BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Koentjaraningrat (2004:5-8) menyatakan bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga wujud : a. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Salah satu wujud kebudayaan ialah objek material atau benda-benda. Di setiap Negara di dunia memiliki benda-benda khas yang melambangkan kebudayaannya masing-masing. Seperti kincir angin di Belanda, alat musik angklung di Indonesia dan sebagainya. Jepang mempunyai berbagai macam benda-benda khas yang salah satunya ialah Yoroi, yaitu pakaian tempur. Yoroi ialah alat yang dikenakan pada tubuh untuk melindungi diri dari serangan senjata lawan seperti panah, tombak, pedang dll. Sejak akhir periode Heian di abad ke 12 sampai akhir periode Edo di abad ke 19 Yoroi menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, khususnya kaum Samurai. Puncaknya pada masa Sengoku atau perang
seluruh negeri sekitar abad ke 15-16. Saat ini Yoroi menjadi salah satu benda pusaka nasional Jepang. Pada awalnya kata Yoroi hanya menunjukkan lapisan besi pada pelindung dada, namun akhirnya secara umum digunakan untuk menunjukkan pakaian tempur secara keseluruhan. Faktanya, pakaian tempur Jepang dipengaruhi oleh negara-negara asing. Misalnya China dan Korea pada awal mula dan Negara-negara Barat di akhir periode Edo. Namun, didukung oleh letak geografis Jepang berupa kepulauan yang dikelilingi oleh Samudra Pasifik serta terpisah dari daratan utama Asia dan sikap politik penutupan Negara dalam jangka waktu yang panjang, menjadikan para Samurai seiring hidup matinya selama masa perang mengkreasikan karakteristik yang khas, dan menghasilkan bentuk original yang berbeda dari Negara lain dan juga unik. Pakaian tempur Jepang sangat berbeda dengan model dari Negara lain dalam hal desain dan estetika (Chung-Chuen-Yeung dkk, 2011: 23-24) Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti Yoroi yang merupakan salah satu wujud kebudayaan Jepang. karena dengan meneliti kebudayaan akan mengantarkan kita pada pemahaman mengenai tata cara kehidupan, tingkah laku, dan adat istiadat masyarakat Jepang. Skripsi ini berjudul: MAKNA SIMBOLIK DARI SIMBOL-SIMBOL YANG TERDAPAT PADA YOROI MILIK TOYOTOMI HIDEYOSHI.
1.2 Perumusan Masalah Aart van Zoest dan Lavers, t.th dalam Indah (2011) mengatakan bahwa manusia adalah Homo Semioticus, yaitu manusia mencari arti pada barang-barang dan gejala-gejala yang mengelilinginya. Yoroi yang dikenakan oleh Samurai kelas atas seperti para Daimyo dan Jendraljendralnya selalu memiliki simbol-simbol khusus. Simbol-simbol tersebut pastilah memiliki suatu makna. Geertz dalam Indah (2011) mengatakan Simbol adalah sebagai ajang/ tempat/ wahana yang memuat sesuatu nilai bermakna. Oleh karena itu penulis meneliti apa makna dari simbol yang terdapat pada Yoroi. Dan agar pembahasan tidak terlalu luas maka penulis memutuskan untuk meneliti Yoroi milik Toyotomi Hideyoshi. Toyotomi Hideyoshi adalah satu dari tiga serangkai yang berhasil menyatukan Jepang saat pecahnya perang seluruh negeri yang telah berlangsung hingga 100 tahun lebih. Ia digelari gelar Taiko oleh Kaisar yang menandakan bahwa dirinya seorang penguasa. Setiap samurai kelas atas memiliki Yoroi yang mencirikan dirinya sendiri. Lalu seperti apakah Yoroi milik Toyotomi Hideyoshi dan simbol apa saja yang dikenakan oleh Hideyoshi merupakan sesuatu yang menjadi tanda tanya. Untuk itu penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Apa saja simbol yang terdapat pada Yoroi milik Toyotomi Hideyoshi? 2. Apa makna simbolik dari simbol yang terdapat pada Yoroi milik Toyotomi Hideyoshi?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan Pembahasan dalam skripsi ini ialah mengenai sejarah perkembangan Yoroi dari zaman Yayoi sampai zaman Edo. Juga membahas Yoroi milik Toyotomi Hideyoshi, dari bentuk hingga simbol-simbol yang menghiasinya. Dan makna simbolik dari simbol-simbol tersebut. 1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori Iris Varner & Linda Beamer dalam Indah (2011) mengatakan Kebudayaan adalah sebagai pandangan yang koheren tentang sesuatu yang dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan oleh sekelompok orang. Larry A. Samovar dan Richard E. Porter dalam Indah (2011) mengatakan Kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi. Gudkunts & Kim dalam Indah (2011) mengatakan, Kebudayaan adalah sistem pengetahuan yang dipertukarkan oleh sejumlah orang dalam sebuah kelompok yang besar. Rene Char dalam Indah (2011) mengatakan, Kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat. C.A van Peursen dalam Indah (2011) mengatakan, Kebudayaan merupakan gejala manusiawi dari kegiatan berfikir (mitos, ideologi, dan ilmu), komunikasi (sistem
masyarakat), kerja (ilmu alam dan teknologi), dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana. Banyak hal yang tidak "terbaca" di dunia ini karena selalu ada sesuatu yang tidak bisa terungkap secara langsung. Oleh karena itu simbol merupakan cara paling tepat untuk membahasakan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan mudah. Lonergan dalam Indah (2011) mengatakan, Simbol adalah intensionalitas yang mendasar artinya. Subyek merasa tertarik pada suatu obyek atau sebaliknya; subyek menanggapi secara spontan. Pierce dalam Indah (2011) mengatakan, simbol adalah salah satu bagian dari hubungan antara tanda dengan acuannya, yaitu hubungan yang akan menjelaskan makna dari sebuah referen tertentu dalam kehidupan secara umum atau sebuah karya sastra sebagai replika kehidupan. Helena dalam Indah (2011) mengatakan, simbol adalah tanda untuk menunjukkan hubungan dengan acuan dalam sebuah hasil konvensi atau kesepakatan bersama, contohnya adalah bahasa (verbal, non-verbal, atau tulisan), dan juga benda-benda yang mewakili sebuah eksistensi yang secara tradisi telah disepakati. Geertz dalam Indah (2011) mengatakan, simbol adalah sebagai ajang/tempat/wahana yang memuat sesuatu nilai bermakna (meaning). Charles Morris dalam Indah (2011) mengatakan, simbol adalah satu isyarat/sign yang dihasilkan oleh seorang penafsir sebuah signal dan berlaku sebagai pengganti untuk signal itu, dan dengannya ia bersinonim
Kamus Webster menjelaskan simbol adalah sesuatu yang berarti atau mengacu pada sesuatu yang berdasarkan hubungan nalar, asosiasi, konvensi, kebetulan ada kemiripan...tanda yang dapat dilihat dari sesuatu yang tak terlihat. Oleh karena pembahasan pada penulisan ini mengenai makna dari simbol pada suatu objek, maka teori yang digunakan ialah teori Semiotika. Berikut ini penjelasan teori semiotika oleh para pakarnya : Semiotika, ilmu tanda dan istilah ini berasal dari kata Yunani semion yang berarti tanda. Panuti Sudjiman & Aart van Zoest (1996) mengatakan Tanda bisa terdapat dimana-mana, misalnya: lampu lalu lintas, bendera, karya sastra, bangunan dan lain-lain. Hal ini disebabkan manusia adalah Homo Semioticus, yaitu manusia mencari arti pada barang-barang dan gejala-gejala yang mengelilinginya. Semiotika moderen mempunyai dua orang pelopor, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure. Pierce mengusulkan kata semiotika untuk bidang penelaahan ini, sedangkan Saussure memakai kata semiologi. Sebenarnya kata semiotika tersebut telah digunakan oleh para ahli filsafat Jerman bernama Lambert pada abad XVIII. Menurut Pierce, makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Ia menyebutnya sebagai representamen. Apa yang dikemukakan oleh tanda, apa yang diacunya, apa yang ditunjuknya, disebut oleh Pierce dalam bahasa Inggris object. Dalam bahasa Indonesia disebut acuan. Suatu tanda mengacu pada suatu acuan dan representasi seperti itu adalah fungsinya yang utama.agar tanda dapat berfungsi harus menggunakan sesuatu yang disebut ground. Sering ground suatu tanda berupa kode, tetapi tidak selalu begitu. Kode adalah suatu sistem peraturan
yang bersifat transindividual. Banyak tanda yang bertitik tolak dari ground yang bersifat sangat individual. Teori Semiotik oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai objek sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata anjing (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified).
Begitulah, menurut Saussure, Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas. (Sobur, 2006). 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penulisan skripsi ini ialah: 1. Untuk mengetahui simbol apa saja yang ada pada Yoroi milik Toyotomi Hideyoshi. 2. Untuk mengetahui makna simbolik dari simbol-simbol yang ada pada Yoroi milik Toyotomi Hideyoshi. Manfaat penulisan skripsi ini ialah: 1. Bagi penulis, mendapatkan pemahaman tentang makna simbolik dari simbol-simbol yang terdapat 2. Bagi pelajar dan pengajar bidang Kejepangan, menambah referensi bacaan tentang Kebudayaan masyarakat Jepang. 1.6 Metode Penelitian Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data melalui teks-teks tertulis maupun soft-copy edition, seperti buku, ebook, artikel-artikel dalam majalah, surat kabar, buletin, jurnal, laporan atau arsip organisasi, makalah, publikasi pemerintah, dan lain-lain. Bahan pustaka yang berupa soft-copy edition biasanya diperoleh dari sumber-sumber internet yang dapat diakses secara online. Pengumpulan data melalui bahan pustaka menjadi bagian yang penting dalam penelitian ketika peneliti memutuskan untuk melakukan kajian pustaka dalam menjawab rumusan masalahnya. Pendekatan studi pustaka sangat umum dilakukan dalam penelitian
karena peneliti tak perlu mencari data dengan terjun langsung ke lapangan tapi cukup mengumpulkan dan menganalisis data yang tersedia dalam pustaka. Penerjemahan semantis (semantic translation) biasanya lebih luwes daripada penerjemahan setia. Penerjemahan setia lebih kaku dan tidak kompromi dengan kaidah bahasa sasaran atau lebih terikat dengan bahasa sumber, sedangkan penerjemahan semantis lebih fleksibel dengan bahasa sasaran. Penerjemahan semantis biasanya mempertimbangkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan cara mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran (Machali, 2000:52). Langkah-langkah dalam penulisan skripsi ini ialah: a. Mengumpulkan data dengan teknik studi pustaka untuk kemudian menentukan masalah. b. Menggunakan metode penerjemahan semantis untuk menerjemahkan referensi-referensi dari bahasa asing. c. Merangkum hasil dalam sebuah laporan.