RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 010/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 13 Juni 2006

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat ditarik. 1. Lembaga Negara independen adalah lembaga yang dalam pelaksanaan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

PUTUSAN. Nomor 010/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Nomor 005/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl. 29 Maret 2006

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCABUTAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

PENUTUP. Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dapat. Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara independen dalam sistem

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 010/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UUD 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 121/PUU-XII/2014 Pengisian Anggota DPRP

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

PUTUSAN Nomor 81/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani *

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 49/PUU-X/2012 Tentang Persetujuan Majelis Pengawas Daerah Terkait Proses Peradilan

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 072/PUU-II/2004

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

2016, No Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Audit Penyadapan Informasi yang Sah (Lawful Interception) pada Komisi Pemberantasan Ko

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

KEPUTUSAN BERSAMA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kedelapan, Permintaan Keterangan Kepada PPATK (Berdasarkan Informasi PPATK

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan pr

UU & Lembaga Pengurus Tipikor L/O/G/O

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 2/PUU-XV/2017 Syarat Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela Bagi Calon Kepala Daerah

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-I/2003

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015.

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 066/PUU-II/2004

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

I. PEMOHON Indonesian Human Rights Comitee for Social Justice (IHCS) yang diwakilkan oleh Gunawan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 004/PUU-I/2003

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. setelah adanya perkembangan tersebut, yaitu agenda checks and balances

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 070/PUU-II/2004

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

Transkripsi:

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 010/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 13 Juni 2006 I. PEMOHON AH.Wakil Kamal, SH. KUASA HUKUM Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Menyatakan konsideran Menimbang huruf b: Menyatakan konsideran Menimbang huruf c: Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 ayat (1) dan (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63 Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (1),(2),dan (3), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24 B, Pasal 24C, Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. III. ALASAN Menyatakan konsideran Menimbang huruf b, konsideran Menimbang huruf c, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,, Pasal 6, pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1),(2) dan (3), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

1. Bahwa di dalam konsideran Menimbang huruf b dan Pasal 4 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditegaskan : Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Berdasarkan konsideran di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud prasa lembaga pemerintahan adalah kepolisiaan dan kejaksaan, hal itu sangat bertentangan dengan asas doelmatigheid (kemanfaatan), karena terbukti kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi tidak efektif dan efisien dan hanya mampu mengadili para koruptor kelas bawah sedangkan kelas kakap ibarat angin berhembus sepoi-sepoi. Maka dengan sendirinya Pasal 4 UU Komisi Pemberantasan Korupsi harus juga dinyatakan bertentangan dengan prinsipprinsip negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang bertujuan meningkatkaan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi terbukti tidak terpenuhi sebagaimana dijelaskan diatas sehingga harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 1. Bahwa demikian juga, pembentukan UU Komisi Pemberantasan Korupsi hanya berdasrkan perintah undang-undang, yaitu dalam konsideran Menimbang huruf c UU Komisi Pemberantasan Korupsi, hal ini jelas bertentangan dengan doktrin hukum tatanegara. Bahwa dalam ketatanegara Indonesia suatu peraturan perundang-undangan tidak diperkenankan membuat suatu undang-undang yang diperintahkan pembuatanya oleh undang-undang sederajat. Begitu juga dalam UUD 1945 tidak ada aturan yang menjelaskan undang-undang organik tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, apalagi UU Pemberantasan Korupsi telah mereduksi hakikat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dan asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) sesuai dengan ketentuan UUD 1945. 2. Bahwa demikian juga Pasal 1 ayat (3) UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang memberikan kewenangan kepada lembaga Pemberantasan korupsi melebihi dari kewenangan kepolisian dan kejaksaan, wewenang itu adalah untuk melakukan koordinasi, supervisi dan monitoring dalam rangka pencegahan dan

pemberantasan korupsi. Dengan demikian Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi, supervisi dan monitoring telah diberikan keududkan setingkat lebih tinggi dibandingkan lembaga kepolisian maupun kejaksaan. Bahkan Komisi Pemberantasan korupsi dalam Pasal 8 ayat (2) UU Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang pula mengambil alih penyelidikan, penyidikan atau penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan. Oleh karena itu Pasal 1 ayat (3) yang juga berhubungan dengan pasal lainya yaitu Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 UU Komisi Pemberantasan Korupsi sangat bertentangan dengan BAB III UUD 1945 telah dinyatakan bahwa kekuasaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan merupakan domain kekuasaan eksekutif, hal mana UUD 1945 telah dengan jelas memberikan kekuasaan eksekutif tersebut kepada Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UUD 1945. Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil sebagian dari kekuasaan eksekutif yang dijamin oleh UUD 195. 3. Dalam Pasal 2 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyiratkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan kekuasaan tersendiri. Padahal dalam aturan lebih lanjut, Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja layaknya kekuasaan eksekutif. Hal ini dapat dilihat dari fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang sebenarnya bekerja pada wilayah kekuasaan Presiden, terutama pada peran Polisi Repubik Indonesia (POLRI) dan Kejaksaan RI. Andaipun tetap menjadi lembaga pemerintah yang tunduk di bawah pemegang kekuasaan eksekutif yaitu Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. 4. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 telah menjadi sebuah lembaga yang absolut (mempunyai kekuasaan tak terbatas), terutama dalam prasa independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun Jelas-jelas hal ini sangat bertentangan dengan prinsip kedaulatan berada ditangan rakyat. Dalam UUD 1945 telah menjelaskan bahwa rakyatlah yang memegang kedaulatan berdasarkan UUD 1945.

5. Pemohon menilai bahwa Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (2) dan (3), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 21ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 63 ayat (1) kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi tidak lebih baik kinerjanya dibandingkan dengan kinerja kepolisian dan kejaksaan saat ini, sehingga kredibilitas, integritas dan kapabilitas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri tidak efektif dan efesien. 6. Bahwa kata publik dalam Pasal 20 ayat (1) UU Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut dalam frase Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggungjawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya. Sehingga pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap publik jelasjelas meniadakan sistem kedaulatan rakyat dalam UUD 1945, jelas-jelas multi tafsir, publik bisa dimaknai cukup di hadapan 3 orang sampai 4 orang. Dengan demikian sistem pertanggungjawaban yang dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi hanya bertanggungjawab kepada publik, maka Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menafsirkan pertanggungjawaban kepada siapa saja dengan orang yang terbatas pun pertanggungjawabannya telah dianggap sah. 7. Bahwa selain itu dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi terutama pada Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, dan Pasal 62 jelas telah mencampuri urusan kekuasaan kehakiman yang dalam UUD 1945 kedudukannya bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun juga. Adanya pengaturan terhadap kekuasaan kehakiman dalam UU KPK jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, keadilan dan asas pemisahan kekuasaan dengan prinsip perimbangan kekuasaan, sehingga semakin membuat sistem kekuasaaan negara semakin tidak jelas.

IV. PETITUM: Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah diuraikan tersebut di atas, maka Pemohon meminta agar Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat mengabulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan konsideran Menimbang huruf b, konsideran Menimbang huruf c, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 3. Menyatakan konsideran Menimbang huruf b, konsideran Menimbang huruf c, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. 4. Menyatakan pasal-pasal tersebut diatas yang dimohonkan merupakan jantung Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4250) secara keseluruhan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

5. Menyatakan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.