BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Privat Law Vol. V No. 1 Januari-Juni

BAB V PENUTUP. 1. Hubungan hukum antara pihak maskapai penerbangan dengan konsumen. berdasarkan pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi

Tentang TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA. Oktober 2011

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional

Sri Sutarwati 1), Hardiyana 2), Novita Karolina 3) Program Studi D1 Ground Handling Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan 3)

HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY

- Andrian Hidayat Nasution -

BAB III TANGGUNG JAWAB MASKAPAI TERHADAP KETERLAMBATAN PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PENERBANGAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan suatu alat transportasi untuk mempermudah mobilisasi. Dari berbagai

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 89 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN. memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Perlindungan Konsumen Penumpang Pesawat Terbang. a. Pengertian Pelindungan Konsumen

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENGIRIMAN KARGO MELALUI UDARA

ANALISIS DATA. A. Pelaksanaan Tanggung Jawab PT. Trans Nusa Terhadap Penumpang. Prinsip tanggung jawab mutlak atau( strict liability) :

BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP KETERLAMBATAN PENERBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan

BAB II ATURAN HUKUM PENGANGKUTAN UDARA BAGI WARGA SIPIL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN SEBAGAI PENYEDIA JASA PENERBANGAN KEPADA PENUMPANG AKIBAT KETERLAMBATAN PENERBANGAN

Oleh : Ari Agung Satrianingsih I Gusti Ayu Puspawati Dewa Gde Rudy Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 BAB I PENDAHULUAN. memerlukan transportasi untuk menghubungkan masyarakat disuatu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu:

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya yaitu keadaan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi alat penghubung pengangkutan antar daerah, untuk pengangkutan orang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

I. PENDAHULUAN. Masyarakat sangat bergantung dengan angkutan umum sebagai tranportasi penunjang

Unit kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, melakukan penilaian pelanggaran terhadap hasil pemeriksaan.

BAB I PENDAHULUAN. dengan kuota jemaah haji dan umrah terbanyak yang diberikan oleh

TANGGUNG GUGAT PENGANGKUT BERDASARKAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indon

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. penerbangan yang diukur dari pertumbuhan penumpang udara.1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter

2 2015, No.322 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722) 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publi

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH]

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang bercirikan nusantara yang

PERJANJIAN PINJAMAN. (Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman selanjutnya secara bersama disebut sebagai Para Pihak )

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG DALAM PENGANGKUTAN DI DARAT

Sri Menda Sinulingga, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Angkutan Udara

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

SKRIPSI JURIDICAL ANALYSIS OF AIRLINES LIABILITY FOR DELAY AND CANCELLATION SCHEDULE DEPARTURE PASSENGER IN CONSUMER PROTECTION LAW PERSPECTIVE

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebutuhan akan jasa pengiriman barang. Banyaknya penduduk yang saling

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

1 KETENTUAN MENDAPATKAN FASILITAS PINJAMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat atas dasar

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala

PENGADILAN AGAMA KELAS I-A KENDAL

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN STASIUN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIALAMI PENUMPANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Sejarah dan Pengertian Pengangkutan Barang

BAB V PENUTUP. Dari pembahasan mengenai Kajian Yuridis Atas Doktrin Caveat Venditor. Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pembeli Gawai dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT AKIBAT KETERLAMBATAN PENGIRIMAN BARANG. Suwardi, SH., MH. 1

BAB I PENDAHULUAN. itu perkembangan mobilitas yang disebabkan oleh kepentingan maupun keperluan

SURAT PERJANJIAN KERJASAMA

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

Transkripsi:

digilib.uns.ac.id 43 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tanggung Jawab Keperdataan atas Keterlambatan Jadwal Penerbangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pengangkutan udara niaga baik penerbangan internasional maupun nasional menyangkut tanggung jawab pengangkut bila terjadi kerugian yang dialami oleh pengguna jasa transportasi udara niaga, yaitu penumpang, pemilik bagasi, pengirim atau penerima kargo dan juga kerugian yang dialami pihak ketiga. Kemungkinan kerugian yang mungkin dialami oleh pengguna jasa transportasi udara antara lain kematian atau cacad atau luka-luka, kehilangan, musnah, rusaknya barang, serta keterlambatan penerbangan. Berkenaan dengan pengangkutan udara, hal yang sudah sering kali terjadi adalah tentang keterlambatan jadwal keberangkatan pesawat udara dimana terjadi perbedaan waktu keberangkatan yang tercantum di dalam tiket pesawat dengan realisasi waktu yang terjadi di Bandara. Maskapai penerbangan terlebih dahulu membuat suatu bentuk perjanjian berupa tiket kepada penumpang. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menjelaskan bahwa tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara. Menurut sistem hukum Indonesia, pembuatan perjanjian pengangkutan tidak diisyaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persetujuan kehendak (konsensus). Kenyataannya hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak tertulis, tetapi selalu didukung dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan diantara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian pengangkutan tidak to user dibuat tertulis karena kewajiban dan

digilib.uns.ac.id 44 hak pihak-pihak telah ditentukan dalam Undang-Undang, mereka hanya menunjuk atau menerapkan ketentuan Undang-Undang. Keterlambatan penerbangan diatur dalam Pasal 1 angka 30 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menjelaskan definisi keterlambatan yaitu terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan. Kenyataannya, transportasi udara tidak selamanya mendatangkan berbagai keuntungan bagi masyarakat terutama yang sangat penting adalah waktu. Tranportasi udara memang dapat dengan cepat menghubungkan satu tujuan ke tujuan lainnya, namun diluar itu sering kali transportasi udara ini menimbulkan kerugian bagi penumpang, dimana maskapai terkadang tidak memenuhi apa yang sudah menjadi kewajibannya. Sebelum membahas mengenai bentuk tanggung jawab keperdataan atas keterlambatan jadwal penerbangan, maka terlebih dahulu akan dijelaskan tentang faktor terjadinya keterlambatan penerbangan. Penumpang dan Maskapai penerbangan adalah pihak yang akan saling bersinggungan jika terdapat masalah dalam penerbangan. Salah satu masalah yang sering terjadi adalah keterlambatan penerbangan. Penumpang yang seharusnya dapat berangkat sesuai dengan jadwal penerbangan yang telah disepakati tidak dapat berangkat karena adanya keterlambatan jadwal penerbangan. Ada berbagai faktor terjadinya keterlambatan penerbangan : 1. Overmacht (Keadaan Memaksa) Keadaan memaksa (overmacht) dalam keterlambatan pengangkutan udara dapat disebabkan karena buruknya cuaca di sekitar bandara keberangkatan dan bandara tujuan sehingga proses take-off dan landing sedikit terlambat namun ketika cuaca sudah baik untuk melakukan proses take-off dan landing maka tujuan bandara selanjutnya yang akan terkena dampak dari delay yang terjadi di bandara sebelumnya sehingga akan merembet kepada bandara-bandara keberangkatan selanjutnya yang membuat semakin lama waktu to keterlambatan. user Penjelasan mengenai

digilib.uns.ac.id 45 pembebasan tanggung jawab jika terjadi kerugian atas keterlambatan penerbangan diluar kuasa pengangkut, diatur dalam Undang-Undang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara. Maskapai atau pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab atas keterlambatan penerbangan dijelaskan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 dalam Pasal 13 yang menyatakan bahwa : 1) Pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab atas ganti kerugian akibat keterlambatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a yang disebabkan oleh faktor cuaca dan/atau teknis operasional; 2) Faktor cuaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain hujan lebat, petir, badai, kabut,asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan; 3) Teknis Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain : a. Bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat dipergunakan operasional pesawat udara; b. Lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran; c. Terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara; atau d. Keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling). Ketentuan tentang keadaan memaksa (overmacht) diatur dalam Pasal 1244-1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata menyatakan bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. Bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksankan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. Walaupun tidak ada itikad to user buruk kepadanya.

digilib.uns.ac.id 46 Berdasarkan ketentuan Pasal 1245 KUH Perdata menyatakan bahwa tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga. Bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya. 2. Wanprestasi Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti apa yang telah diperjanjikan, baik oleh pihak pengangkut maupun pihak penumpang tanpa ada pihak yang dirugikan. Namun dalam pelaksanaannya, terkadang perjanjian tersebut tidak terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan, karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh satu pihak. Lahirnya suatu tanggung jawab hukum berawal dari adanya perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban. Menurut ketentuang Pasal 1233 KUH Perdata hak dan kewajiban (perikatan) bersumber dari perjanjian dan Undang-Undang. Perikatan yang bersumber dari Undang- Undang terbagi lagi menjadi perbuatan menurut hukum dan perbuatan melawan hukum, sedangkan timbulnya perikatan yang lahir karena perjanjian membebankan kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk melaksanakan hak dan kewajiban atau yang dikenal dengan prestasi, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi maka dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi. Perbuatan melanggar hukum merupakan suatu perbuatan yang melanggar norma hukum, melanggar norma hukum disini berarti telah melanggar ketentuan pada perundang-undangan. Hal ini merupakan salah satu unsur Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Wanprestasi merupakan salah satu perbuatan melanggar hukum karena tidak dipenuhinya prestasi seperti yang telah to user ditentukan dalam perjanjian.

digilib.uns.ac.id 47 Adapun kelalaian (wanprestasi) dalam hukum perjanjian, menurut pendapat R.Subekti dapat berupa empat macam, yaitu sebagai berikut (R.Subekti, 2005:45) : a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Kelalaian (wanprestasi) yang sering dilakukan oleh perusahaan penerbangan selaku pihak pengangkut yaitu melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat. Keterlambatan penerbangan dapat dikatakan wanprestasi apabila pihak pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh pengguna jasanya atau penumpang sebagai dampak dari kesalahan yang dilakukan oleh pihak pengangkut. Wanprestasi dalam keterlambatan penerbangan yaitu terjadi karena ada kerusakan pada pesawat dan efisiensi perusahaan maka dari itu pihak maskapai harus bertanggung jawab atas ganti rugi dan memberikan kompensasi kepada penumpang karena kerusakan pada pesawat tersebut merupakan kesalahan yang disebabkan karena kelalaian maskapai. Kejadian keterlambatan ini dikaitkan dengan kerusakan pada pesawat maka maskapai penerbangan menggunakan pesawat yang tidak layak terbang dengan demikian pihak pengangkut telah melakukan wanprestasi dengan kesengajaan. Akibatnya berupa keterlambatan sampai ketempat tujuan membawa konsekuensi untuk dituntut ganti kerugian berdasarkan wanprestasi. Jika dilihat tanggung jawab hukum maskapai penerbangan selain bersumber dari perjanjian dapat diterapkan pula berdasarkan perbuatan melawan hukum. Perbuatan ini pada dasarnya merupakan hakikat dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata yang menyebukan bahwa tiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa to user

digilib.uns.ac.id 48 kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut. Selain itu dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata yaitu seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. perbuatan pihak maskapai penerbangan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena : a. perbuatannya bertentangan dengan hukum. Perbuatan pihak pengangkut bertentangan dengan beberapa aspek hukum yang terkait dengan tanggung jawab meliputi aspek perdata pada umumnya, aspek hukum pengangkutan udara, aspek hukum perlindungan konsumen, aspek hukum perusahaan, aspek hukum pidana, dan lain sebagainya. b. perbuatan pengangkut bertentangan dengan Itikad baik. Tidak ada satupun itikad baik dari pihak maskapai penerbangan untuk bertanggung jawab sesuai dengan Undang-Undang penerbangan dan Peraturan Menteri untuk memberikan ganti rugi kepada pihak penumpang; c. pelanggaran perdata. Perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana ditentukan Pasal 1365 KUH Perdata, dari perbuatan melawan hukum baru dapat dituntut ganti kerugiannya, apabila telah memenuhi unsurunsur sebagai berikut : pertama, perbuatan maskapai penerbangan merupakan perbuatan melawan hukum. kedua, bertentangan dengan hak pihak lain. ketiga, kewajiban hukumnya sendiri. keempat, keharusan yang harus diindahkan sebagai perusahaan yang profesional. Fokus pembahasan mengenai tanggung jawab pengangkut adalah menyangkut tanggung jawab yang diterapkan. Terdapat beberapa bentuk prinsip tanggung jawab pengangkut to user yang dikenal dalam kegiatan

digilib.uns.ac.id 49 pengangkutan, yang masing-masing berbeda satu sama lainnya, baik itu cara pembebanan pembuktian ataupun besarnya ganti kerugian. Pada dasarnya untuk menetapkan siapa yang harus bertanggung jawab dalam keterlambatan jadwal penerbangan ada hal penting yang harus diterapkan sebelum menentukan siapa yang bertanggung jawab hal yang perlu diketahui tersebut adalah prinsip-prinsip tanggung jawab yaitu prinsip tanggung jawab atas adanya unsur kesalahan (fault liability), prinsip tanggung jawab karena praduga (presumption liability), prinsip praduga tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability principle), prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability), prinsip tanggung jawab terbatas (limitation of liability). Untuk pembedaan ketiga prinsip tanggung jawab tersebut dapat dilakukan melalui pihak mana yang harus membuktikan dan hal apa yang harus dibuktikan ketika terjadi sengketa (Baiq Setiani, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7, 2016:5). Pihak penumpang yang menggunakan jasa penerbangan berakibat terjadinya pelanggaran hak-hak penumpang yang menimbulkan kerugian, maka pengangkut bertanggung jawab seperti diamanatkan oleh Undang- Undang Penerbangan. Tanggung jawab dimulai sebelum masa penerbangan (pre-flight service), pada saat penerbangan (in-flight service), dan setelah penerbangan (post-flight service) (Suharto dan Eko, 2009:78). Kerugian sebelum masa penerbangan misalnya berkaitan dengan pembelian tiket, penyerahan bagasi, penempatan bagasi pada rute yang salah atau terjadi keterlambatan. Kerugian pada saat penerbangan misalnya tidak mendapatkan pelayanan yang baik atau rasa aman untuk sampai di tujuan dengan selamat. Sedangkan kerugian setelah penerbangan, antara lain sampai di tujuan terlambat, bagasi hilang atau rusak. Menurut Baiq Setiani dalam Jurnal Ilmu Hukum menjelaskan mengenai bentuk-bentuk tanggung jawab penyedia jasa penerbangan, yaitu (Baiq Setiani, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7, 2016:8) : a. tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari maskapai penerbangan kepada penumpang. to user

digilib.uns.ac.id 50 Tanggung jawab ini terdapat pada tiket penerbangan yang merupakan perjanjian pengangkutan antara pihak maskapai penerbangan dengan pihak penumpang. b. tanggung jawab perdata atas kerugian yang dialami penumpang akibat menggunakan jasa maskapai penerbangan. Pertanggungjawaban ini didasarkan pada perbuatan melawan hukum. Unsur dalam perbuatan melawan hukum ini adalah kesalahan, kerugian dan hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul. Perusahaan penerbangan dengan pihak penumpang mempunyai hubungan perdata dalam bentuk perikatan perihal dengan pengangkutan penerbangan. Namun, hubungan antara keduanya tidak selalu berlangsung harmonis dan saling menguntungkan. Karena penumpang tidak mendapatkan pelayanan yang seharusnya didapatkan. Pada prinsipnya pihak penumpang berada pada posisi yang secara ekonomis kurang diuntungkan. Pengangkut semata-mata bergantung pada informasi yang diberikan dan disediakan oleh pelaku usaha. Mengenai keterlambatan penerbangan dilihat dari sudut pandang hukum perjanjian, kerugian penumpang atau konsumen atas keterlambatan penerbangan dapat dinyatakan wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 huruf a Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 menyatakan bahwa pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpangnya. Bentuk tanggung jawab atas keterlambatan jadwal penerbangan juga diatur dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 sama dengan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang disertai oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Sedangkan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 dijelaskan bahwa pengangkut yang to user

digilib.uns.ac.id 51 mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap : a. penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka; b. hilang atau rusaknya bagasi kabin; c. hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat; d. hilang, musnah atau rusaknya kargo; e. keterlambatan angkutan udara, dan f. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Kewajiban dari pihak pengangkut atas keterlambatan jadwal penerbangan diatur juga didalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara disebutkan bahwa : (1) Setiap keterlambatan penerbangan, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib mengumumkan alasan keterlambatan kepada calon penumpang secara langsung atau melalui media pengumuman selambatlambatnya 45 (empat puluh lima) menit sebelum jadwal keberangkatan atau sejak pertama kali diketahui adanya keterlambatan. (2) Pengumuman keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan : a. apabila keterlambatan terjadi pada hari dan jam keberangkatan atau waktu yang dianggap cukup bagi calon penumpang untuk menunda kedatangannya di bandar udara, pengumuman dapat dilakukan secara langsung atau melalui telepon atau pesan layanan singkat atau pengumuman di bandar udara bekerjasama dengan pengelola bandar udara; b. apabila keterlambatan terjadi sebelum hari keberangkatan, pengumuman dapat dilakukan melalui telepon atau pesan layanan singkat atau pengumuman di media elektronik bekerjasama dengan pengelola media elektronik. Mengenai pembahasan dalam pokok masalah ini istilah Liability lebih tepat untuk digunakan karena liability to mempunyai user arti tanggung jawab secara

digilib.uns.ac.id 52 yuridis. Tanggung jawab (liability) dapat pula diartikan sebagai kewajiban untuk membayar uang atau melaksanakan jasa lain, kewajiban yang pada akhirnya harus dilaksanakan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pada Pasal 1 angka 22 mendefinisikan tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau barang serta pihak ketiga. Sama halnya dengan arti tanggung jawab (liability) adalah kewajiban membayar ganti rugi yang diderita pihak lain, misalnya mengenai keterlambatan penerbangan bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh pihak perusahaan penerbangan. pihak penumpang mengalami kerugian atas keterlambatan penerbangan maka perusahaan penerbangan harus bertanggung jawab dalam arti liability. Tanggung jawab yang dimaksud dapat diartikan perusahaan penerbangan wajib membayar ganti rugi yang diderita oleh penumpang dan apabila wanprestasi, perusahaan penerbangan dapat digugat di pengadilan. Keterlambatan jadwal penerbangan termasuk dalam prinsip tanggung jawab karena praduga (presumption liability) menetapkan bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Akan tetapi, jika pengangkut dapat membuktian bahwa ia tidak bersalah, ia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian itu. Tidak bersalah artinya tidak melakukan kelalaian, telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari dengan syarat maskapai harus membuktian bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional, hal ini berdasarkan aturan dalam Pasal 146 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa pada intinya beban pembuktian ada pada pihak pengangkut, bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan pengangkut. to user

digilib.uns.ac.id 53 Konsep tanggung jawab atas dasar praduga bersalah diterapkan dalam Staatsblad Tahun 1939 Nomor 100 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara. Menurut konsep tersebut, perusahaan penerbangan dianggap (presumed) bersalah, sehingga perusahaan penerbangan otomatis harus membayar kerugian yang diderita oleh penumpang tanpa dibuktikan kesalahan lebih dahulu, kecuali perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah (beban pembuktian terbalik). Penumpang tidak perlu membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, cukup memberi tahu adanya kerugian yang terjadi. Apabila penumpang harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, sudah pasti tidak akan mungkin berhasil karena penumpang tidak menguasai teknologi tinggi penerbangan. Staatsblad Tahun 1939 Nomor 100 yang membuktikan adalah perusahaan penerbangan, bukan penumpang atau penggugat. Apabila perusahaan penerbangan, termasuk pegawai, karyawan, agen, perwakilannya yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dapat membuktikan tidak bersalah, maka perusahaan penerbangan bebas tidak bertanggung jawab dalam arti tidak akan membayar ganti kerugian yang diderita oleh penumpang (H.K. Martono dan Agus Pramono, 2013:178-179). Pengangkut tetap bertanggung jawab terhadap penumpang yang menderita kerugian akibat keterlambatan pengangkutan udara. Sistem tanggung jawab yang diterapkan akibat keterlambatan tersebut yaitu prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab (presumption of liability) dikombinasikan dengan prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability), yang kemudian digabungkan dengan prinsip tanggung jawab flat rate. Pengertian flat rate yaitu semua penumpang mendapat ganti rugi yang sama tanpa melihat status penumpang. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut (Ahmad Sudiro, Jurnal Lex Publica, Vol 1, 2014:19) : a. kerugian akibat keterlambatan pada umumnya lebih kecil dibandingkan dengan akibat penumpang meninggal dunia atau luka-luka/cacat; to user

digilib.uns.ac.id 54 b. keterlambatan merupakan pelanggaran kewajiban yang timbul dari perjanjian pada derajat kedua, artinya kewajiban tersebut masih dilaksanakan/dipenuhi tetapi tidak sebagaimana mestinya; c. kerugian akibat keterlambatan lebih sering terjadi dibandingkan dengan kerugian akibat kecelakaan pesawat terbang, sehingga akan lebih memberatkan pengangkut apabila sistem tanggung jawab strict liability dikombinasikan dengan limitation of liability yang diterapkan. Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad keterlambatan yang terjadi dalam pengangkutan udara apabila disebabkan karena kesalahan pengangkut, perusahaan pengangkutan niaga wajib memberikan pelayanan yang layak kepada penumpang atau memberikan ganti kerugian yang secara nyata dialami oleh penumpang atau pemilik barang. Pelayanan yang layak dalam ketentuan ini adalah pelayanan dalam batas kelayakan sesuai dengan kemampuan pengangkut kepada penumpang selama menunggu keberangkatan, antara lain berupa penyediaan tempat dan konsumsi secara layak atau mengupayakan mengalihkan pengangkutan ke perusahaan pengangkutan udara niaga lainnya sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati (Abdulkadir Muhammad, 2013:162). Keterlambatan penerbangan yang dilakukan oleh pihak penyedia jasa penerbangan merupakan suatu pelanggaran, karena tidak terlaksananya suatu perjanjian pengangkutan dengan baik sesuai dengan yang telah disepakati sebelumnya. Pelanggaran atau tidak dilaksanakannya suatu perjanjian pengangkutan dapat timbul dalam hal sebagai berikut (E.Saefullah, 1989:111): 1. adanya penolakan secara tidak sah oleh pengangkut untuk melaksanakan perjanjian pengangkutan; 2. hanya sebagian dari pengangkutan itu yang dilaksanakan; 3. adanya keterlambatan di pihak pengangkut dengan akibat bahwa sasaran dari pelaksanaan usaha tersebut menjadi terhalang atau tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan yang seharusnya dan para penumpang dibenarkan menyatakan perjanjian to tersebut user batal.

digilib.uns.ac.id 55 Perusahaan penerbangan terlambat dalam memberangkatkan penumpangnya atau dengan kata lain jika keberangkatan pesawat tidak sesuai dengan jadwal keberangkatan sebagaimana yang tertera pada tiket pesawat, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan penerbangan itu telah lalai dalam memenuhi isi perjanjian pengangkutan udara. Dengan demikian akibat hukum atas kelalaian perusahaan penerbangan tersebut, berlaku ketentuan yang ditetapkan dalam Buku III KUH Perdata pada Pasal 1243 yang menyatakan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Pengangkutan itu termasuk perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku ke III yang berarti hukum pengangkutan itu sendiri merupakan bagian dari hukum perdata. Walaupun dalam perjanjian pengangkutan kedua belah pihak tidak menandatangani perjanjian, namun perjanjian tersebut tetap mempunyai kekuatan mengikat serta bersifat konsensuil, dalam arti bahwa apabila pihak penumpang pesawat terbang tidak menyetujui isi perjanjian, maka penumpang dapat mengembalikan atau membatalkan tiket telah dibelinya tersebut, akan tetapi apabila penumpang telah membeli tiket pesawat maka dianggap telah mengerti dan menyetujui perjanjian tersebut. Oleh karena itu, pihak perusahaan penerbangan wajib melakukan prestasi perjanjian pengangkutan yaitu mengangkut penumpang dan/atau barang ke tempat tujuan dengan aman dan selamat serta tepat waktu dalam pemberangkatan penumpangnya. Kelalaian terhadap pelaksanaan prestasi perjanjian akan berakibat diterapkannya peraturan dalam Pasal 1243 KUH Perdata, yaitu berupa penggantian biaya, rugi dan bunga. Menurut ajaran hukum yang berlaku di Common Law System maupun Continental Law System, perusahaan penerbangan sebagai pengangkut yang menyediakan jasa transportasi udara to untuk user umum bertanggung jawab atas

digilib.uns.ac.id 56 kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang. Menurut ajaran hukum tersebut, terjadi suatu pergeseran tanggung jawab dari korban (injured people) kepada pelaku pengangkutan (actor), karena itu perusahaan penerbangan secara yuridis bertanggung jawab terhadap penumpang dan/atau pengirim barang. Di samping itu, perusahaan penerbangan yang menyediakan pengangkutan umum tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, tetapi juga harus bertanggung jawab atas perbuatan karyawan, pegawai, agen atau perwakilannya atau orang yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan penerbangan tersebut. Menurut ajaran hukum tersebut, untuk keperluan tanggung jawab (liability) majikan dengan karyawan, pegawai atau agen atau perwakilannya atau orang yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan penerbangan tersebut dianggap seorang, karena itu berdasarkan ajaran hukum (doctrine) tersebut, perusahaan penerbangan harus bertanggung jawab terhadap penumpang, pengirim barang maupun pihak ketiga. Walaupun yang melakukan karyawan, pegawai atau agen atau perwakilannya atau orang yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan penerbangan (H.K. Martono dan Agus Pramono, 2013:9-10). B. Bentuk Ganti Rugi yang Dapat Diberikan oleh Maskapai Penerbangan Kepada Penumpang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Kerugian merupakan suatu pengertian kausal, yakni berkurangnya harta kekayaan (perubahan keadaan berkurangnya harta kekayaan), dan diasumsikan adanya suatu peristiwa yang menimbulkan perubahan tersebut. Syarat untuk menggeserkan kerugian itu kepada pihak lain oleh pihak yang dirugikan adalah bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh pelanggaran suatu norma oleh pihak lain. Sedangkan pengertian ganti rugi menurut Pasal 1243 KUH Perdata yaitu ganti kerugian berupa penggantian biaya, rugi atau bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan to atau user dibuat dalam tenggang waktu yang

digilib.uns.ac.id 57 dilampaukannya. Pasal ini lebih menitikberatkan pada ganti kerugian karena tidak terpenuhinya suatu perikatan. Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. Perbuatan melanggar hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar norma hukum, melanggar norma hukum berarti telah melanggar ketentuan pada perundang-undangan. Hal ini merupakan salah satu unsur Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Secara teoritis, dikatakan bahwa tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan perbuatan melanggar hukum baru dapat dilakukan apabila memenuhi empat unsur di bawah, yaitu (Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2008:96-97) : 1. adanya perbuatan melanggar hukum; 2. ada kerugian; 3. ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melanggar hukum; dan 4. ada kesalahan. Perbuatan tersebut melanggar hukum sebagaimana dikatakan diatas jika pelaku yang dalam hal ini adalah pihak maskapai tidak melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Undang-Undang (norma hukum) yaitu jam keberangkatan, sehingga mempunyai konsekuensi tersendiri yang dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan. Akibat suatu perbuatan melanggar hukum adalah timbulnya kerugian di pihak penumpang, disini perlu dibuktikan adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum secara luas. Keterlambatan penerbangan jelaslah menimbulkan kerugian bagi pihak penumpang baik itu dari segi materiil maupun immateriil, adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang dimana hubungan kausal merupakan salah satu ciri pokok dari adanya suatu perbuatan melanggar hukum. to user

digilib.uns.ac.id 58 Terkait kerugian yang ditimbulkan oleh maskapai penerbangan, maka pihak maskapai harus bertanggung jawab memberikan ganti kerugian kepada pihak penumpang yang dirugikan. Ganti kerugian atas keterlambatan penerbangan sendiri dijelaskan pada Pasal 146 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yaitu pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional. Selain itu terdapat juga di dalam Pasal 170 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyebutkan bahwa jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Peraturan secara lebih terperinci mengatur tentang besaran yang diberikan sebagai bentuk ganti kerugian atas keterlambatan angkutan udara yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 jo Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dan juga Pertauran Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2012 serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015. Apabila pihak pengangkut tidak melaksanakan ganti kerugian atas sebuah keterlambatan angkutan udara yang dikarenakan kesalahannya dan tidak termasuk dalam faktor pengecualian maka pihak pengangkut angkutan udara dapat dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan izin atau bahkan sampai pencabutan izin operasi udara. Penumpang yang merasa telah dirugikan oleh pihak maskapai penerbangan mempunyai hak untuk menuntut haknya sebagai penumpang atas kejadian-kejadian selama didalam ruang lingkup tanggung jawab maskapai penerbangan yang sudah diatur di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (Staatblad 1939 Nomor 100), namun ketentuan besarnya ganti kerugian sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan ekonomi sekarang ini. Ketentuan lebih jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. to user Maskapai penerbangan sebagai

digilib.uns.ac.id 59 pihak yang bertanggung jawab atas kejadian yang menjadi ruang lingkup tanggung jawab juga harus mematuhi peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun ada kalanya maskapai penerbangan tidak memberikan ganti kerugian kepada penumpang dengan alasan-alasan tertentu. Terdapat tiga macam keterlambatan pengangkutan udara masingmasing keterlambatan penerbangan, tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara, dan pembatalan penerbangan. Kompensasi tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Pasal 10 Nomor 77 Tahun 2011 yang menyebutkan tentang jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a ditetapkan sebagai berikut : a. Keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar Rp.300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang; b. Diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan huruf a apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara; c. Dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli. Tidak terangkutnya penumpang diatur dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa : a. Mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau b. Memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lian ke tempat tujuan. to user

digilib.uns.ac.id 60 Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 yang menyebutkan tentang kompensasi pembatalan penerbangan ditetapkan sebagai berikut : a. Dalam hal terjadi pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, pengangkut wajib memberitahukan kepada penumpang paling lambat 7 (tujuan) hari kalender sebelum pelaksanaan penerbangan; b. Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut wajib mengembalikan seluruh uang tiket yang telah dibayarkan oleh penumpang; c. Pembatalan penerbangan yang dilakukan kurang dari 7 (tujuh) hari kalender sampai dengan waktu keberangkatan yang telah ditetapkan, berlaku ketentuan Pasal 10 huruf b dan c; d. Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila badan usaha angkutan udara niaga berjadwal melakukan perubahan jadwal penerbangan (retiming atau rescheduling). Pembatalan penerbangan yang dilakukan kurang dari 7 (tujuh) hari kalender sampai waktu keberangkatan yang telah ditetapkan, perusahaan penerbangan wajib memberi ganti rugi sebesar Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu) rupiah bilamana perusahaan penerbangan menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang dan di samping itu perusahaan penerbangan harus menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan pengangkutan lain sampai ke tempat tujuan bilamana tidak ada moda pengangkutan selain angkutan udara atau perusahaan penerbangan mengalihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik perusahaan penerbangan lain, tetapi penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan, sedangkan apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli oleh penumpang (H.K. Martono dan Agus Pramono, 2013:210). Peraturan Menteri yang memberikan kompensasi atas keterlambatan penerbangan juga diatur didalam Peraturan to user Menteri Perhubungan Nomor 25

digilib.uns.ac.id 61 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, yang mana perusahaan penerbangan niaga wajib memberikan kompensasi keterlambatan akibat penundaan kepada calon penumpang. Dalam Pasal 36 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara menerangkan tentang kewajiban pengangkut untuk keterlambatan karena kesalahan pengangkut tidak membebaskan perusahaan angkutan udara niaga berjadwal terhadap pemberian kompensasi kepada calon penumpang dalam bentuk : a. keterlambatan lebih dari 30 menit sampai dengan 90 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minum dan makanan ringan; b. keterlambatan lebih dari 90 menit sampai dengan 180 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman, makanan ringan, makan siang atau malam dan memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan angkutan udara niaga berjadwal lainnya, apabila diminta oleh penumpang; c. keterlambatan lebih dari 180 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman, makanan ringan, makan siang atau malam dan apabila penumpang tersebut tidak dipindahkan ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan angkutan udara niaga berjadwal lainnya, maka kepada penumpang tersebut wajib diberikan fasilitas akomodasi untuk dapat diangkut pada penerbangan hari berikutnya; d. apabila terjadi pembatalan penerbangan, maka perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib mengalihkan penumpang ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan angkutan udara niaga berjadwal lainnya, maka kepada penumpang tersebut wajib diberikan fasilitas akomodasi untuk dapat diangkut pada penerbangan hari berikutnya; dan, e. apabila dalam hal keterlambatan sebagaimana tercantum dalam huruf b dan c, serta pembatalan sebagaimana tercantum dalam huruf d, penumpang tidak mau terbang to user atau menolak diterbangkan, maka

digilib.uns.ac.id 62 perusahaan angkutan udara niaga berjadwal harus mengembalikan harga tiket yang telah diberikan kepada perusahaan. Keterlambatan (delay) selama kurang lebih 2 jam mengharuskan maskapai penerbangan untuk memberikan ganti rugi sebagai bentuk tanggung jawab penyedia jasa penerbangan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Pasal 36 Nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara dan juga Peraturan Menteri Perhubungan Pasal 10 Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara serta terdapat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Pasal 3 Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia yang mengelompokan 6 (enam) kategori keterlambatan yaitu : 1. Kategori 1, keterlambatan 30 menit s/d 60 menit; 2. Kategori 2, keterlambatan 61 menit s/d 120 menit; 3. Kategori 3, keterlambatan 121 menit s/d 180 menit; 4. Kategori 4, keterlambatan 181 menit s/d 240 menit; 5. Kategori 5, keterlambatan lebih dari 240 menit; dan 6. Kategori 6, pembatalan penerbangan. Kompensasi yang wajib diberikan Badan Usaha Angkutan Udara akibat keterlambatan penerbangan diatur juga dalam Peraturan Menteri Perhubungan Pasal 9 Nomor 89 Tahun 2015 yaitu berupa : 1. Keterlambatan kategori 1, kompensasi berupa minuman ringan; 2. Keterlambatan kategori 2, kompensasi berupa minuman dan makanan ringan (snack box); 3. Keterlambatan kategori 3, kompensasi berupa minuman dan makanan berat (heavy meal); 4. Keterlambatan kategori 4, kompensasi berupa minuman, makanan ringan (snack box), dan makanan berat (heavy meal); 5. Keterlambatan kategori 5, kompensasi berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah); to user

digilib.uns.ac.id 63 6. Keterlambatan kategori 6, badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket); dan 7. Keterlambatan pada kategori 2 sampai dengan 5, penumpang dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket). Aturan mengenai ganti rugi yang wajib diberikan oleh maskapai penerbangan terkait keterlambatan penerbangan, baik yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 maupun Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2012 dan juga Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 menunjukan bahwa penumpang yang mengalami penundaan selama lebih dari 4 jam memiliki beberapa hak. Hak tersebut berupa mendapatkan minuman, makanan ringan, makan siang, dan makan malam serta ganti rugi rugi sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah). Beberapa kondisi seperti disebutkan diatas, penumpang berhak dipindahkan ke penerbangan lain (mendapat ganti tiket penerbangan lain), selain mendapatkan makanan dan minuman. Dalam hal terjadinya keterlambatan, penumpang biasanya baru mengetahui keterlambatan tersebut secara mendadak. Padahal pemberitahuan keterlambatan tersebut tidak boleh dilakukan secara mendadak, karena akan sangat merugikan penumpang. Pasal 37 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara juga menyatakan bahwa : 1. Setiap keterlambatan penerbangan, perusahaan angkutan niaga berjadwal wajib mengumunkan alasan keterlambatan kepada calon penumpang secara langsung atau melalui media pengumuman selambat-lambatanya 45 (empat puluh lima) menit sebelum jadwal keberangkatan atau sejak pertama kali diketahui adanya keterlambatan; 2. Pengumuman keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan; to user

digilib.uns.ac.id 64 3. Apabila keterlambatan terjadi pada hari dan jam keberangkatan atau waktu yang dianggap cukup bagi calon penumpang untuk menunda kedatangannya dibandar udara, pengumuman dapat dilakukan secara langsung atau melalui telepon atau pesan layanan singkat atau pengumuman ban dar udara bekerjasama dengan pengelola bandar udara; 4. Apabila keterlambatan terjadi sebelum hari keberangkatan, pengumuman dapat dilakukan melalui telepon atau pesan layanan singkat atau pengumuman di media elektronik bekerjasama dengan pengelola bandar udara. Secara konstitusional sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan pelaksananya, keterlambatan wajib diberikan ganti kerugian sejauh keterlambatan tersebut memang disebabkan oleh kesalahan dari pengangkut tapi pengangkut juga dibebaskan dari tanggung jawab jikalau keterlambatan tersebut dikarenakan oleh faktor force majeur (hal-hal yang berada diluar kekuasaan manusia). Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang diamanatkan oleh Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan, ketika terjadi suatu keterlambatan angkutan udara. Namun hal yang perlu ditekankan adalah ganti kerugian akan diberikan oleh pihak pengangkut kepada pihak penumpang jikalau keterlambatan itu memang terjadi karena kesalahan pengangkut. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah peraturan yang mengatur bagaimana proses ganti kerugian itu dilaksanakan di seluruh Bandar Udara yang berada di Indonesia. Jumlah ganti rugi atas keterlambatan penerbangan lebih dari 4 jam terhitung sejak waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi keberangkatan atau kedatangan sebesar Rp.300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang atau diberikan ganti rugi sebesar Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) bilamana perusahaan penerbangan menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang dan perusahaan penerbangan menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan to user pengangkutan lain sampai ke

digilib.uns.ac.id 65 tempat tujuan bilamana tidak ada moda pengangkutan selain angkutan udara. Terkait dalam hal penerbangan dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik perusahaan penerbangan lain, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli oleh penumpang (H.K. Martono dan Agus Pramono, 2013:209). Keterlambatan yang dialami pihak pengangkut mengakibatkan adanya kewajiban yang harus ditanggung, akan tetapi terdapat perbedaan aturan pada Pasal 10 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 yang menyebutkan tentang jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a. Kerugian yang dimaksudkan yaitu seperti masalah keterlambatan dan adanya perbedaan waktu keberangkatan maupun kedatangan. Penumpang baru mendapat ganti rugi sebesar Rp.300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) setelah mengalami keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam sedangkan, penumpang yang mengalami keterlambatan dibawah 4 (empat) jam dalam Peraturan Menteri Pasal 10 Nomor 77 Tahun 2011 tidak diberikan ganti rugi hal ini jelas merugikan pihak penumpang yang mengalami keterlambatan dibawah 4 (empat) jam karena keterlambatan waktu keberangkatan akan berpengaruh dengan waktu kedatangan ke tempat tujuan. Jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan yang diatur dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 berbeda dengan Pasal 36 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 dan juga Pasal 9 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015. Peraturan Menteri Perhubungan tersebut lebih memberikan keringanan bagi penumpang yang mengalami kerugian atas keterlambatan penerbangan dibawah 4 (empat) jam dengan kompensasi keterlambatan lebih dari 30 menit perusahaan penerbangan wajib memberikan minuman dan makanan ringan. Perbedaan aturan dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun to user 2011 dengan Peraturan Menteri

digilib.uns.ac.id 66 lainnya sangat jelas terlihat, namun dengan adanya perbedaan tersebut akan saling melengkapi Peraturan satu dengan Peraturan yang lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 34 Peraturan Menteri Nomor 49 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri menyatakan bahwa Mekanisme pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf c merupakan pemberian kompensasi kepada penumpang sesuai peraturan perundangan yang berlaku pada saat terjadi keterlambatan sampai dengan 4 (empat) jam, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Keterlambatan lebih dari 60 (enam puluh) menit sampai dengan 120 (seratus dua puluh) menit, badan usaha angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman dan makanan ringan (snack box); b. Keterlambatan lebih dari 120 (seratus dua puluh) menit sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) menit, badan usaha angkutan udara niaga bejadwal wajib memberikan minuman, makanan ringan (snack box), makanan berat (heavy meal) dan memindahlan penumpang ke penerbangan berikutnya, atau ke badan usaha angkutan udara lainnya, apabila diminta oleh penumpang; dan c. Keterlambatan lebih dari 180 (seratus delapan puluh) menit sampai dengan 240 (dua ratus empat puluh) menit, badan usaha angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman, makanan ringan (snack box), makanan berat (heavy meal) dan apabila penumpang tersebut tidak dapat dipindahkan ke penerbangan berikutnya atau ke badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya, maka kepada penumpang tersebut wajib diberikan fasilitas akomodasi untuk dapat diangkut pada penerbangan hari berikutnya. Pihak pengangkut dalam melakukan kegiatan penerbangan, kemungkinan akan terjadi hal-hal yang akan menyebabkan kerugian bagi penumpang, baik berupa kecelakaan, hilang atau rusaknya barang bagasi milik penumpang, maupun adanya suatu keterlambatan pesawat. Apabila hal-hal tersebut terjadi, maka penumpang akan to mendapatkan user ganti kerugian dari pihak

digilib.uns.ac.id 67 maskapai penerbangan. Hal ini merupakan realisasi dari tangggung jawab perusahaan pengangkutan udara. Tanggung jawab penyedia jasa penerbangan dalam hal keterlambatan atau pembatalan jadwal penerbangan diatur di dalam Pasal 36 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara dan Pasal 10,11 serta 12 Peraturan Menteri Perhubungan Nomr 77 Tahun 2011, yang menetapkan ketentuan serta besaran ganti kerugian akibat peristiwa keterlambatan maupun pembatalan penerbangan yang wajib diberikan oleh penyedia jasa kepada penumpang. Kedua aturan tersebut menerapkan prinsip presumption of liability yang mempunyai arti pengangkut secara otomatis berkewajiban untuk mengganti kerugian kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah atau beban pembuktian terbalik (Sri Syawali, 2000:95). Akan tetapi tanggung jawab kebanyakan maskapai penerbangan hanya sebatas memberikan ganti rugi berupa minuman dan makanan ringan serta menawarkan refund tiket, dan tidak mau melayani proses pengalihan penerbangan ke perusahaan penerbangan lainnya. Hal tersebut tentu melanggar Peraturan Menteri Perhubungan Pasal 36 Nomor 25 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa penyedia jasa penerbangan bertanggung jawab untuk membantu memindahkan penumpang ke perusahaan angkutan udara niaga berjadwal lainnya, apabila diminta oleh penumpang. to user