BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan yang berada di sebuah desa atau kota harus dilestarikan oleh

BAB I. PENDAHULUAN. Kebijakan konservasi hutan atau pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888]

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah Bumi, air dan kekayaan alam yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI PROPINSI JAWA TIMUR DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 196 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 175 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG KOTA BONTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 91 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air,

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 7/Juli/2016. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PENGRUSAKAN HUTAN MENURUT KETENTUAN YANG BERLAKU 1 Oleh: Hendra Djarang 2

NOMOR 28 TAHUN 1985 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

NGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 32/Menhut -II/2010 TENTANG TUKAR MENUKAR KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III KECAMATAN KEDUNG ADEM KABUPATEN BOJONEGORO MENURUT PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2003

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.376, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Tukar Menukar.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan. Davis,dkk. (2001)

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman (tegakan seumur). Salah satu hutan tanaman yang telah dikelola dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 94 TAHUN 2011 TENTANG

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 4

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

BAB I PENDAHULUAN. keputusan (SK) perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001. berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan dan berdampak pula pada

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.382/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENTERI KEHUTANAN,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR : 7 Tahun 2000 SERI : B NOMOR : 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR : 07 TAHUN 2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan hasil hingga pemasaran hasil hutan. Pengelolaan menuju

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia yang dapat memberikan manfaat yang besar untuk kehidupan makluk hidup. Salah satu manfaat sumber daya hutan secara umum dalam kehidupan sebagai salah satu sumber bahan baku utama produksi dan industri yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi hampir sebagian besar kebutuhan manusia. Selain itu, hutan bersifat multifungsi meliputi fungsi klimatologis, hidrologis, biologis, sosial, dan ekonomis. Hutan memiliki fungsi dan manfaat yang kompleks sebagai sistem dan sarana untuk keberlanjutan ekosistem hutan maupun ekosistem global Kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, menunjukkan adanya perubahan yang signifikan, yaitu perubahan ekosistem hutan senantiasa berhubungan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Hutan produksi di Pulau Jawa yang menonjol adalah hutan tanaman jati, baik berada dalam kawasan hutan milik negara maupun hutan milik rakyat. Pengelolaan hutan tanaman jati telah berlangsung sejak tahun 1897 dan sudah dikelola dengan baik atas dasar usulan A.E.J. Bruinsma, yaitu dengan dibentuknya houtvesterij (a relatively small management unit) yang saat ini dikenal sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) merupakan badan usaha milik negara yang ditugaskan untuk menjaga, melindungi dan memeriksa kawasan hutan. Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) juga bertugas untuk mengelola kawasan hutan agar tidak terjadi illegal logging. Menurut Zain (1995:37), Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) adalah satu kesatuan produksi yang bertujuan mengadakan usaha-usaha produktif sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan pendapatan nasional dengan cara melakukan kegiatankegiatan dibidang perusahaan kehutanan, berupa penanaman, pemeliharaan, eksploitasi, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. KPH dan masyarakat

mempunyai peran penting dalam menjaga dan melindungi kawasan hutan dari kegiatan yang dapat menimbulkan permasalahan kehutanan seperti illegal logging. Illegal logging dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan penebangan secara berlebihan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Illegal logging menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya kawasan hutan. Masyarakat sebenarnya memiliki kewajiban untuk menjaga dan melindungi kawasan hutan. Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa: Setiap orang dilarang: 1. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, 2. Merambah kawasan hutan, 3. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: a. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau. b. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa. c. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai. d. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai. e. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang. f. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasangterendah dari tepi pantai. 4. Membakar hutan, 5. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, 6. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah, 7. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri,

8. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, 9. Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang, 10. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang, 11. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang, 12. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan, 13. Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. Selain itu dewasa ini sumber daya hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman produksi yang ada dihampir sebagian besar wilayah Indonesia telah mengalami penurunan fungsi secara drastis dimana hutan tidak lagi berfungsi secara maksimal sebagai akibat dari eksploitasi kepentingan manusia baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Kondisi sumberdaya alam utamanya ekosistem hutan yang mengalami kerusakan akan menimbulkan dampak seperti sulit memperoleh sumber air saat kemarau sehingga terjadi kekeringan. Sebaliknya, disaat musim hujan, memungkinkan terjadi bencana tanah longsor dan banjir. Pengelolaan hutan tanaman jati dari waktu ke waktu terbukti telah terjadi penurunan baik terhadap produktivitas bahkan kondisi kualitas tegakan hutan. Dasar penurunan produktivitas dapat ditinjau atas dasar data produksi kayu jati, yaitu tahun 1992 sebanyak 780.000 m 3 /tahun dengan hutan jati seluas 600.800 hektar (Revilla dan Setyarso, 1992); produksi tahun 2000 sebanyak 726.654 m 3 /tahun dalam bentuk log untuk memasok perusahaan kayu jati di Indonesia (Asosiasi Mebel Indonesia, 2001 dalam Siregar, 2005); dan produksi tahun 2005 sebanyak 354.644 m 3 /tahun (Anonim, 2006). Faktor-faktor yang menimbulkan

kerusakan hutan sebagian besar telah menyebabkan adanya tegakan yang didominasi oleh kelas umur muda (KU I dan KU II). Susunan kelas hutan tersebut dapat menimbulkan masalah berkaitan dengan tidak banyak tegakan yang siap ditebang. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas tegakan sebagai akibat permasalahan yang ditimbulkan dari interaksi hutan dengan faktor sosial ekonomi maupun faktor pengelolaan. Beberapa permasalahan dari faktor sosial ekonomi adalah adanya pencurian/penjarahan, pembalakan liar (illegal logging), dan pembakaran tanaman hutan. Beberapa permasalahan dari faktor pengelolaan diantaranya adalah penanaman jati secara monokultur secara terus menerus sehingga terjadi pengurasan unsur hara dalam lapisan tanah oleh tanaman jati. Kegiatan pemungutan kayu tersebut tanpa menyisakan sedikitpun biomasa tanaman untuk bahan dekomposisi sebagai unsur hara, dan ditambah kegiatan tumpang sari tanpa perlakuan konservasi tanah dan air. Permasalahan tersebut dapat menyebabkan degradasi kualitas lahan hutan yang terindikasi melalui penurunan kesuburan tanah dan penurunan bonita. Kondisi ini telah menimbulkan perubahan atribut fungsi hutan maupun peningkatan kerentanan ekosistem hutan tanaman jati terhadap berbagai jenis gangguan baik bio-fisik (angin, kebakaran, hama penyakit dan benalu) maupun sosial (pencurian kayu dan penggembalaan ternak). Di sisi lain, produktivitas hutan berkaitan erat dengan aspek kesuburan tempat tumbuh, yaitu terjaganya unsur hara dalam lapisan tanah yang berguna bagi pertumbuhan suatu tegakan hutan. Oleh karena itu pengelolaan hutan sudah seharusnya mengacu pada kaidah-kaidah ekologis yang ada didalam suatu ekosistem hutan alam. Hutan tanaman jati sebagai ekosistem hutan hasil budidaya manusia bukan hanya sekedar kumpulan pohon-pohon utama jati, melainkan juga termasuk proses interaksi komponen-komponen lain penyusun hutan tanaman tersebut dengan lingkungannya. Dalam ekosistem hutan tanaman jati ada atribut keterkaitan dan ketergantungan berbagai komponen biotik dan abiotik, perubahan yang terjadi dalam komponen apapun akan mengakibatkan perubahan selanjutnya dihampir semua komponen yang lain. Jadi, apabila hutan tanaman jati tidak dikelola dengan baik dapat mengalami penurunan kualitas tegakan dan degradasi lahan. Perubahan

kualitas tegakan ditandai dengan meningkatnya luas kelas hutan tanaman jati umur muda (KU I dan KU II) yang telah terjadi di wilayah hutan Perum Perhutani, termasuk di wilayah KPH Ngawi. Kawasan hutan KPH Ngawi terdiri atas 8 (delapan) bagian hutan, yaitu Kedunggalar Utara, Kedunggalar Selatan, Kedawak, Getas, Ngandong, Geneng, Walikukun Utara dan Walikukun Selatan. Dalam rangka pengaturan kelestarian hasil dan dengan kondisi potensi sumberdaya hutan yang ada, maka masing-masing bagian hutan dikelola dengan penetapan daur yang berbeda (antara 20-60 tahun). Penetapan daur tersebut berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama Perum Perhutani No. 101/042.1/Can/Dir, tanggal 26 Maret 2010; perihal Penetapan Daur dan Koreksi RPKH KPH Tuban, Madura, Ngawi, Blitar dan Jember (Anonim, 2010), yaitu: (1). Untuk 4 lokasi bagian hutan (BH Walikukun Utara, Kedunggalar Utara, Kedunggalar Selatan, dan Geneng) menggunakan daur 60 tahun; (2). Untuk 2 lokasi bagian hutan (BH Getas dan Ngandong) menggunakan daur 50 tahun; dan (3). Untuk 2 lokasi bagian hutan (BH Walikukun Selatan dan Kedawak) menggunakan daur 20 tahun. Penelitian ini beradadi sebagian daerah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ngawi yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Timur yaitu BKPH Kedunggalar utara, BKPH Walikukun Utara, Kedawak, dan BKPH Getas. Permasalahan tentang kehutanan yang mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan dan penurunan kualitas tegakan secara langsung di lapangan tidak dapat diidentifikasi secara cepat karena keterbatasan informasi dan data yang diperoleh yaitu kurang relevan dan update. Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi permasalahan kehutanan yaitu degradasi lahan dan penurunan kualitas tegakan hutan dengan pemanfaatan citra penginderaan jauh yang dapat memberikan gambaran dan informasi mengenai fenomena kehutanan dalam skala luas secara relevan, cepat, dan update. Saat ini teknologi penginderaan jauh sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Salah satu tanda perkembangan ini adalah semakin banyaknya produk citra satelit misalnya satelit sumberdaya alam seperti Landsat 8 OLI yang dapat digunakan dalam inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam, dan sumber daya

hutan khususnya. Data penginderaan jauh ini sudah dimanfaatkan dalam berbagai bidang berbasis keruangan dan sumberdaya alam termasuk kehutanan. Beberapa kelebihan pengumpulan data menggunakan penginderaan jauh antara lain memudahkan pekerjaan di lapangan karena kemampuan dalam merekam suatu kondisi terutama di lokasi dengan aksesibilitas yang sulit, dapat memberikan data yang lengkap dalam waktu relatif singkat serta pemantauan kondisi suatu wilayah yang sama secara berkala (Jaya, 2007). Teknologi inventarisasi hutan dengan memanfaatkan penginderaan jauh memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan teknologi inventarisasi kawasan dan sumberdaya hutan secara langsung atau secara terestris antara lain karena: 1. Dapat dilaksanakan secara cepat, efektif, efisien dan data yang digunakan realtime sesuai kondisi eksisting di lapangan. 2. Memerlukan sedikit biaya dan tenaga terutama bila digunakan untuk banyak bidang kegiatan atau keperluan 3. Hasilnya lebih akurat dan jelas. Meskipun identifikasi dan inventarisasi hutan dengan pemanfatan penginderaan jauh memiliki banyak keunggulan, observasi lapangan harus tetap dilakukan untuk mengetahui kebenaran atau akurasi hasil interpretasi citra satelit. Data hasil pengecekan lapangan selanjutnya digunakan untuk menguji akurasi dan validasi data, serta melengkapi informasi dan mengkoreksi kembali hasil interpretasi sebelumnya. Salah satu metode untuk mengetahui kondisi hutan, kualitas tegakan hutan serta mengidentifikasi kerusakan hutan adalah dengan metode Forest Canopy Density atau Forest Crown Density (FCD) Model. Forest Canopy Density (FCD) Model merupakan salah satu variabel yang paling berguna sebagai dasar perencanaan dan pelaksanaan program rehabilitasi dan Sustainable Forest Management (SFM). Forest Covered Density Model dapat digunakan sebagai indikasi penurunan kualitas tegakan hutan, walaupun kelas penutupan lahan hutan tidak berubah.

1.2. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut yaitu: 1. Apakah citra Landsat 8 hasil transformasi Forest Canopy Density (FCD) Model dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi kerapatan liputan hutan jati? 2. Apakah transformasi citra dengan Forest Canopy Density (FCD) Model mampu untuk mengidentifikasi kerapatan liputan hutan jati secara akurat? 3. Bagaimana hasil pemetaan Forest Canopy Density (FCD) dapat memberikan informasi mengenai kondisi tegakan hutan dan kualitas kerapatan liputan hutan jati tahun 2015? Dari uraian rumusan masalah diatas maka penulis mengadakan penelitian agar dapat menjawab permasalahan dan fenomena yang dapat mengakibatkan bencana lokal maupun global. Selain itu juga dilakukan pengujian kemampuan data apakah informasi yang didapatkan dari citra Landsat 8 dengan menggunakan transformasi Forest Canopy Density (FCD) Model dapat dijadikan sarana dalam pengambilan informasi yang cepat dan tepat untuk identifikasi dan pemetaan kualitas kerapatan hutan jati sehingga dapat dijadikan sarana dan indikator dalam pengambilan kebijakan dan pengendalian secara tepat. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi kondisi kualitas tegakan dan kerapatan liputan hutan jati hasil perekaman citra Landsat 8 melalui analisis Forest Canopy Density (FCD) Model. 2. Mengidentifikasi kerapatan liputan hutan jati berdasarkan transformasi Forest Canopy Density (FCD) model secara akurat. 3. Memberikan gambaran secara spasial tentang kondisi dan kualitas kerapatan hutan jati dengan keluaran yang didapat yaitu Peta Kerapatan Liputan Hutan Jati (Forest Covered Density Map) KPH Ngawi tahun 2015, dan citra hasil analisis transformasi FCD model.

1.4. Manfaat Penelitian 1. Memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis bagaimana upaya untuk mencegah kerusakan hutan dan kerusakan ekosistem hutan dengan salah satu cara yaitu identifikasi kondisi hutan dan kualitas tegakan hutan jati melalui pemetaan Forest Canopy Density (FCD). 2. Memberikan sumbangan pemikiran secara praktis, pemecahan masalah dan saran-saran terhadap permasalahan hutan produksi jati di Kabupaten Ngawi. 3. Sebagai masukan untuk menentukan kebijakan pengelolaan kawasan hutan produksi di Kabupaten Ngawi secara baik dan berkelanjutan. 4. Sebagai informasi dasar penyusunan rencana tata ruang dan wilayah 5. Sebagai informasi dasar dalam penyusunan REDD++ (Reduce Emision from Deforestation and Degradation) dan MRV (Measurable, Reportable and Verifiable). 1.5. Hasil Yang Diharapkan 1. Peta Kerapatan Liputan Hutan Jati KPH Ngawi Tahun 2015 hasil analisis transformasi Forest Canopy Density (FCD) Model, 2. Citra hasil analisis transformasi Forest Canopy Density (FCD) Model