RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 010/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 13 Juni 2006 I. PEMOHON AH.Wakil Kamal, SH. KUASA HUKUM Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Menyatakan konsideran Menimbang huruf b: Menyatakan konsideran Menimbang huruf c: Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 ayat (1) dan (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63 Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (1),(2),dan (3), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24 B, Pasal 24C, Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. III. ALASAN Menyatakan konsideran Menimbang huruf b, konsideran Menimbang huruf c, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,, Pasal 6, pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1),(2) dan (3), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
1. Bahwa di dalam konsideran Menimbang huruf b dan Pasal 4 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditegaskan : Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Berdasarkan konsideran di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud prasa lembaga pemerintahan adalah kepolisiaan dan kejaksaan, hal itu sangat bertentangan dengan asas doelmatigheid (kemanfaatan), karena terbukti kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi tidak efektif dan efisien dan hanya mampu mengadili para koruptor kelas bawah sedangkan kelas kakap ibarat angin berhembus sepoi-sepoi. Maka dengan sendirinya Pasal 4 UU Komisi Pemberantasan Korupsi harus juga dinyatakan bertentangan dengan prinsipprinsip negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang bertujuan meningkatkaan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi terbukti tidak terpenuhi sebagaimana dijelaskan diatas sehingga harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 1. Bahwa demikian juga, pembentukan UU Komisi Pemberantasan Korupsi hanya berdasrkan perintah undang-undang, yaitu dalam konsideran Menimbang huruf c UU Komisi Pemberantasan Korupsi, hal ini jelas bertentangan dengan doktrin hukum tatanegara. Bahwa dalam ketatanegara Indonesia suatu peraturan perundang-undangan tidak diperkenankan membuat suatu undang-undang yang diperintahkan pembuatanya oleh undang-undang sederajat. Begitu juga dalam UUD 1945 tidak ada aturan yang menjelaskan undang-undang organik tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, apalagi UU Pemberantasan Korupsi telah mereduksi hakikat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dan asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) sesuai dengan ketentuan UUD 1945. 2. Bahwa demikian juga Pasal 1 ayat (3) UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang memberikan kewenangan kepada lembaga Pemberantasan korupsi melebihi dari kewenangan kepolisian dan kejaksaan, wewenang itu adalah untuk melakukan koordinasi, supervisi dan monitoring dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Dengan demikian Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi, supervisi dan monitoring telah diberikan keududkan setingkat lebih tinggi dibandingkan lembaga kepolisian maupun kejaksaan. Bahkan Komisi Pemberantasan korupsi dalam Pasal 8 ayat (2) UU Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang pula mengambil alih penyelidikan, penyidikan atau penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan. Oleh karena itu Pasal 1 ayat (3) yang juga berhubungan dengan pasal lainya yaitu Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 UU Komisi Pemberantasan Korupsi sangat bertentangan dengan BAB III UUD 1945 telah dinyatakan bahwa kekuasaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan merupakan domain kekuasaan eksekutif, hal mana UUD 1945 telah dengan jelas memberikan kekuasaan eksekutif tersebut kepada Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UUD 1945. Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil sebagian dari kekuasaan eksekutif yang dijamin oleh UUD 195. 3. Dalam Pasal 2 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyiratkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan kekuasaan tersendiri. Padahal dalam aturan lebih lanjut, Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja layaknya kekuasaan eksekutif. Hal ini dapat dilihat dari fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang sebenarnya bekerja pada wilayah kekuasaan Presiden, terutama pada peran Polisi Repubik Indonesia (POLRI) dan Kejaksaan RI. Andaipun tetap menjadi lembaga pemerintah yang tunduk di bawah pemegang kekuasaan eksekutif yaitu Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. 4. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 telah menjadi sebuah lembaga yang absolut (mempunyai kekuasaan tak terbatas), terutama dalam prasa independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun Jelas-jelas hal ini sangat bertentangan dengan prinsip kedaulatan berada ditangan rakyat. Dalam UUD 1945 telah menjelaskan bahwa rakyatlah yang memegang kedaulatan berdasarkan UUD 1945.
5. Pemohon menilai bahwa Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (2) dan (3), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 21ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 63 ayat (1) kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi tidak lebih baik kinerjanya dibandingkan dengan kinerja kepolisian dan kejaksaan saat ini, sehingga kredibilitas, integritas dan kapabilitas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri tidak efektif dan efesien. 6. Bahwa kata publik dalam Pasal 20 ayat (1) UU Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut dalam frase Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggungjawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya. Sehingga pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap publik jelasjelas meniadakan sistem kedaulatan rakyat dalam UUD 1945, jelas-jelas multi tafsir, publik bisa dimaknai cukup di hadapan 3 orang sampai 4 orang. Dengan demikian sistem pertanggungjawaban yang dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi hanya bertanggungjawab kepada publik, maka Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menafsirkan pertanggungjawaban kepada siapa saja dengan orang yang terbatas pun pertanggungjawabannya telah dianggap sah. 7. Bahwa selain itu dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi terutama pada Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, dan Pasal 62 jelas telah mencampuri urusan kekuasaan kehakiman yang dalam UUD 1945 kedudukannya bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun juga. Adanya pengaturan terhadap kekuasaan kehakiman dalam UU KPK jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, keadilan dan asas pemisahan kekuasaan dengan prinsip perimbangan kekuasaan, sehingga semakin membuat sistem kekuasaaan negara semakin tidak jelas.
IV. PETITUM: Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah diuraikan tersebut di atas, maka Pemohon meminta agar Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat mengabulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan konsideran Menimbang huruf b, konsideran Menimbang huruf c, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 3. Menyatakan konsideran Menimbang huruf b, konsideran Menimbang huruf c, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. 4. Menyatakan pasal-pasal tersebut diatas yang dimohonkan merupakan jantung Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4250) secara keseluruhan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5. Menyatakan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.