BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Abortus merupakan kejadian yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar 10-15 % dari semua tanda klinis kehamilan yang dikenali, tapi secara empiris estimasi dan prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang tinggi sekitar 30%. Tiga penyebab klasik kematian ibu di dunia ini disebabkan oleh 3 faktor yaitu keracunan kehamilan, perdarahan, infeksi sedangkan penyebab ke empat yaitu abortus. World Health Organization (WHO) melaporkan setiap tahun 42 juta wanita mengalami kehamilan yang tidak diinginkan yang menyebabkan abortus, terdiri dari 20 juta merupakan unsafe abortion, yang paling sering terjadi pada negaranegara dimana abortus itu illegal. 1 2 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melaporkan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dimana Indonesia masih memegang peringkat juara satu di Asia Tenggara. Setiap tahun diperkirakan ada 5 juta ibu hamil di Indonesia, dari jumlah tersebut, dua meninggal dalam satu jamnya karena komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Jadi setiap tahun ada 15.000-17.000 ibu meninggal karena melahirkan. Kondisi seperti ini
dikhawatirkan tidak akan dapat mencapai target dalam Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 dalam mengentaskan kematian ibu. Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menyebutkan bahwa AKI masih 228/100.000 kelahiran hidup sedangkan target MDGs adalah 102/100.000 kelahiran hidup. Menurut SDKI 2012 menemukan survey yang mengejutkan bahwa terjadi lonjakan AKI sebesar 359/100.000 kelahiran hidup. Tingginya AKI di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal penyebab tidak langsung yaitu rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga terhadap resiko-resiko kehamilan dan persalinan. Banyak masyarakat yang menganggap kehamilan dan persalinan hanya suatu hal yang biasa saja, tidak memerlukan persiapan khusus, kurangnya pemahaman ibu terhadap kebutuan gizi pada saat hamil, terlambat dalam pertolongan persalinan sebagai akibat dari lambatnya pengambilan keputusan oleh keluarga dan lingkungan sosialnya. Hal lainnya adalah mahalnya biaya melahirkan di rumah sakit bersalin, kurang tersedianya rumah sakit bersalin atau puskesma yang memadai di daerah-daerah. 3 Pada kehamilan normal, stadium awal perkembangan terjadi pada lingkungan yang rendah oksigen (O2). Hipoksia fisiologis dari kantung gestasi akan melindungi fetus terhadap efek penghancur dan teratogenik dari radikal bebas O 2 ( OFRs) 4 3
Radikal bebas adalah molekul dimana lapisan paling luar tidak memiliki pasangan. Dengan kondisi yang tidak berpasangan membuat molekul itu semakin reaktif yang artinya mampu bereaksi bebas dengan molekul yang berada di sekitarnya. Molekul tersebut termasuk protein, lemak, karbohidrat dan Deoxyribo Nuclei Acid (DNA). Reaktif berarti mereka juga tidak bertahan lama dalam bentuk aslinya karena untuk mempertahankan bentuk aslinya, molekul ini akan mengambil satu molekul yang stabil dari yang lain yang berada di dekatnya dan molekul yang diambil tersebut akan menjadi radikal bebas dan seterusnya sampai terjadi kerusakan sel. Molekul yang sangat reaktif ini sebagian besar berasal dari oksigen, maka secara umum disebut reactive Oxygen Species (ROS). Radikal bebas dapat dinetralisir dengan antioksidan, tetapi jika melebihi suatu pertahanan antioksidan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut dengan stres oksidatif. Pada tahap ini kelebihan radikal bebas dapat bereaksi dengan sel lipid, protein dan asam nukleat, sehingga menyebabkan kerusakan sel. Lemak adalah molekul yang paling rentan untuk diserang radikal bebas. Selenium merupakan mikroeleman yang penting pada tubuh manusia, pada hewan ternak abortus idiopatik telah terbukti disebabkan oleh defisiensi selenium. Selenium merupakan suatu mikroprotein yang merupakan bagian dari enzim yang tergantung protein yang disebut selenoprotein. 5 5,6 7,8 5,6
Salah satu enzim selenoprotein yang penting adalah enzim glutatione peroksidase (GPx) yang berperan untuk mencegah terbentuknya radikal bebas dan reactive oxygen spesies (ROS) 9. Enzim glutation peroksidase membantu mencegah kerusakan sel yang disebabkan radikal bebas, salah satunya adalah hidrogen peroksida (H2O 2 ). Defisiensi selenium menyebabkan defisiensi glutation peroksidase sehingga H 2 O 2 tidak dapat diuraikan menjadi air dan oksigen, maka hidrogen peroksida akan bereaksi dengan besi atau superoksid dismutase (SOD) menghasilkan radikal hidroksil yang kemudian akan bereaksi dengan lemak pada dinding sel menghasilkan lipid peroksida yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Stres oksidatif plasenta dapat menyebabkan timbulnya preeklamsia dan abortus dimana tekanan oksigen akan meningkat secara bertahap. Peningkatan ini bersamaan dengan perubahan morfologi arteri uterus sehingga memungkinkan sirkulasi yang bebas dari maternal ke dalam plasenta, dan hal ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas enzim antioksidan katalase, GPx dan SOD pada jaringan plasenta. Apabila fluktuasi konsentrasi oksigen terlalu cepat atau meningkat terlalu tajam sehingga sistem perlawanan antioksidan menjadi berlebihan yang akhirnya timbul stres oksidatif. Dalam hal ini kerusakan pemecahan protein, lipid dan kerusakan DNA yang berat berpengaruh pada fungsi sel normal sehingga dapat menyebabkan kematian sel. 4,13 10,11,12
Lapisan sinsitiotrofoblas pada plasenta sangat sensitif terhadap peningkatan oksigen sehingga menyebabkan degenerasi selektif. Stres oksidatif akan mengambil tempat pada permukaan sel sinsitiotrofoblas karena tempat ini merupakan tempat pertama yang akan mengalami peningkatan tekanan oksigen, kemudian sinsitiotrofoblas mengandung konsentrasi enzim antioksidan yang lebih rendah dibandingkan vili jaringan lainnya pada usia kehamilan awal. Adanya ketidak-seimbangan yang terjadi sementara antara peningkatan produksi radikal bebas akibat meningkatnya tekanan oksigen secara cepat dan penyesuaian dengan perlawanan antioksidan untuk menguranginya sehingga akan timbul stres oksidatif. Stres oksidatif yang berlebihan ini dapat memainkan peranan penting pada plasenta sehingga proses ini mampu merubah sel sinsitiotrofoblas dari proliferatif menjadi invasif sehingga akan menstimulasi perpindahan trofoblas ektravili ke endometrium. Pada kasus dimana terjadi abortus terdapat pemasukan yang prematur dan berlebihan dari darah maternal ke dalam ruang intervili dan pada pemeriksaan histopatologi desidua dari kasus ini akan didapatkan invasi trofoblas lebih sedikit daripada keadaan normal dengan agregasi endovaskuler sel sitotropoblas yang tidak lengkap. 14,15 14,15
1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas dikatakan bahwa tingginya Angka Kematian Ibu karena komplikasi kehamilan salah satunya abortus, komplikasi persalinan dan nifas serta dijumpainya peran radikal bebas dan antioksidan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya abortus maka yang menjadi pertanyaan penelitian adalah apakah ada perbedaan kadar glutation peroksidase dengan terjadinya abortus imminens dibandingkan dengan hamil normal? 1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan kadar glutation peroksidase pada abortus imminens dan hamil normal trimester I di RSUP.H.Adam Malik, rumah sakit jejaring FK USU dan rumah sakit-rumah sakit swasta Medan. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengukur kadar glutation peroksidase pada kelompok abortus imminens 2. Mengukur kadar glutation peroksidase pada kelompok hamil normal trimester I 3. Mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar glutation peroxidase pada abortus imminens dan hamil normal trimester I
1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai sumber data-data dasar untuk dilanjutkan pada penelitian berikutnya 2. Menambah pemahaman mengenai patofisiologi stres oksidatif sebagai faktor penyerta abortus imminens