*1 Apa Aku Bukan Manusia? S uatu hari kala matahari belum meninggi, aku yang saat itu belum usia sekolah, berjongkok di halaman belakang, di dekat kandang babi. Aku mengamati babi betina yang sedang lahap menikmati makanannya. Makanan encer yang ditaruhkan ibu dalam baki. Ada jagung yang sudah berkutu, sisa-sisa sayuran, air cucian beras juga ikan, serta sisa makanan basi lain. Babi betina itu sendiri dalam kandangnya, terpisah dari anak-anaknya yang sudah besar di kandang lain. Entah dari mana dan bagaimana, tiba-tiba sesuatu terbersit dalam benakku. Lantas aku meraba keningku, tanganku, dan berbisik pada diriku sendiri,
Akhh, untung saja aku tidak terlahir sebagai babi. Aku beruntung jadi manusia. Aku bukan babi yang makan di baki yang tak pernah dicuci. Aku juga tak harus dimandikan di genangan air yang keruh. Makanan yang aku makan tak harus menumpuk dengan tahiku sendiri. Dalam pikiran kanak-kanakku, aku begitu bangga aku bukan babi. Babi itu tak bisa bicara. Ia hanya mengeluarkan suara nguik nguikk. ketika kelaparan atau membaui sesuatu yang bisa masuk ke perutnya. Tidak seperti anjing yang walau sama-sama binatang, ia sedikit-sedikit dapat disuruh membantu tuannya menjaga rumah, atau membersihkan lantai rumah dari tahi kuning encer bayi, atau disuruh menggigit betis musuh tuannya, babi hanya tinggal dalam kandang (akh tapi bagiku sama saja. Mereka tetap saja binatang, sedang aku aku anak manusia. Aku lebih dari mereka). 2
Kalau tidak di kandang yang kira-kira 2,5 x 2.0 meter persegi, babi itu akan diikat di sebuah pohon. Mondar-mandir saja di situ. Babi hanya bisa memandang ke luar dari celahcelah papan yang tersusun kuat atau menatap nanar makhluk-makhluk yang bebas lewat. Babi di kandang atau yang terikat, tidak melakukan apa-apa selain menguik, makan, tidur, berak, kencing dan mondar-mandir di kotak sempitnya. Menguik lagi, makan lagi dan tidur lagi. Babi tak ke sekolah. Ia tak bisa belajar, karena tak bisa bicara, atau baca tulis. Aku tersenyum. Kupikir diriku, seorang yang beruntung. Aku anak manusia. Kalau umurku pas, aku bisa ke sekolah. Aku akan belajar di sana. Tentang babi punya kami ini, biasanya dikasih makan banyak-banyak. Minum juga banyak. Karena kata ibu, kalau ia banyak makan dan minum, ia akan terlihat gemuk sehat. Badannya berlemak-lemak, perutnya menggantung bulat di bawah punggungnya. Dan kalau sudah begitu, saat dijual nanti, harganya 3
tidak akan murah. Aku dan mama akan punya banyak uang. Bisa untuk beli makanan enak, baju baru, dan pesiar-pesiar keliling kota. Suatu hari, kala matahari dalam perjalanannya menuju siang, seorang lelaki tinggi besar dengan bola mata berwarna merah datang ke rumah. Ia mengenalkan dirinya sebagai om Rufus. Datang mencari babi. Mau beli, katanya. Aku yang sedang berkubang dengan debu merah di halaman berhenti, lalu beranjak memanggil ibu di dapur. Rupanya, ibu sedang di halaman belakang, mengurus babi betina itu. Si pembeli babi pun ke sana. Dengan ibu, terjadi tawar menawar harga babi. Tetapi entah karena babi, entah karena ibu atau aku, beberapa hari berikutnya, kulihat om Rufus selalu mendatangi rumah kami. Bahkan bermalam satu dua hari. Sampai akhirnya beberapa minggu setelah tawar menawar babi itu, ia terus bermalam di rumah. Dan tanyaku ini barulah terjawab setelah ibu 4
memintaku dengan kata-katanya yang manis-manis air gula, jangan panggil dia om lagi. Panggil saja bapak, pintanya. Iya, Feti? Ibu seperti mendesak melihat aku tak bereaksi. Ya! aku mengangguk pelan. Bilang apa? lagi-lagi ibu belum puas. Bapak, sahutku pelan. Ibu tersenyum. Hari-hari pun berlalu. Aku yang semula bermimpi untuk ke sekolah melihat anak-anak seusiaku berlarian gembira ke dan dari sekolah, kini sirna sudah. Karena ketika maksud itu kuutarakan, bapak malah menentang. Kamu, Fet. Anakku. Tak usah sekolah! Kamu kan perempuan, nanti juga kerjanya di dapur, tanggapnya cepat tanpa menoleh. Ia sedang menyalakan rokoknya. Tapi aku ingin seperti mereka! protesku setengah merengek. Mereka siapa? kulihat ia mengerutkan dahi. 5