BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi listrik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Penyediaan energi listrik secara komersial yang telah dimanfaatkan dan dikembangkan di Indonesia meningkat pesat sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan perusahaan yang memasok sebagian besar dari kebutuhan energi listrik, disamping perusahaan listrik swasta (Independent Power Producer, IPP). Berdasarkan data PLN [1] bahwa produksi listrik Indonesia pada tahun 2003 bersumber dari energi fosil sebesar 83% terdiri dari batubara: 22%, BBM 36%, gas 24%, sedangkan hidro 15% serta panas bumi 2% (Tabel 1.1). Dari data diperoleh bahwa produksi energi listrik di Indonesia paling banyak bersumber pada pembangkit yang menggunakan bahan bakar minyak. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu jenis energi (minyak bumi) pemerintah mengeluarkan kebijakan diversifikasi energi, penggunaan bahan bakar minyak untuk pembangkit listrik berangsur-angsur diusahakan untuk digantikan dengan penggunaan energi lain, seperti batubara, gas bumi dan energi terbarukan. Penggunaan BBM secara berlebihan tidak saja memicu krisis ekonomi global maupun setiap negara, melainkan yang lebih memprihatinkan adalah memicu krisis lingkungan global. Krisis energi dan krisis lingkungan global merupakan peluang
yang perlu dimanfaatkan untuk memaksimalkan pemanfaatan potensi energi bukan fosil yang sifatnya terbarukan. Tabel 1.1 Sarana Penyediaan Tenaga Listrik PLN [1] URAIAN 2000 2001 2002 2003 Pembangkit MW 20.76169 21.058,83 21.112,23 21.206,33 Jumlah PLT-BBM PLTU PLTD PLTG PLTGU MW 7.781,12 1.125,00 2.549,85 859,71 3.246,56 7.837,65 1.125,00 2.585,02 881,06 3.246,56 7.971,74 1.255,00 2.589,12 881,06 3.246,56 7.645,86 1.155,00 2.670,00 1.082,27 2.737,98 Jumlah PLT NON-BBM PLTA PLTP PLTU Batubara PLTU Gas PLTG Gas PLTGU GAS MW 12.980,57 3.015,25 300,00 4.790,00 855,00 343,66 3.616,66 13.221,18 3.105,86 380,00 4.920,00 855,00 343,66 3.616,66 Sumber: Statistik Ketenagalistrikan dan Energi Tahun 2003 13.140,49 3.155,17 380,00 4.790,00 855,00 343,66 3.616,66 13.560,47 3.167,78 380,00 4.790,00 955,00 142,45 4.125,24 Menurut Rohi [2] bahwa potensi energi bukan fosil sangat banyak dan pemanfaatannya belum maksimal (Tabel 1.2). Potensi terbesar adalah pada tenaga air yakni 846,00 JUTA BOE atau 75,67 GW dan dimanfaatkan sebesar 4,2 GW atau 5,55%. Sedangkan potensi panas bumi Indonesia merupakan terbesar di dunia yakni 40% dari cadangan panas bumi dunia, namun di Indonesia pemanfaatannya masih rendah yakni 3,1%. Tabel 1.2 Potensi Energi Terbarukan Nasional ENERGI TERBARUKAN SUMBER ENERGI PEMANFAAT KAPASITAS TERPASANG Tenaga Air 75,67 GW 6.851,00 GWh 4.200,00 MW Panas Bumi 27,00 GW 2.593,50 GWh 800,00MW Mini Micro Hydro 468,75 GW -- 84,00 MW Bio massa 49,81 GW -- 302,40 MW Tenaga Surya 4,80 kwh/m 2 /hari -- 8,00 MW Tenaga Angin 9,29 GW -- 0,50 MW Tenaga Nuklir 24,112 TON=3GW - -
Penggunaan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara konvensional saat ini mempunyai kekurangan, yaitu efisiensinya rendah yang berkisar antara 33-36%. Efisiensi ini dapat ditingkatkan dengan membangun unit pembangkit yang lebih besar atau dengan menaikkan suhu dan tekanan dalam siklus panasnya. Namun cara ini mempunyai keterbatasan dan menambah tingkat kerumitan dalam pemilihan materialnya. Disamping itu batubara mengandung sulfur, nitrogen dan abu dalam jumlah besar sehingga gas asap hasil pembakaran menghasilkan polutan seperti SO 2 dan NO 2 serta abu terbang. Dalam hubungannya dengan penggunaan energi, teknologi pembakaran terus dilakukan inovasi pada teknologi yang mengkonversikan energi sehingga diperoleh teknologi pembakaran yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Beberapa usaha penerapan teknologi bersih yang telah dirintis dan diwujudkan adalah teknologi pembakaran sistem fluidisasi. Teknologi pembakaran dengan sistem fluidisasi adalah sangat efektif dan teknologi pembakaran bersih. Pembakaran dengan sistem fluidisasi merupakan alternatif yang memungkinkan dan memiliki kelebihan yang cukup berarti dibanding sistem pembakaran konvensional dan memberikan banyak keuntungan-rancangan ketel uap yang kompak, fleksibel terhadap bahan bakar, efisiensi pembakaran yang tinggi dan berkurangnya emisi polutan yang merugikan seperti SO X dan NO X. Pembakaran sistem fluidisasi adalah pembakaran jenis arus searah. Pembakaran berlangsung pada suhu sekitar 840 0 C hingga 950 0 C. Karena suhu ini jauh berada di bawah suhu fusi abu, maka pelelehan abu dan permasalahan yang
terkait di dalamnya dapat dihindari. Suhu pembakaran yang lebih rendah tercapai disebabkan tingginya koefisien perpindahan panas sebagai akibat pencampuran cepat dalam unggun fluidisasi dan ekstraksi panas yang efektif dari bed melalui perpindahan panas pada pipa dan dinding bed. Hampir semua jenis batubara dapat dibakar dengan pembakaran tipe konvensional. Akan tetapi pembakaran batubara lignit seringkali dipaksakan sebagai bahan bakar pada berbagai utilitas di industri-industri. Alasan utamanya tentu saja harga yang relatif murah meskipun dengan konsekuensi akan sulit membakar batubara jenis ini secara sempurna. Akibatnya efisiensi pembakaran menjadi rendah, dan pembakaran menghasilkan emisi gas asap tinggi sehingga menyebabkan permasalahan lingkungan, seperti pencemaran udara, hujan asam (terutama yang mengandung kadar sulfur tinggi) dan pemanasan global. Penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik akan dapat meningkatkan emisi dari partikel, SO 2, NO x, dan CO 2. Saat ini bahan bakar pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil, salah satunya adalah batubara. Penggunaan batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik diperkirakan akan terus meningkat. Meskipun kandungan sulfur batubara Indonesia relatif kecil tetapi penggunaan dalam jumlah besar akan dapat meningkatkan emisi SO 2 sehingga dapat berdampak negatif terhadap manusia dan lingkungan hidup. Parameter dalam standar emisi, seperti partikel, SO 2, dan NO 2 adalah bahan polutan yang berhubungan langsung dengan kesehatan manusia. Disamping itu,
masyarakat internasional juga menaruh perhatian terhadap isu lingkungan global, seperti terjadinya pemanasan global. Emisi CO 2 merupakan parameter terbesar yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global. Sedangkan emisi CO 2 tidak berhubungan langsung dengan kesehatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan strategi untuk mengurangi emisi CO 2. Gambar 1.1 Kontribusi peningkatan CO 2 pembangkit listrik [1] Gambar 1.1 Kontribusi Peningkatan CO 2 Pembangkit Listrik Menurut Lumbanraja [3] menyatakan polusi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik paling banyak bersumber pada pembangkit yang menggunakan bahan bakar fosil yakni batubara, minyak bumi atau solar dan gas alam seperti tampak pada Gambar 1.1. Selain batubara, potensi bahan bakar lainnya berupa biomassa juga tersedia melimpah dan berkelanjutan. Sebaran deposit biomassa ini relatif hampir merata di seluruh pelosok tanah air, terutama di daerah-daerah industri pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Melalui pemuktahiran teknologi budidaya tanaman, dimungkinkan
pula pengembangan hutan energi untuk pengadaan biomassa sesuai dengan kebutuhan dalam jumlah yang besar dan berkelanjutan. Biomassa merupakan salah satu bahan bakar netral, yaitu bahan bakar yang produk pembakarannya tidak menaikkan jumlah gas rumah kaca di atmosfir. Selain itu, biomassa juga memiliki kandungan sulfur dan nitrogen yang sangat rendah sehingga pembakarannya menghasilkan SO 2 dan NO x yang rendah pula. Namun ada beberapa kelemahan dari bahan bakar jenis ini, yaitu tingginya kandungan materi volatil, komposisi materi inorganiknya (seperti: K, Na, dan Cl), rendahnya densitas, dan kadar air. Apabila biomassa dibakar secara langsung maka dapat menyebabkan beberapa permasalahan, seperti tingginya kandungan partikel abu yang terbawa gas buang, fouling, korosi dan burnout pada dinding tungku atau permukaan pipa bila diaplikasikan pada boiler. Pada pembakaran di suhu rendah selalu ditemukan peningkatan kadar tar (partikel organik yang dapat mengembun) dalam jumlah signifikan. Tar dalam fasa gas selanjutnya mengembun membentuk partikel dan terbawa oleh aliran gas hasil pembakaran. Selain berbahaya bagi kesehatan dan dapat menyebabkan kerusakan pada utilitas, terbentuknya tar jelas merupakan suatu bentuk kerugian bahan bakar (fuel loss). Untuk mensiasati hal diatas dibutuhkan tungku atau oven dengan desain khusus dan sistim kontrol yang baik pula. Menurut Maciejewsk et.al [4] pembakaran serentak (co-firing) biomassa dengan batubara mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara tradisional (SO 2, NO x ). Emisi SO x relatif berkurang akibat pembakaran serentak biomassa dengan batubara, sebanding beban kalor biomassa, seperti kebanyakan biomassa yang
kandungan sulphur dibawah daripada batubara. Emisi NO x dapat bertambah, berkurang atau konstan bila pembakaran serentak biomassa dengan batubara. Di lain pihak Kwong et.al [5] mengemukakan pembakaran bahan bakar serbuk batubara dengan sekam padi (pulverized fuel combustion reactor) menghasilkan emisi gas polusi meliputi CO, CO 2, NO x, dan SO 2 berkurang dengan bertambahnya rasio sekam padi terhadap batubara. CO 2 emission (kgco 2 /MVYh φ ) CO 2 EMISSION IN 100% COAL CO 2 EMISSION IN CO-FIRING COAL WITH 25% WOOD CO 2 EMISSION IN CO-FIRING COAL WITH 50% WOOD Gambar 1.2 Penurunan Emisi CO 2 untuk Pembakaran Campuran Kayu dan Batubara [6] Dari Gambar 1.2 tampak bahwa terjadi penurunan emisi CO 2 dengan meningkatnya kandungan kayu dalam campuran batubara dan kayu. Hal ini disebabkan jumlah kandungan uap air dan materi volatil akan semakin besar dalam campuran bahan bakar.
Menurut Altener [7] mengemukakan bahwa pembakaran serentak (co-firing) batubara dan biomassa merupakan suatu proses yang luas kegunaannya. Pembakaran serentak menjadi praktis dan bertambah menarik perhatian dalam penggunaan energi terbarukan (renewable energy) pada saat usaha penghematan energi serta mengurangi emisi rumah kaca dengan biaya rendah. Demikian juga pembakaran serentak limbah buangan dengan batubara dalam boiler disebabkan banyak masalah dua diantaranya, yaitu penghematan biaya dan efisiensi pembangunan unit baru. Sejauh ini, besarnya konsumsi energi yang dibutuhkan untuk mengolah biomassa hingga siap menjadi suatu bahan bakar masih belum diketahui secara pasti. Namun diyakini, biomassa dapat menjadi salah satu bahan bakar pendukung yang dapat dikombinasikan dengan bahan bakar batubara dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Optimalisasi penggunaan kedua jenis bahan bakar padat yang telah disebutkan di atas menjadi penting mengingat potensi energi yang dapat dibangkitkan sangat besar, namun permasalahan yang ditimbulkan akibat pembakarannya juga cukup serius. Pengembangan metode pembakaran campuran batubara dengan sekam padi diyakini dapat menjadi salah satu cara yang efektif untuk mengurangi beberapa permasalahan yang terjadi apabila bahan bakar tersebut dibakar secara sendiri-sendiri. Teknologi pembakaran sistem fluidisasi mempunyai kelebihan dalam hal teknologi dengan pembakaran lengkap menggunakan bahan bakar campuran dengan kadar emisi yang rendah. Keuntungan terpenting pembakaran pembakaran sistem fluidisasi dibanding pembakaran konvensional meliputi ruang bakar kompak,
desainnya sederhana, efektif untuk berbagai bahan bakar, suhu relatif merata dan mampu mengurangi emisi nitrogen oxide dan sulphur dioxide. Pembakaran sistem fluidisasi didesain menggunakan hampir semua bahan bakar padat, setengah padat atau bahan bakar cair tanpa menggunakan tambahan bahan bakar, sepanjang nilai kalor cukup mampu memanaskan bahan bakar. Oleh karena itu, pembakaran campuran batubara dengan sekam padi dalam ruang bakar sistem fluidisasi memberi harapan untuk menghasilkan kadar polusi yang rendah serta meningkatkan kualitas lingkungan. 1.2. Perumusan Masalah Pada umumnya batubara banyak digunakan di unit PLTU dan diperkirakan penggunaannya akan terus meningkat. Akan tetapi pembangkit listrik yang menggunakan batubara mempunyai permasalahan, yaitu efisiensi thermal rendahnya berkisar antara 33-36% dan emisi gas buang yang tinggi. Pembakaran berlangsung pada suhu sekitar 1300 hingga 1400 0 C akibatnya akan menyebabkan terjadinya pelelehan abu. Oleh karena itu, penggunaan batubara dimasa depan sebaiknya dikurangi dan diganti dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Dengan demikian permasalahan yang dihadapi tertumpu untuk mengurangi permasalahan pada pembakaran batubara di unit pembangkit listrik. Beberapa metode altenatif yang telah dirintis dan diwujudkan, yaitu pembakaran serentak (co-firing) batubara dengan sekam padi menggunakan teknologi pembakaran sistem fluidisasi.
Pembakaran serentak merupakan salah satu metode alternatif untuk mengubah biomassa menjadi energi listrik, yaitu dengan cara subsitusi sebagian batubara dengan biomassa di dalam ruang bakar boiler. Sedangkan teknologi pembakaran sistem fluidisasi, partikel batubara dengan sekam padi dijaga agar dalam posisi mengambang sehingga membentuk lapisan seperti fluida yang selalu bergerak. Sehingga proses pengeringan, penyalaan dan pembakaran lanjut dari partikel bahan bakar sepenuhnya akan berlangsung tersuspensi (melayang) di ruang bakar, akibatnya bahan bakar akan terbakar dengan cepat sedangkan lapisan alas (bed) mencapai suhu yang seragam. Sekam padi sebagai bahan bakar biomassa dikenal sebagai zero CO 2 emission, dengan kata lain tidak menyebabkan akumulasi CO 2 di atmosfer, dan biomassa juga mengandung lebih sedikit sulfur jika dibandingkan dengan batubara. Oleh karena itu, pembakaran serentak batubara dengan sekam padi menyebabkan menurunnya emisi CO 2 dan polutan NOx dan SOx dari bahan bakar batubara. Kondisi ini akan menyebabkan pembakaran lebih lengkap dan memiliki kelebihan yang cukup berarti dibanding sistem pembakaran batubara konvensional. 1.3. Batasan Masalah Dalam menjawab permasalahan di atas, pengujian dilakukan dengan data-data sebagai berikut: 1. Eksperimen ini dilakukan dengan menggunakan teknologi pembakaran sistem fluidisasi jenis bubbling fluidized bed combustion.
2. Batubara yang digunakan dalam eksperimen adalah batubara peringkat rendah tanpa proses pengeringan berukuran 14 mesh sampai 8 mesh. Sedangkan sekam padi diperoleh dari hasil penggilingan padi tanpa proses pengeringan. 3. Kandungan sekam padi dalam campuran bahan bakar ditetapkan sebesar 10%, 20%, 30%, dan 40% basis berat. 4. Suplai udara pembakaran (oksidan) di-set dengan 4 kondisi, yaitu: 10%, 20%, 30%, dan 40% excess air. 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji pembakaran batubara dengan sekam padi menggunakan sistem fluidisasi. 1.4.2. Tujuan khusus 1. Mendapatkan panas pembakaran batubara dengan sekam padi. 2. Untuk mengontrol kandungan kadar emisi gas buang CO, CO 2, SO 2, dan NO 2 hasil dari pembakaran campuran batubara dengan sekam padi. 3. Membandingkan karakteristik pembakaran batubara dengan campuran batubara dan sekam padi. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Diperoleh informasi tentang karakteristik pembakaran bahan bakar batubara dengan sekam padi pada teknologi pembakaran sistem fluidisasi.
2. Memberikan informasi kepada pihak pemerintah, pengusaha tentang penggunaan pembakaran batubara dengan sekam padi yang akan meningkatkan kualitas lingkungan, dan 3. Sebagai pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).