksi serasah selama 12 bulan (mulai bulan ke-1 sampai ke-12), dengan satuan: g/m 2 /th Gambar 8 Prosedur pengukuran produksi serasah. 3.4.2.3 Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah Laju dekomposisi serasah diukur dengan mengambil serasah daun yang sebelumnya ditampung dengan litter-trap (selain litter-trap untuk pengukuran produksi serasah) sebanyak 10 g, lalu dicuci dengan air dan dikering anginkan. Selanjutnya 10 g serasah daun tersebut dimasukkan ke dalam kantong serasah/ litter-bag berukuran 20 cm x 30 cm yang terbuat dari nilon dengan mesh size 1 mm x 1 mm (Yunasfi 2006), sehingga memberikan kemungkinan partikelpartikel kecil dapat tercuci oleh arus pasang surut atau air hujan setelah sebagian sampel hancur. Jumlah kantong serasah yang digunakan sebanyak 35 buah untuk setiap stasiun (tiap kantong serasah berisi 10 g serasah), yang ditempatkan secara acak dengan cara mengikatnya pada pangkal batang pohon mangrove atau potongan pancang bambu yang ditancapkan ke dalam tanah sedalam 40 cm, sehingga tidak hanyut atau hilang terbawa arus pasang. Setiap 15 hari sekali

32 dilakukan pengambilan terhadap 5 buah litter-bag yang ditempatkan pada tiap stasiun, hingga hari ke- 75 (2,5 bulan pengamatan) setelah serasah diletakkan di lapangan. Waktu pengamatan ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Brotonegoro dan Abdulkadir (1978); Soenardjo (1999) yang menyatakan proses dekomposisi serasah daun sudah terjadi pada hari ke- 7 sampai hari ke- 15 setelah serasah diletakkan di lapangan, dan dekomposisi total terjadi pada hari ke 60-75. Pada setiap pengukuran, serasah daun yang tersisa dalam litter-bag dikeluarkan dan dibersihkan dari lumpur yang kemungkinan melekat menggunakan air, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi label, dan dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80 C sampai bobot serasah konstan. Bobot kering serasah ini disebut sebagai bobot kering serasah setelah waktu pengamatan (X t ). Bobot kering serasah awal (X 0 ) pada tiap stasiun diketahui dengan mengambil sampel serasah daun yang sebelumnya ditampung dalam litter-trap sebanyak 10 g, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Kantong plastik yang berisi serasah tersebut selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dibersihkan serasahnya dengan air tawar, lalu dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80 C sampai bobot serasah konstan (Ashton et al. 1999). Laju dekomposisi serasah dapat diketahui dari nilai bobot kering serasah awal dikurangi bobot kering serasah setelah waktu pengamatan dibagi lamanya waktu pengamatan. Persentase sisa serasah daun mangrove selama eksprimen dihitung dengan menggunakan rumus menurut Boonruang (1984). Nilai bobot kering yang digunakan adalah rataan bobot kering serasah pada setiap stasiun. Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah disajikan pada Gambar 9.

33 Serasah daun yang tertampung dalam litter-trap 10 g dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label (jumlah kantong plastik untuk tiap stasiun 5 buah) 10 g dimasukkan ke dalam litter-bag untuk pengamatan eksprimental/ di lapangan (jumlah litter-bag tiap stasiun 35 buah) Dibawa ke laboratorium, dibersihkan dengan air tawar, dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80 C sampai bobot serasah konstan Litter-bag diikat pada pangkal batang mangrove atau potongan pancang bambu yang ditancapkan ke dalam tanah sedalam 40 cm Bobot kering serasah awal =X 0 Laju dekomposisi serasah X 0 X t R = T Persentase sisa serasah daun mangrove selama eksprimen X 0 X t Y = x100 X Nilai konstanta laju dekomposisi X t = X 0.e -kt 0 Kantong serasah diambil setiap 15 hari sampai hari ke- 75 (2,5 bulan pengamatan) Serasah dikeluarkan dari litter-bag dan dibersihkan dari lumpur yang melekat dengan air Dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan dengan oven pada temperatur 80 C sampai bobot serasah konstan Bobot kering serasah setelah waktu pengamatan = X t Gambar 9 Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah. 3.4.2.4 Pengambilan Contoh Plankton dan Makrozoobentos Pengambilan contoh plankton dan makrozoobentos dilakukan sebelum pengambilan contoh udang putih, baik pada saat pasang maupun surut. Titik pengambilan sampel plankton disesuaikan dengan titik pengambilan sampel udang putih maupun titik untuk pengukuran faktor fisik-kimia perairan. Contoh plankton diambil menggunakan plankton net berbentuk kerucut dengan diameter

34 mulut jaring berukuran 30 cm, panjang 1 m dan mesh size 80 μm. Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan cara menyaring air sebanyak 100 liter ke dalam plankton net, yang diambil menggunakan ember bervolume 5 liter sebanyak 20 kali penyaringan. Contoh air yang tersaring dalam plankton net selanjutnya dimasukkan ke dalam botol sampel dengan volume 25 ml (Fachrul 2007), diberi lugol 10% sebanyak 3 tetes sebagai pengawet, lalu dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, sampel plankton (25 ml) yang telah diberi pengawet diteteskan ke dalam Sedgwick Rafter Counting Cell sebanyak 1 ml menggunakan pipet tetes, lalu diamati di bawah mikroskop binokuler dengan metode sapuan, yaitu mengamati jumlah jenis plankton yang tampak pada seluruh bagian Sedgwick Rafter counting cell menggunakan perbesaran 10 x 40 mikron, selanjutnya diidentifikasi menggunakan buku acuan Newell dan Newell (1977) dan Tomas (1997). Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan menggunakan Ekman grab yang terbuat dari baja dengan berat 3,2 kg, berukuran 30 cm x 30 cm. Titik pengambilan sampel makrozoobentos juga disesuaikan dengan titik pengambilan sampel udang putih. Contoh makrozoobentos yang didapat selanjutnya disaring menggunakan ayakan/sieve dengan mesh size 0,5 mm, lalu dicuci dengan air, dimasukkan ke dalam botol sampel, diawetkan dengan formalin 10% (Sasekumar 1984; Fachrul 2007), diberi label, dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi menggunakan buku acuan Roberts et al. (1982), Kozloff dan Price (1987) dan Dharma (1988) dengan bantuan mikroskop stereo. 3.4.2.5 Pengambilan Contoh Udang Putih Pengambilan contoh udang putih dilakukan di kawasan perairan pantai, maupun estuari yang berada di kawasan ekosistem mangrove, berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan (pertambakan, permukiman, dan pertanian), serta karakteristik khusus yang terdapat pada setiap stasiun, menggunakan jaring ambai berbentuk kerucut. Ambai yang digunakan memiliki panjang total 15 m, terbagi atas empat bagian yang memanjang menurut besar kecilnya mata jaring yaitu: bagian muka/sayap, tengah, belakang, dan kantong/cod end (Gambar 10).

35 Gambar 10 Ambai yang digunakan untuk pengambilan sampel udang putih. Kecenderungan bentuk jaring yang memanjang antara lain agar sasaran tangkap yang terdorong masuk ke dalam jebakan jaring kantong akan sulit keluar kembali dari mulut kantong. Jaring ambai ini terbuat dari bahan nilon polyfilament dengan bukaan mulut berukuran 4 m x 2 m (berbentuk empat persegi), dan pada kanan kiri mulut jaring terdapat gelang yang terbuat dari besi berjumlah 2 buah. Gelang tersebut berfungsi untuk mengikat tali yang akan diikatkan ke tiang pancang. Pengambilan contoh udang putih dilakukan sebanyak empat kali setiap bulannya (seminggu sekali) dalam waktu yang sama (mulai jam 16.00 WIB sampai dengan 19.00 WIB) secara statis/menetap, baik pada saat pasang maupun surut dengan posisi ambai diletakkan melawan arus (mengikuti kebiasaan nelayan setempat). Pada tiap stasiun dipasang 3 unit ambai (jumlah ambai yang dipasang setiap bulan 12 unit dengan 2 kali perlakuan, yaitu pada saat pasang dan surut). Pengambilan hasil tangkapan contoh udang dilakukan setelah 2 jam pemasangan ambai, dengan mengangkat bagian bawah mulut jaring ke permukaan air lalu menyatukan bibir bagian bawah mulut jaring dengan bagian atasnya. Udang yang didapat dari 12 unit ambai tersebut, selanjutnya dikompositkan menjadi satu unit contoh untuk tiap stasiun, lalu dilakukan pengamatan dan pemotretan untuk dibuat deskripsinya menggunakan buku acuan menurut Lovett (1981), Dore dan Frimodt (1987), Chaitiamvong dan Supongpan (1992), dihitung kelimpahan individu per jenis kelamin, kelas ukuran dan tingkat kematangan gonad udang betina. Dilakukan analisa distribusi spasial udang putih (menurut

36 kelas ukuran, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad), distribusi temporal pada setiap bulan pengamatan, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan, umur teoritis, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas pada tiap stasiun, serta rekruitmen pada setiap bulan pengamatan. Dilakukan juga analisa terhadap aspek reproduksi, mencakup rasio kelamin pada tiap stasiun, ukuran udang pertama kali matang gonad, dan pola pemijahan pada setiap bulan pengamatan. 3.5 Analisa Data 3.5.1 Kerapatan Jenis Mangrove Data vegetasi mangrove yang didapat, selanjutnya diukur kerapatan jenisnya menggunakan persamaan menurut Bengen (2002), sebagai berikut: Jumlah Kerapatan jenis mangrove (ind/ha) = total individu jenis ke i... (1) Luas total plot 3.5.2 Produksi Serasah Guguran serasah yang didapatkan dari hasil penampungan dalam selang waktu 30 hari menggunakan litter-trap (sebanyak 45 buah) pada tiap stasiun, dihitung produksinya dengan persamaan: 45 x = y = y1 + y2 +... + y45... (2) j i= 1 i dengan: x j = produksi serasah di tiap stasiun pada bulan ke-j (g/45 m 2 /30 hari) y i = bobot kering serasah pada littter-trap ke-i (g/m 2 /30 hari) y 1, y 2,...,y 45 = bobot kering serasah pada litter-trap ke-1 sampai ke-45 Dihitung juga produksi serasah dalam selang waktu 12 bulan pada tiap stasiun, dengan persamaan: 12 X = x = x1 + x2 +... + x12... (3) i = 1 j dengan: X = produksi serasah di tiap stasiun selama 12 bulan (g/45 m 2 /12 bulan) x j = produksi serasah di tiap stasiun pada bulan ke-j (g/45 m 2 /30 hari) x 1, x 2,...,x 12 = produksi serasah di tiap stasiun pada bulan ke-1 sampai ke-12 3.5.3 Laju Dekomposisi Serasah Laju dekomposisi serasah dihitung menggunakan persamaan: X X... (4) t R = 0 T

37 dengan: R = laju dekomposisi (g/15 hari) T = waktu pengamatan (15 hari) X 0 = bobot kering serasah awal (g) X t = bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke t (g) Dihitung persentase sisa serasah daun selama eksprimen menggunakan rumus menurut Boonruang (1984), sebagai berikut: X t Y = x 100% X... (5) 0 dengan: Y = persentase serasah daun yang mengalami dekomposisi X 0 = bobot kering serasah awal (g) X t = bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke t (g) Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah diperoleh dengan menggunakan persamaan menurut Ashton et al. (1999) sebagai berikut: X t = X 0.e -kt. (6) X t ln = kt X.... (7) 0 dengan: X t = bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke- t (g) X 0 = bobot kering serasah awal (g) e = 2,72 k = konstanta laju dekomposisi serasah t = waktu pengamatan (15 hari) ln = logaritma natural 3.5.4 Kelimpahan Plankton dan Makrozoobentos Data plankton yang didapat dianalisa kelimpahannya menggunakan persamaan menurut APHA (1979) sebagai berikut: Vt 1 N = n x.. (8) V0 Vd dengan: N = kelimpahan plankton (sel.l -1 ) n = jumlah jenis plankton yang diamati pada seluruh bagian sedgwick rafter cell V t = volume air tersaring (25 ml) V 0 = volume air pada Sedgwick Rafter Counting Cell (1 ml) V d = volume air yang disaring oleh jaring plankton (100 l) Kelimpahan makrozoobentos dihitung menggunakan persamaan: K i Jumlah individu jenis ke i =... (9) 2 900cm dengan: K i = kelimpahan makrozoobentos jenis ke- i

38 3.5.5. Karakteristik Lingkungan Mangrove Berdasarkan Parameter Fisik Kimia pada Tiap Stasiun Karakteristik lingkungan mangrove berdasarkan variasi parameter fisik kimia lingkungan pada tiap stasiun, dianalisa menggunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada analisis komponen utama (principal component analysis, PCA) (Bengen 2002). Analisis ini merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik, informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang digunakan terdiri atas matriks data stasiun pengamatan sebagai individu statistik/baris dan data parameter fisik kimia lingkungan sebagai variabel kuantitatif/kolom. Data parameter fisik kimia lingkungan yang diukur tidak berunit pengukuran dan ragam yang sama, sehingga sebelum dilakukan analisis komponen utama, data tersebut harus dinormalisasikan melalui pemusatan dan pereduksian. PCA tidak dianalisa dari nilai variabel asal tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linear variabel asal. PCA mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam stasiunnya maksimum, yang disebut komponen utama ke I (F1). Dicari juga komponen utama ke II (F2) yang tidak berkorelasi dengan komponen utama ke I. Komponen utama ke II ini dapat memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama ke I. Proses ini berlanjut terus hingga diperoleh komponen utama ke- p dan bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil. Pada prinsipnya PCA menggunakan pengukuran jarak euclidean yang berkoresponden pada data. Jarak euclidean menurut Bengen (1998) didasarkan pada persamaan: d 2 p ' ( i i ) = ( X ij X i ' j ) j= 1 2,... (10) dengan: d 2 (i,i ) = jarak euclidean i,i = dua stasiun/baris j = indeks kolom/parameter fisik kimia (bervariasi dari 1 sampai p) p = banyaknya kolom Semakin kecil jarak euclidean antar dua stasiun maka semakin mirip karakteristik fisik kimia lingkungan kedua stasiun tersebut, demikian sebaliknya.

39 3.5.6 Karakteristik Habitat Udang Putih Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia pada Tiap Stasiun Karakteristik habitat udang putih berdasarkan variasi parameter biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun, juga dianalisa menggunakan analisis komponen utama (principal component analysis, PCA) (Bengen 2002). Matriks data yang digunakan terdiri atas matriks data stasiun pengamatan sebagai individu statistik/baris dan data parameter biofisik kimia lingkungan sebagai variabel kuantitatif/kolom. 3.5.7 Kelimpahan Udang Putih Data kelimpahan udang putih menurut jenis kelamin, kelas ukuran dan betina matang gonad dapat diketahui menggunakan persamaan menurut Brower et al. (1990) sebagai berikut: n K =... (11) A dengan: K = kelimpahan udang putih menurut jenis kelamin atau kelas ukuran atau betina matang gonad (ind/m 2 ) n = jumlah individu udang putih menurut jenis kelamin atau kelas ukuran atau betina matang gonad A = luas plot (m 2 ) 3.5.8 Struktur Populasi Udang Putih 3.5.8.1 Ukuran Minimum dan Maksimum Ukuran minimum dan maksimum udang putih dapat diketahui melalui ukuran panjang karapaks, bobot tubuh, dan panjang karapaks udang pertama kali tertangkap (L c ), yang dianalisa melalui kurva probabilitas dari software Fisat II. 3.5.8.2 Pola Distribusi Pola distribusi udang putih dianalisa berdasarkan Indeks distribusi Morisita dengan persamaan: n 2 xi N i ( ) i= 1 Id = n... (12) N N 1 dengan: Id = Indeks distribusi Morisita n = banyaknya plot (mulai dari 1 sampai n) N i = jumlah total individu dalam total plot 2 Σx i = jumlah kuadrat individu dalam total plot i i

40 Kriteria pola distribusi menurut Bengen (1998) dapat dikelompokkan berdasarkan nilai Indeks distribusi Morisita. Nilai indeks distribusi (Id) = 1.0, distribusi suatu populasi dikategorikan acak; nilai indeks distribusi (Id) = 0, distribusi populasi dikategorikan normal; dan bila nilai indeks distribusi (Id) 1 atau Id 0, distribusi populasi dikategorikan bergerombol. 3.5.8.3 Pola Pertumbuhan Pola pertumbuhan udang putih dapat diketahui dengan melihat hubungan panjang karapaks udang dan bobot tubuh melalui analisa regresi linier sederhana menurut Sparre dan Venema (1999). Studi hubungan panjang-bobot mempunyai nilai praktis yang memungkinkan mengkonversi nilai panjang ke dalam bobot tubuh udang atau sebaliknya. Bobot tubuh udang dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya. W= a L b atau Ln W = Ln a + b Ln L... (13) dengan: W = bobot tubuh (g) L = panjang karapaks a dan b = konstanta Pertumbuhan dikatakan isometrik jika nilai b = 3, sedangkan jika nilai b lebih besar atau lebih kecil dari 3 maka pertumbuhan dikatakan allometrik, dengan asumsi jika nilai b < 3 pertambahan panjang tubuh udang lebih cepat dari pertambahan bobotnya, sedangkan jika nilai b > 3 pertambahan bobot udang lebih cepat dari pertambahan panjang tubuhnya. 3.5.8.4 Faktor Kondisi (FK) Kondisi yang menyatakan kemontokan udang dengan angka dinamakan faktor kondisi atau ponderal indeks. Nilai faktor kondisi dilakukan setiap bulan dan akan terlihat bulan-bulan mana saja yang memiliki derajat kemontokan baik. Faktor kondisi udang putih dapat dihitung dengan rumus menurut King (1995) dalam Natan (2008) sebagai berikut: Wcal CF =... (14) W pred dengan: CF = faktor kondisi W cal = rataan bobot contoh udang (g) W pred = rataan bobot udang yang didapat dari hubungan panjang bobot (g)

41 3.5.8.5 Parameter Pertumbuhan Parameter pertumbuhan udang mencakup panjang karapaks infiniti (L ), koefisien pertumbuhan (K), dan umur teoritis pada saat udang berukuran panjang nol (t o ) dianalisa menggunakan program Elefan yang terakomodasi dalam program Fisat II berdasarkan data frekwensi panjang karapaks. Persamaan parameter pertumbuhan von Bertalanffy yang menggambarkan panjang tubuh udang sebagai fungsi dari umur (Sparre & Venema 1999) dapat dibuat dari ketiga parameter sebagai berikut: K ( t t ) L = L (1 e 0 ) (15) t L L t 00 = 1 e K ( t t0 ) 00 1 Lt K ( t t 0 ) L 00 = e dengan: L t = panjang karapaks udang putih pada waktu t Penggunaan data panjang karapaks disebabkan pertumbuhan tubuh udang sangat mempengaruhi ukuran panjang karapaks, bukan lebar karapaks. Persamaan pertumbuhan di atas diplot dalam bentuk kurva pertumbuhan von Bertalanffy, dan dari persamaan tersebut dapat diduga umur teoritis udang putih. 3.5.8.6 Umur Teoritis Saat Panjang Udang Nol (t o ) Pauly (1983) dalam Sparre dan Venema (1999) menganalisa data frekuensi panjang, mendapatkan suatu hubungan regresi berganda antara umur teoritis saat panjang udang nol (t o ) dengan panjang infiniti (L ) dan koefisien pertumbuhan (K), yang kemudian dikenal sebagai rumus empiris Pauly, sebagai berikut: Log t o = -0.3952 0. 2752 log L 1.038 log K... (16) Nilai t o, L, dan K dapat dicari dengan menggunakan model Beverton dan Hold dari Fisat II (Gayanilo et al. 2002 dalam Subagyo 2005). 3.5.8.7 Laju Mortalitas Laju mortalitas udang putih dari data frekwensi panjang karapaks dapat diketahui dengan analisa laju mortalitas model Beverton dan Holt dari Fisat II (Sparre & Venema 1999) dengan persamaan:

42 ) K ( L L Z = 00... (17) L Lc dengan: Z = total laju mortalitas (pertahun) L = rata-rata panjang karapaks udang putih yang tertangkap L = panjang karapaks infiniti (cm) L c = panjang karapaks pertama kali tertangkap (cm) Laju mortalitas alami udang putih dapat diduga menggunakan rumus empiris Pauly sebagai berikut: Log M = -0.0066 0.279 log L + 0.6543 log K + 0.4634 log T... (18) dengan: M = laju mortalitas alami (pertahun) L 00 = panjang karapaks infiniti (cm) K = koefisien pertumbuhan T = rata-rata temperatur pertahun ( C) Laju mortalitas penangkapan dianalisa dengan mengurangkan laju mortalitas total dengan laju mortalitas alami. 3.5.8.8 Rekruitmen Rekruitmen udang putih dianalisa menggunakan analisa pola rekruitmen dari program Fisat II. Input data berupa parameter pertumbuhan mencakup panjang karapaks infiniti (L oo ), koefisien pertumbuhan (K), dan panjang udang pada waktu t = 0 (t o ), yang diperoleh melalui hasil analisa Elefan I dari program Fisat II. Hasil per rekruitmen relatif dapat dilihat melalui analisa hasil per rekruitmen Holt dan Beverton dari Fisat II dengan menginput data panjang karapaks infiniti (L oo ), panjang karapaks pertama kali tertangkap (L c ), laju mortalitas alami (M), koefisien pertumbuhan (K), dan total laju mortalitas (Z). 3.5.9 Aspek Reproduksi Udang Putih 3.5.9.1 Rasio Kelamin Rasio kelamin/sex ratio udang putih pada lokasi kajian dapat diketahui dengan melihat perbandingan jumlah individu udang jantan dan betina n j menggunakan persamaan: R =... (19) n dengan: R = rasio kelamin nj = jumlah udang jantan nb = jumlah udang betina b

43 3.5.9.2 Ukuran Udang Pertama Kali Matang Gonad Ukuran udang putih pertama kali matang gonad dapat diketahui dengan menggunakan persamaan Spearman-Karber (Udupa 1986 dalam Fischer & Wolf 2006) sebagai berikut: n 1 sfm= xk + x x 2 i= 1 p i... (20) dengan: sfm = logaritma panjang karapaks udang putih pertama kali matang gonad. xk = logaritma nilai tengah kelas panjang karapaks yang terakhir udang putih matang gonad. x = logaritma pertambahan panjang karapaks dan nilai tengah. p i = proporsi udang putih matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah udang pada selang panjang ke-i. ni = jumlah udang pada kelas pang ke-i. 3.5.9.3 Pola Pemijahan Data yang digunakan untuk menentukan pola pemijahan udang putih di tiap stasiun adalah data jumlah individu betina matang gonad, (kematangan gonad tingkat 4) selama 12 bulan, yang tergambar dalam bentuk grafik distribusi. Bila ditemukan jumlah individu betina matang gonad tingkat 4 tinggi pada bulan tertentu, maka akan tergambar bahwa bulan tersebut merupakan puncak musim pemijahan udang putih. 3.5.10 Distribusi Spasial Udang Putih Berdasarkan Jenis kelamin, Kelas Ukuran, dan Betina Matang Gonad, Distribusi Temporal Udang Putih Berdasarkan Tingkat Kematangan Gonad Distribusi spasial udang putih berdasarkan jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad, distribusi temporal udang putih berdasarkan tingkat kematangan gonad dianalisa menggunakan correspondence analysis, CA (Bengen 2002). Analisis ini merupakan salah satu bentuk analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada matriks data i baris (stasiun penelitian) dan j kolom (jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad). Kelimpahan udang putih menurut modalitas dari tiap klasifikasi yang ditemukan pada tiap stasiun penelitian terdapat pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks data yang digunakan merupakan tabel kontingensi stasiun pengamatan dengan modalitas jenis kelamin,

44 kelas ukuran, dan betina matang gonad, serta matriks data dari tabel kontingensi bulan pengamatan dengan modalitas betina matang gonad. Tabel kontingensi i dan j mempunyai peranan yang simetris, yakni membandingkan unsur-unsur i (untuk tiap j) sama dengan membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari n ij /n i (untuk masing-masing n ij /n j ), dengan n i = jumlah subjek i yang memiliki semua karakter j, dan n j = jumlah jawaban karakter j. Pengukuran kemiripan antar dua unsur I 1 dan I 2 dari I dilakukan melalui pengukuran jarak khikuadrat dengan persamaan: d 2 ( X ij / X i X i' j / X i',... (21) X p ' ( i i ) = 2 ) j = 1 j dengan: d 2 (i,i ) = jarak euclidean X i = jumlah dari baris i untuk keseluruhan kolom X j = jumlah dari kolom j untuk keseluruhan baris X ij, X i j = jumlah dari baris i untuk kolom j p = banyaknya baris atau kolom (mulai dari 1 sampai p)