BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KABUPATEN BANGKA BARAT

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB I PENDAHULUAN.

KEEFEKTIFAN MODEL PENDAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN OBAT PADA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

ANALISIS SPASIAL ASPEK KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PEKALONGAN

Filariasis : Pencegahan Terkait Faktor Risiko. Filariasis : Prevention Related to Risk Factor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN PRAKTEK PENCEGAHAN PENULARAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JENGGOT KOTA PEKALONGAN TAHUN 2015

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

B A B 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing filaria kelompok nematoda, dan ditularkan oleh gigitan berbagai jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang meruncing pada kedua ujung. Anggota-anggota filum ini disebut cacing bulat

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nyamuk Anopheles sp. betina yang sudah terinfeksi Plasmodium (Depkes RI, 2009)

5. Manifestasi Klinis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening.

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN I DOKUMENTASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih me rupakan salah satu masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

V. PEMBAHASAN UMUM. Pengamatan di daerah pasang surut Delta Upang menunjukkan. bahwa pembukaan hutan rawa untuk areal pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

1. PENDAHULUAN. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles sp. betina (Depkes R.I.,

Prevalensi pre_treatment

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KUESIONER. Hari/Tanggal : Waktu : Pukul... s/d... No. Responden : 1. Nama (inisial) : 2. Umur :

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

HUBUNGAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT PETANI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS DI DESA PEUNAYAN KECAMATAN NISAM KABUPATEN ACEH UTARA TESIS OLEH

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Gondanglegi Kulon kecamatan

DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG PENCEGAHAN PENULARAN FILARIASIS DENGAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN KELURAHAN KURIPAN KERTOHARJO KOTA PEKALONGAN

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

Kasus elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon yang pernah dilaporkan. dilakukan survei pendahuluan dan pelacakan kasus, ditemukan lagi dua penderita

SKRIPSI SARI UKURTHA BR. TARIGAN NIM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Filariasis Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara dan alat kelamin (Chin J, 2006). Pengertian lain menjelaskan filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening (Depkes RI, 2008), sedangkan menurut Gandahusada dkk tahun 2003 filariasis limfatik adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3 jenis cacing filaria yaitu : Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang penularannya melalui vektor nyamuk. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar limfe serta ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis dan akut. B. Gejala Klinis Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh B. malayi dan B. timori. 9

10 infeksi W. bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B. malayi dan B. timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2008). 1. Gejala Klinis Akut Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan dapat pula terjadi abses. Abses dapat pecah yang kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B. malayi dan B. timori dibandingkan dengan infeksi W. brancofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi W. brancofti sering terjadi peradangan buah pelir, peradangan epididimis dan peradangan funikulus spermatikus (Depkes RI, 2008). 2. Gejala Klinis Kronis a. Limfedema Pada infeksi W. brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal (Depkes RI, 2008). b. Lymph Scrotum Lymph scrotum pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadangkadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, hal ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang membesar (Notoatmodjo, 1997)

11 c. Kiluria Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W. brancofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul pada kiluria adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan tubuh, kehilangan berat badan (Depkes RI, 2008). d. Hidrokel Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah pelir, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut: 1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi. 2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus. 3) Akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi yaitu Chyle (Chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh dokter Puskesmas yang sudah dilatih. 4) Hidrokel banyak ditemukan didaerah endemis W. bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi W. bancrofti.

12 C. Penentuan Stadium Limfedema Limfedema terbagi dalam 7 stadium (tabel 2.1) menggambarkan akan tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita. Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria berikut : 1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai. 2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema. 3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat. 4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh. 5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan penatalaksanaan kasus.

13 Tabel 2.1 Stadium Limfedema / tanda kejadian bengkak, lipatan dan benjolan pada penderita kronis filariasis. No Gejala Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 1 Bengkak di kaki Menghilang waktu bangun tidur pagi Menetap Menetap menetap Menetap meluas Menetap meluas Menetap meluas 2 Lipatan kulit Tidak ada Tidak ada Dangkal Dangkal Dalam kadang dangkal Dangkal dalam Dangkal dalam 3 Nodul Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadangkadang Kadangkadang Kadangkadang 4 Mossy lesion*) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadangkadang 5 Hambatan berat Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya *) gambaran seperti lumut Sumber : Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis, Depkes RI 2008 D. Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria dalam darah tepi, kiluria, eksudat, varises limpe dan cairan limpe dan cairan hidrokel atau ditemukannya cacing dewasa pada biopsi kelenjar limfe atau pada penyinaran didapatkan cacing yang sedang mengadakan kalsifikasi. Sebagai diagnosis pembantu pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofili antara 5-15%. Juga tes intradermal dan tes fiksasi komplemen dapat membantu menegakkan diagnosis. E. Patogenesis Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva

14 infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat dikulit. Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik (DepKes RI, 2008) 1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk kejaringan menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut: a. Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama dengan bakteri, yaitu : Limfangitis (peradangan di saluran limfe), Limfadenitis (peradangan di kelenjar limfe), Adeno limfangitis (peradangan saluran dan kelenjar limfe), Abses.

15 Peradangan oleh spesies W. bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis. b. Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah dan lain-lainnya. 5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema. 6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting). F. Rantai Penularan Filariasis Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu 1. Sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya. 2. Vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis. 3. Manusia yang rentan terhadap filariasis. Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang tusukan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan demam berdarah, seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif ribuan kali,

16 sedangkan pada penularan malaria dan demam berdarah seseorang akan sakit dengan sekali gigitan nyamuk yang infektif. Di samping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia,sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk W. bancrofti antara 10-14 hari, sedangkan B. malavyi dan B. timori antara 8-10 hari. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap risiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik, penularan terjadi siang dan malam hari. Khusus untuk B. malayi tipe sub periodik dan non periodik nyamuk Mansonia menggigit manusia atau kucing, kera yang mengandung mikrofilaria dalam darah tepi, maka mikrofilaria masuk kedalam lambung nyamuk menjadi larva infektif Di samping faktorfaktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran filariasis antar daerah (DepKes RI, 2008)

17 G.Tatalaksana kasus klinis Filariasis Semua kasus klinis penyakit filariasis baik stadium dini, stadium lanjut dengan gejala akut yang berupa demam berulang dan gejala peradangan yang lainnya diberi obat-obatan yaitu antipiretik, analgetik, antibiotik sampai gejala akut teratasi. Selanjutnya diberi pengobatan Dietyl Carbamazine Citrate (DEC) 3 x 1 tablet selama 10 hari serta parasetamol 3 x 1 tablet dalam 3 hari pertama. Penderita klinis tersebut diikut sertakan dalam program pengobatan masal dengan DEC 6 mg/kg BB dan Albendazole 400 mg sekali setahun pertahun berikutnya. Disamping diberi obat-obatan seperti diatas, tiap stadium memerlukan penanganan khusus sesuai dengan stadium yang dialami. Hasil penelitian yang dilakukan Burkot dkk (2006) didapatkan hasil bahwa pengobatan filariasis dengan menggunakan kombinasi DEC dan Albendazole lebih efektif jika dibandingkan pengobatan hanya menggunakan DEC. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya pengurangan level antigen cacing dewasa dan pengurangan reaksi klinis dalam menginfeksi manusia. Kombinasi DEC dan Albendazole lebih efektif mengurangi prevalensi filariasis dan kepadatan mikrofilaria untuk waktu lebih lama. H. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Filariasis 1. Faktor Agent Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu W. bancrofti, B. malayi, B. timori. Cacing filaria (Nematoda:Filarioidea) baik limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut: dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk). Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada W. bancrofti bersifat periodik nokturnal, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam

18 darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti jantung dan ginjal disebut periodik diurnal (Depkes RI, 2008). 32 Varian subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria limfatik Wuchereria dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko penularan filarial. Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara umum, filariasis W. bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. W. bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan W. bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. B. malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. B. timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan.( Pratiknunya, 2000) Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu a. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk. Cx. quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. b. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex.

19 c. Brugia malayi tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan. d. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa. e. Brugia malayi tipe non periodik Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba. f. Brugia timori tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah. a. Makrofilaria Cacing dewasa (Makrofilaria) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup di dalam system limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55-100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan puluhan ribu Mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil kurang lebih 55 x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar (Notoatmodjo, 1997).

20 b. Mikrofilaria Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan puluhan ribu anak-anak cacing yang disebut microfilaria yang mempunyai sarung. Ukuran microfilaria 200-600 x 8 um. Secara mikroskopis morfologi mikrofilaria dari berbagai spesies dapat dibedakan berdasarkan : susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor, terutama ruang kepala serta keadaan sarung (Notoatmojo,1997). Tabel 2.2 Perbedaan Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia dalam Sediaan Darah dengan Pewarnaan Giemsa No Morfologi/karateristik W. bancrofti B. malayi B. timor 1 Gambaran umum dalam sediaan darah 2 Perbandingan lebar dan panjang kepala 3 Warna sarung dengan pewarna Giemsa Melengkung mulus Melengkung kaku dan patah Melengkung kaku dan patah 1 : 1 1 : 2 1 :3 Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna 4 Ukuran panjang dalam micron 224-296 177-220 265-323 5 Inti badan Tersusun rapi Berkelompok Berkelompok 6 Jumlah inti di ujung ekor 0 2 2 7 Gambaran ujung ekor Seperti pita Ujung agak Ujung kerah ujung tumpul tumpul Sumber : Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis, Depkes RI 2008 agak c. Larva dalam tubuh nyamuk Pada saat nyamuk vektor menghisap darah yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk kedalam lambung nyamuk dan selanjutnya bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria berkembang menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 um x 10-17 um, dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari dalam tubuh nyamuk, larva berkembang menjadi larva stadium 2 (L2) yang berukuran 200-300 um x 15-30 um, dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada stadium ini larva menunjukkan adanya

21 gerakan. Hari ke 8-10 pada spesies Brugia atau hari ke 10-14 pada spesies Wuchereria, larva dalam nyamuk berkembang menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 um x 20 um. L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium ini merupakan bentuk infektif dari cacing filarial. 2. Faktor Manusia dan Nyamuk (Host) a. Manusia 1) Karakteristik Individu Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis. Faktor biologis meliputi genetik, sistem syaraf dan hormonal, sedangkan faktor sosiopsikologis terdiri dari komponen-komponen kognitif (intelektual), konatif (kebiasaan dan kemauan bertindak), afektif (emosional) Menurut Kotler (1980) yang dikutip oleh Zahid (1997) karakteristik individu diklasifikasikan menjadi dua yaitu karakteristik demografi dan karakteristik psikografi. Karakteristik demografi meliputi umur, jenis kelamin, ukuran keluarga, daur kehidupan keluarga, penghasilan, pekerjaan, pendidikan, agama, ras, bangsa dan tingkat sosial. a) Umur Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuan kali (Depkes RI, 2008). Variabel umur untuk beberapa penyakit memegang peranan penting dalam kaitannya dengan kejadian dan pelebaran suatu penyakit. Konsekuensi hubungan umur seseorang dengan

22 terjadinya penyakit, untuk mengetahui potensi seseorng untuk terpapar dengan sumber infeksi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kadarusman (2003) variabel umur merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan terjadinya filariasis. Badan Pusat Statistik mengkategorikan umur menjadi usia muda umur 15-24 tahun, usia dewasa umur 25-49 tahun dan usia tua umur 59 tahun. b) Jenis kelamin Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kadarusman (2003) dan Njenga, S.M et all (2000) menghasilkan bahwa variabel jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan terjadinya filariasis. Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat ketentanan memegang peranan tersendiri. Hal ini disebabkan banyak penyakit infeksi terjadi pada jenis kelamin tertentu dibandingkan dengan jenis lainnya. Secara umum, laki-laki mengalami angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita untuk hampir semua penyakit sedangkan wanita mengalami angka kesakitan yang lebih tinggi (Sub. Dit. Surveilans Depkes RI, 2000). Penyakit filariasis pada laki-laki umumnya menunjukkan angka infeksi mikrofilaria rate lebih besar daripada wanita. Hal ini disebabkan karena pada umumnya laki-laki lebih lebih terpapar karena pekerjaannya sehingga kemungkinan

23 terjadinya infeksi (kontak dengan faktor) lebih sering daripada perempuan. c) Imunitas Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan patologis dalam tubuhnya (Depkes RI, 2008). d) Ras Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat (Depkes RI, 2008) 2) Faktor Perilaku a) Pengetahuan Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui pancaindera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain

24 yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tifak didasari oleh pengetahuan. Notoatmodjo (2003) menuliskan bahwa pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, antara lain: (1) Tahu. Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari sebelumnya. (2) Memahami. Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretaso materi tersebut secara benar. (3) Aplikasi. Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada sotuaso atau kondisi sebenrnya. (4) Analisis. Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. (5) Sintesis. Menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. (6) Evaluasi. Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pendidikan merupakan proses belajar yang dapat menghasilkan perubahan pada diri individu, kelompok dan masyarakat. Perubahan tersebut karena usaha yang disadari dan dapat karena kemampuan baru yang berlaku untuk waktu yang relatif lama (Notoatmojo, 1997). Pendidikan merupakan

25 salah satu faktor yang akan mempengaruhi perilaku individu. Makin tinggi tingkat pendidikan diharapkan dapat menerima pesan-pesan kesehatan dan mengerti cara-cara pencegahan penyakit. Penelitian yang dilakukan Marzuki (2010) bahwa ada hubungan pengetahuan dengan kejadian filariasis. 2) Sikap Sikap merupakn reaksi atau respons yang msih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap nyata menunjukan konotasi adanya stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Upaya pencegahan gigitan nyamuk. Kegiatan ini hampir seluruhnya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat seperti berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk bakar, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas nyamuk. Menurut Astri (2006) diketahui bahwa kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis. 3) Tindakan Suatu sikap belum termasuk dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendorong atau suatu kondisi yang menunjukan seperti fasilitas (Notoatmodjo, 2003). Menurut Sarwono (2002) sikap terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar. Proses belajar itu sendiri dapat terjadi melalui proses pengkondisian atau melalui proses belajar sosial atau karena pengalaman secara

26 langsung. Rahayuningsih (2008) menjabarkan bahwa sikap merupakan bagaimana individu suka atau tidak suka terhadap sesuatu yang pada akhirnya menentukan perilaku individu tersebut. Sikap menyukai cenderung mendekat, mencari tahu dan bergabung. Sementara sikap tidak menyukai cenderung menghindar atau menjauhi. Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Menurut hasil penelitian Kadarusman (2003) diketahui bahwa kebiasaan keluar pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis. Pemakaian kelambu sangat efektif dan berguna untuk mencegah kontak dengan nyamuk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ansyari (2004) menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunakan kelambu waktu tidur sebagai faktor risiko kejadian filariasis. b. Nyamuk Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres. Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa (Depkes RI, 2008). Daerah Pekalongan nyamuk yang paling utama sebagai vektor filariasis adalah spesies dari Culex yaitu Culex quinquefasciatus (Dinkes Kab. Pekalongan, 2011)

27 Culex quinquefasciatus adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis W. Bancrofti (Rosdiana S,2009). Nyamuk dewasa dapat berukuran 4 10 mm (0,16 0,4 inci). Morfologi nyamuk Cx. quinquefasciatus memiliki tiga bagian tubuh umum: kepala, dada dan perut. Nyamuk Cx. quinquefasciatus biasa bertelur dan menetaskan telur di perairan tawar yang relatif kotor, seperti di got saluran air, tempat pembuangan air limbah rumah tangga, kolam dan sawah 1) Tempat Berkembang Biak Cx. quinquefasciatus suka berkembang biak di air keruh dan kotor dekat seperti genangan air, got terbuka, kolam, empang ikan dan selokan yang kotor. Pada penelitian terbukti bahwa selokan yang tersumbat merupakan tempat yang paling ideal untuk perkembangbiakan nyamuk Cx. Quinquefasciatus (Muslim, 2005). Genangan air yang kotor seperti air limbah rumah tangga merupakan tempat yang baik sekali bagi perkembangbiakan nyamuk Cx. quinquefasciatus karena pada tempat-tempat tersebut nyamuk Cx. quinquefasciatus mudah mendapatkan nutrisi dan bahan organik untuk perkembangan larva nyamuk. 2) Perilaku Makan Nyamuk Cx. quinquefasciatus bersifat antropofilik dan zoofilik artinya menyukai darah manusia dan menghisap darah hewan vertebrata berdarah panas sebagai bahan makanannya. Nyamuk Cx. quinquefasciatus mengigit pada malam hari dan biasanya berdiam diri di dalam ruangan sebelum dan sesudah mengigit. Nyamuk Cx. quinquefasciatus suka menggigit manusia dan hewan terutama pada malam saat matahari terbenam Cx. quinquefasciatus menggigit beberapa jam setelah matahari terbenam sampai sebelum matahari terbit. Aktivitas puncak menggigit nyamuk ini adalah pada pukul 01.00-02.00 (Prince

28 PW, 2003). Pola menggigit nyamuk Cx. quinquefasciatus di dalam dan di luar rumah. Pada penelitian yang dilakukan terbukti bahwa fluktuasi menggigit Cx. quinquefasciatus di dalam dan di luar rumah relatif sama. 3) Kesukaan beristirahat Setelah menggigit orang atau hewan nyamuk akan beristirahat selama 2-3 hari. Pada saat hinggap posisi tubuh nyamuk tidak menukik tapi mendatar. Pada umumnya nyamuk Cx. quinquefasciatus suka beristirahat dalam rumah yaitu di tempat gelap dan lembab di gantungan baju dan di balik perabotan rumah tangga yang berwarna gelap. Jika di luar rumah nyamuk Cx. quinquefasciatus suka beristirahat pada kandang ternak karena suhu kelembaban kandang ternak sangat cocok untuk nyamuk Cx. Quinquefasciatus (Prince PW, 2003). 3. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan dapat menunjang kelangsungan hidup hospes. Hospes reservoir dan vektor filariasis yang ada di suatu daerah endemis dapat diduga jenisnya dengan melihat keadaan lingkungan. Untuk pencegahan filariasis hingga sekarang hanya dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk. Untuk mendapatkan infeksi diperlukan gigitan nyamuk yang banyak (Gandahusada dkk, 2000 ). Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis menentukan distribusi filariasis. Hasil penelitian yang dilakukan Mardesni (2006) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara konstruksi rumah yaitu plafon dengan kejadian filariasis. Namun pada hasil penelitian Rahayu (2005) diketahui bahwa tidak ada hubungan bermakna antara plafon dengan filariasis. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B. malayi adalah

29 daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx. quinquefasciatus. Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (Depkes RI, 2008) a. Lingkungan Fisik Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi, suhu, kelembaban dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk Cx. Quinquefasciatus (Prince PW, 2003). 1) Temperatur Udara Kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan telur Culex quinquefasciatus sampai dewasa berkisar 25-30 O C, pada suhu ini perkembangan Cx. quinquefasciatus menjadi lebih cepat yaitu dari waktu normal 10 menjadi 7 hari untuk perkembangan telur hingga dewasa. Hal ini akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan serta meningkatkan kegiatan reproduksi dan akhirnya akan meningkatkan populasi nyamuk. Sebaliknya pada suhu yang rendah metabolisme akan turun atau berhenti sama sekali. Pertumbuhan nyamuk Cx. quinquefasciatus berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10 0 C atau lebih dari 40 0 C (Prince PW, 2003). 2) Kelembaban Udara Kelembaban mempengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat Cx. Quinquefasciatus (Prince PW, 2003). Kelembaban udara akan mempengaruhi metabolisme di dalam tubuh nyamuk demikian

30 juga lamanya waktu perkembangan nyamuk. Kelembaban udara berpengaruh juga terhadap waktu penetasan telur karena semakin tinggi kelembaban akan semakin cepat menetas. Demikian pula waktu peletakkan telur Cx. quinquefasciatus meningkat bila keadaan kelembaban udara juga meningkat. Sistem pernapasan nyamuk Cx. quinquefasciatus menggunakan pipa udara yang disebut trakhea dengan lubang-lubang pada dinding tubuh nyamuk (spiracle). Adanya spiracle yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturannya menyebabkan terjadinya penguapan yang mengakibatkan keringnya cairan tubuh Cx. quinquefasciatus saat kelembaban rendah. Selain itu, kelembaban udara juga berpengaruh terhadap tingkat aktivitas nyamuk Cx. quinquefasciatus. Kelembapan udara yang paling ideal untuk nyamuk Cx. quinquefasciatus adalah 80%. Pada kelembaban udara < 60 % umur nyamuk Cx. quinquefasciatus akan menjadi pendek, nyamuk akan cepat lelah, kering dan cepat mati (Prince PW, 2003) 3) Curah Hujan Hujan dapat menambah jumlah tempat perkembangbiakan nyamuk (breeding place) atau dapat pula menghilangkan tempat perindukan. Curah hujan yang tinggi menyebabkan tempat perindukan yang berupa genangan-genangan air akan meluap dan akan menghanyutkan larva. Musim hujan akan menyebabkan adanya genangan air, baik di selokan maupun di kolam-kolam terbuka sehingga tempat tersebut sangat ideal digunakan Cx. quinquefasciatus untuk berkembang biak (Magdalena H, 2005). 4) Arus Air Pada umumnya nyamuk Cx. quinquefasciatus menyukai aliran air yang statis sebagai tempat perindukannya. Penelitian membuktikan adanya genangan air merupakan faktor risiko kejadian filariasis.

31 5) Sinar Matahari Sinar matahari memiliki pengaruh yang berbeda untuk tiap spesies nyamuk. Nyamuk Cx. quinquefasciatus lebih menyukai tempat berkembang biak pada tempat yang kotor dan ada sinar matahari. Tempat-tempat tersebut meliputi genangan air, got-got terbuka dekat rumah dan kolam. Sedangkan untuk tempat istirahat nyamuk Cx. quiquefasciatus adalah tempat gelap di dalam rumah. 6) Keberadaan Sawah dan Rawa Nyamuk Cx. quinquefasciatus memilih tempat perindukan di air tercemar dan terpapar sinar matahari langsung seperti air sawah. Penelitian di Bangka Barat membuktikan bahwa keberadaan rawa merupakan faktor risiko filariasis (Nasrin, 2008). 7) Keberadaan Kolam, Parit dan Genangan Air Nyamuk Cx. quinquefasciatus berkembang biak pada tempattempat yang kotor. Tempat-tempat seperti kolam, parit dan genangan air merupakan tempat yang paling disukai oleh nyamuk Cx. quinquefasciatus untuk meletakkan telurnya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa keberadaan kolam, parit dan genangan air merupakan faktor risiko terjadinya filariasis (Nasrin, 2008). b. Lingkungan Biologik Lingkungan biologik dapat mempengaruhi populasi baik larva maupun nyamuk dewasa. Lingkungan biologik yang dimaksud seperti biota air baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan di dalam tempat perindukan. Cx. quinquefasciatus menyukai tempat-tempat yang ada sinar matahari sebagai tempat perkembangbiakan. Contoh lingkungan biologik yang mendukung keberadaan nyamuk Cx. quinquefasciatus adalah keberadaan semak-semak dan tanaman air Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Selain itu

32 keberadaan ternak merupakan faktor risiko penularan filariasis karena kandang ternak dapat menjadi tempat peristirahatan nyamuk Cx. quinqeufasciatus. Kandang ternak bersuhu cenderung hangat sehingga disukai nyamuk Cx. Quinqeufasciatus (Depkes RI, 2008). Akhirnya, untuk memberantas dan memutuskan penularan penyakit filariasis ini, selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan pemberantasan vektor penyakitnya. Caranya, bisa dengan menggunakan herbisida yang mematikan tumbuhan inangnya. Atau bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan perairan dari tumbuhan air yang dijadikan inang oleh nyamuk Cx. Quinqeufasciatus c. Lingkungan Kimia Dari lingkungan ini yang baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat perkembangbiakan. Sebagai contoh An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12 18% dan tidak dapat berkembang biak pada kadar garam 40% ke atas, meskipun dibeberapa tempat di Sumatera Utara An. sundaicus sudah ditemukan pula dalam air tawar. An. letifer dapat hidup ditempat yang asam. d. Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Lingkungan sosial, ekonomi dan kultur adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intensitas kontak vektor (bila vektornya menggigit pada malam hari). Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insidens filariasis pada perempuan karena umumnya lakilaki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Notoatmojo,1997)

33 I. Kerangka Teori Faktor Agent : Wucheria Brancofti Burgai Malayi Faktor Lingkungan Faktor Host Lingkungan Fisik : Temperatur Udara, Kelembaban, Curah Hujan, Arus Air, Sinar Matahari, Sawah dan Rawa, kolam, Parit, dan Genangan Air Lingkungan Biologi :Semak-semak dan Tanaman Air, Keberadaan Ternak Manusia:Karakteristik Individu: Umur, Jenis, Kelamin, Imunitas, Ras, Faktor Pengetahuan, Tindakan Perilaku: Sikap, Nyamuk:Culex, Mamsonia, Anopeles, Aedes, dan Kejadian Filariasis 2.1. Skema Kerangka Teori Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis Sumber: Widoyono (2008) dan Modifikasi Depkes RI (2008)

34 J. Kerangka Konsep Variabel Independent Karakteristik Individu Umur Jenis Kelamin Variabel Dependent Faktor Perilaku Pengetahuan Sikap Kejadian Filariasis Tindakan Faktor Lingkungan Keberadaan tempat berkembangbiak vektor Keberadaan tempat istirahat vektor 2.2. Skema Kerangka Konsep Faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis

35 K. Variabel Penelitian Variabel Bebas disini adalah faktor karakteristik individu berupa umur dan jenis kelamin, faktor perilaku berupa pengetahuan, sikap, tindakan, faktor lingkungan berupa keberadaan tempat isatirahat vektor dan keberadaan tempat berkembangbiak vektor. Sedangkan untuk variabel terikat adalah kejadian filariasis. L. Hipotesis Hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang diuji secara empiris. Prinsip uji hipotesis adalah melakukan perbandingan antara nilai sampel ( data hasil penelitian ) dengan nilai hipotesis (nilai populasi ) yang diajukan. Dua jenis Hipotesis : 1. Hipotesis nol (Ho) adalah tadak ada hubungan antara variabel satu dengan yang lain. 2. Hipotesis alternative (Ha) adalah yang menyatakan ada hubungan variabel satu dengan yang lain.