BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik 2.1.1. Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut public policy. Thomas R. Dye dalam Subarsono (2006:2) menyatakan, secara sederhana, kebijakan publik dapat diartikan sebagai apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Richard Rose dalam Agustino (2006:7) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri. Definisi lain mengenai kebijakan publik dikemukakan oleh Carl Friedrich dalam Agustino (2006:7) yang menyatakan bahwa serangkaian kegiatan atau tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitankesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan setiap kebijakan pemerintah yang diambil maupun yang tidak diambil dalam mencapai suatu tujuan atau memecahkan suatu permasalahan. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah tersebut dapat dilihat dari rangkaian kegiatan baik 18
19 melalui aturan, proyek, atau kegiatan yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu. Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan dapat diukur dengan melakukan evaluasi terhadap aturan, proyek, atau kegiatan tersebut. 2.1.2. Evaluasi Kebijakan Publik Setiap kebijakan yang diterapkan harus memperoleh pengawasan supaya dapat dipertanggungjawabkan. Wujud pengawasan tersebut berupa evaluasi kebijakan yang dapat dilaksanakan setelah beberapa waktu atau periode berjalannya suatu kebijakan. Selain menilai efektivitas, evaluasi juga berfungsi untuk menilai sejauh mana tujuan dari suatu kebijakan berhasil dicapai. Evaluasi kebijakan merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan dapat membuahkan hasil, yaitu dengan membandingkan hasil yang diperoleh dengan tujuan dan atau target kebijakan publik yang ditentukan (Widodo. 2007:112). Selanjutnya Jones dalam Widodo (2007:113-114) mengartikan evaluasi sebagai suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil kebijakan pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting dalam spesifikasi objeknya, teknik-teknik pengukurannya, dan metode analisisnya. Dunn (2003:608) mengemukakan bahwa evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakan dari metode-metode analisis kebijakan lainnya, yaitu: 1. Fokus Nilai Evaluasi merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil kebijakan yang terantisipasi dan
20 tidak terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri. 2. Interdependensi Fakta Nilai Tuntutan evaluasi tergantung baik fakta maupun nilai. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat. 3. Orientasi Masa Kini dan masa Lampau Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-permis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).. 4. Dualitas Nilai Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hierarki yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran. Menurut Dunn (2003: 429-438), bahwa dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan digunakan tipe kriteria yang berbeda-beda untuk mengevaluasi hasil kebijakan. Di bawah ini adalah beberapa kriteria evaluasi:
21 1. Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu kebijakan mencapai hasil yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektivitas ini berkaitan dengan rasionalitas teknik, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau moneternya. 2. Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha. Ukuran-ukuran yang digunakan dalam kriteria efisiensi adalah jangka waktu pelaksanaan kebijakan, sumber daya manusia yang diberdayakan untuk melaksanakan kebijakan. 3. Kecukupan (adequacy), berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria ini menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. 4. Kesamaan atau perataan (equity), berhubungan erat dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompokkelompok yang berbeda dalam masyarakat. 5. Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. 6. Ketepatan (appropriateness), berhubungan dengan rasionalitas substantif. Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan kebijakan dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan memiliki peran yang sangat penting dalam siklus perumusan kebijakan. Evaluasi
22 kebijakan dapat diartikan sebagai suatu proses menilai, mengklarifikasi, dan mengkritik terhadap nilai-nilai yang mendasari sebuah kebijakan dan hasil-hasil dari sebuah kinerja kebijakan. Selain untuk mengetahui tentang seberapa jauh tujuan-tujuan yang direncanakan telah dicapai, evaluasi kebijakan juga dapat memberikan suatu informasi yang berharga terhadap rangkaian siklus pembuatan kebijakan. Informasi-informasi yang diperoleh dari evaluasi kebijakan akan menjadi landasan untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik di masa mendatang. Evaluasi harus dilandasi oleh keingintahuan akan sesuatu secara objektif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dengan melibatkan data-data primer maupun data-data sekunder. 2.2.Pengembangan Masyarakat (Community Development) 2.2.1 Pengertian Pengembangan Masyarakat Secara umum pengembangan masyarakat (community development) adalah kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya (Budimanta dalam Rudito, et al. 2003: 40). Zubaedi (2013:4) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat adalah upaya mengembangkan sebuah kondisi masyarakat secara berkelanjutan dan aktif berlandaskan prinsip-prinsip keadilan sosial dan saling menghargai. Pengembangan masyarakat adalah komitmen dalam memberdayakan masyarakat lapis bawah sehingga mereka memiliki berbagai pilihan nyata menyangkut masa depannya. Masyarakat lapis bawah umumnya terdiri atas orang-orang lemah, tidak berdaya,
23 dan miskin karena tidak memiliki sumber daya atau tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol sarana-sarana produksi. Salah satu tujuan pengembangan masyarakat adalah membangun sebuah struktur masyarakat yang di dalamnya memfasilitasi tumbuhnya partisipasi secara demokratis ketika terjadi pengambilan keputusan. Membangun kembali masyarakat sebagai tempat pengalaman penting manusia, untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan membangun kembali struktur-struktur negara dalam hal kesejahteraan, ekonomi global, birokrasi, elite profesional, dan sebagainya yang selama ini kurang berperikemanusiaan dan sulit diakses. Tujuan dari sebuah usaha pengembangan masyarakat dikatakan berhasil apabila proses yang dilaksanakan menuju ke arah pencapaian tujuan. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana suatu lembaga yang bergerak di bidang konservasi hutan yang berupaya tetap menjaga kelestarian hutan namun tidak mengurangi akses masyarakat terhadap hutan. Lembaga tersebut dalam proses mencapai tujuan kelestarian hutan melakukan kegiatan yang bersifat memfasilitasi keterlibatan masyarakat dalam setiap keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan. Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan merupakan suatu keputusan yang mengakui keberadaan mereka, dengan mengembangkan potensi-potensi masyarakat tersebutlah proses pencapaian tujuan lembaga untuk menjaga kelestariannya dapat dilaksanakan dengan baik. Memberikan pilihan-pilihan pada masyarakat menyangkut masa depan yang akan mereka jalani memerlukan nilai-nilai dan kemampuan-kemampuan masyarakat itu sendiri agar proses-proses pembangunan dapat terwujud secara baik dan berkelanjutan. Hal ini dapat dibentuk dengan upaya-upaya penggalian dan penguatan nilai-nilai yang sudah berkembang di masyarakat, maupun dengan
24 intervensi pihak luar yakni melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat umumnya dilakukan melalui pendampingan masyarakat oleh pihak luar agar masyarakat memiliki daya untuk mencapai kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas kehidupan yang lebih baik. 2.2.2 Pemberdayaan Masyarakat Menurut Jim Ife dalam Zubaedi (2013:74-75), Pemberdayaan adalah memberikan sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan kepada warga untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa depannya sendiri dan berpartisipasi dalam dan memengaruhi kehidupan dari masyarakatnya. World Bank (2001) dalam Mardikanto dan Soebianto (2012:27) mengartikan pemberdayaan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau menyuarakan pendapat, ide, atau gagasan-gagasannya, serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice) sesuatu (konsep, metodis, produk, tindakan, dan lain-lain) yang terbaik bagi pribadi, keluarga, dan masyarakatnya. Pemberdayaan merupakan upaya menumbuhkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining power), sehingga memiliki akses dan kemampuan untuk mengambil keuntungan timbal balik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Keempat bidang ini saling berkaitan. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat adalah memberikan wewenang dan pelayanan sehingga kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam empat bidang tersebut dapat berkembang. Dengan kata lain, arah pemberdayaan masyarakat adalah expanding the capacity of society (Kartasasmita.2003:3).
25 Pemahaman mengenai pengembangan masyarakat sebagai sebuah proses juga harus diikuti dengan usaha peningkatan kapasitas yang terus menerus. Keluaran dari proses pengembangan masyarakat bukanlah suatu kondisi yang berhenti pada sebuah titik tertentu saat tujuan pengembangan itu dinyatakan tercapai, namun keluarannya harus berupa siklus yang terus menerus dan berkelanjutan, karena kondisi dan dinamika masyarakat terus berkembang dan ketika usaha peningkatan kapasitas telah mencapai suatu tingkatan tertentu, maka akan muncul tantangan-tantangan baru yang lebih kompleks dan lebih berat. Mardikanto dan Soebianto (2012:69) menjelaskan bahwa penguatan kapasitas adalah proses peningkatan kemampuan individu, kelompok, organisasi dan kelembagaan yang lain untuk memahami dan melaksanakan pembangunan dalam arti luas secara berkelanjutan. Dalam pengertian tersebut, terkandung pemahaman bahwa: 1. Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan (individu, kelompok, organisasi, dan kelembagaan yang lain) untuk menunjukkan/memerankan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan; 2. Kapasitas bukanlah suatu yang pasif, melainkan proses yang berkelanjutan; 3. Pengembangan kapasitas sumber daya manusia merupakan pusat pengembangan kapasitas; 4. Yang dimaksud dengan kelembagaan, tidak terbatas dalam arti sempit (kelompok, perkumpulan atau organisasi), tetapi juga dalam arti luas, menyangkut perilaku, nilai-nilai, dan lain-lain. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya
26 setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung (Kartasasmita.2003:12). Pemberdayaan masyarakat merupakan jalan untuk menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat. Masyarakat berdaya dapat dilihat dari kemampuan mereka dalam mengadakan sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan. Kemampuan tersebut akan menentukan kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat terhadap program pembangunan. Masyarakat yang telah memiliki sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan tentu akan memberikan mereka kesempatan untuk berpartisipasi yang lebih besar dengan memberikan bantuan sumber daya, pengetahuan, serta keterampilan mereka miliki dibandingkan yang tidak memiliki kemampuan tersebut. 2.2.3 Partisipasi Masyarakat Strategi partisipasi pertama kali didefinisikan Sherry Arnstein (1969) yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah (agency). Partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipatif is citizen power), bahwa dari sudut kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, terdapat tingkatannya sendirisendiri. Partisipasi juga dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut
27 bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan (Davis dalam Sastropoetro. 1988:13). Menurut Conyers (1994:154-155), ada tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting dalam pembangunan, yaitu: a. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan dan proyek akan gagal, b. Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut, c. Partisipasi merupakan hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Bentuk partisipasi yang diberikan masyarakat dalam tahap pembangunan ada beberapa bentuk, menurut Cohen dan Uphoff (1977) dalam Supriatna (2000:212) terdiri dari partisipasi dalam pengambilan keputusan, implementasi, pemanfaatan dan evaluasi program pembangunan. Sedangkan Conyers (1991), Moeljarto (1987), Korten (1993,1994) dalam Supriatna (2000:212) menambahkan disamping empat bentuk partisipasi tersebut di atas, masyarakat penerima program perlu dilibatkan dalam identifikasi masalah pembangunan dan dalam proses perencanaan program pembangunan. Menurut Ericson dalam Slamet (1993:89) bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan terbagi atas 3 tahap, yaitu: a. Partisipasi di dalam tahap perencanaan (idea planing stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap penyusunan
28 rencana dan strategi dalam penyusunan kepanitiaan dan anggaran pada suatu kegiatan atau proyek. Masyarakat berpartisipasi dengan memberikan usulan, saran dan kritik melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan. b. Partisipasi di dalam tahap pelaksanaan (implementation stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pelaksanaan pekerjaan suatu proyek. Masyarakat dapat memberikan tenaga, uang ataupun material atau barang serta ide-ide sebagai salah satu wujud partisipasinya pada pekerjaan tersebut; c. Partisipasi di dalam pemanfaatan (utilitazion stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pemanfaatan suatu proyek setelah proyek tersebut selesai dikerjakan. Partisipasi masyarakat pada tahap ini berupa tenaga dan uang untuk mengoperasikan dan memelihara proyek yang telah dibangun. Mardikanto dan Soebiato (2012:88-90) membedakan tipologi partisipasi menjadi tujuh beserta ciri-cirinya, yakni: a. Partisipasi Pasif/ Manipulatif - Masyarakat diberitahu apa yang sedang atau terjadi - Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat - Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran b. Partisipasi Informatif - Masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian
29 - Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian - Akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat c. Partisipasi Konsultatif - Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi - Orang luar mendengarkan, menganalisis masalah dan pemecahannya - Tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama - Para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan - Masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti d. Partisipasi Insentif - Masyarakat memberikan korbanan/jasanya untuk memperoleh imbalan berupa insentif/upah - Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimeneksperimen yang dilakukan - Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan e. Partisipasi Fungsional - Masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek - Pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati - Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandirian
30 f. Partisipasi Interaktif - Masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan - Cenderung melibatkan metodis interdisipliner yang mencari keragaman perseptif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis - Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas (pelaksanaan) keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan g. Self Mobilization (Mandiri) - Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki - Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang diperlukan - Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan Slamet (1993:97,137-143) menyatakan bahwa faktor-faktor internal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan mata pencaharian. Faktor internal berasal dari individu itu sendiri. Sementara faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat menurut Sunarti (2003) dalam Erawati (2013:34) dapat dikatakan sebagai petaruh (stakeholder), yaitu semua pihak yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap program ini sebagai upaya internalisasi dan implementasi lebih lanjut.
31 Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan menjadi penting karena dengan partisipasi masyarakat dalam setiap rangkaian kegiatan akan menentukan keberhasilan kegiatan tersebut. Kegiatan yang memberikan kesempatan berpartisipasi pada masyarakat penerima manfaat akan memudahkan proses pelaksanaan kegiatan karena masyarakat dapat memberikan informasi, sumber daya, keterampilan serta memunculkan rasa memiliki kegiatan tersebut sehingga proses pembangunan menjadi lebih baik. Peran masyarakat dalam suatu kegiatan ditentukan oleh bagaimana mereka dapat menentukan proses pembangunan mulai dari tahap perencanaan hingga pada tahap pemeliharaan. Semakin tinggi peran tersebut maka kesempatan partisipasi masyarakat semakin tinggi, begitu juga sebaliknya apabila peran tersebut rendah maka kesempatan partisipasi masyarakat semakin rendah. Salah satu program pemberdayaan masyarakat yang memberikan kesempatan pada masyarakat untuk berpartisipasi dapat kita temui pada program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri perdesaan yang dilaksanakan pemerintah dari tahun 2007 hingga 2014. 2.3.Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat - Mandiri Perdesaan 2.3.1. Sejarah PNPM-MPd Sebelum diluncurkannya PNPM Mandiri pada tahun 2007, telah banyak program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang menggunakan konsep pemberdayaan masyarakat (community development) sebagai pendekatan operasionalnya. Dimulai dari program yang paling terkenal di masa Pemerintahan Orde Baru, adalah program IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang dimulai pada tahun 1993/1994, awal Repelita VI.
32 Program ini merupakan manifestasi dari Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Program Inpres Desa Tertinggal dilaksanakan dengan memberikan bantuan modal usaha berupa dana bergulir kepada lebih 20 ribu desa tertinggal dengan dana sebesar Rp. 20 juta setiap tahun. Bantuan dana bergulir ini diberikan selama 3 tahun anggaran. Sejalan dengan bantuan dana bergulir tersebut pemerintah juga memberikan bantuan teknis pendampingan yang memberikan bantuan teknis kepada masyarakat desa dalam rangka pemanfaatan dana bergulir tersebut. Belajar dari keberhasilan dan kegagalan IDT, kemudian lahir generasi kedua program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat lainnya adalah : PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang dilaksanakan Departemen Dalam Negeri - 1998, P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) yang dilaksanakan Departemen Pekerjaan Umum - 1999, PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang dilaksanakan Departemen Kelautan dan Perikanan, KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang dilaksanakan Departemen Sosial, dan lain-lain. Program-program tersebut berjalan sendirisendiri menurut kebijakan Departemen yang bersangkutan, tidak terintegrasi, parsial dan sektoral. Mulai tahun 2007 Pemerintah Indonesia mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd) adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Pendekatan PNPM-MPd merupakan pengembangan dari Program Pengembangan
33 Kecamatan, yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan Program Pengembangan Kecamatan adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat. 2.3.2. Visi dan Misi PNPM-MPd Visi PNPM-MPd adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM-MPd adalah: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan. 2.3.3. Tujuan PNPM-MPd Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Tujuan Khusus dari PNPM-MPd meliputi: 1. Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan
34 2. Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal 3. Mengembangkan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif 4. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat 5. Melembagakan pengelolaan dana bergulir 6. Mendorong terbentuk dan berkembangnya Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) 7. Mengembangkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan. 2.3.4. Sasaran PNPM-MPd Pada tahun 2009, lokasi sasaran PNPM Mandiri Perdesaan meliputi seluruh kecamatan perdesaan di Indonesia yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Untuk tahun 2008, ketentuan pemilihan lokasi sasaran berdasarkan ketentuan : a. Kecamatan-kecamatan yang tidak termasuk kategori kecamatan bermasalah dalam Program Pengembangan Kecamatan, b. Kecamatan-kecamatan yang diusulkan oleh pemerintahan daerah dalam skema kontribusi pendanaan. Kelompok Sasarannya meliputi : a. Rumah Tangga Miskin (RTM) di perdesaan, b. Kelembagaan masyarakat di perdesaan, c. Kelembagaan pemerintahan lokal.
35 2.3.5. Mekanisme Pelaksanaan PNPM-MPd Gambar 2.1 Alur tahapan PNPM-MPd (Depdagri. 2008) Masyarakat adalah pelaku utama PNPM-MPd pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian. Sedangkan pelaku-pelaku lainnya di desa, kecamatan, kabupaten dan seterusnya berfungsi sebagai pelaksana, fasilitator, pembimbing dan
36 pembina agar tujuan, prinsip, kebijakan, prosedur dan mekanisme PNPM-MPd tercapai dan dilaksanakan secara benar dan konsisten. Berdasarkan Petunjuk Teknis Operasional PNPM-MPd (Depdagri. 2008) Alur kegiatan PNPM-MPd yang tercantum dalam gambar 2.1 secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok tahap kegiatan, yaitu: a. Perencanaan Kegiatan Orientasi dan Pengamatan Lapang Sebelum memulai tahap perencanaan, hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan orientasi atau pengenalan kondisi yang ada di desa dan kecamatan. Kegiatan yang dilakukan oleh seluruh pelaku PNPM-MPd yang dipandu oleh fasilitator kecamatan ini bertujuan dalam rangka pengenalan desa meliputi identifikasi potensi dan sumber daya yang dapat mendukung pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan di tingkat desa, termasuk pelakupelaku PNPM Mandiri Perdesaan pada tahap sebelumnya, kondisi kegiatan atau bangunan yang telah dibiayai melalui PNPM Mandiri Perdesaan tahap sebelumnya, inventarisasi dokumen rencana pembangunan desa (tahunan atau jangka menengah, inventarisasi data kependudukan, program selain PNPM Mandiri Perdesaan yang akan masuk ke desa. Musyawarah Antar Desa Sosialisasi Musyawarah antar desa sosialisasi merupakan pertemuan antar desa untuk sosialisasi awal tentang tujuan, prinsip, kebijakan, prosedur maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan PNPM Mandiri Perdesaan serta untuk menentukan kesepakatan-kesepakatan antar desa dalam melaksanakan PNPM Mandiri Perdesaan. Peserta berjumlah enam orang wakil per desa
37 terdiri dari kepala desa, 2 orang wakil dari badan permusyawaratan desa, dan 3 orang tokoh masyarakat (sekurang-kurangnya 3 dari keenam wakil tersebut adalah perempuan) dari semua desa di kecamatan. Salah satu hasil yang muncul adalah tersosialisasikannya rencana pembentukan Unit Pengelola Kegiatan dan Badan Pengawas Unit Pengelola Kegiatan beserta tugas dan kewenangannya. Musyawarah Desa Sosialisasi Musyawarah desa sosialisasi merupakan pertemuan masyarakat desa sebagai ajang sosialisasi atau penyebarluasan informasi PNPM Mandiri Perdesaan di desa. Peserta musyawarah desa terdiri dari kepala desa dan aparat desa, badan permusyawaratan desa, lembaga pemberdayaan masyarakat, wakil rumah tangga miskin desa, wakil perempuan, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, dan anggota masyarakat lain yang berminat untuk hadir. Salah satu hasil dari kegiatan ini adalah terbentuknya tim pengelola kegiatan dan kader pemberdayaan masyarakat desa serta disepakati pembuatan media penyebaran informasi seperti papan informasi PNPM Mandiri Perdesaan. Penggalian Gagasan Penggalian gagasan adalah proses untuk menemu kenali gagasan-gagasan kegiatan atau kebutuhan masyarakat dalam upaya mengatasi permasalahan kemiskinan yang dihadapi dan mengembangkan potensi yang ada di masyarakat. Pelaksanaannya melalui pertemuan kelompokkelompok/dusun dengan memanfaatkan pertemuan rutin kelompok yang
38 sudah ada. Hasil yang diharapkan adalah munculnya gagasan-gagasan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat terutama rumah tangga miskin. Musyawarah Desa Khusus Perempuan Musyawarah Desa Khusus Perempuan dihadiri oleh kaum perempuan dan dilakukan dalam rangka membahas gagasan-gagasan dari kelompokkelompok perempuan dan menetapkan usulan kegiatan yang merupakan kebutuhan desa. Hasil yang muncul pada pertemuan ini adalah ditetapkannya usulan kegiatan simpan pinjam perempuan kelompok maupun usulan lainnya dan terpilihnya calon-calon wakil perempuan yang akan hadir pada musyawarah antar desa prioritas usulan. Musyawarah Desa Perencanaan Musyawarah desa perencanaan merupakan pertemuan masyarakat di desa yang bertujuan untuk membahas seluruh gagasan kegiatan, hasil dari proses penggalian gagasan di kelompok-kelompok/dusun. Peserta musyawarah desa terdiri dari kepala desa dan aparat desa, badan permusyawaratan desa, lembaga pemberdayaan masyarakat, wakil rumah tangga miskin desa, wakil perempuan, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, dan anggota masyarakat lain yang berminat untuk hadir. Salah satu hasil dari kegiatan ini adalah ditetapkannya satu kegiatan sarana prasarana dasar atau kegiatan peningkatan kualitas hidup masyarakat (kesehatan atau pendidikan) dan peningkatan kapasitas kelompok-kelompok usaha ekonomi. Musyawarah Antar Desa Prioritas Usulan MAD prioritas usulan adalah pertemuan di kecamatan yang bertujuan membahas dan menyusun peringkat usulan kegiatan. Penyusunan peringkat
39 didasarkan atas kriteria kelayakan sebagaimana yang digunakan oleh tim verifikasi dalam menilai usulan kegiatan. Peserta berjumlah enam orang wakil per desa terdiri dari kepala desa, 2 orang wakil dari badan permusyawaratan desa, dan 3 orang tokoh masyarakat (sekurang-kurangnya 3 dari keenam wakil tersebut adalah perempuan) dari semua desa di kecamatan. Salah satu hasil dari kegiatan ini adalah dipilih dan ditetapkannya pengurus unit pengelola kegiatan, terbentuknya badan kerja sama antar desa, dan ditetapkannya daftar prioritas kegiatan (prasarana/sarana maupun pendanaan simpan pinjam perempuan) yang akan di danai oleh PNPM-MPd maupun sumber lainnya. Musyawarah Antar Desa Penetapan Usulan Musyawarah antar desa penetapan usulan merupakan musyawarah untuk mengambil keputusan terhadap usulan yang akan didanai melalui PNPM Mandiri Perdesaan. Keputusan pendanaan harus mengacu pada peringkat usulan yang telah dibuat pada saat musyawarah antar desa prioritas usulan. Peserta berjumlah enam orang wakil per desa terdiri dari kepala desa, 2 orang wakil dari badan permusyawaratan desa, dan 3 orang tokoh masyarakat (sekurang-kurangnya 3 dari keenam wakil tersebut adalah perempuan) dari semua desa di kecamatan. Salah satu hasil dari kegiatan ini adalah ditetapkannya pendanaan usulan serta aturan-aturan yang disepakati bersama dalam menggunakan dana tersebut. Musyawarah Desa Informasi Hasil Musyawarah Antar Desa Musyawarah desa ini merupakan musyawarah sosialisasi atau penyebarluasan hasil penetapan alokasi dana PNPM Mandiri Perdesaan
40 yang diputuskan dalam musyawarah antar desa penetapan usulan yang dilaksanakan baik di desa yang mendapatkan dana maupun yang tidak. Khusus desa-desa yang terdanai PNPM-MPd kegiatan ini akan ditentukan besarnya insentif bagi yang pekerja (per hari orang kerja) serta tersosialisinya aturan-aturan yang telah disepakati dalam pengelolaan dana tersebut. b. Pelaksanaan Kegiatan Persiapan Pelaksanaan Untuk menjamin kualitas pelaksanaan kegiatan yang tetap mengacu pada prinsip dan mekanisme PNPM-MPd, maka perlu adanya persiapan pelaksanaan yang matang dan terencana. Persiapan pelaksanaan ini lebih ditujukan kepada penyiapan aspek sumber daya manusia, termasuk masyarakat, Tim Pengelola Kegiatan, Unit Pengelola Kegiatan, dan seluruh pelaku PNPM-MPd lainnya. Karena itu, Tim Pengelola Kegiatan dan Unit Pengelola Kegiatan perlu mendapatkan pelatihan terlebih dahulu sebelum melaksanakan kegiatan yang didanai PNPM-MPd. Pelatihan Unit Pengelola Kegiatan, Badan Pemeriksa Unit Pengelola Kegiatan, Tim Pengelola Kegiatan, dan pelaku desa lainnya dilakukan dalam masa setelah penandatanganan surat perjanjian pemberian bantuan oleh Camat, sampai dengan masa persiapan pelaksanaan. Pencairan Dana dan Pelaksanaan Kegiatan Untuk penyaluran dana bantuan PNPM Mandiri Perdesaan, mengikuti proses dan prosedur yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan, Depkeu. Tim pengelola kegiatan mengumumkan adanya
41 rencana pelaksanaan kegiatan kepada masyarakat dan kebutuhan tenaga kerjanya, serta upah dan hari kerja yang dibutuhkan sesuai rencana anggaran biaya dan desain teknisnya. Pengumuman kebutuhan tenaga kerja ini terbuka bagi warga desa termasuk bagi kaum perempuan dan diutamakan bagi rumah tangga miskin. Pengumuman disampaikan melalui papan informasi di tempat strategis dimana masyarakat biasa berkumpul, sehingga setiap warga masyarakat tahu bahwa ada pembangunan di desanya. Calon tenaga kerja mengisi Format Pendaftaran satu kali sebelum mulai bekerja, akan tetapi boleh mendaftarkan diri sampai pelaksanaan selesai. Proses pengadaan bahan dan alat dalam PNPM Mandiri Perdesaan dilaksanakan oleh masyarakat secara transparan. Atas persetujuan masyarakat, tim pengelola kegiatan menyelenggarakan proses pengadaan tersebut dan melaporkan setiap tindakannya kepada masyarakat melalui forum pertemuan masyarakat dan papan informasi. Musyawarah Desa Pertanggung Jawaban Musyawarah desa ini dimaksudkan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan oleh tim pengelola kegiatan kepada masyarakat. Musyawarah pertanggungjawaban ini dilakukan secara bertahap minimal dua kali yaitu setelah memanfaatkan dana PNPM Mandiri Perdesaan tahap pertama dan tahap kedua. Musyawarah Desa Serah Terima Musyawarah desa serah terima merupakan bentuk pertanggungjawaban seluruh pengelolaan dana dan kegiatan oleh tim pengelola kegiatan kepada masyarakat setelah pekerjaan/kegiatan selesai dilaksanakan. Tujuan
42 musyawarah ini untuk menghindari kesalahpahaman di kemudian hari sehingga hasil kegiatan yang telah dilaksanakan dapat diterima oleh masyarakat. c. Pelestarian Kegiatan Pengelolaan kegiatan PNPM-MPd harus dijamin dapat memberi manfaat kepada masyarakat secara berkelanjutan (sustainable). Di samping manfaat dari hasil kegiatan, aspek pemberdayaan, sistem dan proses perencanaan, aspek good governance, serta prinsip-prinsip PNPM-MPd harus memberi dampak perubahan positif secara berkelanjutan bagi masyarakat. Untuk dapat mencapai hal itu maka semua pelaku PNPM-MPd harus mengetahui dan mampu memahami latar belakang, dasar pemikiran, prinsip, kebijakan, prosedur, dan mekanisme PNPM-MPd secara benar. Pelestarian kegiatan merupakan tahapan pasca pelaksanaan yang dikelola dan merupakan tanggung jawab masyarakat. Namun demikian dalam melakukan tahapan pelestarian, masyarakat tetap berdasarkan atas prinsip PNPM-MPd dengan salah satu tujuannya keberlanjutan proses dan penerapan prinsip, sistem, mekanisme PNPM-MPd dalam pelaksanaan pembangunan secara partisipatif di masyarakat dan pengintegrasian dengan sistem pembangunan reguler, menjamin berfungsinya secara berkelanjutan prasarana/sarana yang telah dibangun, kegiatan yang menunjang kualitas hidup masyarakat serta menumbuhkan dan meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap hasil kegiatan yang telah dilaksanakan.
43 2.4. Alur Berpikir Pembangunan adalah proses yang meningkatkan kualitas kehidupan dan kemampuan umat manusia dengan cara menaikkan standar kehidupan, harga diri, dan kebebasan individu. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan akan mendorong masyarakat ke dalam situasi dimana masyarakat terdorong untuk memberikan sumbangan pada proses pembangunan baik secara fisik maupun nonfisik dalam usaha mencapai tujuan bersama. Pembangunan yang melibatkan masyarakat mendorong terciptanya rasa memiliki sehingga timbul rasa tanggung jawab untuk menyukseskan setiap proses pembangunan serta melestarikan hasilhasil dari pembangunan tersebut. PNPM-MPd merupakan kebijakan pembangunan partisipatif yang dicanangkan pemerintah pada tahun 2007 dalam upaya peningkatan keberdayaan masyarakat. Secara garis besar tujuan dari PNPM-MPd adalah meningkatkan partisipasi masyarakat, meningkatkan pelembagaan pembangunan partisipatif, pengembangan kapasitas pemerintahan desa, penyediaan prasarana sarana sosial dasar, pelembagaan pengelolaan dana bergulir, pelembagaan badan kerja sama antar desa, dan peningkatan kerja sama antar pemangku kepentingan. Tujuan tersebut akan di evaluasi hasil dan capaiannya berdasarkan teori William N. Dunn dengan melihat setiap komponen tujuan berdasarkan efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan ketepatannya. Hasil dari evaluasi tersebut dianalisis dari sisi pengembangan masyarakat khususnya dari sisi penyiapan kapasitas masyarakat, pemberdayaan masyarakat, serta partisipasi masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
44 memberikan gambaran tingkat pencapaian tujuan PNPM-MPd di Kecamatan Kebayakan dari tahun 2007-2014. PNPM-MPd merupakan kebijakan pembangunan partisipatif dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat Implementasi PNPM-MPd Tujuan PNPM untuk meningkatkan: 1. Tingkat Partisipasi Masyarakat 2. Pelembagaan Pembangunan Partisipatif 3. Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Desa 4. Penyediaan Prasarana sarana sosial dasar 5. Pelembagaan pengelolaan dana bergulir 6. Pelembagaan BKAD 7. Kerja Sama antar Pemangku Kepentingan Evaluasi PNPM-MPd Teori Evaluasi Kebijakan menurut William N. Dunn : 1. Efektivitas 2. Efisiensi 3. Kecukupan 4. Perataan 5. Responsivitas 6. Ketepatan Memberikan gambaran tingkat pencapaian pelaksanaan PNPM-MPd di Kecamatan Kebayakan Gambar. 2.2 Alur Pemikiran