Prolog Jendral. Aku menemukannya dalam ruang imajinasi yang kosong. Rupanya ia telah lama terjebak di dalamnya. Terkancah dalam peti, membuncah setengah mati. Aku mendapatinya seiring dengan membengkaknya jatuh hati ini pada barisan kata-kata, baik yang kubaca maupun kutulis. Rupanya itulah kunci yang membuat ia kini terbebas. Lepas bersama kalimat-kalimat yang kuberikan keberanian untuk menggenggam dunia. Aku mulai mengenalnya dalam setiap puisiku. Aku juga melihatnya dalam kerangka cerita pendekku. Lambat laun ia pun semakin bertahta dalam rahim aksaraku.
Mengekor pada setiap pengamatanku. Ia mengajakku berteman akrab. Dan nyatanya kami semakin lekat. Jendral. Aku tidak tahu harus menyebutnya apa atau siapa. Yang kutahu ia ada dalam jiwa. Jiwa sesiapa saja yang dikehendakinya. Terkadang ia hidup dalam bait-bait yang kutetaskan. Terkadang ia menjelma menjadi sosok yang membuatku jatuh cinta berulang-ulang. Terkadang ia menjadi pisau pada luka yang kuterima. Terkadang ia serupa pelangi yang melengkapi indahnya mahkota jagad raya. Bahkan dalam partikel yang mengudara disekitarku, ia juga ada di situ. Jendral. Terkadang ia adalah aku. Terkadang juga kamu. Ya, kamu, Jend! 2
Aku terlahir dari seonggok kata, tumbuh bersama rentetan aksara, dan akan purnama pada beragam cerita. (Dear Jendral, -Mawar Yonawr) 3
4
Pelangi Aksara Aku jatuh hati pada setiap gugus aksara, yang menjadikan bahagia semakin bersuka, atau luka yang semakin berduka. Aku jatuh hati pada pelangi aksara, yang mendispersikan tiap-tiap spektra jiwa atau mewalikan setiap rasa yang tercipta. 22 Desember 2013 5
Aksara Rasa Apa yang ia perbuat di tiap jeda? Menelanjangi waktu untuk bercinta dengan para aksara. Bahkan syairnya hampir membuta dan ia tak percaya. Sebab, rasa-lah yang lebih utama. 6
Sajak 16 Februari Dear Jendral, kau tahu, hujan adalah senjata bagi para penuai sajak, yang sedang membeku sekalipun. Mungkin ini momen candu para pengukir sajak, ketika hujan dan kesegalaannya mulai syahdu. Aku kian tak peduli pada putaran jarum jam, sebab segelintir rasa di hati masih akan tetap duduk manis menunggangi waktu. Entah sampai kapan. Berapapun syair yang kau ciptakan, senyummu lebih membuatku candu. Aku ingin lagi, menjadi alasan sebuah lengkungan indah itu terpahat di garis wajahmu. 7
Biarkan semuanya melebur, ketika manis itu memuncak di bibirmu. Gerimis pun aku tak merasa, sebab lama ini kau membuatku selalu berkawan dengan air (mata). Malam mengurung para pembongkah rindu-rindu yang telah mengeras, mungkin mereka lelah memikulnya, tapi tetap tak menyerah. Lagi, derai ini meluruhkanku, makin deras, kian gemuruh, aromanya semakin pekat, lalu jatuh dan terdekap keheningan. Mereka tak lekas usai, tetap saja saling berjatuhan, dentingannya terkadang membuat hatiku kelu. 8
Tak ada habisnya malam basah ini mengutukku untuk berkencan dengan seonggok aksara-aksara yang lama membisu. Dingin ini menusuk begitu dalam, mengecup kecilkecil serpihan kenangan yang semakin usang. Aku mengadukan segenap kerinduanku padamu ketika awan mulai mengelabu, tak lama dari itu mereka merintih perlahan lalu kian gemuruh. Tetesannya seakan menyanyikan lagu rindu untukmu. Sesudut pun kau tak pernah menggubris kerinduanku, padahal dari sudut manapun aku selalu merindukanmu. 9
Aku telah melukiskan begitu indahnya masa depan, maka tetaplah di sini hingga masa depanku terlukis nyata. Sepanjang malam yang di penuhi gemuruh hujan, 16 Februari 2013 10
Ah, Kamu... Kamu. Kamu hanya diam seperti itu saja, aku sudah sebegitu lekatnya memerhatikanmu. Meski hanya sekian detik singkatnya, tetapi tak habis-habisnya aku mengulangi lagi, lagi, dan lagi. Kamu membuatku selalu. Selalu menoleh pada setiap gerakmu. Kamu membuatku selalu. Selalu sebegitu ingin tahu apa-apa saja tentangmu. Ah, kamu... Kamu. Spontan tatapku menyelami temu kita kala itu, kalang-kabut aku menyembunyikan gusarku. Setelahnya, aku sibuk merapalkan para aksara yang bergejolak dalam relung hatiku, yang selalu membuatku diam meskipun dalam rongga ini ada ribuan isyarat yang meraung-raung. Ah, kamu, sebegitu lihainya membangunkan rentetan kata-kata manis yang semula pulas dalam hati dan imajiku. 11
Kamu. Siapa ibu kamu? Siapa ayah kamu? Aduhai, bolehkah aku menyalami dan mencium kedua tangan mereka, kemudian mencuri-curi perhatian darinya? Ah, kamu, membuatku selalu ingin bertingkah ini itu. Kamu. Buat aku tersipu. Buatku malu-malu. Saat bersamamu. Saat kusapa dirimu. Kamu. Nyaris aku kuyup utuh sebab terhujani oleh ingatan apa-apa saja tentangmu. Malam ini, bait-baitku adalah kamu. Malam ini, waktuku tentang kamu. Ah, Kamu~ 12