BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 66/PUU-XII/2014 Frasa Membuat Lambang untuk Perseorangan dan Menyerupai Lambang Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1999 TENTANG LALU LINTAS DEVISA DAN SISTEM NILAI TUKAR

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XV/2017 Pertanggungjawaban atas Kerusakan Lingkungan dan Kebakaran Hutan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-IX/2011 Tentang Peringatan Kesehatan dalam Promosi Rokok

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 385 dan Pasal 423 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BUPATI WAJO PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, manusia selalu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA : 40/PUU-X/2012

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Pasal 5: Setiap orang dilarang

BAB I PENDAHULUAN. (judicial power) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif(executive

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1999 TENTANG LALU LINTAS DEVISA DAN SISTEM NILAI TUKAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP. 1. Tanggung Jawab Bank Dan Oknum Pegawai Bank Dalam. Melawan Hukum Dengan Modus Transfer Dana Melalui Fasilitas

NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 84/PUU-IX/2011 Tentang Ketentuan Pidana Bagi Akuntan Publik

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

BAB I PENDAHULUAN. mengenai nasabah serta dana yang disimpannya dari pihak-pihak yang dapat

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG AKUNTAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang pokok dan bersifat mendesak. Tanpa hal-hal tersebut, manusia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

BAB I PENDAHULUAN. 95 BT hingga 141 BT (sekitar 5000 km) dan 6 LU hingga 11 LS 2 tentu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RAPERDA PERUBAHAN PILKADES

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 49/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661]

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 101/PUU-XV/2017 Peralihan Hak Milik atas Tanah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bidang perkebunan merupakan salah satu bidang yang termasuk ke dalam sumber daya alam di Indonesia yang memiliki peranan strategis dan berkontribusi besar terhadap pembangunan ekonomi Indonesia, karena perkebunan menyokong peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara melalui ekspor, penyediaan lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR selalu memposisikan perkebunan sebagai instrumen ekonomi strategis. Mengingat pentingnya bidang ini, Indonesia sebagai negara agraris yang 37,75 juta jiwa penduduknya masih bermata pencaharian bertani dan berkebun, 2 memerlukan perumusan kebijakan (beleid), pengaturan (regelendaad), pengurusan (bestuurdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) 3 di bidang perkebunan. Untuk itu pada tanggal 30 September 2014, diundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan 1 Teguh, et al., Hukum dan Undang-Undang Perkebunan, (Bandung : Nusa Media, 2013), hlm. 58. 2 http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160209120620-92-109708/jumlah-petani-menyusutdata-produksi-pertanian-dipertanyakan/, diakses pada tanggal 29 Desember 2016 Pukul 23.22 WIB 3 Penafsiran konsep penguasaan negara terhadap Pasal 33 UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi bisa dilihat dalam Putusan MK mengenai kasus-kasus pengujian undang-undang terkait dengan sumber daya alam, salah satunya yaitu Putusan MK Nomor 36 /PUU-X/2012 perihal pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Putusan MK Nomor 85/PUU- XII/2013 perihal pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

2 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan ini merupakan landasan hukum untuk mengembangkan perkebunan dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Dalam diktum Menimbang UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dinyatakan bahwa perkebunan memiliki peranan penting dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Menimbang juga bahwa penyelenggaraan perkebunan yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat yang belum mampu memberikan hasil yang optimal, serta belum mampu meningkatkan nilai tambah usaha perkebunan nasional. UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan ditujukan untuk membatasi ekspansi perkebunan besar atas lahan pertanian pangan, sebagaimana tercantum pada Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang berbunyi : "(1) Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan luas diatur dalam Peraturan Pemerintah". Ketentuan tersebut merupakan penyelarasan dari Pasal 17 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. UU No. 39 Tahun 2014 tentang

3 Perkebunan juga bertujuan untuk menghindari potensi konflik lahan antara petani dengan pengusaha perkebunan. Salah satu contohnya ada pada Pasal 12 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang berbunyi : "Dalam hal Tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya". UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan juga diarahkan pada penanaman modal dalam negeri, sementara penyertaan modal asing akan dibatasi di bisnis perkebunan. Hal ini sesuai dengan yang tertulis pada Pasal 95 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang berbunyi : 1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Perkebunan melalui penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing; 2) Pengembangan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1) diutamakan melalui penanaman modal daam negeri; 3) Besaran penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat 1) wajib dibatasi dengan memperhatikan kepentingan nasional dan pekebun; 4) Pembatasan penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat 3) dilakukan berdasarkan jenis Tanaman Perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu; dan 5) Ketentuan mengenai besaran penanaman modal asing, jenis Tanaman Perkebunan, skala usaha dan kondisi wilayah tertentu diatur dengan peraturan pemerintah." Kemudian, Usaha pemerintah untuk mengatur perkebunan pada UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan terlihat pada isinya di Pasal 4 yang mengatur mengenai : 1) Perencanaan perkebunan; 2) Penggunaan

4 lahan perkebunan; 3) Perbenihan; 4) Budi daya tanaman perkebunan; 5) Usaha perkebunan; 6) Pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan; 7) Penelitian dan pengembangan; 8) Sistem data dan informasi; 9) Pengembangan sumber daya manusia; 10) Pembiayaan usaha perkebunan; 11) Penanaman modal; 12) Pembinaan dan pengawasan; 13) Peran serta masyarakat; 14) Penyidikan; dan 15) Ketentuan pidana. Namun, meskipun UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan ini diharapkan untuk menghindari potensi konflik lahan antara petani dengan pengusaha perkebunan, secara substantial berbeda dengan fakta yang ditemukan setelah UU ini diundangkan. 4 Mayoritas masalah yang muncul karena ketidakjelasan ini adalah sengketa perkebunan antara pelaku usaha perkebunan dengan masyarakat. Kebijakan di bidang perkebunan yang cenderung memfasilitasi dan memberikan kemudahan pada perkebunanperkebunan skala besar telah mengakibatkan konflik perkebunan yang muncul di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini diikuti dengan adanya kewenangan yang besar yang dimiliki kepala daerah untuk mengatur wilayahnya. Kewenangan tersebut sering disalahgunakan untuk memberi izin secara mudah kepada pemilik perusahaan perkebunan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi lahan-lahan perkebunan. Adapun, sikap pemerintah terutama aparat penegak hukum yang seringkali menindaklanjuti konflik pertanahan antara masyarakat dengan 4 http://www.mongabay.co.id/2015/02/19/uu-perkebunan-berpotensi-timbulkan-masalah-sosialdan-lingkungan/ diakses pada tanggal 17 Januari 2017 Pukul 12.01 WIB

5 perusahaan perkebunan dengan cara penangkapan dan penahanan, 5 tanpa melihat duduk perkara serta latar belakang permasalahan yang muncul, yaitu ketimpangan dalam hal kepemilikan, penguasaan, dan pengelolaan sumber daya alam. Hal itu adalah kriminalisasi terhadap masyarakat sekitar perkebunan, yang terjadi baik di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan wilayah lainnya di Indonesia. 6 Kriminalisasi individu dan/atau masyarakat di sekitar perkebunan seperti diuraikan diatas, sangat erat terkait dengan Pasal 55 huruf a, huruf c, dan huruf d UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang berbunyi : "Setiap Orang secara tidak sah dilarang: a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau d. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan" dan juga Pasal 107 yang merupakan ketentuan pidana dari Pasal 55 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang berbunyi : "Setiap Orang secara tidak sah dilarang: a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau d. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)" Pasal 55 ini dinilai dirumuskan secara samar-samar dan tidak jelas karena memiliki makna kata yang ambiguitas serta memiliki kemiripan 5 http://www.mongabay.co.id/2015/01/01/konflik-lahan-12-warga-sumut-dipidana-dalam-2014/, diakses pada tanggal 17 Januari 2017 Pukul 12.05 WIB 6 http://www.kpa.or.id/news/blog/uu-perkebunan-kembali-hidupkan-represi-negara-terhadapperjuangan-petani/, diakses pada tanggal 17 Januari 2017 Pukul 12.08 WIB

6 dengan Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang berbunyi : "Setiap orang dilarang melakukan pengamanan usaha kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan" dan Pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang merupakan ketentuan pidana dari Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang berbunyi : (1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp.2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 21 dan Pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan ini sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan Judicial Review. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK No. 55/PUU- VIII/2010 yang menyatakan bahwa Pasal 21 beserta Penjelasannya, Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411)

7 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Pasal 21 dan Pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang sudah dibatalkan, kini muncul kembali dengan format yang sedikit berbeda namun secara substansial masih sama, yaitu pada Pasal 55 dan Pasal 107 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Dengan adanya sanksi administratif dan pidana, aturan ini berpotensi disalahgunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat atau masyarakat sekitar perkebunan yang cenderung berkonflik dengan perusahaan perkebunan. Pengaturan ulang ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan, mulai dari apakah para perancang undang-undang ini menghormati efektivitas putusan MK pada penyusunan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, apa saja yang menjadikan isi dari Pasal 21 dan 47 yang sudah dibatalkan pada UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan diatur kembali substansinya pada UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Keadaan ini mendorong beberapa organisasi petani untuk kembali mengajukan Judicial Review atas UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Salah satu gugatannya adalah Ketentuan Undang-Undang Perkebunan ini masih memberikan celah bagi langgengnya perlakuan kriminalisasi khususnya bagi masyarakat atau Petani di Perkebunan, dimana ketentuan pada Pasal 55 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan tersebut dinilai sama substansinya dengan Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang sudah dinyatakan bertentangan

8 dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 7 Mahkamah Konstitusi menanggapi hal tersebut dengan mengeluarkan Putusan MK No. 138/PUU-XIII/2015 yang mengabulkan sebagian gugatan, salah satunya adalah menetapkan bahwa Pasal 55 UU Perkebunan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa setiap orang secara tidak sah dalam ketentuan dimaksud tidak dimaknai tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik untuk melakukan kajian yang berjudul "Tinjauan Yuridis Pasal 55 UU No. 39 Tahun 2014 Berkaitan dengan Putusan MK No. 55/PUU- VIII/2010 dan Putusan MK No. 138/PUU-XIII/2015". B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah Mahkamah Konstitusi dan Putusannya berlaku secara efektif, khususnya berkaitan dengan Putusan MK No. 55/PUU-VIII/2010, yang membatalkan berlakunya Pasal 21 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, namun dalam Pasal 55 Undang- 7 Pasal 57 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa status Putusan MK dianggap sederajat dengan UU, karena Putusan MK yang menyatakan suatu pasal tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

9 Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan secara substansi mengatur kembali untuk hal yang sama? 2. Apa saja yang menjadikan isi Pasal 21 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan diatur kembali dalam Pasal 55 Undang- Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui efektivitas Mahkamah Konstitusi dan putusannya, khususnya berkaitan dengan Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; dan b. Mendapatkan data dan informasi, serta menganalisis dan menyimpulkan faktor apa saja yang menjadikan isi Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sehingga muncul kembali dalam Pasal 55 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; b. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan, dan kemampuan analisis penulis mengenai ilmu hukum khususnya hukum agraria dan terutama hukum perkebunan di Indonesia;

10 c. Untuk turut serta memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan pada cabang ilmu hukum, khususnya hukum agraria di Indonesia; dan d. Untuk turut serta dalam membentuk persepsi mengenai hukum perkebunan khususnya pada akses terhadap lahan perkebunan bagi masyarakat hukum adat dari sisi kepastian hukum penggunaan dan pemanfaatan lahan perkebunan. D. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk kepentingan akademis maupun kepentingan praktis, sebagai berikut : 1. Manfaat akademis a. Menambah wawasan keilmuan di bidang hukum agraria khususnya yang terkait dengan efektvitas putusan mahkamah konstitusi terkait perumusan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. b. Menambah wawasan keilmuan di bidang hukum agraria khususnya yang terkait dengan faktor yang menyebabkan substansi Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan muncul kembali pada Pasal 55 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. c. Penerapan ilmu yang didapat selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum UGM

11 d. Memperoleh analisis dan informasi yan akurat dalam rangka penyusunan penulisan hukum, sehingga dapat memberikan tambahan pengetahuan. 2. Manfaaat praktis a. Memberikan gambaran mengenai efektivitas Putusan Mahkamah Konstitusi khususnya yang berkaitan dengan Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, sehingga dapat dijadikan masukan untuk pengembangan sistem hukum ketatanegaraan lebih lanjut b. Dengan mengetahui sebab-sebab dari substansi Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan muncul kembali pada Pasal 55 Undang-Undang No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, maka dapat dijadikan sumber penting untuk pengaturan lebih lanjut tentang perkebunan dan masyarakat di sekitar perkebunan. E. Keaslian Penelitian Untuk mengetahui keaslian penelitian, telah dilakukan penelusuran penelitian di berbagai referensi dan hasil penelitian di Perpusatakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penelitian dengan judul "Tinjauan Yuridis Pasal 55 UU No. 39 Tahun 2014 Berkaitan dengan Putusan MK No. 55/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK No. 138/PUU- XIII/2015" ini dilakukan untuk mengkaji secara mendalam mengenai

12 eksistensi Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan mengkaji penyebab isi Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan muncul kembali dalam Pasal 55 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Fokus dari penelitian ini terletak pada konflik penghormatan eksistensi MK sebagai acuan penyusunan undang-undang dan juga komparasi Putusan MK No. 55/PUU-VIII/2010 dengan Putusan MK No. 138/PUU-XIII/2015, sehingga diketahui apa saja yang menjadikan isi Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan muncul kembali pada Pasal 55 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Sepanjang yang diketahui oleh peneliti, terdapat beberapa penelitian yang membahas tentang penggunaan lahan perkebunan dan undang-undang tersebut antara lain : 1. Penulisan Hukum Sofia Rahmawati. "Dinamika Pengaturan Penguasaan Tanah Perkebunan di Indonesia" Rumusan masalah dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut, yaitu : a. Apa saja pengaturan perundang-undangan penguasaan tanah perkebunan sejak masa Hindia Belanda hingga sekarang? b. Bagaimana pengaturan nilai tukar pekebun sejak masa Hindia Belanda hingga sekarang

13 Penulisan hukum ini dalam bentuk skripsi tahun 2016 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini mengkaji aspek historis dari penguasaan tanah perkebunan di Indonesia sejak masa Hindia Belanda. Penelitian hukum tersebut dilaksanakan bulan Juni 2016, dimana pengajuan Judicial Review oleh organisasi petani belum menghasilkan keputusan. Sementara MK sendiri mengeluarkan Putusan No 138/PUU-XIII/2015 pada akhir November 2016. Dengan demikian, berdasarkan pada penjelasan yang dapat menunjukkan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang telah ada, maka penelitian ini memenuhi unsur keaslian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, serta bukan merupakan plagiasi.