BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Taufik Hidayat, 2014 Peranan Adolf Hitler dalam perkembangan Schutzstaffel ( )

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. DARI IDEOLOGI HINGGA TERORISME

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

jumlah tentara FFL jauh lebih kecil dari jumlah tentara Sekutu dan tidak memadai untuk membebaskan Paris tanpa bantuan Sekutu.

BAB I PENDAHULUAN. II ( ) pada umumnya memiliki sudut pandang Sekutu sentris, dengan kata

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau di antara dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu.komunikasi massa

BAB V KESIMPULAN Harry Rizki Utami, 2013

BAB I PENDAHULUAN. sebuah Operasi yang diberi nama Operasi Overlord. Dalam Operasi ini Sekutu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Nurhidayatina, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Faktor kondisi geografis, sumber daya manusia, dan sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. Islam sebagai agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dalam artian

PERANAN PEMOEDA ANGKATAN SAMOEDERA OEMBARAN (PAS O) DALAM PERISTIWA AGRESI MILITER BELANDA II TAHUN 1948 DI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. Periode perjuangan tahun sering disebut dengan masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PERANAN ADOLF HITLER DALAM PERJUANGAN POLITIK PARTAI NAZI DI JERMAN TAHUN Endah Yani Anggraeni NIM

BAB I PENDAHULUAN. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan

BAB III PERANG DUNIA II

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Yofa Fadillah Hikmah, 2016

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V PENUTUP. ikatan-ikatan sosial. Selain itu keberadaan masyarakat sipil juga berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. sebagai gagasan pemersatu bangsa Indonesia dengan tujuan melanjutkan revolusi kita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah nasional Indonesia tidak lepas dari pemerintahan Soekarno dan Soeharto, seperti

BAB I PENDAHULUAN. negara di pesisir Atlantik, yang kemudian diarahkan oleh satu Konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. Papua New Guinea (PNG) berdiri sebagai sebuah negara merdeka pada

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masyarakat Banten terdapat dua tipe kepemimpinan tradisional yang samasama

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Korea. Jepang melakukan eksploitasi

BAB IV KESIMPULAN. Kebijakan pemerintahan Francisco..., Fadhil Patra Dwi Gumala, FISIP UI, Universitas Indonesia

2015 PERANAN SOUTH WEST AFRICA PEOPLE ORGANIZATION (SWAPO) DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN NAMIBIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda

Peranan hamas dalam konflik palestina israel tahun

Indonesian Journal of Sociology and Education Policy

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan dijadikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dian Ahmad Wibowo, 2014

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMAKASIH... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR GRAFIK...

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. skripsi Irak Di Bawah Kepemimpinan Saddam Hussein (Kejayaan Sampai

STUDI TENTANG TENTARA REPUBLIK INDONESIA PELAJAR KOMPI 3200/PARE SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna

SISTEM POLITIK INDONESIA. 1. Pengertian Sistem Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Dengan berakhirnya Perang Dunia kedua, maka Indonesia yang

A. SEJARAH MASA PEMERINTAHAN NAZI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Arni Febriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat diketahui dari sejarah masa lampau. Itu sebabnya kita perlu mengetahui

I. PENDAHULUAN. sejak jaman kemerdekaan berkali-kali menghadapi ujian. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. pembacanya. Banyak sekali manfaat yang terkandung dari membaca buku. Selain

menyatakan bertugas melucuti tentara Jepang yang telah kalah pada perang Asia

BAB I PENDAHULUAN. karena kekalahannya dalam Perang Dunia II. Jendral Douglas MacArthur yang

BAB I PENDAHULUAN. Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan karena terjadinya peristiwa

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pendekatan monodisipliner sejarah, peristiwa netralnya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada bab ini, penulis akan menguraikan metode penelitian yang

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis

BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia. Rakyat harus tetap berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan

BAB III METODE PENELITIAN

1.1 Latar Belakang Masalah

M PERANAN HASAN SADIKIN DALAM BIDANG KESEHATAN DI JAWA BARAT TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Gerakan sosial yang dibahas dalam studi ini terjadi di Semenanjung

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi landasan utama pemikiran marxisme. Pemikiran marxisme awal yang

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rubi Setiawan, 2013

Matakuliah : PANCASILA Oleh : Dewi Triwahyuni

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kepemimpinan Perempuan Pembawa Perubahan di Desa Boto Tahun ,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. perlu diragukan lagi. Bahasa tidak hanya dipergunakan dalam kehidupan

dalam Pemerintahan Fasisme Jerman

BAB III DESKRIPSI PROYEK. : Museum Perjuangan Rakyat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Gerakan sosial lahir dari situasi yang dihadapi masyarakat karena adanya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang bebas mengungkapkan semua ide dan ktreatifitasnya agar pembaca dapat menangkap

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada awalnya film merupakan hanya sebagai tiruan mekanis dari realita atau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Penulisan sejarah (historiografi) merupakan cara penulisan, pemaparan, atau

2015 DAMPAK DOKTRIN BREZHNEV TERHADAP PERKEMBANGAN POLITIK DI AFGHANISTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Panzi Ahmad Gozali, 2013

antara Ayah dan anak. Tetapi masalah perbedaan pendapat tersebut yang paling sulit diselesaikan adalah keinginan sang ayah untuk memasukkan Hitler

BAB V KESIMPULAN. Pertama, mengenai tingkat kehidupan manusia dari masa pra sejarah sampai

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara, kedudukan perempuan berada

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dafin Nurmawan, 2014 Gema Hanura sebagai media pendidikan politik

ESENSI HUKUMAN DISIPLIN BAGI PENEGAKAN DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN WONOGIRI T E S I S

BAB 1 PENDAHULUAN. Teater hadir karena adanya cerita yang dapat diangkat dari. fenomena kehidupan yang terjadi lalu dituangkan kedalam cerita yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini peneliti mengambil judul Peranan Syaikh Ahmad

membuka diri terhadap dunia internasional. Peristiwa ini mengakibatkan kepercayaan Daimyo terhadap kekuasaan Tokugawa menjadi menurun.

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah dan masyarakat Jepang merupakan hal yang cukup menarik

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam sejarah, aktor merupakan figur yang penting, baik sebagai individu, maupun sebagai partisipan dalam kelompok atau masyarakat. Secara kolektif, masyarakat tersebut penuh emosional, radikal, serta cenderung melakukan kekerasan ketika terjadi chaos. Hal itu akan lebih meledak saat terjadi krisis atau peristiwa yang provokatif. Di samping itu, penciptaan kambing hitam menambah ketegangan dalam masyarakat (Kartodirjo, 1993: 139-140). Adolf Hitler sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh besar pada Perang Dunia II, kiranya dapat dikaitkan dengan pernyataan di atas. Dalam konsep psikologi sosial, Hitler berkedudukan sebagai seorang aktor dalam kelompok, baik aktor dalam kelompok masyarakat sipil, maupun dalam kelompok militer. Artinya Hitler pun menempati kedudukan keduanya, dalam pembahasan ini kedudukan Hitler dalam kelompok masyarakat, Partai Nazi, dan skuadron militer Schutzstaffel. Berbicara tentang Jerman pada masa Perang Dunia II tidak dapat terlepas dari sosok Adolf Hitler. Adolf Hitler melakukan hal-hal tertentu untuk menuju jalan kepemimpinan yang kuat dan totaliter dalam membangun apa yang disebutnya sebagai Drittes Reich. Salah satunya adalah nasionalisme ekstrem, yang diterapkannya mampu membuat angkatan perangnya menanamkan loyalitas yang kuat terhadap negara, bahkan terhadap Hitler. Dalam Il Principle Machiavelli (2008: 23-24) mengatakan, Apabila mereka memiliki nasionalisme dan bahasa yang sama, maka mereka lebih mudah dipertahankan, khususnya apabila mereka tidak terbiasa dengan ide akan kemerdekaan. Hal itu pula yang mungkin menjadi salah satu latar belakang pemikiran Hitler dalam membentuk angkatan perangnya. Aspek yang diutamakan adalah ras

dan loyalitas, dalam hal ini adalah pemuda asli bangsa Arya, dengan harapan mereka mudah dipertahankan loyalitasnya, dan mudah diarahkan dalam sebuah konsensus berupa nasionalisme ekstrim (ultranasionalisme). Konsep negara rasialis Jerman yang merupakan gagasan Adolf Hitler juga merupakan hal yang menjadi sisi unik pada masa sekitar Perang Dunia II. Dalam konsep ini Hitler menekankan perihal kemurnian ras, pentingnya melahirkan hanya anak-anak yang sehat, dan haramnya mempunyai anak-anak yang cacat (Hitler, 2007b: 40). bahwa, Lebih lanjut Hitler berpendapat mengenai superioritas ras Arya adalah Jika peradaban tidak ingin punah, maka ras Arya harus dipertahankan dari kontaminasi oleh ras-ras yang lebih rendah. Semua upaya negara di bidang pendidikan dan pelatihan, haruslah ditujukan untuk menggodok kesadaran maupun perasaan ras menjadi naluri dan intelek, termasuk hati serta otak kaum muda harus dibentuk sedemikian... (Hitler, dalam Irwanto 2008: 51). Selain permasalahan ras, hubungan kedudukan aktor dalam kelompok tertentu dapat dikaitkan pula dengan unsur sosial dan pemerintahan seperti mentalitas kolektif, sistem patron klien, dan ideologi. Patron klien akan bergantung pada sistem nilai yang didasarkan pada penghormatan. Ideologi menurut Mannheim merupakan pandangan terhadap dunia dan kelompok sosial. Hal ini merupakan aspek yang lazim dimiliki oleh setiap patron. Sedangkan mentalitas kolektif menyebabkan penguatan terhadap penghormatan tersebut (Burke, 2003: 142). Kedudukan Adolf Hitler dalam kelompoknya baik kelompok masyarakat umum atau dalam kelompok partainya, menjadikannya sebagai sosok penting ketika pecah Perang Dunia II. Perang Dunia II, khususnya yang terjadi di Front Eropa (1939-1945) tidak dapat dilepaskan dari apa yang terjadi sebelumnya. Periode pasca Perang Dunia I sampai menjelang pecahnya Perang Dunia II merupakan masa-masa kritis dan terjadi ketegangan antara negara satu dengan

lainnya di Eropa. Masa itu disebut pula dengan masa persiapan perang, terutama yang dipersiapkan Jerman (Ojong, 2003: xxvi). Perjanjian Versailles mengharuskan Jerman dilarang mengembangkan angkatan perang, membayar ganti rugi kepada negara-negara pemenang perang, daerah jajahan harus diserahkan kepada pemenang perang, dan sebagainya. Oleh rakyat Jerman, hal ini dianggap sebuah penghinaan. Mereka berkeyakinan bahwa kondisi ini merupakan sebuah pengkhianatan yang dilakukan perwakilanperwakilan Jerman dalam Perjanjian Versailles (Siboro, TT: 28-29). Pada masa sekitar Perang Dunia II, Jerman merupakan negara yang paling mempersiapkan perang tersebut pasca kekalahannya dalam Perang Dunia I. Perjanjian Versailles yang dianggap menginjak-injak harga diri rakyat Jerman disebut-sebut merupakan dalih Adolf Hitler untuk mempersiapkan Perang Dunia II ketika menjadi kanselir, yang kemudian sudah menjadi pemimpin Jerman ketika perang tersebut (Ballack, 2007: 7-9). Hitler tidak hanya membangun kewibawaan dan simpati di depan rakyatnya, tetapi juga termasuk konseptor pasukan-pasukan perangnya. Hitler berhasil mengonsep Schutzstaffel yang multifungsi, dan dengan mudah indoktrinasi ideologisnya dapat diinternalisasikan terhadap serdadu (Quarrie, 2008: 18-19). Oleh Srivanto (2007: 29) Schutzstaffel diartikan sebagai skuadron/pasukan pelindung pribadi petinggi Nazi, walaupun beberapa pihak pada waktu itu tidak mengakui Schutzstaffel dalam Wehrmacht (Angkatan Darat Jerman) karena merupakan satu pasukan khusus yang diciptakan Hitler. Dalam keorganisasiannya, Schutzstaffel dibagi dalam dua bagian yakni sayap politik yang disebut Algemeine Schutzstaffel dan sayap militer yang disebut Waffen Schutzstaffel. Membahas Schutzstaffel yang merupakan pasukan elit Jerman, maka tidak dapat dilepaskan dengan Perang Dunia II. Adolf Hitler yang tidak menerima isi

ketentuan Versailles, mempersiapkan skuadron-skuadron militer guna kepentingan perang membalas kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I. Schutzstaffel disebut-sebut sebagai kesatuan elit yang tangguh dalam Perang Dunia II, di samping mempunyai kemampuan dan strategi tempur yang baik, mereka mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap Nazi, serta menjadi bagian dari pasukan yang menyiksa orang-orang Yahudi di kamp-kamp penyiksaan. Banyak catatan-catatan kejahatan yang melibatkan Schutzstaffel selama Perang Dunia II, baik dalam pertempuran, intimidasi, maupun penyiksaan terhadap orang-orang Yahudi, orang-orang cacat, homoseksual, atau tawanan perang (Darmawan, 2008: 11). Dengan pimpinannya yakni Heinrich Luitpold Himmler yang merupakan mantan peternak, Schutzstaffel juga melaksanakan konsep-konsep yang merupakan gagasan Himmler tersebut, salah satunya yakni sebagai objek dari pelestarian genetika ras Arya (Lebensborn). Banyak peranan dijalankan oleh pasukan Schutzstaffel yang tidak lazim layaknya sebagai tentara regular. Keadaan psikologis dan mentalitas kolektif yang sudah dibentuk sedemikian rupa membuat hal tersebut seolah merupakan hal yang lazim. Beberapa peranan Schutzstaffel diantaranya adalah berperang lazimnya tentara regular, menyiksa dan membunuh orang-orang yang dianggap hina seperti Yahudi, homoseksual, Gipsi, dan sebagainya (Holocaust), teror politik, serta menjadi objek rekayasa genetika ras Arya. Namun peranan yang unik tersebut, akan menarik jika dipandang dari perspektif psikologi sosial dari konseptor yang berkedudukan dalam Schutzstaffel itu sendiri. Dengan uraian dan latar belakang di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai peranan Adolf Hitler terhadap perkembangan dan kontribusi Schutzstaffel terhadap kelangsungan karir politik Adolf Hitler ketika menjadi pemimpin Jerman jika dilihat dari perspektif psikologi sosialnya. 1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis menentukan permasalahan utama yang menjadi bagian penting dalam karya ilmiah ini. Permasalahan tersebut adalah mengapa Schutzstaffel menjalankan peran yang tidak sebagaimana lazimnya tentara?. Agar permasalahan dapat terarah dan memudahkan dalam pembahasan yang mengacu pada pokok permasalahan di atas, maka penulis merumuskan dan membatasi permasalahan tersebut dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Schutzstaffel? 2. Bagaimana pengaruh aspek psikologi sosial Adolf Hitler terhadap pengakomodasian pemuda/sukarelawan ke dalam Schutzstaffel (1925-1945)? 3. Bagaimana pengaruh aspek psikologi sosial Adolf Hitler terhadap peranan Schutzstaffel? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan latar belakang terbentuknya Schutzstaffel. 2. Mengeksplorasi alasan Adolf Hitler melakukan propaganda dan agitasi politik terhadap kelompoknya. 3. Menganalisis peranan Adolf Hitler terhadap perkembangan Schutzstaffel dalam perspektif psikologi sosial. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Memberikan tambahan data secara teoritis terhadap penelitian selanjutnya. 2. Memberikan tambahan data dan informasi mengenai kajian sejarah kawasan Eropa, khususnya jerman pada masa Perang Dunia II. 3. Memberikan tambahan pengetahuan terhadap instansi atau korps yang dapat dikaitkan seperti misalnya Tentara Nasional Indonesia (TNI), Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Korps Marinir, dan sebagainya. 4. Memberikan hikmah terhadap pembaca sehingga dapat belajar dari nilai-nilai positif yang dapat diambil dari peristiwa/tema tersebut.

1.5 Struktur Organisasi Skripsi berikut. Adapun sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai Bab I merupakan pendahuluan. Pendahuluan ini berisi beberapa hal di antaranya latar belakang, identifikasi, dan rumusan masalah. Latar belakang masalah tersebut berisi alasan penulis mengambil kajian tentang PERANAN ADOLF HITLER DALAM PERKEMBANGAN SCHUTZSTAFFEL (1925-1945): Suatu Perspektif Psikologi Sosial. Supaya kajian ini lebih terarah dan lebih memudahkan dalam pembahasan yang mengacu pada pokok permasalahan, maka pada bab ini dibuat rumusan dan identifikasi masalah. Selain itu, bab ini juga memuat tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika atau organisasi skripsi. Bab II merupakan kajian pustaka atau pemaparan penelitian sebelumnya yang sejenis atau berhubungan. Dalam bab ini dikemukakan konsep-konsep dari penggalan judul atau konsep yang dianggap pokok dalam isi penelitian, memaparkan beberapa teori yang berkaitan dengan pembahasan, juga pemaparan penelitian sebelumnya yang berkaitan. Dalam penelitian ini, teori dijadikan pisau analisis untuk mengkaji permasalahan tersebut. Bab III merupakan metodologi penelitian. Dalam bab ini dikemukakan rangkaian kegiatan serta langkah-langkah yang ditempuh peneliti dalam penelitian. Adapun langkah-langkah tersebut adalah pertama, persiapan penelitian yang terdiri dari pengajuan judul penelitian. Kedua, adalah pelaksanaan penelitian serta melakukan kritik sumber baik internal maupun eksternal. Ketiga, adalah penafsiran atau interpretasi dari fakta-fakta yang telah dikumpulkan, dan terakhir melaporkan hasil penelitian dalam bentuk tulisan (skripsi) atau yang lazim disebut historiografi. Bab IV merupakan pembahasan, di mana dalam tahap ini penulis akan membahas, mendeskripsikan, dan menguraikan permasalahan yang selama ini penulis teliti, serta memaparkan dan menjelaskan tentang data-data yang penulis

peroleh baik dari buku-buku sumber, internet, wawancara, atau sumber lainnya yang mendukung judul dan permasalahan yang dikaji dari karya ilmiah ini. Sehingga, pada bab keempat ini penulis akan berusaha untuk mendeskripsikan hasil penelitian dan mencoba untuk menganalisisnya dalam bentuk penulisan sejarah secara terstruktur dan sistematis. Bab V merupakan penutup. Pada bagian ini, penulis akan membahas beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan sebagai inti dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta mengambil makna dari kajian yang telah penulis bahas pada bab sebelumnya.